Anda di halaman 1dari 10

A.

PENGERTIAN ETOS KERJA


Etos berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang artinya sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga
oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya,
serta sistem nilai yang diyakininya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etos artinya pandangan hidup dalam suatu
golongan secara khusus. Sedangkan kata kerja, artinya perbuatan melakukan sesuatu kegiatan
yang bertujuan mendapatkan hasil.
Kata “kerja” sendiri didefiniskan sebagai kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yang
dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. Islam mengatur setiap persoalan,
termasuk memenuhi kebutuhan hidup (kerja), dengan asas agama (religiusitas). Islam juga
memadukan segala nilai material dan spiritual ke dalam satu keseimbangan menyeluruh agar
memudahkan manusia menjalani kehidupan yang telah ditentukan oleh rahmat dan kasih
sayang Allah di akhirat nanti.
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u ‘Ulumuddin”, pengertian etos (khuluk)
adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah dengan tidak membutuhkan pemikiran.
Etos Kerja Muslim dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang
muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu
manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur. Sehingga bekerja yang
didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim,
melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera
kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan
dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian sebagaimana firman
Allah, “Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku”, (QS. adz-Dzaariyat : 56).

Etos Kerja di dalam Al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan


keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja
tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman
dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika
kerja positif dan negatif.
a. Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-
Nahl: 97, dan al-Mukminun: 40.
b. Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan
al-Fathir: 10.
c. Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali,
diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
d. Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
e. Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum,
‘amaluhum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102,
Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
f. Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-
Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.[9]

Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai etis tertentu, yang tadinya tidak menonjol atau biasa-
biasa saja bisa menjadi karakter yang menonjol pada masyarakat atau bangsa tertentu.
Muncullah etos kerja Miyamoto Musashi, etos kerja Jerman, etos kerja Barat, etos kerja
Korea Selatan dan etos kerja bangsa-bangsa maju lainnya. Bahkan prinsip yang sama bisa
ditemukan pada pada etos kerja yang berbeda sekalipun pengertian etos kerja relatif sama.
Sebut saja misalnya berdisplin, bekerja keras, berhemat, dan menabung; nilai-nilai ini
ditemukan dalam etos kerja Korea Selatan dan etos kerja Jerman atau etos kerja Barat.
B. Teks-teks hadis tentang etos kerja

Islam sangat mendorong orang-orang mukmin untuk bekerja keras, karena pada hakikatnya
kehidupan dunia ini merupakan kesempatan yang tidak akan pernah terulang untuk berbuat
kebajikan atau sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Ini sekaligus untuk menguji orang-
orang mukmin, siapakah diantara mereka yang paling baik dan tekun dalam bekerja.[5] Allah
swt berfirman;

َ َ‫الَّ ِذي خَ ل‬
‫ق ال َموْ تَ َوال َحيَاةَ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم اَيُّ ُك ْم اَحْ َسنُ َع َمال َوهُ َوال َع ِزي ُزال َغفُو ُر‬

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk’ ; 2)

Untuk menekankan perintah agar kita semua menggunakan kesempatan hidup ini dengan giat
bekerja dan beramal, Allah swt menegaskan bahwa tidak ada satu amal atau satu
pekerjaanpun yang terlewatkan untuk mendapatkan imbalan di hari akhir nanti, karena semua
amal dan pekerjaan kita akan disaksikan Allah swt, Rasulullah saw dan orang-orang mukmin
lainnya. Allah swt berfirman;

َ‫ب وال ّشهاد ِة فَيُنبّئُ ُك ْم بِما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َملوْ ن‬ ِ ‫َوقُلْ ا ْع َمل ُوافَ َسيَ َرى هللاُ َع َملَ ُك ْم َو َرسُولُهُ َوال ُم ْؤ ِمنُونَ َو َستُ َر ُّدون اِلى‬
ِ ‫عالم الغ ْي‬

“Dan Katakanlah; “Bekerjalah kamu, maka Allah swt dan Rasulullah-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah
kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah’; 105)
Disisi lain, Rasulullah saw sangat menekankan kepada seluruh umatnya, agar tidak menjadi
orang yang pemalas dan orang yang suka meminta-minta. Pekerjaan apapun, walau tampak
hina dimata banyak orang, jauh lebih baik dan mulia daripada harta yang ia peroleh dengan
meminta-minta. Dalam sebuah riwayat disebutkan;
ْ ‫وعن حكيْم بن حزام رضى هللا عنهما عن النّب ّي صلّى هللا عليْه وسلّم قال (اليد العليا خير‬
ْ ‫ وابْدأ‬،‫من يد السّفلى‬
‫بمن تعول‬
ْ ‫ْفف يعفّه هللا‬
‫والفظ للبخارى‬, ‫ومن يسْت ْغن ي ْغنه هللا) متفق عليه‬ ْ ‫ومن يسْتع‬
ْ ‫عن ظهر غنى‬ ْ ‫وخيْر الصّدقة‬
Dari Hakim putra Hizam, ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda; “Tangan yang di atas
lebih baik dari tangan yang di bawah, dahulukanlah orang yang menjadi tanggunganmu. Dan
sebaik-baiknya sedekah itu ialah lebihnya kebutuhan sendiri. Dan barang siapa memelihara
kehormatannya, maka Allah akan memeliharanya. Dan barang siapa mencukupkan akan
dirinya, maka Allah akan beri kecukupan padanya.” (H.R Bukhari).[6]

Hadis ini menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang tangannya di atas hendaklah lebih
dahulu memulai atau mendahulukan pemberiannya kepada keluarga setelah itu barulah
kepada yang lain. Di samping itu didalam hadis itu dijelaskan bahwa Allah akan mencukupi
seseorang yang menuntut atau bertekad menjadikan dirinya berkecukupan tidak mau meminta
belas kasihan orang lain. Ungkapan ini dapat dipahami bahwa sangatlah bijak dan dianjurkan
bagi orang kaya atau yang berkecukupan agar memberi kepada yang miskin dengan
pemberian yang dapat menjadi modal usahanya untuk dia dapat menjadi orang yang
mempunyai usaha sehingga pada saatnya nanti ia tidak lagi menjadi orang yang meminta-
minta (mengharap belas kasihan orang).
Perbuatan suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan hidup,
sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam hadis di atas bahwa
Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis) karena perbuatan tersebut
merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah sendiri sudah memuliakan
manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya :

ِ ‫ض ْلنَاهُ ْم َعلَى َكثِي ٍْر ِم َم ْن خَ لَ ْقنَا تَ ْف‬


ً‫ض ْيال‬ ِ ‫فى ْالبَرِّ َو ْالبَحْ ِر َو َر َز ْقنَاهُ ْم ِمنَ الطَّيِّبَا‬
َ َ‫ت َوف‬ ِ ‫َولَقَ ْد َك َر ْمنَا بَنِى اَدَم َ َو َح ْملنَاهُ ْم‬

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan
dan di lautan. Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S
Al-Isra’ : 70).

Penjelasan ayat al-Qur’an di atas juga memotivasi manusia agar mencari nafkah memenuhi
kebutuhan hidup haruslah berusaha dengan bekerja dalam lapangan kehidupan yang ia
mampu kerjakan, baik itu berupa bertani, berdagang, bertukang, menjadi pelayan dan
sebagainya. Jangan sekali-kali mencari nafkah dari hasil meminta-minta sebagai pengemis
jalanan. Jadi hadi ini sangat erat hubungannya dengan hadis pokok bahasan pertama yang
menyatakan bahwa usaha terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha yang
dilakukan dengan tangan sendiri.
Demikiankah juga hadis ini memberi isyarat bahwa agama Islam menyuruh umatnya bekerja
untuk mendapatkan rezeki. Islam sangat menilai jelek dan rendah martabat perilaku menjadi
pengemis, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja mencari kayu bakar kemudian dijual
adalah lebih baik daripada mengemis. Hal ini dinyatakan Nabi dalam salah satu sabdanya,
hadis dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah bersabda :

ِ ْ‫ب ْالبُيُو‬
‫ع‬ ِ ‫ب اَ َح ُد ُك ْم َج ْز َمةً عَل َى ظَه ِْر ِه خَ ْي ٌر ِم ْن اَ ْن يَسْأ َ َل اَ َح ٌد فَيُ ْع ِط ِه اَوْ يَ ْمنَ ُعهُ ( اَ ْخ َر َجهُ ْالبُ َخاِرىْ ِم ْن ِكتَا‬
َ ُ‫(اِل َ ْن يَط‬

“sesungguhnya bahwa seseorang di antara kamu yang bekerja mencari kayu bakar, diikatkan
di punggungnya kayu itu (guna memikulnya) adalah lebih baik daripada dia meminta-minta
yang kemungkinan diberi atau tidak diberi.” (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam
Kitab al-Buyu’).

‫لى هللاُ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمن‬َ ِ‫ اَ ْل ُم ْؤ ِمنُ ْالقَ ِوى َخ ْي ُر َواَ َحبُّ ا‬: ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬,‫ض َى هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ع َْن اَبِى هُ َري َْرةَ َر‬
َ‫ت َك َذا َكانَ َكذا‬ ُ ‫ك َش ْي ٌئ فَالَ تَقُلْ لَوْ َعنِّى فَ َع ْل‬ َ َ‫صاب‬ َ َ ْ
َ ‫ك َوا ْستَغ ِن باهللِ َوالَ تَ ْع ِج ُر َوا ْن ا‬َ َ ْ
َ ‫فى ُكلِّ َخي ٍْر اِحْ ِرصْ عَل َى َما يَنف ُع‬
ِ ‫ْف َو‬
ِ ‫ض ِعي‬ َّ ‫ْال‬
) ‫َو َك َذا َولَ ِك َّن قُلْ قَ َّد َر هللا َو َما َشا َء هللاُ فَعُل فَإ ِ ْن لَوْ تَ ْفتَ ُح َع َم ُل ال َّش ْيطَا ِن ( اَ ْخ َر َجهُ ُم ْسلِم‬
“ Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW telah bersabda : Orang mu’min yang
memiliki keimanan yang kuat lebih Allah cintai daripada yang lemah imannya. Bahwa
keimanan yang kuat itu akan menerbitkan kebaikan dalam segala hal. Kejarlah (sukailah)
pekerjaan yang bermanfaat dan mintalah pertolongan kepada Allah. Janganlah lemah
berkemauan untuk bekerja. Jika suatu hal yang jelek yang tidak disenangi menimpa engkau
janganlah engkau ucapkan : Seandainya aku kerjakan begitu, takkan jadi begini, tetapi
katakanlah (pandanglah) sesungguhnya yang demikian itu sudah ketentuan Allah. Dia
berbuat apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya ucapan “seandainya” itu adalah pembukaan
pekerjaan setan.” (Hadis dikeluarkan Muslim).[7]

Hadits ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan tentang tiga hal,
yaitu :
1. menguatkan keimanan
2. rakuslah untuk berbuat yang bermanfaat
3. mohon pertolongan kepada Allah. Di samping itu beliau melarang berbuat dua hal,
yaitu :
a. lemah
b. menyesali apa yang telah menimpa diri dari sesuatu yang tidak disukai, sehingga
mengatakan : “ Seandainya aku lakukan begitu, tak akan terjadi begini.”
Dalam hadits dinyatakan :‫فى ُك ِّل خَ ي ٍْر‬
ِ ‫ َو‬maksudnya bahwa keimanan yang kuat pada diri
seseorang akan menciptakan kebaikan dalam segala hal. Sebab dari iman yang sempurna
(benar dan kuat) akan mendorong seseorang berbuat yang baik, yang sudah tentu akan
berakibat yang baik bagi kehidupannnya. Oleh sebab itu al-Khuli dalam mensyarahkan hadis
ini berpendapat bahwa iman itu menjadi pengawal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, bila
diikuti dengan perbuatan baik (amal saleh). Di dalam al-Qur’an Allah berfirman :
: ‫صالِحًا ِم ْن َذ َك ٍر اَوْ اُ ْنثَى َوه َُو ُم ْؤ ِمنُ فَ ْلنَ ِح ْييَنَهُ َحيَاةً طَيِّبَةً َولَنَجْ ِز ْينُهُ ْم اَجْ َرهُ ْم بِأَحْ َس ٍن َما َكانُوْ ا يَ ْعلَ ُموْ نَ )سُوْ َرةُ ْالنَحْ ِل‬
َ ‫ِم ْن َع َم ٍل‬
97 )
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (Q.S an-Nahl : 97).
Keimanan yang kuat (istiqamah) membuat seseorang rajin dan bersungguh-sungguh mencari
kebahagiaan, baik itu untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya keimanan
yang lemah, tidak atau kurang menjadi penggerak terwujudnya perbuatan baik pada diri
seseorang, bahkan hawa nafsu yang menguasai dirinya, sehingga dirinya dengan mudah
untuk berbuat kefasikan, berbuat yang tidak baik. Dengan demikian maka akan jauhlah
kebahagiaan yang diharapkan manusia itu. Oleh sebab itu Rasulullah SAW menyatakan
dalam hadis ini bahwa orang mukmin yang kuat imannya lebih dicintai oleh Allah daripada
yang lemah imannya.
Ketika Islam sangat menekankan kerja, lalu pekerjaan apakah yang paling utama? Terhadap
pertanyaan itu ada sebuah hadist yang menyatakan bahwa;
Pekerjaan yang paling utama menurut Nabi Muhammad SAW adalah usaha seorang laki-laki
dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang bersih.

‫اي الكسب أطيب؟ عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور‬:‫عن رفاعة بن رافع أن النبي صلى هللا عليه وسلم سأل‬
“Rifa’ah bin Rafi’I berkata bahwa Nabi SAW, ditanya, “Apa mata pencarian yang paling
baik?” Nabi menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang
bersih.” (Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim)
Penjelasan Hadis
Islam senangtiasa mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa mengharap
rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian, tidak
dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan
Allah SWT. dan tidak mau berdoa kepada-Nya.[8]
Hadist di atas tidak secara jelas mengkategorikan jenis usahanya melainkan hanya
menyebutkan prinsip usaha yaitu yang dilakukan oleh tangannya sendiri dan jual beli yang
bersih. Jenis usaha yang disebutkan di akhir (perdagangan yang bersih) tidak banyak
menimbulkan interpretasi, karena telah jelas bahwa jual beli yang di maksud adalah jual beli
yang terhindar dari kebohongan dan sumpah palsu.
Dalam hadis ini Rasulullah SAW memerintahkan orang mu’min agar rakus (menyukai,
mengerjakan) pekerjaan yang bermanfaat. Oleh sebab itu seseorang yang beriman haruslah
bersikap tidak akan membiarkan waktu atau kesempatan yang dimiliki yang ia dapat
menggunakan kesempatan itu berlalu tidak dimanfaatkan. Seorang mu’min yang baik dan
bijak tentulah akan menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya, mengisinya
dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat, seperti berusaha mencari rezeki, harta untuk
keperluan dan kebahagiaan hidup, mencari posisi dan kedudukan yang layak dalam
percaturan kehidupan ini, atau menunutut ilmu yang bermanfaat untuk bekal perjuangan
hidup, atau menggunakan kesempatan yang ada untuk beramal dan beribadah mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Sehubungan dengan ini Rasulullah SAW pernah memperingatkan dalam salah satu sabdanya
yang berarti : “ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia, yaitu nikmat
kesehatan dan nikmat adanya kesempatan (H.R Bukhari dan Ibnu Abbas).
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda :
) َ‫ه ( َر َواهُ التِّرْ ِم ِذى َواَبُوْ هُ َريَّرة‬±ِ ‫َم ْن ُح ْس ِن اِ ْسالَ ُم ْال َمرْ ِء تَرْ َكهُ َما الَ يَ ْعنِ ْي‬
“Di antara kebagusan perilaku keislaman seseorang adalah meninggalkan pekerjaan yang
tidak berguna baginya.” (H.R Turmudzi dan Abu Hurairah).
Di dalam al-Qur’an surat Al-Ashr Allah SWT menyatakan bahwa manusia senantiasa dalam
kerugian, kecuali yang beriman dan beraktivitas yang positif serta saling mengingatkan
kejalan yang benar dan selalu bersabar (menghadapi tantangan dalam kehidupan ini).
Perintah Nabi SAW dalam hadis ini, yang ketiga adalah agar minta pertolongan kepada Allah
SWT sangat penting. Nabi mengingatkan kita tentang perintah ketiga ini, disebabkan dalam
kehidupan ini kita tidak akan luput dari kesulitan-kesulitan. Memang Allah menciptakan
kehidupan untuk menguji manusia menilai siapa yang paling baik amalnya. Hal ini
dinyatakan Allah SWT :

ِ ‫ق ْال َموْ تَ َو ْال َحيَاةَ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم اَحْ َسنُ َع َم َل َوهُ َو ْال َع ِز ْي ُز ْال َغفُوْ ِر ( سُوْ َرةُ ْال ُم ْل‬
)2:‫ك‬ َ َ‫اَلَّ ِذى خَ ل‬
“ Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang
paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S AL-Mulk : 3).
Oleh karena itu tidak dapat tidak manusia memperoleh pertolongan kepada Allah SWT Yang
Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Dalam surat al-Fatihah, surat yang wajib dibaca dalam
setiap rakaat shalat, ada diikrarkan ungkapan “mengisyaratkan bahwa kita sangat
memerlukan pertolongan Allah SWT”.
C. Pandangan Ulama’ mengenai Hadits Etos Kerja

Al-Khuli dalam kitabnya al-Adab an-Nabawi mengemukakan bahwa dari berbagai cara untuk
memperoleh harta yang diutarakan di atas maka cara yanng lebih utama adalah usaha yang
dilakukan dengan tangan sendiri. Hal ini dinyatakan Nabi SAW dalam hadis yang lain, dari
Miqdam r.a yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Nasa’i dan perawi hadist lainnya,
bahwa Nabi SAW bersabda :
‫ َواَ َّن النَّبِى هللا دَا ُو َد َعلَ ْي ِه ال َّسالَم َكانَ يَأْ َك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬,‫َما اَ َك َل اَ َح ٌد طَ َعا َما قَطٌ خَ ْيرًا ِم ْن اَ ْن يَأْ ُك َل ِم ْن َع َم ٍل بِيَ ِد ِه‬
“Tidaklah seseorang makan sesuap makanan lebih baik daripada ia makan dari hasil kerja
tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud a.s adalah makan dari hasil kerja tangannya
sendiri.”[9]
Seseorang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja keras
menggunakan tangannya sendiri, memeras keringat dan energy dari badannya kemudian
memakan hasilnya, sudah tentu lebih baik dari makanan hasil dari yang baersumber
peninggalan warisan, pemberian atas kemurahan seseorang atau sedekah yang diberikan
kepadanya karena belas kasihan. Karena usaha seseorang mencari nafkah dengan memeras
tenaga, mencucurkan keringat itu akan berfaedah sehingga kalau ia makan apa yang
dimakannya menjadi terasa enak, dan makanan itu dicerna dengan cepat dan mudah oleh
pencernaan sehingga berguna bagi kesehatan tubuh. Demikianlah dijelaskan Al-Khuli dalam
mensyarahkan hadis ini.
Al-khuli dalam kitabnya al-Adab an-Nabawi juga menyatakan bahwa kurang kemauan
membawa akibat seseorang menjadi pemalas. Sifat lemah dalam kemauan dan pemalas
sangat tidak disukai Rasul. Hal ini dapat diketahui adanya do’a yang diucapkan Nabi SAW
dengan ungkapan :
‫ك ْال َعجْ ِز َو ْال َكس ِْل‬
َ ِ‫اَللَّهُ َّم اِنِّى اَ ُعوْ ُذب‬
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari lemah (kemauan) dan pemalas”.
Ash-Shon’ani mengemukakan bahwa dengan ungkapan (yang terbaik) adalah artinya yang
paling halal dan paling berkat. Jadi secara nyata hadis ini menunjukkan bahwa usaha yang
paling halal dan berkat itu adalah usaha tangannya sendiri, kemudian baru usaha perniagaan
menunjukkan usaha dengan tangan sendiri itu lebih utama. Hal ini sejalan dengan hadis
Miqdam di atas. Walaupun demikian para ulama tetap berbeda pendapat tentang usaha yang
paling utama. Di antara tiga macam usaha yang bersifat pokok sebagaimana dikemukakan al-
Mawardi yaitu pertanian, perdagangan dan industri. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa
usaha yang terbaik itu adalah usaha pertanian karena usaha tersebut lebih dekat kepada
tawakkal. Dan karena pertanian itu membawa manfaat bukan hanya kepada manusia secara
umum, tetapi juga kepada binatang-binatang. Di samping itu usaha pertanian termasuk
kepada usaha yang dilakukann dominan dengan tangan.
Tentu saja tidak hanya dalam berjual beli yang harus diperhatikan kehalalan dan
kebersihannya sabagai standar utama dalam mencari rezeki karena bagaimanapun juga, Allah
Swt. akan memintai pertanggung jawaban kelak di akhirat.
Menurut Imam Al-Ghazali, manusia dalam hubungannya dengan dengan kehidupan dunia
dan akhirat terbagi kepada tiga golongan;
1. Orang-orang yang sukses atau menang, yakni mereka yang lebih menyibukkan
dirinya untuk kehidupan di akhirat daripada kehidupan dunia.
2. Orang-orang yang celaka, yakni mereka yang menyibukkan dirinya untuk
kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat.
3. Orang-orang berada di antara keduanya, yakni mereka yang mau menyeimbangkan
antara kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat.
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, mengutip pendapat seorang ahli hikmah, “Para pedagang
yang tidak memiliki ketiga sifat di bawah ini, akan menderita kerugian dunia dan akhirat:
a. Mulutnya suci dari bohong, laghwu (main-main/bergurau) dan sumpah
b. Hatinya suci dari penipuan, khianat, dan iri.
c. “Jiwanya selalu memelihara shalat jum’at, shalat berjamaah, selalu menimba ilmu,
dan mengutamakan rido Allah swt daripada lainnya.”

D. Kontektualisasi Etos Kerja dan Realisasinya Dalam Kehidupan

Bekerja adalah kewajiban setiap muslim. Sebab dengan bekeja setiap muslim dapat
mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai manusia, makluk ciptaan Allah SWT yang
paling sempurna dan mulia di muka bumi.
Jika setiap muslim bekerja dengan baik , maka ia sudah melakukan ibadah kepadaNya setiap
pekejaan baik yang dilakukan muslim karena Allah, berarti ia sudah melakukan kegiatan
jihad fi sabilillah. Firman Allah swt dalam surat al-Jumuah;
‫فإذا قضيت الصلوة فانتشروا فى االرض وابتغوا من فضل هللا واذكروا هللا كثيرا لعلكم تفلحون‬

Apabila sudah ditunaikan shalat,maka hendaklah kamu bertebaran di muka bumi dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak banyaknya supaya kamu beruntung (QS. al-
Jumuah, 62 ).
Untuk menggapai keberuntungan hidup, tidaklah hanya cukup tenggelam dalam masalah
ibadah formal atau ritual saja. Tetepi hendaknya dimanifestasikan dalam ibadah aktual.
Tafsiran ayat “ bertebaran di muka bumi” memberikan efek batin untuk menjadikan diri kita
sebagai sosok manusia yang memiliki achievement tinggi.
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehimgga
bekerja yang didasarkan pada prinsip- prinsip iman tauhid bukan hanya menunjukkan fitrah
seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirirnya sebagai hamba Allah, yang
mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari cara dirinya mensyukuri kenikmatan dari Allah.
Apabila bekerja itu sebagai fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan
bekerja, malas dan tidak mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan
keimananan dalam bentuk amal kreatif, sesunguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri,
menurunkan derajat identitas sebagai manusia, untuk kemudian runtuh dalam kedudukan
yang lebih hina dari binatang.
Perbuatan suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan hidup,
sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam hadis di atas bahwa
Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis) karena perbuatan tersebut
merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah sendiri sudah memuliakan
manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya yang sudah tercantum diatas.
Demikiankah juga hadis yang memberi isyarat bahwa agama Islam menyuruh umatnya
bekerja untuk mendapatkan rezeki. Islam sangat menilai jelek dan rendah martabat perilaku
menjadi pengemis, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja mencari kayu bakar kemudian
dijual adalah lebih baik daripada mengemis.
Bekerja untuk mencari karunia Allah, menjebol kemiskinan meningkatkan taraf hidup dan
martabat serta harga diri adalah merupakan nilai ibadah yang esensial, karena Nabi bersabda:
“kemiskinan itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran’.
Bekerja adalah segala aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu (jasmani dan rohani) dan didalam mencapai tujuanya tersebut dia berupaya dengan
penuh kesunguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian
dirinya kepada Allah. Jadi, etos kerja adalah dorongan, kehendak, atau prinsip bekerja yang
muncul dari jiwa individu untuk melakukan suatu kegiatan.
Dikatakan sebagai aktifitas dinamis, mempunyai makna bahwa seluruh kegiatan yang
dilakukan sebagai seorang muslim harus penuh dengan tantangan, tidak monoton, dan selalu
berupaya untuk mencari terobosan-terobosan baru (innovative) dan tidak merasa puas dalam
berbuat kebaikan.
Pokoknya harus tertanam dalam keyakinan kita bahwa bekerja itu adalah amanah Allah,
sehingga ada semacam sikap mental yang tegas pada diri pribadi muslim bahwa;
1. Karena bekerja adalah amanah, maka dia akan bekerja dengan kerinduan dan tujuan
agar pekerjaannya tersebut menghasilkan sesuatu yang optimal.
2. Ada semacam kebahagian dalam melaksanakan pekerjaan, karena dengan bekerja dia
telah melaksanakan amanah Allah.
3. Tumbuh kreativitas untuk mengembangkan dan memperkaya dan memperluas
pekerjaanya.
4. Ada rasa malu hati apabila pekerjaanya tidak dia laksanakan dengan baik, karena hal
ini berarti sebuah pengkhianatan terhadap amanah Allah

III. KESIMPULAN

Pengertian Etos Kerja


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etos artinya pandangan hidup dalam suatu
golongan secara khusus.[10] Sedangkan kata kerja, artinya perbuatan melakukan sesuatu
kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil.[11]
Menurut Franz Magnis dan Suseno berpendapat bahwa etos adalah semangat dan sikap batin
tetap seseorang atau sekelompok orang sejauh di dalamnya termuat tekanan moral dan nilai-
nilai moral tertentu.[12]
Menurut Clifford Geertz berpendapat bahwa etos adalah sebagai sikap yang mendasar
terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup.[13]
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u ‘ulumuddin”, pengertian etos (khuluk) adalah
suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah dengan tidak membutuhkan pemikiran.
Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani; akar katanya adalah
“ethikos”, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno
dan modern, etos punya arti sebagai Karakteristik, sikap, kepercayaan, dan kebiasaan, yang
bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, agama mewajibkan manusia berusaha dengan bekerja
menurut kemampuan yang ada pada dirinya untuk mendapatkan rezeki. Pekerjaan dengan
menjadi peminta-minta dipandang agama sebagai pekerjaan yang merendahkan martabat
manusia.
Islam sangat menyukai umatnya untuk selalu meningkatkan semangat kerja guna mencapai
kehidupan yang layak dan sejahtera dengan cara mempergunakan sebaik-baiknya peluang-
peluang atau kesempatan yang ada, serta tabah dan ulet, tidak mudah putus asa jika ditimpa
kegagalan dalam berusaha, di samping memohon pertolongan kepada Allah.
Keimanan yang kuat merupakan faktor penggerak dalam melahirkan budaya kerja yang pro
aktif dan efektif untuk mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja sesuai dengan kemampuannya. Islam tidak
memandang pekerjaan seseorang itu, baik penghasilannya besar maupun kecil yang
terpenting yaitu keinginan untuk bekerja keras. Sebaliknya, untuk orang yang kuat fisiknya
dan memiliki kecerdasan dalam berpikir tetapi malas untuk bekerja, perbuatan itu sangat
dicela oleh Islam, karena umat Islam memiliki kekuatan dan kedudukan yang mulia di
hadapan Allah SWT.

Penutup

Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok pembahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis berharap para pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada
umumnya.

Anda mungkin juga menyukai