Anda di halaman 1dari 3

Identitas buku

Judul: Terminal Hujan

Penulis: -hQZou-

Tahun terbit: Februari 2015

Penerbit: de TEENS

Jumlah halaman: 227

Sinopsis buku

Cerita diawali pertemuan Ica dengan seorang anak putus sekolah yang baru pulang memulung sampah.
Ica yang hatinya mudah tersentuh menjadi gundah. Berbekal pengalamannya mengajar di berbagai
sekolah independen di Jakarta, dia berniat mendirikan sebuah sekolah yang bisa menolong anak-anak di
kota kelahirannya, Bogor, mendapatkan pendidikan.

Beruntung Ica dipertemukan dengan Umi Hasna, seorang dokter yang giat memberikan pendidikan bagi
anak-anak Kampung Jukut, sebuah kampung kecil di kota Bogor. Ica pun mulai ikut mengajar. Bahkan,
Umi Hasna menyerahkan anak-anak kepada Ica dan memintanya meneruskan perjuangannya (hal. 54).

Dibantu Maya, sahabat yang bervisi sama dengannya, Ica mengumpulkan teman-teman alumni SMA
untuk ikut membantu mengajar. Mereka kemudian berunding untuk menyusun program serta
kurikulum ajar. Setiap hari Minggu, Ica dan teman-temannya menjalankan sekolah yang kemudian
dinamai Terminal Hujan (hal. 61). Walau hanya menumpang di kantor kelurahan, Ica cs tak pernah
kehabisan semangat.

Sementara itu, Farah terpaksa mengamen demi mengumpulkan uang untuk membawa ayahnya yang
sakit kanker hati ke rumah sakit. Farah mengikuti Tisa, seorang anak jalanan yang kehilangan kedua
orangtuanya karena kebakaran. Mereka menjadi sahabat yang rekat. Berdua, mereka menelusuri angkot
demi angkot serta jalanan kota Bogor demi mendapatkan receh. Mereka pun sempat berkenalan dengan
Ica yang memberikan uang dua puluh ribu rupiah (hal. 40).

Akibat mengamen dan tidak belajar, nilai Farah turun dan harus tinggal kelas. Ibunya berang dan
mencap Farah anak bodoh. Di hari lain, ibu Farah memergoki Farah sedang mengamen. Farah diseret
pulang. Mereka bertemu Ica yang baru pulang dari Terminal Hujan. Bersama Tisa, Ica mencoba
menyelamatkan Farah. Tisa menjelaskan alasan Farah mengamen. Ibunya terkejut dan tak menyangka
Farah melakukan itu untuk membantu sang ayah. Namun sayang, ayah Farah tak bisa bertahan dan
meninggal (hal. 99).

Selepas musibah itu, Farah―yang dahulu sudah ikut belajar bersama Umi Hasna―mulai belajar di
Terminal Hujan. Ia yang tinggal di kelas 2 ternyata masih kesulitan membaca dan berhitung. Dengan
amat sabar, Ica mengajari Farah dengan berbagai metode. Farah sempat menyerah dengan
‘kebodohannya’. Namun, berbekal keinginan untuk membanggakan ibu dan mendapat beasiswa
sembako dari Terminal Hujan, Farah tak menyerah. Ia belajar dengan keras setiap hari. Malahan, Farah
sempat sakit karena belajar hingga larut malam. “Saat ibunya sudah pergi tidur, Farah masih terjaga.
Meski banyak materi pelajaran yang tak dipahaminya, Farah tetap memaksakan diri berkutat dengan
buku-bukunya.” (hal. 132).

Usaha Farah yang keras itu belum membuahkan hasil. Ia hampir saja kehilangan semangat. Namun Ica
kembali memberinya harapan, bahwa bukan nilai yang menjadi tujuan, tapi bagaimana menikmati
proses kerja keras untuk meraihnya (hal. 140).

Dengan semangat baru, Farah kembali belajar dengan giat, bahkan ikut les tambahan yang
diperuntukkan bagi kelas 6. Ia selalu ingat janjinya pada para pengajar Terminal Hujan, “Farah janji akan
belajar giat. Farah ingin membahagiakan Bapak-Ibu. Farah ingin membanggakan kakak semua.” (hal.
122).

Pada akhirnya, Farah berhasil meraih rangking 3 pada semester berikutnya. Ia juga berhasil membawa
pulang beasiswa dari Terminal Hujan. Dalam epilog novel ini, diceritakan Farah kembali bertemu Tisa
yang ternyata masih memiliki keluarga, yaitu paman satu-satunya. Dua sahabat itu pun kembali bersama
dan membangun mimpi di Terminal Hujan (hal. 226).

Membaca novel ini, kita diajak menyelami hati untuk lebih peduli pada nasib pendidikan anak-anak yang
kurang beruntung. Kita juga disadarkan agar tak perlu menjadi sempurna dulu untuk mulai
menghidupkan semangat tolong-menolong.

Kelebihan buku
Yang patut menjadi inspirasi dari ide novel ini adalah inisiatif anak-anak muda yang mau berbagi ilmu
kepada mereka yang tak sanggup membayar. Mereka—dalam novel ini dipimpin oleh Valesia—memberi
waktu, uang, tenaga, bahkan perhatian pada anak-anak terlantar. Jadi, setidaknya novel ini bisa pula
membangkitkan hasrat di hati para anak muda lain yang membaca.

Ide menuangkan pengalaman bersama komunitas tertentu dan menjadikannya sebuah cerita bisa
menjadi menarik. Bisa juga tidak kalau hanya sekadar menempelkan tokoh-tokoh ke dalamnya dan
memaksakan sebuah jalan cerita. Saya yakin penulis sudah berusaha agar kaitan antara para tokoh dan
ide yang diusung terlihat jelas. Hal ini penting supaya pembaca tak seperti sedang membaca buku teks
pengetahuan aja ditambah ilustrasi. Namanya juga novel, sebisanya artistik dan menarik (dalam tatanan
yang sesuai dengan ukuran sebuah novel).

Pada beberapa bagian, ada juga kok hal yang menarik. Misalnya, diksi penulis yang lumayan. Artinya,
layak menjadi bahan bacaan. Lancar dan bisa dipahami.

♠♠♠

Kekurangan buku

Menurut penjelasan penulis, tokoh Farah adalah anak kelas 2 SD. Berarti usianya sekitar 7-8 tahun. Pada
usia seperti itu, seorang anak biasanya masih senang bermain. Apa yang mereka pikirkan pun biasanya
sederhana saja. Namun, yang saya temukan dalam novel ini adalah anak kecil berpikiran sangat dewasa.
Ia mengetahui ada masalah dalam keluarganya, dan ia ingin menemukan solusinya. Jarang banget anak-
anak seperti itu pada masa sekarang. Apalagi kalau sudah dimanjakan oleh bermacam-macam fasilitas
dari orangtua.

Banyak juga kesalahan ejaan dalam novel ini

Anda mungkin juga menyukai