Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daging Ayam

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil

pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak

menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2009).

Daging merupakan komponen utama karkas, dimana karkas juga tersusun dari

lemak jaringan adipose, tulang, tulang rawan, jaringan ikat, dan tendo.

Komponen-komponen tersebut menentukan ciri-ciri kualitas dan kuantitas daging

(Soeparno,2009). Daging unggas merupakan sumber protein hewani yang baik,

karena kandungan asam amino esensialnya lengkap. Serat dagingnya juga pendek

dan lunak, sehingga mudah dicerna. Banyaknya kalori yang dihasilkan daging

unggas lebih rendah dibandingkan dengan nilai kalori daging sapi atau babi.

Karenanya daging unggas dapat digunakan untuk menjaga berat badan, orang

yang baru dalam tahap penyembuhan dan orang tua yang tidak aktif bekerja lagi

(Koswara, 2009).

Karkas ayam pedaging adalah bagian dari ayam hidup, setelah dipotong,

dihilangkan bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong

kepala dan leher serta kedua kakinya (ceker) (SNI 01-3924-1995). Berdasarkan

cara penanganannya, karkas ayam broiler dibedakan menjadi :

a) Karkas segar, yaitu karkas yang baru selesai diproses selama tidak lebih

dari 6 jam dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut.


b) Karkas dingin segar, yaitu karkas segar yang segera didinginkan setelah

selesai diproses sehingga suhu di dalam daging menjadi antara 4-5C.

c) Karkas beku, yaitu karkas yang telah mengalami proses pembekuan cepat

atau lambat dengan suhu penyimpanan antara 12 oC sampai dengan 18 oC.

Bobot karkas individual ditentukan oleh bobot karkas itu sendiri,

berdasarkan pembagiannya dibedakan menjadi : (a) ukuran kecil 0,8-1 kg, (b)

ukuran sedang 1-1,3 kg, dan (c) ukuran besar 1,2-1,5 kg (SNI 01-3924-1995).

Menurut Mc Nitt (1983), persentase bobot karkas ayam broiler yang normal

berkisar antara 65-75% dari bobot hidup. Persyaratan karkas yaitu: (1)

Menggunakan ayam hidup yang sehat, sesuai dengan ketentuan peraturan yang

berlaku. (2) Pemotongan dilakukan ditempat yang bersih, cukup air berasal dari

sumber berkualitas baik dan khusus. (3) Pengeluaran darah (bleeding) harus tuntas

sehingga ayam benar-benar mati. (4) Sebelum pencabutan bulu ayam diseduh

(scalding) dengan temperatur 52o – 60oC selama 3 – 5 menit. (5) Setelah

dilakukan pencabutan bulu, kemudian karkas ayam dicuci dengan air yang

mengalir atau didinginkan (chiling) dengan temperatur 0 – 5oC. (6) Pemeriksaan

kesehatan terhadap karkas dilakukan sebelum jeroan dipisahkan dari tubuh oleh

petugas yang berwenang. (7) Setelah pemeriksaan dan pencucian, karkas

didinginkan (SNI 01-3924-1995).

2.1.1 Komposisi daging ayam

Menurut Muchtadi dan Sugiyono dalam Harjanto (2006), menyatakan

bahwa sebagai bahan pangan, daging unggas tersusun atas komponen-komponen

bahan pangan seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, air, mineral dan
pigmen. Kadar masing-masing komponen tersebut berbeda-beda besarnya

tergantung kepada jenis atau ras, umur dan jenis kelamin unggas yang

bersangkutan. Bahkan pada daging unggas yang sama setiap komponen kadarnya

berbeda-beda antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Amrullah (2002)

menyatakan bahwa bila persentase lemak dalam karkas broiler meningkat maka

kandungan air tubuh berkurang. Bobot air tubuh dan lemak berkisar dari 76

hingga 79% dari bobot hidup dewasa. Pada suhu 32,2 °C, 12% akan berupa lemak

dan 66% adalah air. Coetzee dan Hoffman (2002) menyebutkan bahwa

penggunaan jenis asam lemak yang berbeda tidak mempengaruhi kadar protein

daging. Mutu protein ditentukan dari perbandingan asam-asam amino yang

terkandung dalam protein tersebut. Protein hewani menyediakan asam-asam

amino esensial dalam jumlah yang lengkap sehingga disebut protein dengan mutu

tinggi (Winarno, 1997).

2.2 Proses Pemotongan

Karkas ayam ras dan buras mempunyai karakteristik penampakan yang

berbeda. Karkas ayam ras biasanya lebih seragam dalam ukuran dan memiliki

daging lebih banyak dibandingkan karkas ayam buras. Yang dimaksud dengan

karkas adalah bagian dari tubuh unggas tanpa darah, bulu, kepala, kaki dan organ

dalam (Soeparno, 2009). Komponen karkas adalah otot, tulang, lemak dan kulit.

Karkas ayam merupakan bentuk keseluruhan ayam potong tanpa bulu, kepala,

kaki dan jeroan.

Karkas unggas khususnya ayam merupakan bentuk komoditi yang paling

banyak dan umum diperdagangkan. Karkas ayam adalah produk keluaran proses
pemotongan, biasanya dihasilkan setelah melalui tahap pemeriksaan ayam hidup,

penyembelihan, penuntasan darah, penyeduhan, pencabutan bulu dan dressing

(pemotongan kaki, pengambilan jeroan, pencucian) (Koswara, 2009). Adapun

penjelasan tahapan tersebut menurut Koswara (2009) adalah :

a. Pemeriksaan Ayam Hidup

Inspeksi ante-mortem pada ayam hidup bertujuan untuk memeriksa kesehatan

ayam. Hanya ayam yang benar-benar sehat yang dipilihara sebagai ayam

potong. Ayam hidup yang umum dipotong berumur antara 4 – 12 minggu

dengan berat 1,4 – 1,7 kg/ekor. Sebelum ayam disembelih sebaiknya ayam

pedaging tidak diberi makan selama lebih kurang 3 jam untuk memudahkan

pembersihan isi perut.

b. Penyembelihan

Pemotongan ayam dilakukan dengan cara memotong Vena jugularis dan Arteri

carotis di dasar rahang. Terkadang dilakukan dengan cara menusuk bagian

otak diarahkan pada Medula ablongata dengan pisau kecil. Terdapat beberapa

cara penyembelihan mulai dari cara pemenggalan leher yang sederhana sampai

metode Konsher yang dimodifikasi cara modern. Cara Konsher dengan

memotong pembuluh darah, jalan makanan dan jalan nafas. Sedangkan cara

Konsher modifikasi dilakukan dengan memotong hanya pembuluh darah

(dipingsankan terlebih dahulu), pemutusan saluran darah (vena dan arteri),

kerongkongan dan tenggorokan, serta hewan dalam keadaan sehat.


c. Penuntasan Darah

Penuntasan darah harus dilakukan dengan sempurna karena dapat

mempengaruhi mutu daging unggas. Penuntasan darah pada pemotongan

unggas yang modern dilakukan dengan cara unggas yang disembelih digantung

pada gantungan. Pengeluaran darah sebaiknya dilakukan secara tuntas atau

sekitar 50 - 70 detik sehingga ayam kehilangan sekitar 4 persen dari berat

badannya.

d. Penyeduhan

Penyeduhan atau perendaham dalam air panas dilakukan dengan tujuan untuk

memudahkan proses pencabutan pada tahap berikutnya karena kolagen yang

mengikat bulu sudah terakogulasi. Suhu dan waktu perendaman yang

digunakan 54,5oC selama 60–120 detik. Perendaman terlalu lama

menyebabkan kulit menjadi gosong atau coklat.

e. Pencabutan Bulu

Tahap pencabutan bulu meliputi penghilangan bulu besar, bulu halus dan bulu

seperti rambut. Pencabutan bulu besar dilakukan secara mekanis dari dua arah,

yaitu depan dan belakang. Sedangkan pencabutan bulu halus dan bulu rambut

umumnya dilakukan dengan metode wax picking, yaitu dengan pelapisan lilin.

Metode pelapisan lilin dilakukan pada unggas yang telah mengalami

penyeduhan dilapisi lilin dengan cara merendamnya dalam cairan lilin. Setelah

cukup terlapisi unggas diangkat dan dikeringkan sehingga lapisan lilin menjadi

mengeras padat. Dengan demikian bulu-bulu yang ada pada karkas akan ikut

terlepas bila lapisan lilin yang telah mengeras dilepaskan.


f. Dressing

Tahap dressing meliputi pemotongan kaki, pengambilan jeroan dan pencucian.

Dengan membuat irisan lobang yang cukup besar dari bagian bawah anus,

seluruh isi perut ditarik keluar termasuk jaringan pengikat paru-paru, hati dan

jantung. Pengambilan jeroan dilakukan dengan cara memasukkan tangan ke

dalam rongga perut dan menarik seluruh isi perut keluar. Pencucian bertujuan

untuk menghilangkan kotoran ternak unggas yang masih tertinggal di bagian

dalam permukaan karkas.

2.3 Perubahan Fisik dan Kimia Daging

2.3.1 Nilai pH daging

Jaringan otot hewan pada saat masih hidup mempunyai pH pada kisaran 7,2

sampai 7,4 dan akan menurun setelah pemotongan (Foegeding et al. 1996), karena

mengalami glikolisis dan dihasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH

(Lawrie, 2003). Hasil penelitian Duna et al. (1993) bahwa rata-rata pH awal otot

dada broiler 7,09 kemudian menurun menjadi 5,94 yaitu pada enam jam

postmortem.

Penurunan pH akan mempengaruhi sifat fisik daging. Laju penurunan pH

otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air, karena

meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan

memeras cairan keluar dari dalam daging. Suhu tinggi juga dapat mempercepat

penurunan pH otot pascamortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena

meningkatnya denaturasi protein otot (Lawrie, 2003). Penurunan kapasitas

mengikat air ini dapat diketahui dengan mengukur eksudasi cairan pada daging
mentah atau kerut pada daging masak, sebaliknya pada pH akhir yang tinggi dapat

menyebabkan daging berwarna gelap dan permukaan daging menjadi sangat

kering karena cairan daging terikat secara erat dengan protein (Foegeding et al.,

1996).

Menurut Boulianne dan King (1998) cekaman suhu dan kepadatan selama

proses perjalanan pengangkutan ternak yang mengakibatkan pengaruh negatif

terhadap proses fisiologi dalam tubuh ternak, hingga menyebabkan kematian

ternak yang akan dipotong akan menurunkan jumlah kandungan glikogen dalam

otot. Akibat dari keadaan ini pembentukan asam piruvat dan kemudian asam

laktat tidak terjadi secara baik dan daging tetap mempunyai keasaman yang

rendah (pH tetap tinggi) (Suhardi dan Marsono, 1982). Soeparno (2009)

menyatakan bahwa penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat

pascamerta tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat

pemotongan.

Stres sebelum pemotongan akan menghasilkan pH daging ultimat yang

tinggi, karena cadangan glikogen otot yang rendah. Young et al. (2004)

menyatakan bahwa peningkatan jumlah energi dalam otot saat sebelum

penyembelihan, berpengaruh terhadap tertundanya proses produksi asam laktat

secara anaerobik sehingga menyebabkan terhambatnya penurunan pH. Ramli

(2001) menyatakan bahwa setelah penyembelihan pH daging turun. Ayam broiler

sebelum pemotongan mempunyai pH sekitar 6,31 dan akan menurun menjadi 5,96

– 5,82 setelah 10 sampai 12 jam pemotongan (Suradi, 2008).


2.3.2 Susut masak daging

Susut masak adalah berat yang hilang setelah perebusan, kadar air yang

hilang merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan jus

daging yang merupakan komponen dari stuktur daging (Soeparno, 2009). Daging

yang dimasak dalam waktu cepat akan memberikan nilai susut masak yang lebih

rendah daripada daging yang dimasak dalam waktu yang lama. Daging yang

berkualitas baik mempunyai nilai susut masak yang kecil daripada daging

berkualitas rendah, meski daging yang baik kehilangan lemak lebih banyak tetapi

total kehilangan air lebih sedikit (Lawrie, 2003).

2.3.3 Daya ikat air

Penurunan daya ikat air disebabkan oleh makin banyaknya asam laktat yang

terakumulasi akibatnya banyak protein miofibriler yang rusak, sehingga diikuti

dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air (Lawrie, 2003).

Menurut Hamm (1981), bahwa perubahan daya ikat air daging selama

penyimpanan diduga karena terjadinya perubahan ion-ion yang diikat oleh protein

daging. Pada saat penyegaran kembali (thawing) daging beku, terjadi kegagalan

serabut otot menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar

pada saat penyimpanan beku (Bratzler et al., 1977 dan Lawrie, 2003). Proses

pembekuan juga dapat meningkatkan kerusakan protein daging, sehingga daya

ikat air terhadap protein daging akan semakin lemah, yang akan menyebabkan

nilai daya ikat air (Bhattacharya et al., 1988). Hal ini juga akan terlihat pada

banyaknya cairan yang keluar (drip) pada saat daging beku tersebut di thawing.
Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat

air oleh protein daging tersebut semakin rendah (Soeparno, 2009).

2.3.4 Kadar air

Kadar air dalam daging dipengaruhi oleh kandungan lemak intramuskuler

yang terdapat dalam otot, jika kadar air turun maka susut masak akan menurun,

susut masak yang rendah akan memberikan rendemen tinggi yang dibutuhkan

dalam pengolahan daging (Nurwantoro et al., 2012). Hal ini mendukung pendapat

Soeparno (2009) bahwa kualitas karkas yang berhubungan dangan umur dan

lemak intramuskuler mempunyai pengaruh terhadap kadar air daging. Otot yang

mempunyai kandungan lemak intramuskuler tinggi cenderung mempunyai kadar

air yang tinggi.

2.3.5 Protein

Protein merupakan suatu senyawa organik yang tersusun oleh unsur-unsur

C, H, N, O, dan kadang-kadang juga mengandung unsur S dan P (Asti dan Sukesi,

2013). Komponen dasar dari senyawa protein adalah asam amino. Berbagai jenis

asam 11 amino membentuk rantai panjang melalui ikatan peptida. Ikatan peptida

adalah ikatan antara gugus karboksilat satu asam amino dengan gugus amin asam

amino lain yang ada di sampingnya. Menurut Jaya (2011), asam amino yang

membentuk rantai panjang ini disebut protein (polipeptida). Asam amino

dibedakan menjadi tiga golongan yaitu asam amino esensial, semiesensial, dan

nonesensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang diperoleh dari luar

tubuh karena sel-sel tubuh tidak dapat mensintesisnya. Asam amino semiesensial

adalah asam amino yang dapat menghemat pemakaian asam amino lainnya. Asam
amino nonesensial adalah asam amino yang dapat disintesis di dalam tubuh

manusia dengan bahan baku asam amino lainnya. Lebih lanjut, Jaya (2011)

menyatakan pencernaan protein dimulai di lambung oleh enzim pepsin. Enzim

pepsin aktif pada pH 2–3 (suasana asam). Enzim pepsin mampu mencerna semua

jenis protein yang berada dalam makanan meliputi 10–30% dari pencernaan

protein total. Di dalam lambung, protein masih dalam bentuk proteosa, pepton,

dan polipeptida. Setelah memasuki usus halus, protein akan dicerna oleh enzim

tripsin, kimotripsin, dan peptidase. Enzim tripsin dan kimotripsin dapat memecah

molekul protein menjadi peptida. Selanjutnya, peptidase/erepsin akan memecah

peptida menjadi asam-asam amino. Asam amino tersebut akan diabsorpsi oleh

dinding usus halus dan masuk ke pembuluh darah. Sebagian asam amino langsung

digunakan oleh jaringan dan sebagian lain mengalami proses pelepasan gugus

amin di hati.

2.3.6 Lemak

Lemak tersusun dari unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan

kadang-kadang fosfor (P) serta nitrogen (N) (Asti dan Sukesi, 2013). Lemak

merupakan makromolekul yang jika dipecah (dihidrolisis), lemak akan

menghasilkan tiga molekul asam lemak dan satu molekul gliserol. Oleh karena

itu, lemak juga dikenal sebagai trigliserida. Senyawa-senyawa lemak berdasarkan

komposisi kimianya dibedakan menjadi tiga yaitu lemak sederhana, lemak

campuran, dan derivat lemak. Lebih lanjut, Asti dan Sukesi (2013) menyatakan

bahwa pencernaan lemak terjadi di dalam usus halus dengan bantuan enzim

lipase. Enzim lipase berfungsi untuk menghidrolisis atau memecah lemak. Di


dalam usus halus, lemak merangsang pengeluaran hormon kolesistokinin. Hormon

kolesistokinin mengakibatkan kantong empedu berkontraksi sehingga

mengeluarkan cairan empedu ke dalam duodenum. Cairan empedu berfungsi

untuk mengemulsikan lemak atau memecah lemak menjadi butiran lemak yang

berukuran kecil. Selanjutnya, enzim lipase akan menghidrolisis lemak teremulsi

menjadi campuran asam lemak dan monogliserida (gliserida tunggal). Asam

lemak dan monogliserida akan diabsorpsi darah melalui sel-sel mukosa pada

dinding usus halus. Keduanya diubah kembali menjadi lemak (trigliserida) dengan

bentuk partikel-partikel kecil (jaringan lemak). Timbunan lemak tersebut akan

diangkut menuju hati.

2.4 Mikroba pada Daging

Kontaminasi mikroba pada daging dapat terjadi sejak saat menyembelih

ternak hingga dikonsumsi (Soeparno, 2009). Setiap produk pangan memiliki

standar batasan cemaran mikroba. Standar mutu pangan tersebut yang dikeluarkan

oleh SNI dapat membantu konsumen untuk menentukan mutu produk pangan

yang akan dibelinya. Standar mutu bahan pangan merupakan pedoman yang dapat

digunakan untuk berbagai kebutuhan, misalnya pemilihan bahan pangan atau

menghasilkan bahan pangan berdaya saing tinggi. Indonesia telah memiliki

standar mutu, yaitu standar yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional

Indonesia atau SNI. Menurut SNI 7388:2009 dijelaskan jumlah maksimal

kandungan TPC yaitu 1x106 cfu/g., Escherichia coli 1 x 101 cfu/g, dan Salmonella

Sp. negatif/25gram.
1. Escherichia coli

E. coli adalah gram-negatif, anaerobik fakultatif dan non spora. Sel-sel

biasanya berbentuk batang yang panjangnya sekitar 2 mikrometer (μm) dan

diameternya 0,5 μm r, dengan volume sel 0,6-0,7 μm 3. E. coli dapat hidup

di berbagai substrat. E. coli menggunakan fermentasi asam campuran dalam

kondisi anaerobik, menghasilkan laktat, suksinat, etanol, asetat dan

karbondioksida.

Domain : Bakteri
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Species : Escherichia coli (Anonim, 2008).

Dalam bidang mikrobiologi pangan, dikenal istilah bakteri indikator

sanitasi. Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya dalam

pangan menunjukkan bahwa pangan tersebut pernah tercemar oleh kotoran

manusia dan atau hewan, karena bakteri-bakteri tersebut lazim terdapat dan

hidup pada usus manusia.

Jadi adanya bakteri tersebut pada pangan menunjukkan bahwa dalam

satu atau lebih tahap pengolahan pangan tersebut pernah mengalami kontak

dengan kotoran yang berasal dari usus manusia dan hewan. Sampai saat ini

ada 3 jenis bakteri yang dapat digunakan untuk menunjukkan adanya

masalah sanitasi yaitu E. coli, kelompok Streptococcus (Enterococcus) fekal

dan C. perfringens (Hariyadi, 2005).


Menurut Brooks et al. (2005), E. coli merupakan mikroflora alami yang

terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Beberapa galur E.

coli yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah

enteropathogenic E. coli (EPEC) enterotoxigenic E. coli (ETEC),

enterohaemorrhagic E. coli (EHEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), dan

enteroaggregative E. coli (EAEC).

2. Salmonella sp.

Syarat mutu karkas dan daging ayam dalam SNI 7388:2009 maupun

syarat peraturan yang berlaku di Amerika Serikat menyatakan bahwa

Salmonella merupakan bakteri patogen berbahaya sehingga di dalam produk

pangan tidak diperbolehkan mengandung Salmonella. Alasan dari

dicanangkannya zero tolerance ini adalah karena Salmonella bertanggung

jawab sebagai penyebab gastroenteritis (Lindquist, 1998).

Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi, jika

tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut

salmonellosis. Salmonella yang mencemari makanan dapat berkembangbiak

secara cepat karena keadaan lingkungan yang panas dan lembab

menstimulir pertumbuhannya. Salmonella mungkin terdapat pada makanan

dalam jumlah tinggi tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal

warna, bau, maupun rasa dari makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah

Salmonella di dalam suatu makanan, maka semakin besar timbulnya gejala

infeksi pada orang yang menelan makanan tersebut dan semakin cepat

waktu inkubasi sampai gejala infeksi (Supardi dan Sukamto,1999).


Terdapat 1000 serotipe Salmonella bersifat patogen yang telah

ditemukan hingga saat ini dan diklasifikasikan menjadi 3 spesies yaitu S.

cholerasuis, S. Tiphy dan S. enteritidis. Spesies Salmonella yang tidak

menyebabkan demam enterik bersifat parasit primer pada hewan (Lay dan

Hastowo, 1992).

Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae,

berbentuk batang gram negatif, fakultatif anaerobik dan aerogenik. Biasanya

bersifat motil dan mempunyai flagella peritrikus, kecuali S. gallinarum-

pullorum yang selalu bersifat non-motil. Kebanyakan strain bersifat

aerogenik, dapat mengguanakan sitrat sebagai sumber karbon, tidak

membentuk H2S (Supardi dan Sukamto, 1999). Suhu optimum yang

mendukung pertumbuhan Salmonella adalah 37°C, tetapi secara umum

bakteri ini tumbuh pada suhu antara 4-45°C dan pada pH antara 4,0-9,0

dengan pH optimum 7,0 (Gast, 1991).

Bakteri ini dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba-mikroba

yang umum terdapat di dalam makanan, misalnya bakteri-bakteri pembusuk,

bakteri genus lainnya dalam tribus Eschericiae dan bakteri asam laktat. Oleh

karena itu, pertumbuhannya sangat terhambat dengan adanya bakteri-bakteri

tersebut. Bakteri yang termasuk dalam genus Salmonella tidak dapat

dibedakan hanya dari sifat-sifat biokimia dan morfologinya, sehingga perlu

diidentifikasi secara serologik, berdasarkan skema Kaufmann-White yang

membedakan Salmonella berdasarkan sifat-sifat antigeniknya (Supardi dan

Sukamto, 1999).
3. Coliform

Bakteri Coliform dapat dibedakan atas 2 kelompok yaitu: 1. Coliform

fecal, misalnya Eschericia coli dan, 2. Coliform nonfecal, misalnya

Enterobacter aerogenes. Menurut Gupte (1990), bakteri Coliform termasuk

ordo Eubacteriales dan famili Enteribacteriaceae. Beberapa genus yang

termasuk dalam famili Enteribacteriaceae adalah Eschericia, Enterobacter,

Kelbsiella, Erwinia, Serratia, Salmonella, dan Shigella. Spesies yang

dikelompokkan dalam bakteri Coliform adalah Ecshericia coli, Klebsiella,

dan Enterobacter aerogenes.

Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01–6366-2000

merekomendasikan batas maksimum cemaran bakteri Coliform pada daging

segar yaitu 1 X 102 CFU/gram. Kontaminasi bakteri tersebut dapat melalui

tangan penjual, pemotongan yang tidak higienis sehingga bakteri dari alat

pemotong dapat berpindah ke daging, dari kemasan yang kurang steril, dari

air yang digunakan untuk membersihkan, daging atau alat pemotong yang

kemungkinan sudah tercemar dan dari daging itu sendiri karena habitat dari

bakteri Coliform ini adalah di usus hewan, serta banyak penyebab lainnya

(Brooks et al., 2007).

4. Total Plate Count (TPC)

Pertumbuhan mikroba yang membentuk koloni dapat dianggap bahwa

setiap koloni yang tumbuh berasal dari satu sel, maka dengan menghitung

jumlah koloni dapat diketahui penyebaran bakteri yang ada pada bahan.

Jumlah mikroba pada suatu bahan dapat dihitung dengan berbagai macam
cara, tergantung pada bahan dan jenis mikrobanya. Metode penghitungan sel

mikroba dibagi menjadi 2 yaitu : (a) Secara tidak langsung yaitu jumlah

mikroba dihitung secara keseluruhan baik yang mati atau yang hidup atau

hanya untuk menentukan jumlah mikroba yang hidup saja dengan

menggunakan Total Plate Count. (b) Secara langsung yaitu jumlah mikroba

dihitung secara keseluruhan, baik yang mati atau yang hidup dengan alat

Haemocytometer (Dwidjoseputro, 2005).

Prinsip dari metode hitungan cawan adalah bila sel mikroba yang masih

hidup ditumbuhkan pada medium, maka mikroba tersebut akan berkembang

biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung, dan kemudian

dihitung tanpa menggunakan mikroskop. Metode ini merupakan cara paling

sensitif untuk menentukan jumlah jasad renik, dengan alasan: (a) Hanya sel

mikroba yang hidup yang dapat dihitung (b) Beberapa jasad renik dapat

dihitung sekaligus (c) Dapat digunakan untuk isolasi, dan identifikasi

mikroba karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari mikroba yang

mempunyai penampang spesifik (Dwidjoseputro, 2005).

Selain keuntungan-keuntungan tersebut diatas, metode hitungan cawan

juga mempunyai kelemahan sebagai berikut: (a) Hasil perhitungan tidak

menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya, karena beberapa sel yang

berdekatan mungkin membentuk koloni. (b) Medium dan kondisi inkubasi

yang berbeda mungkin menghasilkan jumlah yang berbeda pula. (c)

Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan

membentuk koloni yang kompak, jelas dan tidak menyebar. (d) Memerlukan
persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan koloni

dapat dihitung (Dwidjoseputro, 2005).

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Daging Ayam

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah

pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas

daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,

umur, pakan termasuk bahan aditif dan stres. Faktor setelah pemotongan yang

mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, metode

pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk

daging, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno, 2009).

Adapun faktor yang mempengaruhi mutu daging adalah :

1. Keempukan dan kelunakan daging

Salah satu cara untuk mendapatkan daging yang empuk dilakukan dengan

penambahan enzim proteolitik yaitu enzim yang mampu memecah atau

mengurai protein. Tingkatan keempukan pada daging, menurut Soeparno

(2009), dapat dihubungkan dengan tiga katagori protein otot yaitu protein. Laju

penurunan nilai pH mempengaruhi keempukan daging. Menurut Soeparno

(2009) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu

yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi

keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan

termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin

dan stress (Soeparno, 2009).


2. Kandungan lemak di dalam otot

Kegunaan lemak dalam daging adalah untuk membungkus dan

mempertahankan keutuhan daging terutama pada waktu daging dipanaskan.

Semakin banyak daging mengandung lemak, maka kualitas daging yang

dihasilkan akan menjadi semakin empuk dan semakin enak.

3. Tekstur

Secara teknis pengukuran tekstur dapat dilakukan dengan uji penekanan atau

pembuatan lubang kecil. Alat yang digunakan adalah instrumen uji mekanis

instron yang mengukur kekerasan dan saya kunyah (Purnomo, 1995). Bahan

yang ditekan dengan jarum hard teksturometer adalah pada bagian tengah, kiri

dan kanan. Rataan dari ketiga pengukuran tersebut merupakan tekstur bahan

(Slamet et al., 1984). Ada beberapa hal yang mempengaruhi tekstur bahan

pangan antara lain rasio kandungan lemak, protein, jenis protein, suhu

pengolahan, kadar air dan aktivitas air (Purnomo, 1995). Lawrie (2003)

menyatakan pergerakan otot yang aktif mengakibatkan tekstur otot tersebut

terlihat kasar daripada yang tidak aktif. Faktor lainnya yang mempengaruhi

adalah pada saat pemotongan.

4. Warna

Daging ayam digolongkan dalam daging putih, merupakan daging yang

berserat lebih besar dan lebar, sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim

respirasi berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat serta kandungan

glikogen yang tinggi. Daging ayam mempunyai kadar protein dan air yang
lebih tinggi dibanding daging sapi namun daging sapi memiliki kadar lemak

jenuh dan kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih (Usmiati, 2010).

5. Residu obat-obatan

Ayam terkadang semasa hidupnya harus selalu mendapatkan obat atau

antibiotik untuk perawatan kesehatannya. Namun, perkembangan persyaratan

keamanan pangan membatasi penggunaan antibiotik karena selain sifat

positifnya yang menahan infeksi patogen, juga menahan mikroba pencernaan

yang menyebabkan residu (Purwadaria et al., 2003). Kalaupun ada residu obat,

maka harus dalam batas toleransi yang diperbolehkan. Residu antibiotik dalam

daging memang perlu diwaspadai, karena akan mencemari daging tersebut.

2.6 Higiene Pedagang untuk Kualitas Daging

Higiene pedagang mempengaruhi kualitas makanan yang ditangani, praktik

higiene yang buruk dapat menyebabkan kontaminasi mikrobiologis pada

makanan, karena penjamah makanan merupakan sumber utama dan potensial

dalam kontaminasi makanan dan perpindahan mikroorganisme. Hal ini sesuai

dengan data penelitian epidemiologis yang menunjukan bahwa 5% dari jumlah

penyakit yang dilaporkan di Inggris dan Wales, 10% di New South Wales dan

20% di Amerika disebabkan karena bahan pangan yang terkontaminasi langsung

oleh pekerja yang menangani makanan (Fathonah, 2005).

Sumber lain menunjukan bahwa sekitar 90% penyakit yang terjadi pada

manusia mempunyai keterkaitan dengan makanan. Sebanyak 25% penyebaran

penyakit melalui makanan diakibatkan oleh pekerja yang menderita infeksi dan

higiene perorangan yang buruk. Kebersihan penjamah makanan dalam istilah


populernya disebut higiene perorangan, merupakan kunci kesuksesan dalam

pengolahan makanan yang aman dan sehat. Penjamah makanan harus mengikuti

prosedur yang penting bagi pekerja pengolah makanan yaitu pencucian tangan,

kebersihan dan kesehatan diri (Purnawijayanti, 2001).

Pencucian tangan merupakan salah satu faktor higiene yang ikut

berpengaruh dengan terjadinya kontaminasi pada suatu makanan. Hal ini

didasarkan dari hasil penelitian Purnawijayanti (2001) bahwa pedagang kurang

menjaga kebersihan tangan seperti masih adanya pedagang yang mengaku tidak

memakai sabun ketika mencuci tangan sebanyak 50% atau 15 pedagang, dan kuku

pedagang dalam keadaan panjang dan tidak terjaga kebersihannya sebanyak

66,7% atau 20 pedagang. Sebanyak 53,3% atau 16 pedagang tidak menggunakan

lap bersih setelah selesai mencuci tangan.

Menurut Purnawijayanti (2001) bahwa dalam proses pencucian tangan perlu

adanya langkah-langkah untuk menjamin kebersihan tangan diantaranya

membasahi tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun, menggosok

tangan secara menyeluruh pada bagian meliputi punggung tangan, telapak tangan,

sela-sela jari dan bagian dibawah kuku, pembilasan dengan air mengalir dan

melakukan pengeringan tangan dengan handuk atau alat pengering.

Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri atau

virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan (Fathonah, 2005).

Kebiasaan tangan (hand habites) dari pekerja pengelola pangan mempunyai andil

yang besar dalam peluang melakukan perpindahan kontaminasi dari manusia ke

makanan. Kebiasaan tangan ini dikaitkan dengan pergerakan tangan yang tidak
disadari seperti menggaruk kulit, menggosok hidung, merapikan rambut,

menyentuh atau meraba pakaian dan hal lain yang serupa (BPOM, 2003). Oleh

karena itu sebaiknya pedagang mencuci tangan dengan sabun dan air bersih atau

air mengalir baik setelah buang air kecil (BAK) maupun buang air besar (BAB),

dan menggunakan tisue kering atau lap bersih untuk mengeringkannya sehingga

resiko terjadinya kontaminasi mikroorganisme dari gram negatif contohnya

Salmonella semakin kecil.

Adanya hubungan antara sanitasi dengan kontaminasi Salmonella

berdasarkan penelitian dilapangan, yaitu dikarenakan keterikatan dengan faktor

penyebab adanya Salmonella seperti sanitasi air dan sanitasi peralatan. Meliputi

penyediaan air bersih untuk seluruh kegiatan, penggantian air bilasan yang sudah

kotor, ketersediaan tempat sampah yang kondisinya tertutup dan kebersihan

peralatan pedagang (pisau dan talenan).

Sebanyak 53,3% atau 16 pedagang ketersediaan airnya tidak memadai untuk

seluruh proses kegiatan, 40% atau 12 pedagang tidak mengganti air bilasan jika

sudah kotor. Air yang kontak langsung dengan produk pangan dalam industri

pengolahan pangan harus memenuhi persyaratan air minum. Pencemaran

lingkungan akibat limbah dari hewan atau manusia pada saluran air dapat menjadi

ancaman yang serius terhadap keamanan makanan. Pencemaran air dapat

memasukan berbagai jenis bakteri patogen, virus, protozoa, dan cacing yang

ditularkan kepada manusia jika air digunakan untuk minum dan penyiapan

makanan (Fathonah, 2005). Menurut Suardana dan Swacita (2009), peralatan yang
digunakan dalam proses pengolahan makanan apabila tidak dijaga kebersihannya

dapat menimbulkan kontaminasi organisme dan menyebabkan penyakit.

Sebanyak 33,3% pedagang mengaku setelah selesai berjualan sampah tidak

diambil dan dibawa ke tempat pembuangan sampah. Hal ini dapat menimbulkan

penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Sampah bila

ditimbun sembarangan dapat dipakai sebagai sarang lalat dan tikus (Slamet,

2002). Bahan makanan baik nabati maupun hewani akan membawa mikroflora

yang akan bertahan di dalam produk makanan. Mikroflora bersifat patogen pada

manusia seperti Compylobacter, Salmonella, dan beberapa strain Escherichia coli

(Fathonah, 2005).

Bahan pangan dapat tercemar mikroorganisme, terutama dari lingkungan

sekitarnya seperti udara, debu, air, tanah, kotoran maupun bahan organik yang

telah busuk (Suardana dan Swacita, 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian

Agustina (2009), menyatakan bahwa menjajakan makanan dalam keadaan terbuka

dapat meningkatkan resiko tercemarnya makanan oleh lingkungan, baik melalui

udara, debu dan serangga. Terdapat 30% pedagang dalam penyediaan air untuk

proses sanitasi belum memenuhi syarat, yaitu air masih berbau dan berwarna

keruh. Menurut Haryadi dan Ratih (2009), bahwa apabila dideteksi adanya warna,

bau dan rasa yang menyimpang pada air, maka perlu dicurigai bahwa air tersebut

tercemar. Pedagang sebaiknya lebih memperhatikan dan meningkatkan sanitasi

dalam berjualan, khususnya penyediaan air bersih yang memadai untuk seluruh

proses kegiatan. Karena air merupakan unsur yang penting dalam proses sanitasi
digunakan untuk keperluan pembersih dan diperlukan selama penanganan dan

pengolahan produk (Fathonah, 2005).

2.7 Pasar Tradisional

Pasar tradisional merupakan pasar yang dibangun dan dikelola oleh

pemerintah, pemerintah daerah, swasta, badan usaha milik negara dan badan

usaha milik daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha

berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil,

menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal

kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar

(Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/M-DAG/PER/12/2008).

Masalah infrastruktur yang hingga kini masih menjadi masalah serius di

pasar tradisional adalah kondisi bangunan, kebersihan dan tempat pembangunan

sampah yang kurang terpelihara, kurangnya lahan parkir, dan buruknya sirkulasi

udara. Kebanyakan pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar untuk berbelanja

karena mereka bisa membeli dari pedagang kaki lima (PKL) di luar pasar. Selain

hal tersebut, yang juga menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar

tradisional adalah minimnya daya dukung karakteristik pedagang tradisional,

yakni strategi perencanaan yang kurang baik, terbatasnya akses permodalan yang

disebabkan jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala

ekonomi (economis of scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar,

buruknya manajemen pengadaan , dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan

dengan keinginan konsumen (Wiboonpongse dan Sriboonchitta, 2006 dalam El

Amin, 2011 ).
Menurut Kuncoro (2008) permasalahan umum yang dihadapi pasar

tradisional antara lain : (a) Banyaknya pedagang yang tidak tertampung. (b) Pasar

tradisional mempunyai kesan kumuh. (c) Dagangan yang bersifat makanan siap

saji mempunyai kesan kurang higeienis. (d) Pasar modern yang banyak tumbuh

dan berkembang merupakan pesaing serius pasar tradisional. (e) Rendahnya

kesadaran pedagang untuk mengembangkan usahanya dan menempati tempat

dasaran yang sudah ditentukan. (f) Masih rendahnya kesadaran pedagang untuk

membayar retribusi. (g) Masih adanya pasar yang kegiatannya hanya pada hari

pasaran.

Anda mungkin juga menyukai