Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FARMAKOTERAPI

“SEPSIS”

Disusun Oleh :
Isrania Nuraini 13171063
Nanda Mega Apridiani 13171073
Raisy Ikrimah 13171080

SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG


PROGRAM STUDI STRATA 1
BANDUNG
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Sepsis merupakan respon host terhadap infeksi yang bersifat sistemik dan
merusak. Sepsis dapat mengarah pada sepsis berat (disfungsi organ akut pada
curiga infeksi) dan syok septik (sepsis ditambah hipotensi meskipun telah
diberikan resusitasi cairan). Sepsis berat dan syok septik adalah masalah
kesehatan utama, yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahun,
menewaskan satu dari empat orang (dan sering lebih) (Dellinger et al., 2012).
Sepsis dapat didefinisikan sebagai Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi (Ventetuolo et al., 2008). Dimana
SIRS merupakan respon dari berbagai hasil klinik dengan kondisi etiologi infeksi
maupun noninfeksi (Kang-Birken, 2014). Infeksi yang terjadi berasal dari
mikroorganisme yang mengganggu atau karena toksin mikroba pada pembuluh
darah yang menyebabkan nyeri (Ventetuolo et al., 2008). Meskipun hampir
semua mikroorganisme dapat dikaitkan dengan sepsis dan syok sepsis, namun
etiologi patogen paling umum adalah bakteri gram positif (40%): Staphylococcus
aureus, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus coagulase negative, dan
Enterococcus; bakteri gram negatif (38%): Escherichia coli dan Pseudomonas
aeruginosa adalah bakteri yang paling sering diisolasi pada sepsis; dan jamur
(17%): Candida albicans sering menjadi penyebab sepsis pada pasien rumah
sakit (Odeh, 1996; Kang-Birken, 2014; Abdullah et al., 2015).
Sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas untuk pasien
kritis, Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian di Amerika
Serikat. Tingkat kematian tetap tinggi untuk pasien dengan sepsis berat dan syok
septik dengan syok septik dan kegagalan multiorgan sebagai penyebab paling
umum kematian. Terdapat sekitar 750.000 kasus sepsis setiap tahun di Amerika
Serikat dan terus mengalami peningkatan (Mari et al., 2016)
Sepsis dibagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan respon tubuh terhadap
infeksi, mulai dari demam dan leukositosis hingga hipotensi dan kelainan fungsi
beberapa organ (Gantner et al., 2015). Tempat infeksi yang paling sering
menyebabkan sepsis adalah saluran pernapasan (39% -50%), saluran kemih (5%
-37%), dan ruang intra-abdomen (8% -16%) (DiPiro et al., 2015).
Gejala infeksi sangat umum terjadi pada pasien rawat inap di rumah sakit.
Sebagian besar dari pasien tersebut memiliki potensi yang mengarah ke sepsis,
terutama pada pasien di ICU rumah sakit. Sepsis merupakan salah satu penyebab
utama kematian global. Alasan utama peningkatan mortalitas adalah karena
penundaan diagnosis dan perawatan. Diagnosis infeksi dan sepsis cukup sulit bagi
klinisi dengan banyak alasan, contohnya seperti penggunaan antibiotika
sebelumnya pada pasien (Tziolos et al., 2015).
Sepsis merupakan suatu keadaan darurat medis. Penanganan sepsis secara
dini akan menghemat biaya dan mengurangi jumlah hari pelayanan rawat inap
dan rumah sakit bagi pasien. Namun seringkali sepsis terlambat terdignosa karena
gejala klinis dan tanda laboratorium yang saat ini digunakan tidak cukup spesifik.
Sepsis kurang dikenali dan dipahami karena definisinya yang membingungkan,
kurangnya dokumentasi sepsis sebagai penyebab kematian, alat diagnostik yang
tidak memadai, dan aplikasi yang tidak konsisten dari pedoman klinis standar
untuk mengobati sepsis. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis
tertarik untuk mengulas lebih dalam mengenai penyakit sepsis pada makalah ini.

II. Rumusan Masalah


1. Bagaimana tanda dan gejala penyakit sepsis ?
2. Apakah faktor resiko penyakit sepsis ?
3. Apa etiologi dan pastofisilogi penyakit sepsis ?
4. Apa terapi nonfarmakologi sepsis ?
5. Apa terapi farmakologi sepsis ?
6. Bagaimana monitoring dan evaluasi terapi penyakit sepsis ?

III. Tujuan
1. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit sepsis.
2. Untuk mengetahui faktor resiko penyakit sepsis.
3. Untuk mengetahui etiologi dan pastofisilogi penyakit sepsis.
4. Untuk mengetahui terapi nonfarmakologi sepsis.
5. Untuk mengetahui terapi farmakologi sepsis.
6. Untuk mengetahui monitoring dan evaluasi terapi penyakit sepsis.
IV. Manfaat
Sebagai pembanding bagi para pembaca untuk membuat makalah dan sebagai
referensi bagi pembaca mengenai penyakit sepsis, selain itu makalah ini dapat
menjadi sumber informasi bagi masyarakat untuk mengenal lebih dalam lagi
mengenai penyakit sepsis.
I.
BAB II
ISI

I. Pengertian Sepsis
Sepsis adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi tubuh
yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis merupakan respon host terhadap infeksi
yang bersifat sistemik dan merusak. Sepsis dapat mengarah pada sepsis berat
(disfungsi organ akut pada bagian infeksi) dan shock septik (sepsis ditambah
hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan). Sepsis berat dan shock
septik adalah masalah kesehatan utama, yang mempengaruhi jutaan orang di
seluruh dunia setiap tahun, menewaskan satu dari empat orang (bahkan lebih)
(Dellinger et al., 2012).

Menurut DiPiro (2015) terdapat beberapa definisi terkait sepsis yaitu:


Kondisi Definisi
Bakteremia (fungemia) Terdapatnya bakteri (jamur) dalam aliran
darah
Infeksi Respon inflamasi terhadap invasi dan
multiplikasi berbagai mikroorganisme ke
dalam tubuh (seperti bakteri, virus,
jamur), yang saat dalam keadaan normal,
mikroorganisme tersebut tidak terdapat di
dalam tubuh.
Sindrom respons inflamasi sistemik Respon inflamasi sistemik terhadap
berbagai hasil klinis, yang dapat menular
atau tidak menular. Respons
dimanifestasikan oleh dua atau lebih dari
kondisi berikut ini : suhu >38 °C atau
<36°C; HR >90 denyut/menit; RR >20
nafas/menit atau PaCO2 <32 mmHg (<4.3
kPa); WBC >12.000 sel /mm3 (> 12 × 109
/ L), <4000 sel/mm3 (4 × 109 / L), atau >
10% (>0,10) bentuk immature;
keseimbangan cairan positif (> 20 mL/kg
selama 24 jam); hiperglikemia; plasma;
hipotensi arteri; CI> 3,5 L / mnt (> 0,058
L / dtk); hipoksemia arteri; oliguria akut;
peningkatan kreatinin> 0,5 mg / dL (>
0,44 µmol / L); kelainan koagulasi; ileus,
trombosit <100.000 / mm3 (> 100 × 109 /
L); bilirubin> 4 mg / dL (> 68 µmol / L);
hiperlaktatemia; penurunan capillary refill
Sepsis Sindrom respons inflamasi sistemik
sekunder akibat infeksi.
Sepsis berat Sepsis berat berhubungan dengan
disfungsi organ, hipoperfusi, atau
hipotensi. Kelainan hipoperfusi dan
perfusi mungkin termasuk, tetapi tidak
terbatas hanya pada hal tersebut saja
tetapi juga pada asidosis laktat, oliguria,
atau perubahan akut pada status mental.
Shock septik refrakter Shock sepsis adalah sepsis dengan
hipotensi berlanjut karena perfusi
abnormal. Syok septik persisten,
membutuhkan dopamin > 15 mcg/kg/
menit atau norepinefrin >0,25
mcg/kg/menit untuk mempertahankan
tekanan darah arteri rata-rata.
Sindrom disfungsi multi-organ Adanya fungsi organ yang berubah dan
membutuhkan intervensi untuk
mempertahankan homeostasis.

II. Tanda dan Gejala Sepsis


Tanda gejala sepsis di bagi menjadi 2 yaitu (Chisholm-Burns et al., 2016) :
Gejala awal Gejala akhir (lanjut)
Demam Asidosis laktat
Menggigil Oliguria
Perubahan status mental Leukopenia
Takikardia Trombositopenia
Mual dan muntah Depresi miokard
Hiperglikimia Edema paru
Mialgia Hipotensi
Kelesuan dan malaise Hiperglikemia
Leukositosis Perdarahan garstrointestinal
Hipoksia
Hiperbilirubinemia

III. Faktor risiko


Faktor risiko sepsis meliputi peningkatan usia, kanker, nodeficiency immu,
kegagalan organ kronis, faktor genetik (jenis kelamin laki-laki dan asal-usul etnis
kulit putih di Amerika Utara), dan bacteremia. Infeksi paru menyebabkan sekitar
setengah dari semua kasus, diikuti oleh infeksi intra-abdominal dan genitourinary
(Chisholm-Burns et al., 2016).
a. Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik
dibandingkan usia tua, dimana fungsi/kemampuan sistem imunitas tubuh
(immunocompetence) melawan infeksi menurun seiring peningkatan usia. Hal ini
bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia
tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan
autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah
penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat
sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang
dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi
yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif
b. Jenis Kelamin
Pasien dewasa dengan jenis kelamin laki-laki lebih berisiko 2,562 kali
menderita sepsis dibandingkan dengan pasien dewasa yang berjenis kelamin
perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Melamed A, dkk yang menyatakan
bahwa perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan
dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras/etnis. Pada
penelitian Angele MK, dkk mengindikasikan bahwa hormone female sex steroid
menghasilkan zat-zat yang bersifat imunoprotektif apabila terjadi trauma atau
perdarahan. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria maupun wanita,
kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur.
c. Kanker
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan
antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah,
sel-sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi beresiko untuk terkena infeksi
ketika jumlah sel darah putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan
utama tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah
umum setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap
infeksi dapat menjadi serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis
merupakan penyebab utama kematian pada pasien kanker neutropenia.

d. Bakterimia
Bakteremia adalah kondisi ketika terdapat bakteri dalam aliran darah. Pada
keadaan normal, jumlah bakteri yang masuk ke dalam aliran darah hanya sedikit
dan sistem imunitas tubuh dapat dengan cepat bertindak menghilangkan bakteri
tersebut. Namun, jika bakteri bertahan cukup lama dalam jumlah banyak dalam
aliran darah, kondisi ini bisa menyebabkan infeksi serius hingga sepsis. 
e. Infeksi Paru
Sepsis merupakan suatu keadaaan darurat medis yang harus segera
ditangani.Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Tempat
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah saluran pernapasan (39%
-50%), saluran kemih (5% -37%), dan ruang intra-abdomen (8% -16%) (DiPiro et
al., 2015).

IV. Epidemiologi
Sepsis adalah penyebab utama morbiditas pasien kritis dan mortalitas nomor
sepuluh secara keseluruhan. Angka kematian tetap tinggi untuk pasien dengan
sepsis berat dan septis syok, dengan penyebab paling umum kematian adalah
sepsis syok dan kegagalan multiorgan. Ada sekitar 750.000 kasus sepsis yang
didiagnosis setiap tahun di Amerika Serikat yang terus meningkat. Penelitian di
Amerika Serikat pada tahun 1979 sampai tahun 2000 menunjukkan bahwa laki-
laki lebih banyak menderita sepsis dibanding dengan wanita dengan mean annual
relative risk sebesar 1,28(Chisholm-Burns, dkk., 2013; Irawan, dkk., 2012).
Centers for Disease Control (CDC) memberikan suatu laporan mengetahui
epidemiologis penyakit sepsisyang terus meningkat dari 73,6 per 100.000 orang
pada tahun 1979 menjadi 175,9 per 100.000 orang pada tahun 1989. Angka
kematian pada pasien sepsis telah berkisar dari 25 % sampai 80 % lebih pada
beberapa dekade terakhir (Irawan dkk., 2012)
V. Etiologi
Sepsis diketahui disebabkan oleh beberapa mikroorganisme hidup seperti tertera
dalam tabel dibawah ini:
Mikroorganisme Persentasi kejadian Jenis
Bakteri Gram-negatif 52% Escherichia coli, Klebsiella sp.,
(Lipopolisakarida, lipid Pseudomonas aeruginos,
A dan endotoksin) Serratia spp., Enterobacter spp.,
Proteus spp., dan P. Aeruginosa.
Bakteri Gram-positif 37% Staphylococcus aureus,
(Asam lipoteichoic dan Streptococcus pneumoniae,
peptidoglikan) staphylococci koagulase-negatif,
dan spesies Enterococcus
Jamur 6% Spesies Candida (Candida
albicans)
Mikroorganisme lain 5% Virus dan parasit
(Wells, dkk., 2012).
Penyakit sepsis bida didapatkan dari lingkungan di sekitar tempat tinggal pasien atau
bahkan bisa juga didapatkan di rumah sakit sebagai akibat dari ketidakhigienisan
pasien atau bahkan efek dari penggunaan alat-alat medis di rumah sakit. Berdasarkan
hal tesebut penyebabnya terjadinya sepsis pada seseorang dapat di lihat pada tabel
berikut:
Penyebab sepsis yang didapatkan dari lingkungan tempat tinggal pasien
(Community-acquired)
Kulit Staphylococcus aureus dan gram
positif bentuk cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif
bentuk batang lainnya
Saluran pernafasan Streptococcus pneumonia
Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan
gram negative bentuk batang
lainnya, Bacteroides fragilis
Organ pelvis Neissseria gonorrhea,anaerob
Penyebab sepsis yang didapatkan dari rumah sakit
(Hospitaly-acquired)
Masalah klinis Mikroorganisme
Pemasanagan kateter Escherichia coli, Klebsiella spp.,
Proteus spp., Serratia spp.,
Pseudomonas spp. Penggunaan iv
kateter Staphylococcus aureus,
Staph.epidermidis, Klebsiella spp.,
Pseudomonas spp., Candida albicans
Setelah operasi:
Wound infection Staph. aureus, E. coli,
anaerobes(tergantung lokasinya)

Deep infection Tergantung lokasi anatominya


Luka bakar coccus gram-positif, Pseudomonas
spp., Candida albicans
Pasien immunocompromised Semua mikroorganisme diatas
(Moss et.al,2012)

VI. Patofisiologi
Patofisiologi dalam penyakit sepsis sangat kompleks, melibatkan komponen
sistem imun sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi. Infeksi dari
mikroorganisme seperti contoh Bakteri Gram-negatif akan melepaskan suatu toksin
mikrobial atau yang biasa dikenal endotoksin yang dapat merangsang pelepasan suatu
kompleks cascade untuk menimbulkan respon inflamasi sistemik. Endotoksin ini
merupakan suatu stimulus pada inisiator dimana secara langsung maupun tidak
langsung akan berperan untuk mengaktivasi sistem kekebalan humoral dan seluler
serta mengeluarkan beberapa mediator inflamasi.
Dalam gambar di atas dijelaskan bahwa terjadinya sepsis adalah akibat dari
adanya toksik patogen yang berikatan dengan reseptor CD4 pada bagian tool-like
receptor monosit yang merupakan bagian dari sel darah putih manusia yang mana
tugasnya adalah melindungi tubuh dari paparan benda asing termasuk patogen. Ketika
terjadi ikatan kompleks antara CD4 dan toksis patogen, Antigen Precenting Cell
(APC) akan menstimulasi pelepasan sitokin pro inlflamasi (TNF-alfa dan IL-1) untuk
mengeluarkan Toxic Downstream Mediator seperti Platelet-activating factor, Asam
Arakidonat, dan Leukotriens. Ketiga senyawa ini adalah mediator kuat yang dapat
merusak lapisan endotel sel-sel dan jaringan pada organ tubuh. Akibatnya akan
terbentuk luka sampai bisa terjadi kerusakan sampai kebocoran organ. Luka pada
bagian endotel organ tersebut akan mengeluarkan Tissue-factor yang berfungsi untuk
menutupi luka dengan melepaskan senyawa trombin hingga terbentuk benang-benang
fibrin yang akan membentuk agregat supaya luka bisa tertutupi. Pelepasan senyawa
trombin ini akan diikuti dengan pelepasan senyawa anti-trombin untuk meregulasi dan
mengontrol pelepasan trombin. Namun dalam kasus sepsis senyawa anti-trombin yang
dihasilkan tidak seimbang, karena jumlah trombin yang dikeluarkan lebih banyak dari
senyawa anti-trombin. Disamping itu, keberadaan TNF-alfa yang berperan sebagai
sitokin pro-inflamasi juga akan merangsang pembentukan Plasminogen-activator
inhibitor-1. Senyawa ini berperan pada penghambatan pembentukan plasmin dari
plasminogen yang dapat menguraikan benang-benang fibrin dalam proses fibrinolisis.
Karena plasminogen tidak dapat disintesis akibatnya adalah peredaran darah yang
menyuplai oksigen ke bagian organ tersebut akan terhambat dan lama-kelamaan dapat
menyebabkan microvaskular-coagulopahty dan organ akan menjadi tidak berfungsi
lagi (Wells, dkk., 2012).

VII. Terapi Non Farmakologi


a. Mempertahankan oksigenasi ke jaringan dengan saturasi >70% dengan
melakukan ventilasi mekanik dan drainase infeksi fokal.
b. Menghindari penggunaan obat-obatan rutin karena dapat mengganggu
sirkulasi darah pada tempat sepsis
c. Merencanakan diet dengan mencukupi nutrisi yang dibutuhkan pasien
disesuaikan dengan kondisi pasien (Opal, dkk., 2012).

VIII. Terapi Farmakologi


Pendekatan umum untuk pengobatan dipercepat pasien dengan miokard
infark dan serabrovaskular kecelakaan akut, cepat, intervensi kuantitatif dengan
terapi yang tepat untuk mencapai tertentu, titik akhir terukur diagnosis sepsis
telah dibuat sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Pendekatan yang bersangkutan dalam pengelolaan pasien sepsis adalah
sebagai berikut :
a. Melakukan resusitasi awal untuk pelaksanaan terapi :
1) tekanan vena sentral (CVP) 8 sampai 12 mm Hg (1,1-1,6 kPa)
2) Berarti tekanan arteri (MAP) yang lebih besar dari atau sama dengan
65 mm Hg (8.6 kPa)
3) Urin lebih besar dari atau sama dengan 0,5 mL / kg / h Muncul
teknik noninvasif, seperti penggunaan USG jantung, baru-baru ini
menunjukkan kehandalan dalam menilai status volume lar
intravascu- melalui mengukur perubahan diameter vena cava
inferior dan collapsibility. 29,30 Resusitasi juga harus menargetkan
normalisasi tingkat laktat darah pada pasien dengan laktat darah
awalnya diangkat sebagai penanda peningkatan perfusi jaringan. 20
b. Terapi cairan menggunakan kristaloid dan koloid, untuk mencapai titik
akhir terapi kuantitatif cairan kristaloid (seperti natrium klorida 0,9%
atau Ringer laktat solusi) atau koloid (produk albumin) yang digunakan
untuk resusitasi, dan studi klinis membandingkan cairan telah
menemukan mereka untuk menjadi setara. 28,31,32 Kristaloid
membutuhkan volume yang lebih cair, yang dapat menyebabkan lebih
edema (memanfaatkan hati-hati pada pasien yang berisiko untuk
overload cairan, misalnya, gagal jantung kongestif dan ARDS); Namun,
albumin secara signifikan lebih mahal. Hidroksietil pati (HES), jenis lain
dari koloid, tidak boleh digunakan karena studi menunjukkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
c. Terapi antimikroba spektrum luas terapi antimikroba yang tepat empiris
menurun kematian 28-hari dibandingkan dengan yang tidak pantas
empirik terapi (24% dan 39%). 18,19,35 Selain itu, terapi yang tepat
adminis- tered dalam waktu 1 jam dari pengakuan sepsis juga menurun
kation komplikasi- dan kematian. 18,19,35 terapi antimikroba empiris
harus mencakup beberapa agen untuk kebanyakan kasus, tergantung
pada situs kemungkinan infeksi dan penyebab patogen. uji klinis anti
infeksi pada pasien sepsis dan syok septik yang langka dan belum
menunjukkan perbedaan di antara agen; Oleh karena itu, faktor yang
menentukan seleksi adalah:
 Site infeksi
 patogen penyebab
 Infeksi komunitas atau nosokomial yang didapat
 status kekebalan pasien
 kerentanan antibiotik dan profil resistensi bagi lembaga dan
masyarakat setempat. Dokter harus menyadari berkembang
prevalensi resistensi bakteri dalam pengaturan masyarakat dan
perawatan kesehatan.
c. Terapi vasopressor, menggunakan norepinefrin awalnya untuk menjaga
stabilitas hemodinamika. Ketika resusitasi cairan tidak memberikan
tekanan arteri yang memadai dan perfusi organ, vasopressor dan / atau
agen tropic ino- harus dimulai. Vasopressor direkomendasikan pada
pasien dengan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg atau MAP
lebih rendah dari 60 sampai 65 mm Hg (8,0-8,6 kPa), setelah gagal
pengobatan dengan kristaloid. 20,23,24 Vasopressor dan inotropik
efektif dalam mengobati hipotensi yang mengancam jiwa dan
meningkatkan indeks jantung
d. Intravena (IV) hidrokortison dapat dipertimbangkan untuk pasien yang
tetap hemodinamika tidak stabil meski resusitasi cairan yang memadai
dan dukungan dengan adanya vasopressor
e. Kontrol glikemik melalui infus insulin teratur untuk menjaga kadar
glukosa antara 140 dan 180 mg/dl
Algoritme Terapi Sepsis (Chisholm-Burns M.A. et al, 2012)
(Dipiro, 2015)
Terapi Empiris Spesis ( Dipiro, 2015)

IX. Monitoring dan Evaluasi


1. Monitoring
a. Memantau antimikroba spektrum luas untuk terapi awal sedini mungkin dan
dalam waktu satu jam pertama dari diagnosis sepsis
b. Berikan antibiotik yang sesuai di tempat bagian infeksi
c. Memonitor parameter pasien untuk memastikan dosis yang memadai
d. Pastikan dosis antibiotik diubah kedosis normal, setelah dipastikan bahwa
pasien mengalami disfungsi ginjal
e. Memulai terapi step down
2. Evaluasi
a. Mengevaluasi sumber infeksi dan membuat rekomendasi untuk
menghilangkan sumber potensial
b. Jika pasien tetap hemodinamika tidak stabil meski pemberian cairan memulai
terapi vasopressor dan atau kortikosteroid dengan terapi inotropik potensial
jika diperlukan
c. Mengevaluasi kembali rejimen dosis awal setiap hari untuk mengoptimalkan
aktivitas, mencegah perkembagan resistensi, mengurangi toksisitas dan
mengurangi biaya
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ramatillah, D.L., and Eff, A.R., 2015. Drug Related Problems that
Occurred in Patient Sepsis Macrovascular Disease Complications General
Hospital Treatment Room Central of the Army (Army Hospital) Gatot
Subroto. Global Journal of Medical Research, Vol. XV, Issue III, Version
I, p. 11-13.
Chisholm-Burns, MA., Schwinghammer, TL., Wells, BG., Malone, PM., Kolesar,
JM., dan Dipiro, JT. 2013. Pharmacotherapy Principles and Practice. the
McGraw-Hill Companies, Inc.
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. 2012.
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock.
Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L and Dipiro C.V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. Inggris: McGraw-Hill Education
Companies.
Kang-Birken, S. Lena., 2014. Sepsis and Septic Shock. In: Dipiro, J.T., Talbert,
R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M.,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Ninth Edition. United
States of America : The McGraw-Hill Companies, Inc., p. 1897-1910.
Opal, SM., Sevransky JE., Sprung, CL., Douglas, IS, dkk. 2012. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine Journal. Vol 41. (2).
Tziolos, N., Kotanidou, A., Orfanos, S.E., 2015. Biomarkers in infection and
sepsis: Can they really indicate final outcome? International Journal of
Antimicrobial Agents

Ventetuolo, Corey E., and Levy, Mitchell M., 2008. Sepsis: A Clinical Update.
Clinical Journal of the American Society of Nephrology, Vol. 3, p. 571-
577.

Wells, BG., Dipiro, JT., Schwinghammer, TL., dan Dipiro, CV. 2012.
Pharmacotherapy Handbook. the McGraw-Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai