Anda di halaman 1dari 27

TUGAS FARMAKOTERAPI I

BRONKITIS

Disusun oleh:
Kelompok XV
1. Agnes Angelika Lorinanto (516 19 011 249)
2. Eka Mayangsari (503 19 011 096)

Kelas : G Konversi

Dosen Pengampuh : Andi Muhammad Farid, S.Si.,M.Si.,Apt

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan kemudahan dan kesempatan bagi kami untuk dapat menyelesaikan
tugas makalah ini, yang berjudul “Bronkitis”.
Makalah ini dibuat semaksimal mungkin dengan berusaha menghindarkan
dari kesalahan dan kekurangan. Tetapi, kami menyadari, bahwasanya manusia
tidak akan pernah luput dari kesalahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi perbaikan kamian makalah selanjutnya.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan wawasan kepada para
pembaca. Terima kasih.

Makassar, 28 Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................ 2
1.3. Tujuan........................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Bronkitis......................................................................... 3
2.2. Klasifikasi Bronkitis..................................................................... 3
2.3. Etiologi Bronkitis......................................................................... 3
2.4. Faktor Risiko Penyebab Bronkitis................................................ 5
2.5. Tanda dan Gejala Penderita Bronkitis.......................................... 5
2.6. Diagnosis Penyakit Bronkitis....................................................... 6
2.7. Patofisiologi Bronkitis.................................................................. 6
2.8. Manifestasi Klinis Bronkitis......................................................... 7
2.9. Komplikasi Bronkitis................................................................... 7
2.10. Terapi Pengobatan Bronkitis........................................................ 8
BAB III KESIMPULAN..................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Infeksi saluran pernapasan adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal
akibat infeksi saluran napas setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi
saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-
anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan
per kapita rendah dan menengah. Infeksi saluran napas juga merupakan
salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan
kesehatan terutama pada bagian perawatan anak (Darma dkk, 2016).
Pada tahun 2007, di negara berkembang seperti Indonesia, infeksi
saluran pernapasan bawah masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting. Resiko penularan setiap tahun di Indonesia dianggap cukup
tinggi (Rahmawati, 2015). Bronkitis merupakan penyakit infeksi saluran
pernapasan bawah yang ditandai dengan kondisi peradangan pada daerah
trakheobronkial. Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkitis bisa
bersifat akut dan kronis dan dapat terjadi pada semua usia (Cahyati, 2016).
Di Indoensia, yang terinfeksi bronkitis sekitar 1,6 juta orang. Di Amerika
Serikat pada tahun 2007, jumlah anak yang terdiagnosa bronkitis sebanyak
7,6 juta orang (Rahmawati, 2015).

Bronkitis sering kali diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bronkhitis


akut mungkin terjadi pada semua usia, namun bronkhitis kronik umumnya
hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi, penyakit ini dikenal dengan nama
bronkhiolitis. Bronkitis akut umumnya terjadi pada musim dingin, hujan,
kehadiran polutan yang mengiritasi seperti polusi udara dan rokok (Umar
dkk, 2005). Sementara bronkitis kronik sebagian besar disebabkan oleh
bakteri. Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu bakteri yang
menyebabkan bronkitis kronik (Cahyati, 2016). Dampak yang timbul akibat
menderita penyakit bronkitis adalah infeksi saluran napas yang berat dan

1
sering, penyempitan dan penyumbatan bronkus, sulit bernapas, hingga
kematian (Rahmawati, 2015).

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan bronkitis?
2. Jelaskan klasifikasi bronkitis!
3. Jelaskan etiologi bronkitis!

4. Apa saja faktor risiko penyebab bronkitis?


5. Bagaimana tanda dan gejala penderita bronkitis?
6. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit bronkitis?
7. Jelaskan patofiologi bronkitis!
8. Jelaskan manifestasi klinis bronkitis!
9. Jelaskan komplikasi bronkitis yang dapat dijumpai pada pasien!
10. Jelaskan terapi pengobatan bronkitis!

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi bronkitis.
2. Untuk mengetahui klasifikasi bronkitis.
3. Untuk mengetahui etiologi bronkitis.
4. Untuk mengetahui faktor risiko penyebab bronkitis.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala penderita bronkitis.
6. Untuk mengetahui diagnosis penyakit bronkitis.
7. Untuk mengetahui patofisiologi bronkitis.
8. Untuk mengetahui manifestasi klinis bronkitis.
9. Untuk mengetahui komplikasi bronkitis.
10. Untuk mengetahui terapi pengobatan bronkitis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Bronkitis

Bronkitis adalah istilah umum untuk terjadinya infeksi yang


menyebabkan iritasi dan peradangan pada area bronkus di paru-paru.
Bronkus itu sendiri merupakan pipa tabung pernapasan yang merupakan
cabang dari trakea (batang tenggorok) yang membawa oksigen ke paru-paru
baik kanan maupun kiri. Dalam hal ini, dinding bronkus memproduksi
lendiri sebagai mekanisme pertahanan tubuh untuk menangkap debu atau
partikel lain yang dapat menyebabkan iritasi (PP-PDPI, 2018).
Ketika terjadi bronkitis, iritasi dan peradangan membuat dinding
bronkus memproduksi lebih banyak lendiri. Tubuh kemudian akan berusaha
mengeluarkan kelebihan lendir ini melalui mekanisme batuk (PP-PDPI,
2018).

2. Klasifikasi Bronkitis
Menurut Cahyati (2016), bronkitis terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Bronkitis akut, yaitu bronkitis yang biasanya datang dan sembuh hanya
dalam waktu 2 hingga 3 minggu saja. Kebanyakan penderita bronkitis
akut akan sembuh total tanpa masalah yang lain.

b. Bronkitis kronis, yaitu bronkitis yang biasanya datang secara berulang-


ulang dalam jangka waktu yang lama, terutama pada perokok. Bronkitis
kronis ini juga berarti menderita batuk yang disertai dahak dan diderita
selama berbulan-bulan hingga tahunan.

3. Etiologi Bronkitis
Etiologi bronkitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus, seperti
rhinovirus, respiratory syncitial virus (RSV), virus influenza, human
parainfluenza virus, dan Coxsackie virus. Bronkitis adalah suatu peradangan
pada bronkus yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme baik
virus, bakteri, maupun parasit. Bronkitis akut merupakan proses radang akut

3
pada mukosa bronkus beserta cabang-cabagnya yang disertai dengan gejala
batuk dengan atau tanpa sputum dan dapat berlangsung sampai 3 minggu.
Tidak dijumpai kelainan radiologi pada bronkitis akut. Gejala batuk pada
bronkitis akut harus dipastikan tidak berasal dari penyakit saluran
pernapasan lainnya (Cahyati, 2016).
Menurut Cahyati (2016), bronkitis akut dapat disebabkan oleh:
a. Infeksi virus: virus influenza, virus parainfluenza, respiratory syncytial
virus (RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.
b. Infeksi bakteri: Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,
Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri
atipikal (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella).
c. Jamur
d. Noninfeksi: polusi udara, rokok, dan lain-lain.
Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni
sebanyak 90% sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10%.
Sementara bronkitis kronik dan batuk berulang menurut Cahyati (2016)
disebabkan oleh:
a. Asma
b. Infeksi kronik saluran napas bagian atas, misalnya sinobronchitis
c. Infeksi, misalnya bertambahnya kontak dengan virus, infeksi
mycoplasma, chlamydia, pertusis, tuberkulosis, fungi/jamur.
d. Penyakit paru yang telah ada, misalnya bronchiectasis
e. Sindrom aspirasi
f. Penekanan pada saluran napas
g. Benda asing
h. Kelainan jantung bawaan
i. Kelainan sillia primer
j. Defisiensi imunologis
k. Kekurangan alfa-1-antitripsin
l. Fibrosis kistik
m. Psikis

4
Tidak seperti bronkitis akut, bronkitis kronik terus berlanjut dan
merupakan penyakit serius. Merokok adalah penyebab yang paling besar,
tetapi polusi udara dan debu atau gas beracun pada lingkungan atau tempat
kerja juga dapat berkontribusi pada penyakit ini.

4. Faktor Risiko Penyebab Bronkitis


Menurut Umar dkk (2005), faktor risiko terjadinya bronkitis adalah
sebagai berikut.
a. Merokok
b. Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atas
dan menimbulkan batuk kronik.
c. Bronkhiektasi
d. Anomali saluran pernapasan
e. Foreign bodies

f. Aspirasi berulang

5. Tanda dan Gejala Penderita Bronkitis


Menurut Cahyati (2016), tanda dan gejala pada penderita bronkitis,
antara lain:
a. Sesak napas/ dispnea
Sesak napas atau dispnea adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan
gejala yang sering dijumpai pada penderita bronkitis. Tanda objektif
yang dapat diamati dari sesak napas adalah napas yang cepat, terengah-
engah, bernapas dengan bibir tertarik ke dalam (pursed lip), dan
hiperkapnia (meningkatnya kadar karbondioksida dalam darah).
b. Napas berbunyi
Bunyi mengi (weezing) adalah suara pernapasan yang disebabkan oleh
mengalirnya udara melalui saluran napas yang sempit akibat kontriksi
atau ekskresi mukus yang berlebihan.
c. Batuk dan sputum
Batuk adalah gejala paling umum pada penderita bronkitis, seringkali
pada penderita bronkitis mengalami batuk-batuk hampir setiap hari serta

5
pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam
satu tahun dan paling sedikit 2 tahun.
d. Nyeri dada
Nyeri dada sering kali terjadi pada penderita bronkitis karena ada
inflamasi pada bronkus. Pada penderita bronkitis, rasa nyeri di dada
dirasakan dengan tingkat keparahan penyakit.
e. Napas cuping hidung

Pada balita dan anak-anak penderita bronkitis, kadang terjadi adanya


napas cuping hidung, tetapi tidak semua penderita bronkitis mengalami
hal tersebut. Dengan adanya cuping hidung berarti terdapat gangguan
pada sistem pernapasan yang menyebabkan kepayahan dalam bernapas.

6. Diagnosis Penyakit Bronkitis

Diagnosis bronkitis dilakukan dengan cara tes C-reactive protein (CRP)


dengan sensitifitas sebesar 80-100%, namun hanya menunjukkan 60-70%
spesifisitas dalam mengidentifikasi infeksi bakteri. Metode diagnosis lainnya
adalah pemeriksaan sel darah putih, dimana dijumpai peningkatan pada
sekitar 25% kasus. Pulse oksimetri, gas darah arteri dan tes fungsi paru
digunakan untuk mengevaluasi saluran oksigen di udara kamar. Pewarnaan
Gram pada sputum tidak efektif dalam menentukan etiologi maupun respon
terhadap antibiotika (Umar dkk, 2005).

7. Patofiosologi Bronkitis

Bronkitis akut dikarakterisi oleh adanya infeksi pada cabang


trakeobronkial. Infeksi ini menyebabkan hiperemia dan edema pada
membran mukosa yang kemudian menyebabkan peningkatan sekresi dahak
bronkial. Karena adanya perubahan membran mukosa ini, maka terjadi
kerusakan pada epitel saluran napas yang menyebabkan berkurangnya fungsi
pembersihan mukosiliar. Selain itu, peningkatan sekresi dahak bronkial yang
dapat menjadi kental dan liat, makin memperparah gangguan pembersihan
mukosiliar. Perubahan ini bersifat permanen, belum diketahui, namun

6
infeksi pernapasan akut yang berulang dapat berkaitan dengan peningkatan
hiper-reaktivitas saluran napas atau terlibat dalam patogenesis asma atau
PPOK. Pada umumnya, perubahan ini bersifat sementara dan akan kembali
normal jika infeksi sembuh (Cahyati, 2016).

8. Manifestasi Klinis Bronkitis


Menurut Sukandar dkk (2008), manifestasi klinis bronkitis, yaitu:
a. Bronkitis adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan jarang
menyebabkan kematian. Bronkitis akut biasanya diawali dengan infeksi
saluran pernapasan atas. Pasien mengalami gejala yang tidak spesifik,
seperti tidak enak badan dan sakit kepala, ingusan, sakit leher.
b. Batuk adalah penanda bronkitis akut yang terjadi awal dan akan menetap
walaupun keluhan nasal dan nasofaring menghilang. Seringkali,
awalnya, batuk nonproduktif tapi berkembang menghasilkan sputum
yang mukopurulen.
c. Pemeriksaan dada menunjukkan adanya ronki dan bunyi tidak normal
bilateral (rale moist bilateral). Foto sinar X menunjukkn hasil normal.
Kultur bakteri sputum umumnya digunakan secara terbatas karena
ketidakmampuan untuk meniadakan flora normal nasofaring dengan
teknik sampling.

d. Uji deteksi virus dapat digunakan bila diagnosa spesifik dibutuhkan.


Kultur atau diagnosa serologi M. pneumoniae dan kultur atau deteksi Ab
langsung secara fluoresensi untuk B. pertusis seharusnya dilakukan pada
kasus berat dan lama bila perkiraan epidemiologi menunjukkan
keterlibatan patogen tersebut.

9. Komplikasi Bronkitis
Menurut Cahyati (2016), ada beberapa komplikasi bronkitis yang dapat
dijumpai pada pasien, antara lain:
a. Bronkitis kronik
b. Pneumonia dengan atau tanpa atelektaksis.

7
c. Pleuritis
d. Efusi pluera atau emfisema
e. Abses metastasis di otak akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi
supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian.
f. Haemaptoe terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri
pulmonalis), cabang arteri (arteri bronkialis), atau anastomisis pembuluh
darah.
g. Sinusitis
h. Kor pulmonal kronik
i. Kegagalan pernapasan

j. Amiloidosis. Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif dan jarang


terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi ini dapat ditemukan
pembesaran hati dan limpa serta proteinurea.

10. Terapi Pengobatan Bronkitis


a. Terapi Farmakologi
1. Mukolitika dan ekspektoransia
Semua obat golongan ini mengurangi kekentalan dahak,
mukolitika dengan merombak mukoproteinnya dan ekspektoransia
dengan mengencerkan dahak, sehingga pengeluarannya dipermudah.
Obat ini dapat meringankan perasaan sesak napas dan terutama
berguna pada serangan asma hebat yang dapat mematikan bila
sumbatan lendir sedemikian kental tidak dapat dikeluarkan.
Penanganan simtomatis dengan menghirup uap air ppanas dapat
membantu pencairan dahak yang kental sehingga lebih mudah
dikeluarkan. Penderita dianjurkan untuk berbatuk guna
mengeluarkan dahak (Tjay dan Kirana, 2007).
Contoh obat golongan ini adalah asetilsistein. Asetilsistein,
disamping kerja mukolitisnya juga berdaya antioksidan dengan
melindungi jaringan paru terhadap kerusakan. Kerjanya langsung
berkat gugus-thiol bebasnya yang dapat bereaksi dengan gugus

8
elektrofil dari FR reaktif. Juga berdaya antioksidan tak langsung
sebagai prekursor dari glutathion (melalui zat-antara sistein).
Gluthation (GSH), suatu tripeptida dari tiga asam amino (glutamin,
sistein, dan glisin) merupakan antioksidan alamiah esensial yang
terdapat di semua sel hewan. GSH berperan sentral pada berbagai
proses biokimiawi, seperti sintesa dari prekursor DNA, prostaglandin
dan leukotrien serta inaktivasi dari obat-obat tertentu, antara lain
parasetamol. GSH merupakan unsur utama dari cairan-UW yang
digunakan untuk menyimpan organ-organ donor karena dayanya
yang dapat melindungi organ tersebut terhadap kerusakan (Tjay dan
Kirana, 2007).
Resorpsinya dari saluran cerna pesat, tetapi bioavailabilitasnya
hanya kurang lebih 5% akibat FPE yang tinggi. Seperti semua asam
amino, distribusinya dalam tubuh baik dengan mencapai kadar
tinggi, antara lain di saluran napas dan sekret bronchi. Dalam hati
diubah menjadi asam amino sistein, sistin dan taurin yang
ekskresinya berlangsung melalui kemih (Tjay dan Kirana, 2007).
Mekanisme kerja asetilsisten adalah daya pelindung asetilsistein
berdasarkan atas peningkatan persediaan GSH selain memperkuat
aktivitas antioksidan alamiah lain, antara lain dismutase. Begitupula
asetilsistein sendiri dapat pula ‘melahap’ FR dan mengurangi
produksi FR oleh makrofag alveoler akibat asap rokok. Akhirnya
asetilsistein juga mencegah inaktivasi oksidatif dari anti elastase,
yang melindungi alveoli terhadap elastase. Karena itu, elastase tak
dimungkinkan merombak dinding alveoli, sehingga timbulnya dan
progresi emfisema dihentikan (Tjay dan Kirana, 2007).
Berkat kerja antioksidannya, asetilsistein yang dikombinasikan
dengan bronkodilator pada COPD berdaya mengurangi frekuensi
eksaserbasi dan keluhan (batik, banyaknya dan viskositas dahak),
terutama pada pasien diatas 50 tahun. Selain itu, dahak kental
dicairkan dan produksinya dikurangi. Asetilsistein juga merupakan

9
zat penawar (antidotum) terhadap keracunan parasetamol
berdasarkan peningkatan persediaan glutathion. Zat ini berdaya
mengikat metabolit toksis dari parasetamol dan dengan demikian
dapat menghindari nekrosis hati bila diberikan dalam waktu 10 jam
(peroral atau i.v) setelah terjadinya intoksikasi (Tjay dan Kirana,
2007).
Efek samping yang paling sering terjadi adalah mual dan muntah,
maka penderita tukak lambung perlu waspada. Sebagai obat inhalasi,
dapat menimbulkan kejang-kejang bronchi pada penderita asma.
Pada dosis tinggi dapat timbul reaksi anafilaktis dengan rash, gatal,
udema, hipotensi dan bronkospasme (Tjay dan Kirana, 2007).
Dosisnya secara oral yaitu 3-6 kali sehari 200 mg atau 1-2 kali
sehari 600 mg granulat. Pada anak-anak 2-7 tahun: 2 kali sehari 200
mg, dibawah 2 tahun: 2 kali sehari 100 mg (Tjay dan Kirana, 2007).
2. Antiinflamasi Non Steroid (AINS)
AINS berkhasiat analgetis, antipiretis serta antiradang
(antiflogistis). Obat ini juga efektif terhadap peradangan lain akibat
trauma (pukulan, benturan, kecelakaan), juga misalnya setelah
pembedahan, atau pada memar akibat olahraga. Juga digunakan
untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini mungkin dalam
dosis yang cukup tinggi (Tjay dan Kirana, 2007).
Cara kerja AINS untuk sebagian besar berdasarkan hambatan
sintesa prostaglandin, dimana kedua jenis cyclo-oxygenase diblokir.
AINS ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan
tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung), dan menghambat
lipooxygenase (pembentukan leukotrien) (Tjay dan Kirana, 2007).
Contoh obat golongan ini adalah ibuprofen. Obat pertama dari
kelompok propionat ini adalah AINS yang paling banyak digunakan
karena efek sampingnya yang relatif ringan. Zat ini merupakan
campuran rasemis, dengan bentuk dextro yang aktif. Daya analgetis
dan antiradangnya cukup baik. Resorpsinya dari usus cepat dan baik

10
(kurang lebih 80%), waktu paruhnya kurang lebih 2 jam dan ekskresi
berlangusng terutama sebagai metabolit dan konjugatnya. Dosis
permulaan untuk nyeri dan demam pada dewasa adalah 400 mg
setelah makan, lalu 3-4 kali sehari 200-400 mg. Demam pada anak-
anak 6-12 bulan: 3 kali sehari 50 mg, 1-3 tahun: 3-4 kali sehari 50
mg, 4-8 tahun: 3-4 kali sehari 100 mg, 9-12 tahun : 3-4 kali sehari
200 mg (Tjay dan Kirana, 2007).
3. Kortikosteroida
Kortikosteroida berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti
peradangan dan gatal-gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blokade
enzim fosfolipase-A2, sehingga pembentukan mediator peradangan
prostaglandin dan leukotrien dari asam arakidonat tidak terjadi.
Lagipula pelepasan asam ini oleh mastcells juga dirintangi.
Singkatnya, kortikosteroida menghambat mekanisme kegiatan
alergen yang melalui IgE dapat menyebabkan degranulasi mastcells,
juga meningkatkan kepekaan reseptor β2 hungga efek β-mimetika
diperkuat (Tjay dan Kirana, 2007).
Penggunaannya terutama bermanfaat pada serangan asma akibat
infeksi virus pada serangan asma akibat infeksi virus, selain itu juga
pada infeksi bakteri untuk melawan reaksi peradangan. Pada reaksi
alergi lambat juga efektif. Untuk mengurangi hiperreaktivitas
bronchi, zat-zat ini dapat diberikan per inhalasi atau peroral. Dalam
kasus gawat dan status asthmaticus (kejang bronchi), obat ini
diberikan secara i.v, kemudian disusul pemberian oral (Tjay dan
Kirana, 2007).
Contoh obat golongan ini, yaitu hidrokortison, prednisolon,
deksametason. obat ini hanya diberikan peroral pada asma parah
yang tidak dapat dikendalikan dengan obat asma lainnya. Guna
menghindari supresi anak-ginjal, biasanya obat diberikan sebagai
suatu kur singkat dari 2 dan maksimal 3 minggu pada status
asthmaticus, hidrokortison digunakan sebagai injeksi i.v dalam dosis

11
tinggi. Ternyata bahwa obat ini memperkuat efek adrenergika dan
teofilin, juga dapat mengurangi sekresi dahak (Tjay dan Kirana,
2007).
Efek sampingnya yang terpenting adalah gejala Cushing
(osteoporosis, moonface, hipertrichosis, impotensi dan lain-lain)
serta penekanan fungsi anak ginjal (Tjay dan Kirana, 2007).
Dosis penggunaan prednisolon unuk kur singkat 25-40 mg
sesudah makan pagi yang setiap dua hari dikurangi dengan 5 mg
sampai kur selesai dalam waktu 2-3 minggu. Untuk pemeliharaan, 5-
10 mg prednisolon setiap 48 jam, deksametason setiap hari 0,5
mg.kemudian terapi dilanjutkan dengan suatu ICS. Bila kambuh lagi
biasanya serangan asma hebat atau terjadi infeksi, perlu dijalani kur
kembali (Tjay dan Kirana, 2007).
a) Kortikosteroid inhalasi (ICS)
Pada COPD, kortikosteroida inhalasi kini digunakan sebagai
obat yang setaraf dengan zat bronkodilator, bahkan lebih penting
untuk memperlambat memperburuknya penyakit.
Penggunaannya secara tracheal (melalui tenggorok) sebagai dosis
aerosol dan juga secara nasal (melalui hidung) untuk profilaksis
dan terapi rhinits alergi (Tjay dan Kirana, 2007).
Contoh obat golongan ini adalah budesonida. Derivat tanpa
atom halogen ini memiliki efek lokal yang dua kali lebih kuat
daripada beklometason karena tidak diinaktivasi di paru-paru dan
kulit. Dari dosis inhalasi, 10-30% mengendap di paru-paru.
Efeknya baru nyata setelah 10 hari dan mencapai puncaknya
setelah beberapa minggu. Obat yang diberikan per oral diserap
dan dengan pesat dirombak untuk 90% dalam hati. Untuk
menghindari infeksi Candida, juga perlu berkumur setiap kali
setelah inhalasi. Dosis secara tracheal yaitu 2 kali sehari 2 puff
dari 200 mcg, intranasal 2 kali sehari 1 puff (Rhinocort) (Tjay
dan Kirana, 2007).

12
4. Bronkodilator
a) Agonis β-adrenergik (β-mimetika)
Zat-zat ini bekerja kurang lebih selektif terhadap reseptor β2
adrenergik (bronchospasmolysis) dan praktis tidak terhadap
reseptor β1 (stimulasi jantung). Obat dengan efek terhadap kedua
reseptor sebaiknya jangan digunaka lagi berhubung efeknya
terhadap jantung (Tjay dan Kirana, 2007).
Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor β2
yang banyak terdapat di trachea (batang tenggorok) dan bronchi,
yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini
memperkuat pengubahan adenosintrifosfat (ATP) yang kaya
enersi menjadi cyclin-adenosine-monophosphate (cAMP) dengan
pembebasan enersi yang digunakan untuk proses-proses dalam
sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan
beberapa efek melalui enzim fosfokinase, antara lain
bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh
mastcells (Tjay dan Kirana, 2007).
Penggunaannya semula sebagai monoterapi kontinu, yang
ternyata secara berangsur meningkatkan HRB (hypereactive
bronchus) dan akhirnya memperburuk fungsi paru karena tidak
menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi
alergen pada pasien alergis. Oleh karena itu, sejak beberapa
tahun hanya digunakan untuk melawan serangan dan sebagai
pemeliharaan dalam kombinasi dengan zat antiradang, yaitu
kortikosteroida inhalasi (Tjay dan Kirana, 2007).
Contoh agonis β-adrenergik adalah salmaterol. Senyawa
long-acting ini kerjanya cepat (setelah 10-20 menit) dan bertahan
selama minimal 12 jam. Pada asma bronchial perlu dikombinasi
dengan kortikoida inhalasi. Bila perlu dapat diberikan bersama
obat asma kerja-singkat (salbutamol) atau dengan suatu
antikolinergikum (ipratropium, tiotropium). Dosis pemeliharan,

13
yaitu 2 kali sehari 50 mcg, pada COPD hebat: 2 kali sehari 100
mcg; anak-anak diatas 4 tahun: 2 kali sehari 50 mcg (Tjay dan
Kirana, 2007).
b) Antikolinergika
Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara
sistem adrenergis dan sistem kolinergis. Bila karena sesuatu
sebab reseptor β2 dari sistem adrenergis terhambat, maka sistem
kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronchokonstriksi.
Antikolinergika memblok reseptor muskarin dari saraf-saraf
kolinergis di otot polos bronchi hingga aktivitas saraf adrenergis
menjadi dominan dengan efek bronchodilatasi (Tjay dan Kirana,
2007).
Penggunaannya terutama untuk terapi pemeliharaan HRB,
tetapi juga berguna untuk meniadakan serangan asma akut
(melalui inhalasi dengan efek pesat). Ipratropium dan tiotropium
khusus digunakan sebagai inhalasi, kerjanya lebih penjang
daripada salbutamol. Kombinasinya dengan β2-mimetika
seringkali digunakan karena menghasilkan efek aditif. Detropin
berdaya mengurangi HRB tetapi kerja spasmolitisnya ringan,
sehingga diperlukan dosis tinggi dengan risiko efek samping
yang lebih tinggi pula. Adakalanya senyawa ini masih digunakan
pada anak-anak dengan hipersekresi dahak yang belum mampu
diberikan terapi inhalasi (Tjay dan Kirana, 2007).
Contoh antikolinergika adalah ipratropium. Derivat-N-propil
dari atropin ini adalah antagonis muskarin dan berkhasiat
bronchodilatasi karena menghindari pembentukan cGMP yang
menimbulkan konstriksi. Ipratropin berdaya mengurangi
hipersekresi di broncho, yakni ‘efek mengeringkan’ dari obat
antikolinergika, maka amat efektif pada pasien yang
mengeluarkan banyak dahak. Khususnya digunakan sebagai
inhalasi; efeknya dimulai lebih lambat (15 menit) daripada β2-

14
mimetika. Efek maksimalnya dicapai setelah 1-2 jam dan
bertahan rata-rata 6 jam. Sangat efektif sebagai obat pencegah
dan pemeliharaan, terutama pada bronchitis kronis. Kini zat ini
tidak lagi digunakan sebagai monoterapi (pemeliharaan),
melainkan selalu bersama kortikosteroida-inhasi. Kombinasinya
dengan β2-mimetika memperkuat efeknya (Tjay dan Kirana,
2007).
Resorpsinya secara oral buruk. Secara tracheal hanya bekerja
setempat dan praktis tidak diserap. Keuntungannya ialah zat ini
juga dapat digunakan oleh pasien jantung yang tidak tahan
terhadap adrenergika. Efek sampingnya jarang terjadi dan
biasanya berupa mulut kering, mual, nyeri kepala, dan pusing.
Dosisnya, yaitu inhalasi 3-4 kali sehari 2 semprotan dari 20 mcg
(Tjay dan Kirana, 2007).
c) Derivat-ksantin
Daya bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade
reseptor adenosin. Selain itu, teofilin seperti kromoglikat
mencegah meningkatnya hiperreaktivitas dan berdasarkan ini
bekerja profilaktis (Tjay dan Kirana, 2007).
Contoh derivat-ksantin adalah teofilin. Alkaloida ini memiliki
sejumlah khasiat, antara lain berdaya spasmolitis terhadap otot
polos, khususnya otot bronchi, menstimulasi jantung (efek
inotrop positif) dan mendilatasinya. Teofilin juga menstimulasi
SSP dan pernapasan, serta bekerja diuretis lemah dan singkat.
Efek bronchodilatasinya tidak berkorelasi baik dengan dosis,
tetapi memperlihatkan hubungan jelas dengan kadar darahnya
(dan kadar di air liur). Luas terapeutiknya sempit, artinya dosis
efektifnya terletak berdekatan dengan dosis toksisnya. Untuk
efek optimal diperlukan kadar dalam darah dari 10-15 mcg/ml,
sedangkan pada 20 mcg/ml sudah terjadi efek toksis. Oleh karena
itu, dianjurkan untuk menetapkan dosis secara invidual atas

15
tuntunan kadar dalam darah. Hal ini terutama perlu dilakukan
pada anak-anak dibawah 2 tahun dan manula diatas 60 tahun
yang sangat peka terhadap overdose, juga pada pasein gangguan
hati dan ginjal (Tjay dan Kirana, 2007).
Resorpsinya di usus buruk dan tidak teratur. Akan tetapi pada
tahun 1970-an diketahui bahwa resorpsi dapat menjadi lebih
sempurna jika digunakan dalam bentuk serbuk microfine
(besarnya partikel 5-10 mikron). Juga pada penggunaan sebagai
larutan, yang seperlunya ditambahkan alkohol 20%. Waktu
paruhnya 3-7 jam, ekskresinya berlangsung sebagai asam
metilurat lewat kemih dan hanya 10% dalam keadaan utuh.
Teofilin sebaiknya digunakan sebagai sediaan sustained release
yang memberikan resorpsi konstan dan kadar dalam darah yang
lebih teratur. Efek sampingnya yang terpenting berupa mual dan
muntah, baik pada penggunaan oral maupun rektal parenteral.
Pada overdose terjadi efek sentral (gelisah, sukar tidur, tremor,
konvulsi) serta gangguan pernapasan, juga efek kardiovaskuler,
seperti takikardia, aritmia, dan hipotensi. Anak-anak sangat peka
terhadap efek samping teofilin. Dosis penggunaannya, yaitu 3-4
kali sehari 125-250 mg microfine (retard) (Tjay dan Kirana,
2007).
5. Antibiotik
a) Penicilin
Penicilin merupakan derivat β-laktam tertua yang memiliki
aksi bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis
dinding sel bakteri. Masalah resistensi akibat penicilinase
mendorong lahirnya terobosan dengan ditemukannya derivat
penicilin, seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yang dapat
diberikan oral, karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap
Pseudomonas sp. Namun hanya fenoksimetilpenicilin yang
dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama penicilin

16
V. Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin meliputi
terhadap Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae
serta aksi yang kurang kuat terhadap Enterococcus faecalis.
Aktivitas terhadap bakteri Gram negatif sama sekali tidak
dimiliki. Antibiotika ini diabsorbsi sekitar 60-73%,
didistribusikan hingga ke cairan ASI sehingga waspada
pemberian pada ibu menyusui. Antibiotika ini memiliki waktu
paruh 30 menit, namun memanjang pada pasien dengan gagal
ginjal berat, sehingga interval pemberian 250 mg setiap 6 jam
(Umar, 2005).
Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya
derivat penicilin yang berspektrum luas seperti golongan
aminopenicilin (amoksisilin) yang mencakup E. coli,
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan
gugus β-laktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas
cakupan hingga Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis.
Sehingga saat ini, amoksisilin-kalvulanat merupakan alternatif
bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi alternatif lain setelah
resisten dengan amoksisilin. Profil farmakokinetik dari
amoksisilin-klavulanat antara lain bahwa absorpsi hampir
komplit tidak dipengaruhi makanan. Obat ini terdistribusi baik ke
seluruh cairan tubuh dan tulang bahkan dapat menembus blood
brain barrier, namun penetrasinya ke dalam sel mata sangat
kurang. Metabolisme obat ini terjadi di liver secara parsial.
Waktu paruh sangat bervariasi, untuk itu perlu penyesuaian dosis
(Umar, 2005).
b) Cefalosporin
Merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum
aktivitas bervariasi tergantung generasinya. Saat ini ada empat
generasi cefalosporin. Cefotaksim pada generasi tiga memiliki

17
aktivitas yang paling luas diantara generasinya, yaitu mencakup
pula Pseudomonas aeruginosa, B. fragilis meskipun lemah.
Cefalosporin yang memiliki aktivitas yang kuat terhadap
Pseudomonas aeruginosa adalah ceftazidime setara dengan
cefalosporin generasi keempat, namun aksinya terhadap bakteri
Gram positif lemah. Spektrum aktivitas generasi keempat sangat
kuat terhadap bakteri Gram positif maupun negatif, bahkan
terhadap Pseudomonas aeruginosa sekalipun, namun tidak
terhadap B. fragilis (Umar, 2005).
Mekanisme kerja golongan cefalosporin sama seperti β-
laktam lain, yaitu berikatan dengan penicilin protein binding
(PBP) yang terletak di dalam maupun di permukaan membran sel
sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak
pada kematian bakteri (Umar, 2005).
c) Makrolida
Eritromisin merupakan prototipe golongan ini sejak
ditemukan pertama kali pada tahun 1952. Komponen lain
golongan makrolida merupakan derivat sintetik dari eritromisin
yang struktur tambahannya bervariasi antara 14-16 cincin lakton.
Derivat makrolida tersebut terdiri dari spiramysin, midekamisin,
roksitromisin, azitromisin, dan klaritromisin (Umar, 2005).
Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum
meliputi Gram positif coccus seperti Staphylococcus aureus,
koagulase-negatif staphylococci, streptococci β-hemolitik, H.
influenzae, Neisseria sp., Bordetella sp., Corynebacterium sp.,
Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan Legionella sp.
Azitromisin memiliki aktivitas yang lebih poten terhadap Gram
negatif, volume distribusi yang lebih luas serta waktu paruh yang
lebih panjang. Klaritromisin memiliki fitur farmakokinetika yang
meningkat (waktu paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke
jaringan lebih besar) serta peningkatan aktivitas terhadap H.

18
influenzae dan Legionella pneumophila. Sedangkan roksitromisin
memiliki aktivitas setara dengan eritromisin, namun profil
farmakokinetiknya mengalami peningkatan sehingga lebih dipilih
untuk infeksi saluran pernapasan. Hampir semua komponen baru
golongan makrolida memiliki tolerabilitas profil keamanan lebih
baik dibandingkan dengan eritromisin. Lebih jauh lagi, derivat
baru tersebut bisa diberikan satu atau dua kali sehari, sehingga
dapat meningkatkan kepatuhan pasien (Umar, 2005).

d) Quinolon
Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral yang
memberikan pengaruh dramatis dalam terapi infeksi. Dari
prototipe awal, yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi asam
pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin. Generasi
awal mempunyai peran dalam terapi Gram negatif infeksi saluran
kemih. Generasi berikutnya, yaitu generasi kedua terdiri dari
perfloksasin, enoksasin, ciproflosasin, sparfloksasin,
lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih
luas untuk terapi infeksi community-acquired maupun infeksi
nosokomial. Lebih jauh lagi, ciprofloksasin, ofloksasin,
pefloksasin tersedia sebagai preparat parenteral yang
memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun
kombinasi dengan agen lain (Umar, 2005).
Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah
dengan menghambat DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba
meliputi Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, Staphylococci,
Enterococci, Streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob
pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan
generasi ketiga quinolon seperti levofloksasin, gatifloksasin,
moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B. fragilis,
anaerob lain dan Gram positif baru muncul pada generasi

19
keempat, yaitu trovafloksasin. Modifikasi struktur quinolon
menghasilkan aktivitas terhadap mycobacteria sehingga
digunakan untuk terapi TB yang resisten, lepra, prostatitis kronik,
infeksi kutaneus kronik pada pasien diabetes (Umar, 2005).
Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama
bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang.
Sebagai contoh, ciprofloksasin memiliki bioavailabilitas berkisar
50-70%, waktu paruh 3-4 jam, serta konsentrasi puncak sebesar
1,51-2,91 mg/L setelah pemberian dosis 500 mg. Sedangkan
ofloksasin memiliki bioavailabilitas 95-100% dengan waktu
paruh 5-8 jam, serta konsentrasi puncak 2-3 mg/L paska
pemberian dosis 400 mg. Perbedaan diantara quinolon, selain
pada spektrum aktivitasnya, juga pada tolerabilitas dan
interaksinya dengan teofilin, antasida, H2-Bloker, antikolinergik,
serta profil keamanan secara umum (Umar, 2005).
e) Sulfonamida
Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang
masih digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak
digunakan adalah sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan
trimetoprim yang lebih dikenal dengan nama kotrimoksazol.
Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan menghambat
sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi
asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat
enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat
sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi
infeksi community-acquired seperti sinusitis, otitis media akut,
infeksi saluran kemih (Umar, 2005).
Aktivitas antimikroba yang dimliki kontrimoksazol meliputi
kuman Gram negatif, seperti E. coli, Klebsiella, Enterobacter sp.,
M. morganii, P. mirabilis, P. vulgaris, H. influenzae, Salmonella

20
serta Gram positif seperti S. pneumoniae, Pneumocystis carinii,
serta parasit seperti Nocardia sp. (Umar, 2005).
b. Terapi Non Farmakologi
Menurut Darma dkk (2016), terapi non farmakologi yang dapat
dilakukan oleh penderita bronkitis, yaitu:
1. Banyak beristirahat
2. Banyak mengkonsumsi air
3. Olahraga ringan da teratur agar sistem pernapasan bekerja lebih
efisien dan optimal
4. Menghirup uap air hangat. Hal ini dapat meredakan batuk dan
mengencerkan lendir di saluran pernapasan.
5. Mencegah iritan pada paru-paru, contohnya berhenti merokok dan
menghindari asap rokok, menggunakan masker ketika melakukan
aktivitas di luar rumah.

21
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan:


1. Bronkitis adalah istilah umum untuk terjadinya infeksi yang menyebabkan
iritasi dan peradangan pada area bronkus di paru-paru.
2. Bronkitis diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bronkitis akut dan bronkitis
kronis.
3. Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus yang disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme baik virus, bakteri, maupun parasit.
4. Faktor risiko terjadinya bronkitis, antara lain merokok, Infeksi sinus,
bronkhiektasi, anomali saluran pernapasan, foreign bodies, dan aspirasi
berulang.
5. Tanda dan gejala pada penderita bronkitis, yaitu sesak napas/dispnea, nafas
berbunyi, batuk dan sputum, nyeri dada, dan napas cuping hidung.
6. Diagnosis bronkitis dilakukan dengan cara tes C-reactive protein (CRP),
pemeriksaan sel darah putih, pulse oksimetri, gas darah arteri, dan tes fugsi
paru.
7. Bronkitis akut dikarakterisi oleh adanya infeksi pada cabang trakeobronkial.
Infeksi ini menyebabkan hiperemia dan edema pada membran mukosa yang
kemudian menyebabkan peningkatan sekresi dahak bronkial. Karena adanya
perubahan membran mukosa ini, maka terjadi kerusakan pada epitel saluran
napas yang menyebabkan berkurangnya fungsi pembersihan mukosiliar.

22
Selain itu, peningkatan sekresi dahak bronkial yang dapat menjadi kental dan
liat, makin memperparah gangguan pembersihan mukosiliar.
8. Manifestasi klinis bronkitis, yaitu bronkitis adalah penyakit yang dapat
sembuh sendiri dan jarang menyebabkan kematian, batuk adalah penanda
bronkitis akut yang terjadi awal dan akan menetap walaupun keluhan nasal
dan nasofaring menghilang, pemeriksaan dada menunjukkan adanya ronki dan
bunyi tidak normal bilateral (rale moist bilateral) serta foto sinar X
menunjukkan hasil normal, uji deteksi virus dapat digunakan bila diagnosa
spesifik dibutuhkan.
9. Beberapa komplikasi bronkitis yang dapat dijumpai pada pasien, antara lain
bronkitis kronik, pneumonia dengan atau tanpa atelektaksis, pleuritis, efusi
pleura atau emfisema, abses metastasis di otak, haemaptoe, sinusitis, kor
pulmonal kronik, kegagalan pernapasan, dan amiloidosis.
10. Terapi pengobatan bronkitis terbagi menjadi dua, yaitu terapi farmakologi
(mukolitika dan ekspektoransia, antiinflamasi non steroid kortikosteroid,
bronkodilator, antibiotik) dan terapi non farmakologi (banyak beristirahat,
banyak mengkonsumsi air, olahraga ringan, menghirup uap air hangat,
mencegah iritan pada paru-paru).

23
DAFTAR PUSTAKA

Cahyati. 2016. Hubungan Jenis, Lama dan Jumlah Batang Rokok dengan
Kejadian Bronkhitis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Skripsi. Univeristas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto.
Darma, Leti Lisnawati dkk. 2016. Makalah Farmakoterapi Lanjutan Bronkhitis
Akut. Universitas Halu Oleo. Kendari.
PP-PDPI. 2018. Ayo Kenali Penyakit Bronkitis dan Cara Pencegahannya.
http://www.klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=8596. Diakses pada
tanggal 28 Mei 2020.
Rahmawati, Hesti Kusuma. 2015. Asuhan Keperawatan pada An. Y dengan
Gangguan Sistem Pernapasan: Bronkitis di Ruang Anggrek 8 RSUD
Surakarta. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.
Sukandar, Elin Yulinah dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan.
Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Umar, Fatimah dkk. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai