Anda di halaman 1dari 27

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,

REFERAT
Tenggorok Kepala Leher
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL

Oleh:
Noverita Febriani 1910017056
Cristian Bungin 1910017071

Pembimbing:
dr. Selvianti, Sp.THT-KL

LABORATORIUM / SMF ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK


KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
September 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat mengenai “Angiofibroma
Nasofaring Juvenil”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Selvianti, Sp.THT-KL
selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan banyak bimbingan, perbaikan dan
saran penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih
terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik
dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat ini
menjadi ilmu bermanfaat bagi para pembaca

Samarinda, September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan..........................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................3

2.1 Anatomi Faring.............................................................................................................3

2.1.1 Struktur Faring......................................................................................................3

2.1.2 Embriologi............................................................................................................4

2.1.3 Vaskularisasi.........................................................................................................4

2.1.4 Persarafan..............................................................................................................5

2.1.5 Nasofaring.............................................................................................................5

2.2 Definisi.........................................................................................................................6

2.3 Etiologi.........................................................................................................................6

2.4 Patogenesis dan Histopatologi......................................................................................8

2.5 Manifestasi Klinis.......................................................................................................12


ii
2.6 Diagnosis....................................................................................................................13

2.7 Diagnosis Banding.....................................................................................................16

2.8 Penatalaksanaan..........................................................................................................17

2.8.1 Embolisasi...........................................................................................................17

2.8.2 Pembedahan........................................................................................................18

2.8.3 Hormonal............................................................................................................19

2.8.4 Radioterapi..........................................................................................................20

2.9 Komplikasi.................................................................................................................21

2.10 Prognosis.................................................................................................................21

BAB 3 RINGKASAN...............................................................................................................22

3.1 Kesimpulan.................................................................................................................22

3.2 Saran...........................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................23

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angiofibroma nasofaring juvenil (ANJ) adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di
daerah nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor
ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya. Angiofibroma nasofaring juvenil jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05%
dari seluruh tumor kepala dan leher, namun merupakan jenis tumor yang paling umum pada
nasofaring. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan antara 1 : 5.000-60.000 pada pasien
THT 1
Angiofibroma nasofaring juvenil diduga berasal dari bagian posterior-superior dari
foramen sphenopalatina yang terletak di dinding posterolateral rongga hidung. Angiofibroma
nasofaring juvenil merupakan tumor yang perkembangannya lambat, namun tumor ini dapat
meluas ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah
menimbulkan perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini
memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna 2
Angiofibroma nasofaring juvenil paling sering ditemukan pada anak lak-laki
prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan
insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia
diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma. Gejala
klinik yang dapat ditemukan pada juvenil angiofibroma nasofaring dapat berupa hidung
tersumbat (80-90%) yang merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%)
yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%) khususnya bila sudah meluas ke
sinus paranasal, dan pembengkakan wajah (10- 18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia,
deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita
angiofibroma nasofaring 2.

1
Angiofibroma nasofaring juvenil sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat
hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang
ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis seperti CT Scan dan MRI. Trias gejala dan
tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan hidung dan massa di
nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring 1.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dibuatnya referat ini adalah agar dokter muda memahami mengenai
pengertian, penyebab, proses terjadinya, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis dari angiofibroma juvenil

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring

2.1.1 Struktur Faring


Secara regional, faring terbagi menjadi tiga bagian dari superior ke inferior yaitu
nasofaring, terletak di belakang lubang hidung posterior (choanae); orofaring, terletak di
belakang pembukaan rongga mulut, dan laringofaring, terletak di belakang saluran masuk
(pembukaan) laring. Pertama, faring hidung hanya terkait dengan saluran pernapasan saat
udara melewatinya dari rongga hidung. Juga, di dalam permukaan lateral belakang
nasofaring, ada dua bukaan, satu di kedua sisi, yang disebut tuba pendengaran (tuba
Eustachius atau tuba faringotimpani) yang dikelilingi oleh peninggian selaput lendir yang
disebut peninggian tuba. Tabung-tabung ini terhubung ke telinga tengah (rongga timpani)
secara posterior dan terutama berfungsi untuk menyamakan tekanan dan memfasilitasi
drainase sekresi telinga tengah. Kedua, faring oral merupakan lanjutan dari rongga mulut dan
berfungsi untuk melewatkan bolus ke arah bawah faring laring 3.
Saat bolus melewati rongga mulut, otot-otot langit-langit lunak berkontraksi untuk
menutup choanae sehingga makanan tidak masuk ke rongga hidung. Secara bersamaan,
epiglotis (tulang rawan tunggal di bagian atas laring) didorong ke anterior untuk menutup
saluran masuk laring yang mencegah makanan masuk ke saluran udara. Terakhir, faring
laring menerima bolus dari faring oral dan memasukkannya ke kerongkongan untuk
pencernaan. Udara mengalir dari dua bagian atas faring (nasal dan oral) dan memasuki faring
laring menuju saluran masuk laring dan dari sana ke trakea ke saluran pernapasan 3.

3
Gambar 1. Anatomi Faring 4

2.1.2 Embriologi
Selama minggu keempat dan kelima kehamilan (perkembangan), di kedua sisi faring
yang sedang berkembang, pembentukan aparatus faring (cabang) terjadi. Alat tersebut terdiri
dari lengkungan, kantong, celah, dan selaput yang berkontribusi pada perkembangan kepala
dan leher. Seluruh faring berkembang dari alat ini, yang ada di kedua sisi kepala yang sedang
berkembang. Otot faring berkembang dari tiga lengkungan faring, yaitu lengkungan ketiga,
keempat, dan keenam. Lengkungan faring ketiga memunculkan otot stylopharyngeus.
Namun, otot yang tersisa (kelompok konstriktor dan longitudinal) muncul dari lengkungan
keempat dan keenam. Bundel neurovaskular yang melewati lengkungan-lengkungan ini juga
mengeluarkan cabang-cabang untuk memasok otot-otot setiap lengkungan.5

2.1.3 Vaskularisasi
Empat arteri dari masing-masing arteri karotis eksterna menyuplai faring dengan
darah kaya oksigen yang merupakan faring asenden, tonsilar (cabang arteri wajah), arteri
maksilaris dan lingual. Drainase vena dibentuk oleh vena faring yang mengalirkan faring ke
vena jugularis interna. Drainase limfatik dari faring adalah drainase langsung, yang berarti
getah bening melewati langsung ke kelenjar getah bening leher dalam. Kelenjar getah bening
leher dalam adalah kelompok kelenjar getah bening yang terletak di sepanjang jalannya vena
jagular internal atau drainase tidak langsung menuju ke kelenjar getah bening serviks dalam
melalui kelenjar getah bening retropharyngeal (terletak di belakang faring) atau kelenjar
getah bening paratrakeal (di sepanjang jalannya kelenjar getah bening. batang tenggorok).4

4
Terdapat cincin jaringan limfoid yang dibentuk oleh empat kelompok getah bening
yang disebut dengan cincin Waldeyer. Cincin ini melindungi pintu masuk GIT dan saluran
pernapasan. Ini dibentuk secara superior oleh tonsil faring, juga dikenal sebagai kelenjar
gondok, di atap faring hidung. Tonsil palatina dan tonsil tuba (di sekitar tuba auditorius)
membentuk dinding lateral cincin. Di bagian inferior, cincin terbentuk oleh tonsil lingual di
permukaan posterior lidah.4

2.1.4 Persarafan
Faring menerima serabut saraf sensorik dan motorik. Serat sensorik (aferen) memasok
selaput lendir dari tiga bagian faring dan mengirimkan sensasi umum (nyeri, suhu, tekanan,
dan sentuhan). Faring hidung menerima suplai saraf dari divisi kedua saraf kranial kelima
(divisi maksila dari saraf trigeminal atau CN V2). Faring oral disuplai oleh saraf kranial
kesembilan (saraf glossopharyngeal atau CN IX), dan faring laring menerima pasokan dari
saraf laring internal yang merupakan cabang dari saraf laring superior dari saraf kranial
kesepuluh (saraf vagus atau CNX ). Otot faring menerima suplai motorik (eferen) dari saraf
kranial kesembilan dan kesepuluh. Otot stylopharyngeus adalah satu-satunya otot yang
disuplai oleh saraf glossopharyngeal. Saraf vagus memasok semua otot lain, yang akan
didaftar nanti.6

2.1.5 Nasofaring
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa
struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring berhubungan dengan rongga
hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di bagian inferior melalui bagian terbawah
dari palatum molle. Sedangkan di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan
dengan korpus vertebra. Tuba eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan
bagian superior dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai
torus tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior
dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring. Banyak
terdapat foramen kranial yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting yang
terletak di dekat nasofaring. Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel
squamous kompleks atau epitel kolumner pseudokomplek 4.

5
Gambar 2. Anatomi Nasofaring 7.

2.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring juvenil adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan
tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Sebutan lain untuk
angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma, juveniel nasopharyngeal
angiofibroma (ANJ), nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung
(nose tumor), nasopharyngeal tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.8

2.3 Etiologi

Etiologi ANJ masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah satunya adalah
teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di
dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak
dikemukakan sebagai penyebab dari tumor ini, bahwa ANJ berasal dari sex steroid-
stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal
yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa ANJ jarang terjadi (ber-involute)
setelah masa remaja (puberty). Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya
reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor
progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor
seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive
immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor tersebut. 24
angiofibroma nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan studi imunositokimia
menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial
immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP
dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil membuktikan langsung adanya antibodi dari
reseptor androgen pada angiofibroma 9,10
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi
agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor
6
pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah
untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif
diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenil.11
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil
mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor genep 53
sama seperti Her-2/neuoncogene. Gen glutation-S-transferase M1 (GSTM1) yang biasa
terdapat pada sel manusia dan mempunyai fungsi sebagai sitoprotektor terhadap antioksidan
biasanya gen ini menghilang pada para perokok. Hilangnya GSTM1 memicu keganasan pada
traktus respiratorius bagian atas. Sebuah penelitian menyelidiki hubungan perubahan pada
GSTM1 pada pasien non perokok yang menderita ANJ. Hasilnya menunjukkan tiga dari
delapan pasien tidak menunjukkan tidak terdapatnya GSTM1. Growth factor yang mirip
dengan insulin II (IGFII) adalah protein perangsang pertumbuhan yang terlibat dalam
pertumbuhan janin. IGFFII ditemukan bersamaan dengan pertumbuhan jaringan tumor pada
53 % dari pasien ANJ. Ini juga membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada
pertumbuhan tumor ANJ. 11,12
Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara ANJ dengan familiar adenomatous
polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi autosomal dominan yang
ditandai dengan beberapa adenoma di traktus gastrointestinal, kecenderungan terjadinya
adenokarsinoma dan keganasan-keganasan lain di ekstrakolon. ANJ merupakan salah satu
maifestasi FAP ekstrakolon dengan ANJ yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi
pada pasien dengan sindrom ini. Pengetahuan tentang patologi dari ANJ sudah mulai ditelti
sejak beberapa dekade yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomopatologik masih
sedikit penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari ANJ. Kebanyakan penelitian
tentang genetika ANJ memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan atau tidak menambah
banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang tumor tersebut.11
Hubungan lain dengan dokumentasi terbaru adalah dengan infeksi human
papillomavirus (HPV). HPV diketahui terkait dengan karsinoma sel skuamosa kepala dan
leher. Ia juga dikenal karena efek tumorigeniknya, mirip dengan virus Epstein-Barr,
menimbulkan pertanyaan apakah mungkin ada hubungan dengan angiofibroma nasofaring.
Sebuah penelitian kecil menunjukkan hubungan yang kuat antara ANJ dan HPV, dengan
adanya protein spesifik HPV dan DNA dalam jaringan angiofibroma nasofaring, tanpa infeksi
bersamaan pada jaringan adenoid kelompok kontrol. Mengingat meningkatnya insiden infeksi
HPV di seluruh dunia, hal ini menimbulkan kekhawatiran akan peningkatan ANJ, dengan

7
implikasi dalam mengembangkan praktik pencegahan yang mungkin. Namun, mengingat
terbatasnya jumlah bukti saat ini, penelitian lebih lanjut direkomendasikan.1

2.4 Patogenesis dan Histopatologi


Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman
pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta terisi
pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak bermetastasis
tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan
temporal atau ke ruang intrakranial. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi
sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas
dibawah mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas
ke arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke
arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral dan
memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen
sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus
maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan menimbulkan
benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua
bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut “muka
kodok” Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri
anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.13
Angiofibroma nasofaring adalah massa polipoid yang tidak berkapsul dan berbatas
tegas yang terdiri dari jaringan stroma vaskular dan fibrosa. Intervensi pembuluh darah
bervariasi dalam ukuran, mulai dari seperti celah hingga ektatik dengan konfigurasi
staghorn. Sel tipe myoid yang berkembang buruk mengelilingi saluran vaskuler berlapis
endotel, memberikan tampilan lapisan otot polos. Tidak ada mantel otot atau lamina elastis
yang sebenarnya, membantu menjelaskan kecenderungan berdarah dengan trauma kecil atau
manipulasi. Stroma fibrosa cenderung kolagen dan terdiri dari fibroblas, dengan berbagai
bentuk sel, termasuk spindel, montok, stellata, atau bersudut. Biasanya mereka mengandung
nukleolus kecil tunggal, tetapi ada kasus sel berinti banyak yang terdokumentasi. Jenis sel
bervariasi di antara tumor tetapi juga dapat bervariasi dalam tumor yang sama. Bahkan
dengan variabilitas ini, atipia jarang terjadi. Aktivitas mitosis juga atipikal. Dan meskipun
tidak berkapsul, massa dikelilingi oleh lapisan epitel di atasnya, seringkali epitel pernapasan.
Lapisan epitel ini dapat menunjukkan berbagai perubahan reaktif seperti infiltrasi sel
inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, ulserasi, dan metaplasia sel skuamosa. Jaringan
saraf dan kelenjar dapat dilihat di dalam bagian yang diperiksa, meskipun diyakini sebagai

8
sekunder dari jeratan selama pertumbuhan tumor.13,14
Mikroskopi elektron lebih lanjut menekankan kecenderungan perdarahan dan
klasifikasi sebagai malformasi vaskular. Konsep ini mendapat dukungan dari membran basal
yang terputus-putus, lapisan otot polos sekitarnya yang tidak teratur, dan kurangnya
pericytes. Endotelium lapisan tunggal dari saluran vaskular mengekspresikan banyak
penanda vaskular yang diharapkan seperti CD34, CD31, faktor von Willebrand, dan
endoglin. Kepositifan endoglin ini juga telah disarankan untuk berkorelasi dengan
kekambuhan dan kepadatan keseluruhan dari jaringan vaskular / komponen massa.13,15

Gambar 3. Reseksi pasca operasi dari ANJ. Tampak sebuah massa yang besar, tidak
bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya berada dalam nasofaring. ANJ

juga dapat berbentuk bertangkai (pedunculated) atau polypoid 14

Gambar 4. Perjalanan penyebaran angiofibroma nasofaring14

9
Gambar 5 . Gambaran Histopatologi ANJ. Tanda panah menunjukkan pembuluh darah staghorn

dengan endotelial namun tanpa otot polos yang dikompresi oleh jaringan fibrosa (tanda bintang) 14

(a)

10
(b)
Gambar 6a dan 6b. Skema dari rute invasi juvenil nasopharyngeal angiofibroma dari asalnya

menuju setiap situs anatomi di bidang aksial dan frekuensi kejadiannya 16

Gambar 7. Skema dari beberapa arah pertumbuhan angiofibroma nasofaring remaja dari 2 titik
yang berbeda: a) asalnya di foramen sphenopalatine (ekspansi median); b) fossa pterigopalatina

(ekspansi paramedian)16

11
(a) (b)

(c)

Gambar 8. Invasi ANJ dari sinus maksilaris melalui dinding medial dengan ekspansi tumor di

(tanda panah) (a) fossa infratemporal; (b) nasofaring; (c) fossa pterygopalatina16

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala hidung tersumbat merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada
angiofibroma nasofaring juvenil. Adanya obstruksi hidung ini akan dapat memudahkan
terjadinya penimbunan sekret sehingga akan timbul rinorea yang bersifat kronis dan diikuti
dengan gangguan penciuman baik berupa hiposmia sampai dengan anosmia. Pada perluasan
tumor ke tuba eustachius akan tampak gejala–gejala pada telinga seperti penurunan
pendengaran sampai dengan sakit pada telinga. Perkembangan perluasan tumor lebih lanjut
yang telah mengenai tuba eustachius akhirnya dapat juga menimbulkan gejala – gejala pada
mata dan saraf. 14
Epistaksis yang masif dan berulang merupakan tanda – tanda nasofaring paling dini
yang mengindikasikan penyakit ini. Mata menonjol (proptosis), pembengkakan pada wajah,

12
pembengkakan pada langit–langit mulut dan trismus merupakan tanda – tanda bahwa tumor
telah menyebar ke fossa infratemporal. Tuli konduktif dan otalgia diakibatkan karna
obstruksi tuba eustachius. Perluasan ke rongga kranial dapat dikoreksi dengan adanya
penglihatan dobel (diplopia) yang dikeluhkan oleh pasien karena tumor telah mulai menekan
kiasma optik. Sakit kepala yang berat dapat menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke
intrakranial.13

Gambar 9 . Tanda pembengkakan pada langit–langit mulut 12


2.6 Diagnosis
Diagnosis ANJ dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
radiologis. Biopsi tidak disarankan karena risiko perdarahan masif. Pemeriksaan radiologi
konfirmasi dapat dilakukan dengan CT, MRI, serta angiografi. CT tetap merupakan pilihan
awal yang menggambarkan sebagian besar tanda-tanda radiologi khas dan penyebaran serta
destruksi tulang dan ketepatan lokasi tumor.17
Karakteristik temuan CT adalah:
1. Lengkungan anterior dinding maksila posterior (Holman-Miller sign).
2. Erosi dasar sinus sfenoid dan penyebaran tumor yang berdekatan dari nasofaring ke
sinus sfenoid.
3. Erosi basis pterygoid.
4. Distribusi tumor khas dengan lobul yang bertambah banyak dan tumor berbatas tegas
melibatkan fossa infra temporal, menyebar melalui fisura orbital inferior, orbits
posterior, dan fisura orbital superior.
5. Erosi dan perluasan kanal vidian 17

13
Gambar 10. Erosi pada dasar sinus sfenoid
Tanda-tanda radiologi khas dan diagnostik ANJ termasuk peningkatan tumor dengan kontras, (10a), perluasan
dari Celah pterygo-maxillars dengan tulang anterior dinding rahang atas postero-lateral (10a):. erosi lantai
sphenoid dengan perluasan tumor langsung dari nasofaring ke sphenoid (10b), dan erosi kanal vidian oleh tumor

(10b). Kanal vidian kontra lateral divisualisasikan dengan baik (panah putih) 17

MRI memberikan gambaran jaringan lunak yang lebih baik. Tumor dapat
menampilkan gambaran salt and pepper dengan komponen fibrosa tumor berwarna putih dan
komponen vaskular angiomatosa berwarna gelap. Gambaran penyebaran tumor akan lebih
jelas dengan kontras gadolinium. MRI berguna untuk penilaian tumor intrakranial yang
berbatasan dengan sinus kavernosus dan internal carotid artery (ICA) dan untuk evaluasi
lanjutan tumor residual/tumor berulan.17

Gambar 11. Penampakan salt and pepper.


(a,b) Pemindaian MR aksial dan koronal yang menunjukkan tampilan ANJ "salt and pepper", dan perluasan

tumor dari fossa pterigopalatina ke nasofaring, hidung, fossa infratemporal, dan orbit posterior 17

14
Angiografi memberi informasi suplai vaskular mayor dan untuk embolisasi pre-operatif.
Arterial mayor yang menyuplai tumor-tumor ini adalah internal maxillary artery ipsilateral
yang khas dengan pembuluh darah tambahan ascending pharyngeal artery dan cabang-
cabang ICA kavernosa atau sistem carotid eksternal kontralateral.17

Gambar 12. Gambaran angiografi suplai vaskular ANJ.


Angiogram pra-embolisasi dengan kateter angiografi di arteri karotis eksterna distal. Arteri
maksilaris interna terlihat menyuplai tumor dengan “tumor blush on yang intens” Cabang
meningeal tengah dari arteri maksilaris interna, juga dicatat, seperti juga arteri temporal superfisial
8

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Klasifikasi menurut


Sessions sebagai berikut18:
Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan
ke satu sinus paranasal.
Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang
orbita.
Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intracranial yang minimal.
Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus
kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch18 :
Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi
tulang.

15
Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar
sampai sinus kavernosus.
Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa
pituitary.
Sistem klasifikasi yang sering digunakan dalam klinis adalah klasifikasi menurut
Radkowski. Berikut ini adalah sistem klasifikasi ANJ menurut Radkowski :

Tabel 1. Klasifikasi ANJ menurut Radkowski18

Stadium Deskripsi
IA Terbatas pada area hidung dan nasofaring
IB Perluasan pada 1 atau lebih sinus
IIA Perluasan minimal ke fossa pterigopalatina
IIB Perluasan ke fossa pterygopalatina dengan atau tanpa erosi
orbital
IIC Perluasan ke fossa infratemporal
IIIA Erosi dasar tengkorak (fossa kranial bagian tengaj atau
pterygoid
IIIB Erosi dasar tengkorak dengan ekstensi intrakranial dengan atau
tanpa keterlibatan sinus kavernosa

2.7 Diagnosis Banding


Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari ANJ, antara lain sebagai berikut :
1. Neuroblastoma penciuman (esthesioneuroblastoma): Meningkatkan massa rongga
hidung dari neuroepitel penciuman yang dapat memiliki gejala yang sama dan usia
onset yang sama. Tumor ini dapat memiliki tampilan halter pada pencitraan dengan
ekstensi intrakranial dan pinggang berpusat di pelat cribriform. Mereka dapat
menunjukkan kista intrakranial, difusi terbatas, dan area nekrosis. Neuroblastoma
penciuman jauh lebih umum pada wanita daripada ANJ.
2. Rhabdomyosarcoma: Sarkoma jaringan lunak dari otot lurik. Ketika terjadi di kepala
dan leher, situs yang paling umum adalah di dalam orbit, tetapi juga situs
parameningeal seperti nasofaring, fossa pterigopalatina, telinga tengah, sinus
paranasal, atau ruang parapharyngeal telah dijelaskan. Kondisi ini biasanya
merupakan keganasan pada pasien yang lebih muda, dengan 70% terjadi di bawah 12
tahun, dan 40% terjadi di bawah 5 tahun. Mereka akan menunjukkan variabel,
peningkatan kontras ringan hingga sedang, dengan peningkatan avid atipikal, tidak
seperti ANJ. Mereka juga biasanya akan membatasi difusi, yang bisa menjadi
diskriminator lain.
3. Polip sinonasal: Polip inflamasi yang dapat menjadi hipervaskular setelah cedera
berulang tetapi memiliki vaskularisasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan ANJ.

16
Yang paling umum adalah polip antrokoanal, yang berasal dari sinus maksilaris dan
meluas melalui ostium maksila ke dalam rongga hidung. Polip sinonasal juga dapat
berasal dari atau meluas ke nasofaring. Namun, mereka biasanya tidak meluas ke
foramen sphenopalatine atau fossa pterygopalatine. Pemodelan ulang yang
mengerikan itu mulus, tidak merusak. Polip akan menunjukkan peningkatan perifer
tanpa peningkatan sentral, tidak seperti angiofibroma nasofaring. Juga terlihat pada
remaja / dewasa muda dengan obstruksi hidung, tetapi jarang menyebabkan epistaksis.
Ensefalokel: Meninges menutupi parenkim otak dan cairan serebrospinal yang
menonjol melalui cacat dasar tengkorak. Varian nasoethmoidal / nasopharyngeal
dapat muncul sebagai massa rongga hidung. Ini umumnya lebih anterior diposisikan
daripada ANJ dan nonenhancing.
4. Karsinoma nasofaring: Ini adalah tumor mukosa yang muncul di aspek superolateral
nasofaring di dalam fossa Rosenmuller. Ini adalah keganasan terutama pada orang
dewasa, dengan insiden puncak 40 hingga 60 tahun, dan jarang terjadi pada kelompok
anak / remaja. Ini memiliki asosiasi EBV yang kuat. Tumor ini menunjukkan pola
peningkatan homogen ringan, tidak seperti peningkatan avid angiofibroma nasofaring.
Juga merupakan lesi destruktif, namun tidak seperti angiofibroma nasofaring, lesi ini
cenderung menyusup ke lemak parapharyngeal dan jaringan lunak wajah dalam
lainnya. Seringkali itu akan menunjukkan kerusakan tulang yang lebih luas, termasuk
clivus dan ke dalam sinus kavernosus.13

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Embolisasi
Embolisasi sebelum operasi direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk
mengurangi ukuran massa tumor dan bahaya perdarahan selama operasi, sehingga
memungkinkan pengangkatan total massa tumor, mengurangi komplikasi dan meminimalkan
residu tumor. Tujuannya adalah mengurangi suplai darah ke tumor, dan hal ini akan efisien
jika agen emboli dapat masuk ke dalam pembuluh darah tumor, yang paling baik dicapai
dengan partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol. Embolisasi sebelum radiasi eksterna
perlu dipertimbangkan karena akan menyebabkan keadaan hipoksia tumor dan dapat
menyebabkan radio-resisten.19

2.8.2 Pembedahan
Pengangkatan tumor tetap menjadi pilihan tatalaksana utama, dimana pendekatan dari
insisi yang akan digunakan sangat ditentukan oleh stadium tumor. Biopsi pre-operasi jarang
dilakukan karena sifat tumor yang mudah berdarah akibat tingginya vaskularisasi tumor.
17
Pendekatan yang digunakan harus dapat memvisualisasi tumor secara keseluruhan untuk
mem-permudah proses operasi.19
Pendekatan operasi secara transpalatal untuk tumor yang terdapat pada nasofaring,
koana, rongga hidung dan sinus etmoid. Untuk tumor yang sudah meluas ke fossa
infratemporal, pterigomaksila dan pipi digunakan pendekatan operasi secara transmaksila
dengan insisi Weber Ferguson atau dikombinasikan dengan pendekatan transpalatal.
Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan ANJ dari nasofaring dimana sudah
terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk lesi dengan pembesaran terbatas ini,
operator lain mungkin memilih pendekatan transfacial melalui lateral rhinotomy dan medial
maxillectomy. Teknik midfacial degloving bisa juga digunakan. Lesi dengan penyebaran yang
luas ke luar nasofaring akan memerlukan kombinasi dari pendekatan-pendekatan
pembedahan basis cranii untuk mendapatkan pembukaan yang cukup untuk mengeluarkan
lesi. Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan
untuk perluasan koronal digunakan frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies
untuk jalan masuk. Pendekatan lateral melalui fossa infratemporal diperlukan untuk
mereseksi tumor yang membesar ke regio tersebut. Terapi medikamentosa dengan
diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-operatif untuk mengurangi perdarahan saat operasi.
Anastesi yang bersifat hipotensif juga dipilih untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan.20

Gambar 13. Operasi pembedahan ANJ dengan pendekatan mid facialde gloving. Dengan
pendekatan ini bias dibuka akses membuka tulang-tulang mid fasial tanpa meninggalkan luka /
scar di wajah. Beberapa fraktur fasial dan tumor-tumor mid fasial lain juga bias ditangani dengan

pendekatan ini. Tampak ANJ yang sangat besar sedang diangkat dari ruang post nasal 19

18
Gambar 14. Reseksi angiofibroma melalui insisi sekitar daerah wajah 19

2.8.3 Hormonal
Martin menyatakan bahwa ketidakseimbangan hormonal dapat merangsang
pertumbuhan tumor ini. Shciff mengemukakan suatu trilogi terjadinya tumor ini. Pertama
tumor ini terjadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estrogen. Kedua, aktivitas
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang berlebihan dari jaringan
pembuluh darah tersebut. Schiff memberikan estrogen pada angiofibroma nasofaring selama
4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk pengangkatan tumor. Hasil dari
tindakan tersebut adalah berupa perdarahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan tidak
diberikan estrogen sebelumnya. Estrogen memberikan efek pematangan jaringan fibrosa dan
pembuluh darah. Estrogen termasuk hormon steroid kelamin, yang fungsi utamanya
berhubungan erat dengan fungsi alat kelamin primer dan sekunder, terutama pada wanita.
Hormon ini merupakan sintesis dari kolesterol, terutama di ovarium dan di kelenjer lain,
misalnya korteks adrenal, testis dan plasenta. Estrogen dibentuk dari androstenedion maupun
testosteron yang mempunyai 4 cincin siklik dengan 19 atom C. Estrogen endogen pada
manusia paling banyak terdiri dari estradiol dan potensi estrogeniknya juga paling kuat.
Oksidasi estradiol menjadi estron dan hidrasi estron menjadi estriol, terutama terjadi di hepar.
Dietilstilbesterol merupakan senyawa estrogen sintetik pertama dan potensi estrogenik yang
cukup kuat. Reseptor estrogen dapat ditemukan pada alat reproduksi wanita, kelenjar
payudara, hipofisis, prostat dan hipotalamus. Estrogen terikat dengan afinitas tinggi pada
reseptor protein di sitoplasma. Setelah mengalami modifikasi, kompleks reseptor estrogen ini
ditranslokasi ke inti sel yang akan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini memicu sintesis
RNA dan beberapa protein spesifik lain. Sintesis protein oleh estrogen ini dihambat oleh
penghambat sintesis RNA (daktinomisin), dan penghambat sintesis protein (sikloheksimid).
Penggabungan estrogen dengan reseptornya dihambat oleh obat golongan anti estrogen,
misalnya klomefin atau tamoksifen. Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan
19
untuk mengecilkan masa tumor dan mengurangi perdarahan. Pemberian estrogen dapat
meningkatkan maturasi kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor, sehingga
perdarahan berkurang dan tumor mengecil. Estrogen dapat menimbulkan efek samping
berupa penurunan kadar testosteron plasma, atrofi testis dan ginekomastia pada anak laki-
laki. Harison, Walike dan Mackay memberikan dietilstilbestrol selama 30 hari. Terlihat
peningkatan jaringan ikat fibrosa dan penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis terapi
yang dianjurkan tidak lebih dari 15 mg/hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang
pernah diberikan adalah 3.000 mg. Di Indonesia seperti yang dikutip oleh Dharmabakti
melaporkan bahwa setelah pemberian estrogen, ternyata tumor mengecil tetapi setelah
pemberian dihentikan tumor tumbuh lagi.20

2.8.4 Radioterapi
Terapi radiasi biasanya digunakan sebagai terapi paliatif untuk mengurangi perdarahan
pada saat operasi, sebagai terapi tambahan pada tumor yang rekuren, dan pada tumor dengan
pertumbuhan intrakranial. Radiasi pada usia remaja dapat mengganggu pertumbuhan tulang
wajah, radionekrosis dan perubahan tumor menjadi ganas. Terapi ini dilakukan juga pada
pasien yang menolak operasi dan pada tumor yang tidak mungkin untuk dioperasi lagi.20

2.9 Komplikasi
Komplikasi ANJ yang paling signifikan adalah kehilangan darah, terutama dalam
pengaturan operasi / prosedural, dan bisa berakibat fatal jika tidak ada tindakan pencegahan
yang tepat. Exophthalmos, deformitas wajah / orbital, kehilangan penglihatan, dan hilangnya
gerakan ekstraokuler dapat terjadi akibat invasi orbital oleh tumor. Kehilangan penglihatan
juga bisa menjadi komplikasi potensial dari embolisasi nontarget jika ada keterlibatan cabang
arteri karotis interna. Komplikasi berat lainnya dari embolisasi pra operasi termasuk
vasospasme arteri, kelumpuhan wajah, infark, atau cedera saraf kranial. Komplikasi yang
lebih sembuh sendiri dan tidak terlalu parah termasuk pembengkakan wajah, nyeri atau
sensasi abnormal, sakit kepala, atau mual / muntah. Komplikasi bedah dapat mencakup
banyak hal, dengan penambahan jaringan parut dan deformitas wajah. Terapi hormonal, jika
digunakan, dapat menyebabkan feminisasi sebagai komplikasi atau setidaknya efek samping
yang tidak diinginkan pada remaja laki-laki.13

2.10 Prognosis
Angiofibroma nasofaring adalah tumor yang jinak, dan dalam hal itu menandakan
prognosis yang baik. Perhatian utama dengan ANJ adalah penyakit lanjut yang tidak
memungkinkan reseksi total atau kekambuhan penyakit. Literatur telah melaporkan sebanyak
33% penyakit lanjut (Radkowski stadium III) tidak dapat dioperasi, dan pada mereka yang

20
menjalani reseksi, kekambuhan dapat terjadi pada 30 hingga 38%, yang dapat menyebabkan
morbiditas tambahan dari pertumbuhan dan invasi tumor residual / rekuren. Beberapa yang
memiliki penyakit sisa / rekuren juga menjalani radioterapi adjuvan, dengan kejadian
berikutnya, meskipun jarang, kemungkinan keganasan sekunder yang diinduksi radiasi seperti
sel basal dan karsinoma sel skuamosa di dalam port radiasi. Transformasi maligna yang
jarang dari ANJ juga telah dilaporkan, terutama menjadi tumor yang berdiferensiasi baik
setelah radioterapi, tetapi laporan transformasi sarkoma yang tidak berdiferensiasi juga ada,
yang mengarah ke prognosis yang lebih buruk. 21

21
BAB 3
RINGKASAN

3.1 Kesimpulan

Angiofibroma nasofaring juvenil adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan
tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Angiofibroma nasofaring
juvenil khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas dan remaja. Etiologi tumor ini
masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori jaringan asal dan teori ketidakseimbangan
hormonal. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang
atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk
tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah
pembesarannya. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti foto polos, CT scan, angiografi atau MRI kepala. Tindakan operasi merupakan pilihan
utama selain terapi hormonal atau radioterapi. Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor
dapat diatasi dengan pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan atas penyusunan tugas ini,
sehingga diharapkan sekali kepada rekan-rekan sejawat sekalian atas kritik dan saran yang
membangun demi bertambahnya khazanah ilmu pengetahuan kita bersama.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Mishra A, Sachadeva M, Jain A, Shukla NM, Pandey A. Human Papilloma virus in


Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma: possible recent trend. Am J Otolaryngol -
Head Neck Med Surg [Internet]. 2016;37(4):317–22. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.amjoto.2016.03.001
2. Hodges JM, McDevitt AS, Ali AIES, Sebelik ME. Juvenil nasopharyngeal
angiofibroma: Current treatment modalities and future considerations. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg. 2010;62(3):236–47.
3. Ball M, Hossain M, Padalia D. Anatomy, Airway. In Treasure Island (FL); 2020.
4. Cheesman K, Burdett E. Anatomy of the nose and pharynx. Anaesth Intensive Care
Med [Internet]. 2011;12(7):283–6. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mpaic.2011.04.013
5. Graham A, Smith A. Patterning the pharyngeal arches. BioEssays. 2001;23(1):54–61.
6. Shaw SM, Martino R. The normal swallow: Muscular and neurophysiological control.
Otolaryngol Clin North Am. 2013;46(6):937–56.
7. Hermansyah ML, Dhamiyati W, Choridah L. Modalitas Imejing pada Karsinoma
Nasofaring. J Radiol Indones. 2017;2(2):117–22.
8. Dewi NMAW. Tatalaksana Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma. Cermin Dunia
Kedokt. 2018;45(3):202–5.
9. Alimli AG, Ucar M, Oztunali C, Akkan K, Boyunaga O, Damar C, et al. Juvenil
nasopharyngeal angiofibroma: Magnetic resonance imaging findings. Jbr-Btr.
2016;100(1):1–8.
10. Nicolai P, Schreiber A, Bolzoni Villaret A. Juvenil Angiofibroma: Evolution of
Management. Int J Pediatr. 2012;2012:1–11.
11. Tewfik TL. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma [Internet]. Medscape. 2020 [cited
2020 Sep 5]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/872580-
overview#a8
12. Alshaikh NA, Eleftheriadou A. Juvenil nasopharyngeal angiofibroma staging: An
overview. Ear Nose Throat J. 2015 Jun;94(6):E12-22.
13. Tork C, Simpson D. Nasopharyngeal Angiofibroma [Internet]. StatPearls. 2020 [cited
2020 Sep 9]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545240/#_NBK545240_pubdet_
14. Garça MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen Med.
2010;7(4):419–25.
15. Wang J-J, Sun X-C, Hu L, Liu Z-F, Yu H-P, Li H, et al. Endoglin (CD105) expression
on microvessel endothelial cells in juvenil nasopharyngeal angiofibroma: tissue
microarray analysis and association with prognostic significance. Head Neck. 2013
Dec;35(12):1719–25.
16. Sennes LU, Butugan O, Sanchez TG, Bento RF, Tsuji DH. Juvenil nasopharyngeal
angiofibroma: The routes of invasion. Rhinology. 2003;41(4):235–40.
17. Bawa IPA, Dewi YA, Aroeman NA. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Belia
di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung in Hasan Sadikin General Hospital Bandung.
2017;5(38):81–5.
18. Blount A, Riley KO, Woodworth BA. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma.
Otolaryngol Clin North Am. 2011;44(4):989–1004.
19. Ginting HK, Supriana N. Angiofibroma Nasofaring Juvenil. Radioter Onkol Indones.
2018;9(1):29–33.
20. Firdaus MA, Rahman S, Asyari A. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Dengan Pendekatan Transpalatal. J Andalas. 2011;9(3):1–8.
21. Allensworth JJ, Troob SH, Lanciault C, Andersen PE. High-grade malignant
transformation of a radiation-na€ıve nasopharyngeal angiofibroma. Head Neck.
2016;36(10):2425–30.

23

Anda mungkin juga menyukai