Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM

ANALGESIK PADA MENCIT

Di susun oleh:

Yelda Ratu Thaharah

2A

P07139018038

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH

JURUSAN D3 FARMASI

2020

I. TINJAUAN PUSTAKAN

Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan akhirnya akan
memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional
yang tidak nyaman,berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan
halhanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentangadanya gangguan di
jaringan seperti peradangan, rematik, encok atau kejang otot (Tjay, 2007).

Reseptor nyeri (nociceptor ) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot, tulang, dan sendi.
Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras nyeri cepat dengan
neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan neurotransmiternya substansi P (Guyton &
Hall, 1997;Ganong, 2003).

Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan prostaglandin
merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi kulit, mukosa serta jaringan lain
dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di
seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak
melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum- belakang,
sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus impuls kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak
besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjaydan Rahardja, 2007).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri
harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi
jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang
disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-
kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain.
Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di
salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsum
tulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke
pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).

Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

1. Analgesik opioid : Agonis opioid menghasilkan efek analgesic dengan cara berkaitan dengan specific
G protein-coupled receptors yang berlokasi di dalam otak dan spinal cord untuk memodulasi rasa
sakit
Senyawa aktif : Kodein, Fetanil, Metadon, Morfin, Tramadol(opioid sintesis)
2. Analgesik non opioid
Dapat berefek juga sebagai antipiretik dan anti inflamasi non steroid (NASAIDs)
Senyawa aktif: Aspirin, Asam aseil salisilat, Celecoxib,Diklofenak, Ibu profen, Asetaminofen/Paracetamol
(PCT)

. Ada 3 golongan obat ini yaitu (Medicastore,2006) :

1.Obat yang berasal dari opium-morfin


2.Senyawa semisintetik morfin 3)
3.Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

II. ALAT DAN BAHAN

Alat:

-Spuit injeksi

-Stop Watch

- Sonde

Bahan:

-Larutan cmc 1%

-Paracetamol 500mg
-Larutan steril Asam Asetat

III. PROSEDUR KERJA

1.Mencit yang akan di uji coba terlebih dahulu dijinakan,lalu ambil mencit berikan suspense paracetamol
dalam CMC-NA 1% sebanyak 0.15ml,kemudian ditunggu sampai 30 menit

2. pemberian asam asetat 1% sebanyak 0.1cc secara intraperitonial,setelah 5 menit diamati catat jumlah
respon nyerii yang timbul pada mencit

IV. Hasil

Hasil yang di dapatkan dari respon nyeri yang timbul pada mencit setelah 5 menit adalah:

1. Menjilat kaki depan


2. Melakukan perengangan
3. Menjilat kaki depan
4. melakukan perengangan
5. Melakukan perengangan
6. Menjilat kaki depan
7. Menjilat kaki depan
8. Melakukan perengangan
9. Melakukan perengangan

Dari hasil tersebut yang dpapat disimpulkan: menjilat kaki depan sebanyak 4 kali dan melakukan
perengangan sebanyak 5 kali.

V. DAFTAR PUSTAKA

Charles,dkk.2009. Drug Information Handbook . Apha.Ohio.Lexi-Com inc.

Diphalma, J. R., Digregorio, G. J. 1986. Basic Pharmacology in Medicine. 3th ed.

New York: Mcgraw-hill PublishingCompany: 319-20

Ganong, William F, 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari

Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC.

Gilang. 2010. Analgesik non-opioid atau NSAID/OAINS

. Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, diterjemahkan

oleh Amalia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Lukmanto, H., 1986,Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia,Edisi II, Jakarta.


Medicastore. 2006.Obat Analgesik Antipiretik.

Siswandono dan Soekardjo, B., (2000). Kimia Medisinal . Edisi 2. Surabaya:

Airlangga University Press.

Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007,Obat-obat Penting , PT Gramedia, Jakarta.

Sunaryo, Wilmana. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit FK

UI: 224-33

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia edisi 3, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM

ANTIINFLAMASI

Di susun oleh:

Yelda Ratu Thaharah

2A

P07139018038

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH

JURUSAN D3 FARMASI

2020

I. TINJAUN PUSTAKA

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan
oleh terauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha
tubuh untuk mengaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan
dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Namun kadang-kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan
oleh suatu respon imun, seperti asma atau artritis rematoid, atau suatu zat yang tidak berbahaya
seperti tepung sari. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang
rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi
amin seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, lipid seperti prostaglandin, peptida kecil seperti
bradikinin dan peptida besar seperti interleukin. Penemuan variasi yang luas diantara mediator
kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat anti inflamasi dapat
mempengaruhi kerja mediator utama yang penting pada suatu tipe inflamasi, tetapi tanpa efek
pada proses inflamasi yang tidak melibatkan mediator tanpa target (Mycek, 2001)
Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil dan semua
jaringan. Umumnya bekerja bekerja lokal pada tempat prostaglandin tersebut disintesis, dan
cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu, prostaglandin
tidak bersirkulasi dengan konsentrasi bermakna dalam darah. Tromboksan, leukotrin, dan asam
hidroksi perosieikosatetraenoat merupakan lipid yang berkaitan disintesis dari prekursor yang
sama sebagai prostaglandin memakai jalan yang berhubungan.

PG  hanya berperan pada yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau iflamasi.
Penelitian tellah membuktikan bahwa PG menyebabkan snsti reseptor nyeri terhadap stimulasi
mekasik dan kimiawi ,jadi PG menimbulkan keadaan hiperalgesia.Kemudian mediator kimiawi
seperti bradikinin dan histamin  merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata  obat mirip
aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh efek langsung PG. Ini
menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat ini dan bukannya blokade
jantung (Wilmana,F.P., 1995)

Prostaglandin dan metabolismenya yang dihasilkan secara endogen dalam jaringan bekerja
sebagai tanda lokal menyesuaikan respon tipe sel spesifik. Fungsi dalam tubuh bervariasi secara
luas tergantung pada jaringan. Misalnya pelepasan TXA2 dari trombosit  mencetuskan
penambahan trombosit baru untuk agregasi ( langkah pertama pada pembentukan gumpalan).
Namun pada jaringan lain  peningkatan kadar TXA2 membawa tanda yang berbeda, misalnya
otot polos tertentu senyawa ini menginduksi kontraksi. Prostagladin merupakan salah satu
mediator kimiawi yang dilepasklan pada proses agresi alergi dan inflamasi. (Mycek, M.J., 2001)

Radang merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan
pada jaringan, yang berfungsi untuk menghancurkan, mengurangi atau mengurung (sekuester)
baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Tanda-tanda pokok peradangan akut
mencakup pembengkakan atau edema, kemerahan, panas, nyeri dan perubahan fungsi. Hal-hal
yang terjadi pada proses radang akut sebagian besar dimungkinkan oleh pelepasan berbagai
macam mediator kimia, antara lain amina vasoaktif, protease plasma, metabolit asma
arakhidonat, produk leukosit dan berbagai macam lainnya (Rustam, 2007).

Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang
adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai
jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang
ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan
sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi
sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-
perubahan imunologik (Rukmono, 2000).

Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler
disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan
cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor
dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi
ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang
disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton, 1997).

Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang berperan, di
antaranya adalah sebagai berikut (Abrams, 2005) :

∙         amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi melalui
inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama plasma protease: kinin, sistem
komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi
komplemen

∙         metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 , 5-HETE
(asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)

∙          produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin

∙         activating factor dan radikal bebas

Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda
radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi,
sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan
hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa
sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir
yaitu functio laesa (perubahan fungsi) ( Mitchell, 2003).

Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang
mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi
lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut
hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams,
2005).

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan
pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37 oC disalurkan ke
permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal (Rukmono,
2000).

Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung
saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa
sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang
meradang (Rukmono, 2000).

Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh


pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari
cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Rukmono, 2000).
Banyak obat – obat antiinflamasi yang bekerja dengan jalan menghambat sintesis salah satu
mediator kimiawi yaitu prostaglandin. Sintesis prostaglandin yaitu (Mycek, 2001 ) :

Asam arakidonat, suatu asam lemak 20 karbon adalah prekursor utama prostaglandin dan
senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam komponen fosfolipid membran sel,
terutama fosfotidil inositol dan kompleks lipid lainnya. Asam arakidonat bebas dilepaskan dari
jaringan fosfolipid oleh kerja fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Melalui suatu proses yang
dikontrol oleh hormon dan rangsangan lainnya. Ada 2 jalan utama sintesis eukosanoid dari asam
arakidonat

1.    Jalan siklo-oksigenase

Semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin


disintesis melalui jalan siklo – oksigenase. Telah diketahui dua siklo-oksigenase : COX-1 dan
COX-2 Yang pertama bersifat ada dimana – mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua
diinduksi dalam respon terhadap rangsangan inflamasi.

2.    Jalan lipoksigenase

Jalan lain, beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arakidonat untuk membentuk
HPETE, 12-HPETE dan 15-HPETE yang merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang
dikorvensi menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai (HETES) atau menjadi leukotrien atau
lipoksin, tergantung pada jaringan.

Obat – obat anti radang dibagi menjadi dua golongan utama, golongan kortikostreroid dan
nonsteroid.

Obat – obat yang digunakan untuk sebagai anti inflamasi non steroid antara lain ( Mycek,
2001 ):

1.    Aspirin dan salisilat lain

Mekanisme kerjanya : efek antipiretik dan anti inflamasi salisilat terjadi karena penghambatan
sintesis prostaglandindi pusat pengatur panas dan hipotalamus dan perifer di daerah target. Lebih
lanjut,  dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi reseptor
rasa sakit  terhadap rangsangan mekanis dan kimiawi.

2.    Derivat asam propionat

Obat – obat ini menghambat reversible siklo-oksigenase dan karena itu, seperti aspirin
menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menghambat leukotrien.

3.    Asam Indolasetat


Yang termasuk dalam grup obat  - obat ini adalah indometasin, sulindak dan etolondak. Semua
mempunyai aktivitas antiinflamasi , analgetik dan antipiretik. Bekerja dengan cara menghambat
siklo-oksigenase secara reversible. Umumnya tidak digunakan untuk menurunkan demam.

4.    Derivat oksikam

Pada waktu ini, hanya piroksikam yang tersedia di amerika serikat. Anggota lain dalam grup ini
sedang diselidiki dan mungkin akan disediakan juga. Mekanisme kerjanya belum jelas, tetapi
piroksikam digunakan untuk pengobatan artritis rematoid, spondilitis ankilosa, dan osteoartritis.

5.    Fenamat

Asam mefenamat dan meklofenamat tidak mempunyai anti inflamasi dibandingkan obat AINS
yang lain. Efek samping seperti diare dapat berat dan berhubungan dengan peradangan abdomen.

6.    Fenilbutazon

Fenilbutazon mempunyai efek anti inflamasi  kuat tetapi tetapi aktivitas analgetik dan
antipiretiknya lemah. Obat ini bukan merupakan obat first line.

7.    Obat – obat lain

a.    Diklofenak : Penghambat siklo – oksigenase. Diklofenak digunakan untuk pengobatan jangka
lama arthritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.

b.    Ketorolak : Obat ini bekerja sama seperti obat AINS yang lain

c.    Tolmetin dan nabumeton : Tolmetin dan nabumeton sama kuatnya dengan aspirin dalam
mengobati artritis rematoid atau osteoartritis dewasa.

Golongan kortikostreroid

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormone adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan
oleh kelenjar hipofisis atau atas angiotensin II. Hormone ini berperan pada banyak system
fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stress, tanggapan system kekebalan tubuh
dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah,
serta tingkah laku. Dengan efek yang sama, bahkan berlipat ganda, maka kortikosteroid sanggup
mereduksi sistem imun (kekebalan tubuh) dan inflamasi (doctorology.net).

Obat kortikosteroid anti-inflamasi, seperti kortisol dan prednisone menghambat pengaktifan


fosfolipase A2 dengan menyebabkan sintesis protein inhibitor yang disebut lipokortin. Lipokortin
menghambat aktifitas fosfolipase sehingga membatasi produksi PG. Preparat steroid juga
mengganggu fungsi limfosit sehingga produksi IL menjadi lebih sedikit. Keadaan ini mengurangi
komunikasi antar limfosit dan proliferasi limfosit. Oleh karena itu, pasien uang menggunakan
steroid dalam jangka pnjang lebih rentang terkena infeksi. (Chang dan Daly, 2009).
Karagenan

Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru, mengukur
kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkraman tikus yang
disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu mukopolisakarida yang diperoleh
dari lumut laut Irlandia, Chondrus crispus. Zat antiradang yang paling banyak digunakan diklinik
untuk menekan edema macam ini. Sifat antiradang indometasin, yaitu zat antiradang nonsteroid
yang banyak dipakai, pada mulanya ditentukan uji karagenan. (Hamor, G.H., 1996).

Karagenan polisakarida dari algae, suatu ekstrak rumput laut, yang memiliki sejumlah manfaat,
terutama dalam industri makanan dan sejenisnya. Karagenan adalah suatu senyawa hidrokoloid
yang terdiri atas ester kalium, natrium dan magnesium atau kalsium sulfat dengan galaktosa dan
kopolimer 3,6 anhidrogalaktosa (Fajar RP, 2005). Menurut Guiseley et. alkaragenan adalah
polisakarida dengan rantai lurus (linier) yang terdiri dari D-glukosa 3.6 anhidrogalaktosa dan
ester sulfat.

Berdasarkan kandungan sulfatnya, karagenan dibedakan menjadi 2 fraksi kappa karagenan


dengan kandungan sulfat kurang dari 28% dan iota karagenan dengan kandungan sulfat lebih
dari 30%. Sedangkan menurut Peterson and Johnson, berdasarkan struktur pendulangan unit
polisakarida, karagenan dapat dibagi menjadi tiga fraksi utama (k-(kappa), λ-(Lambda), dan ί-
(iota) karagenan. Secara prinsip fraksi-fraksi karagenan ini berbeda dalam nomor dan posisi grup
ester. (Jatilaksono, 2007).

II. ALAT DAN BAHAN


● Pletismometer
● Spuit injeksi 1ml
● Karagen 1% dalam tilosa 1%
● Timbangan tikus

Obat yang digunakan

-Diphenydramin

-Metil prednisolone

-Larutan tilosa 1%

III. CARA KERJA


1. Ambil tikus lalu di timbang

Hewan coba yang digunakan adalah tikus jantan

Hewan coba ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:

Kelompok control: Tilosa 1%


Kelompok perlakuan:- Diphenydramine

- Metil predrisolon

2. Beri tanda tikus pada kedua kaki hingga diatas lutut dengan menggunakan spidol
3. Pada kelompok control tilosa 1%
Lakukan injeksi dengan larutan tilosa 0,5ml secara intraperironil dan lakukan juga hal yang sama
pada kelompok :Diphenydramine,Metil prednisolone dan tunggu selama 30 menit
4. Setelah 30 menit injeksikan larutan karagen 1% dalam tilosa 1% sebanyak 0.1ml pada tikus
masing-masing kelompok.
5. Lalu obat disuntikan pada bagian telapak kaki tikus
6. Lalu ukur volume edema yang terjadi dengan mencelupkan telapak kaki tikus pada air raksa
didalam alat platismometer
7. Setelah itu hitung pergerakan air raksa dan ukur pembesaran volume yang terjadi dan
8. lakukan juga pada kelompok tikus yang lain.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Rukmono. 2000. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian patologi anatomik FK UI:

Abrams. 2005. Respon Tubuh Terhadap Cedera. EGC : Jakarta.

Guyton, A.C. & Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.

Hoan Tjay dan Kirana Rahardja. 2007. Obat–Obat Penting. Elex Media  Komputindo: Jakarta.

Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. 2003. Inflamasi Akut dan Kronik. Philadelphia: Elsevier
Saunders.

Mycek,j mary. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika: Jakarta.

LAPORAN PRAKTIKUM

LAKSATIF & ANTIDIARE

Di susun oleh:
Yelda Ratu Thaharah

2A

P07139018038

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH

JURUSAN D3 FARMASI

2020

I. TINJAUAN PUSTAKA

Laksatif adalah obat yang dapat memperlancar defekasi (buang air besar) sedangkan
antidiare adalah obat yang dapat mengurangi frekuensi defekasi. Secara farmakologi, kedua
obat ini bekerja saling berlawanan. Secara umum disatu sisi mempercepat laju transit usus,
sedangkan yang lainnya memperlambatnya. Melalui mekanisme tersebut maka laju absorpsi
disaluran cerna akan diperlambat atau dipercepat. Diare adalah suatu keadaan meningkatnya
berat dari fases (>200 mg/hari) yang dapat dihubungkan dengan meningkatnya cairan,
frekuensi BAB, tidak enak pada perinal, dan rasa terdesak untuk BAB dengan atau tanpa
inkontinensia fekal (Daldiyono, 1990). Diare atau diarrhea merupakan kondisi rangsangan
buang air besar yang terus menerus disertai keluarnya feses atau tinja yang kelebihan cairan,
atau memiliki kandungan air yang berlebih dari keadaan normal. Umumnya diare menyerang
balita dan anak-anak. Namun tidak jarang orang dewasa juga bisa terjangkit diare. Jenis
penyakit diare bergantung pada jenis klinik penyakitnya (Anne, 2011)

Klinis tersebut dapat diketahui saat pertama kali mengalami sakit perut.Ada lima jenis klinis
penyakit diare, antara lain:

1. Diare akut, bercampur dengan air. Diare memiliki gejala yang datang tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari. Bila mengalami diare akut, penderita akan mengalami
dehidrasi dan penurunan berat badan jika tidak diberika makan dam minum.

2. Diare kronik. Diare yang gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari yang disebabkan oleh virus,
Bakteri dan parasit, maupun non infeksi.
3. Diare akut bercampur darah. Selain intensitas buang air besar meningkat, diare ini dapat
menyebabkan kerusakan usus halus,spesis yaitu infeksi bakteri dalam darah, malnutrisi atau
kurang gizi dan dehidrasi.

4. Diare persisten. Gejalanya berlangsung selama lebih dari 14 hari. Dengan bahaya utama
adalah kekurangan gizi. Infeksi serius tidak hanya dalam usus tetapi menyebar hingga keluar
usus.

5. Diare dengan kurang gizi berat. Diare ini lebih parah dari diare yang lainnya, karena
mengakibatkan infeksi yang sifatnya sistemik atau menyeluruh yang berat, dehidrasi,
kekurangan vitamin dan mineral. Bahkan bisa mengakibatkan gagal jantung. Beberapa hal yang
dapat menyebabkan diare antara lain (National Digestive Diseases Information Clearinghouse,
2007) :

● infeksi bakteri: beberapa jenis bakteri dikonsumsi bersama dengan makanan atau
minuman, contohnya: Campylobacter, Salmonella, Shigella,dan Escherichia coli (E.coli).
● infeksi viru: beberapa virus menyebabkan diare, termasuk rotavirus, Norwalk virus,
cytomegalovirus, herpes simplex virus, and virus hepatitis.
● intoleransi makanan: beberapa orang tidak mampu mencerna semua bahan makanan
misalnya pemanis buatan dan laktosa.

Reaksi atau efek samping pengobatan antibiotik, penurun tekanan darah, obat kanker dan
antasida mengandung magnesium yang mampu memicu diare.

● gangguan intestinal
● kelainan fungsi usus besar

Pada anak anak dan orang tua diatas 65 tahun diare sangat berbahaya. Bila penanganan
terlambat dan mereka jatuh ke dalam dehidrasi berat maka bisa berakibat fatal. Dehidrasi
adalah suatu keadaan kekurangan cairan, kekurangan kalium (hipokalemia) dan adakalanya
acidosis (darah menjadi asam), yang tidak jarang berakhir dengan shock dan kematian. Keadaan
ini sangat berbahaya terutama bagi bayi dan anak-anak kecil, karena mereka memiliki
cadangan cairan intrasel yang lebih sedikit sedangkan cairan ekstra-selnya lebih mudah lepas
daripada orang dewasa (Adnyana, 2008).

Mekanisme timbulnya diare.

Berbagai mikroba seperi bakteri, parasit, virus dan kapang bisa menyebabkan diare dan
muntah. Keracunan pangan yang menyebabkan diare dan muntah, disebabkan oleh pangan dan
air yang terkontaminasi oleh mikroba. Pada tulisan ini akan dijelaskan mekanisme diare dan
muntah yang disebabkan oleh mikroba melalui pangan terkontaminasi. Secara klinis, istilah
diare digunakan untuk menjelaskan terjadinya peningkatan likuiditas tinja yang dihubungkan
dengan peningkatan berat atau volume tinja dan frekuensinya. Seseorang dikatakan diare jika
secara kuantitatif berat tinja per 24 jam lebih dari 200 gram atau lebih dari 200 ml dengan
frekuensi lebih dari tiga kali sehari (Putri, 2010).

Diare yang disebabkan oleh patogen enterik terjadi dengan beberapa mekanisme. Beberapa
patogen menstimulasi sekresi dari fluida dan elektrolit, seringkali dengan melibatkan
enterotoksin yang akan menurunkan absorpsi garam dan air dan/atau meningkatkan sekresi
anion aktif. Pada kondisi diare ini tidak terjadi gap osmotic dan diarenya tidak berhubungan
dengan isi usus sehingga tidak bisa dihentikan dengan puasa. Diare jenis ini dikenal sebagai
diare sekretory. Contoh dari diare sekretori adalah kolera dan diare yang disebabkan oleh
enterotoxigenic E coli (Putri, 2010).

Beberapa patogen menyebabkan diare dengan meningkatkan daya dorong pada kontraksi otot,
sehingga menurunkan waktu kontak antara permukaan absorpsi usus dan cairan luminal.
Peningkatan daya dorong ini mungkin secara langsung distimu-lasi oleh proses patofisiologis
yang diaktivasi oleh patogen, atau oleh peningkatan tekanan luminal karena adanya akumulasi
fluida. Pada umumnya, peningkatan daya dorong tidak dianggap sebagai penyebab utama
diare tetapi lebih kepada faktor tambahan yang kadang-kadang menyertai akibat-akibat
patofisiologis dari diare yang diinduksi oleh patogen (Putri, 2010).

Pada beberapa diare karena infeksi, patogen menginduksi kerusakan mukosa dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas mukosa. Sebaran, karakteristik dan daerah yang
terinfeksi akan bervariasi antar organisme. Kerusakan mukosa yang terjadi bisa berupa difusi
nanah oleh pseudomembran sampai dengan luka halus yang hanya bisa dideteksi secara
mikroskopik. Kerusakan mukosa atau peningkatan permeabilitas tidak hanya menyebabkan
pengeluaran cairan seperti plasma, tetapi juga mengganggu kemampuan mukosa usus untuk
melakukan proses absorbsi yang efisien karena terjadinya difusi balik dari fluida dan elektrolit
yang diserap. Diare jenis ini dikenal sebagai diare eksudatif. Penyebabnya adalah bakteri
patogen penyebab infeksi yang bersifat invasive (Shigella, Salmonella) (Putri, 2010).

Pada konsentrasi encer (1 : 25.000) Nifuroxazide masih memiliki daya bakterisidal. Obat diare
ini diindikasikan untuk dire akut, diare yang disebabkan oleh E.coli & Staphylococcus,kolopatis
spesifik dan non spesifik, baik digunakan untuk anak-anak maupun dewasa.

4. Dioctahedral smectite

Dioctahedral smectite (DS), suatu aluminosilikat nonsistemik berstruktur filitik, secara in vitro
telah terbukti dapat melindungi barrier mukosa usus dan menyerap toksin, bakteri, serta
rotavirus. Smectite mengubah sifat fisik mukus lambung dan melawan mukolisis yang
diakibatkan oleh bakteri. Zat ini juga dapat memulihkan integritas mukosa usus seperti yang
terlihat dari normalisasi rasio laktulose-manitol urin pada anak dengan diare akut (Putri, 2010).

LAKSATIF

1. Definisi Laksatif atau urus-urus atau pencahar ringan adalah obat yang berkhasiat untuk
memperlancar pengeluaran isi usus. Disebut juga sebagai aperientsdan aperitive.
2. Mekanisme Kerja Laksatif Mekanisme pencahar yang sepenuhnya masih belum jelas,
namun secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat massa,
konsistensi, dan transit feses bertambah.
b. Laksatif bekerja secara langsung ataupun tidak langsung pada mukosa kolon dalam
menurunkan absorbs NaCl dan air
c. Laksatif juga dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorbs
garam dan air yang selanjutnya mengubah waktu transit feses.

II. ALAT DAN BAHAN

Alat

1. spuit injeksi dan jarum 1ml


2. sonde oaral
3. sarung tangan
4. timbangan hewan
5. alat tes glukosa (ACCU check)
6. alat-alat gelas sesuai kebutuhan

Bahan

1. larutan glukosa 50%


2. Na cmc 0.5%
3. Tablet gibenklamid 5mg
4. Tablet akarbose 50mg
5. Metformin 500mg

III. PROSEDUR KERJA

1. Timbang hewan uji, setelah didapatkan berat badan hewan uji,Setelah dilakukan
penimbangan berat badan hewan uji maka dapat dihitung Vao dari masing masing
hewan uji
2. Kemudian diambil obat sesui Vao yang telah dihitung,usahakan obat dalam spuit tidak
ada gelembung
3. setelah itu disuntikan secara oral kepada hewan uji
4. selanjutnya masukan obat bisakodil secara oral kepada hewan uji
5. Setelah 5 menit,mencit kemudian diberikan norit 1% dari berat badan secara oral
6. Kemudian mencit didiamkan selama 15 menit untuk kemudian dilakukan pengamatan
7. Setelah 15 menit dilakukan dislokasi leher
8. Bedah hewan uji untuk melihat usus mencit
9. Potong usus mencit mulai dari piralus sampai ke katokdiloksekalinya
10. Rentangkan usus lalu diukur panjang usus yang ditempuh oleh norit

IV. HASIL

Hasil yang didapatkan dari penimbangan berat badan hewan uji adalah 23gram

23g,bisakodil 30mg x 0,026=0,078mg/20g

BB x dosis
Vao= c

23 gram x 0,078 mg/20 g


=
0,4 mg/ml

=0,22ml

Jadi vao yang di dapatkan sebanyak=: 0,22ml

Untuk panjang usus yang di tempuh oleh norit = 31cm

Panjang usus sebenarnya = 52 cm

V. DAFTAR PUSTAKA

Daldiyono. 1990. Diare, Gastroenterologi-Hepatologi Jakarta : Infomedika.Hal : 14-4.

Harkness, Richard. 1984. Interkasi Obat . Bandung : Penerbit ITB

Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007. Farmakologi dan Terapi ed 5Jakarta : Penerbit UI
Press.

Anne, Ahira. 2011. Penyakit Diare Akut. http://www.anneahira.com/diare-akut.htm. [Diakses


tanggal 10 April 2011]
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Adnyana, Ketut. 2004. Sekilas Tentang Diare

National Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2007.


http://dokterahimsa.blogspot.com/2011/12/interna gastroenterohepatologi-laksatif.html

http://www.blogdokter.net/2008/10/30/sekilas-tentang-diare/. [Diakses tanggal 10 April 2011]

LAPORAN PRAKTIKUM

ANTIDIABETES

Di susun oleh:

Yelda Ratu Thaharah

2A

P07139018038

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH

JURUSAN D3 FARMASI

2020
I. TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. (Syahfudin,
2002, hlm. 32). Diabetes melitus adalah diabetes yang berkaitan dengan kadar gula dalam tubuh, juga
dikenal dengan nama kencing manis. (Tjahjadi, 2011, hlm. 3)

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk
memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan yang tidak efektif dari insulin. Hal ini ditandai
dengan tingginya kadar glukosa dalam darah. Penyakit ini membutuhkan perhatian dan perawatan
medis dalam waktu lama baik untuk mencegah komplikasi maupun perawatan sakit. DM ada yang
merupakan penyakit genetik atau disebabkan keturunan disebut DM tipe 1 dan yang disebabkan gaya
hidup disebut DM tipe 2. Gaya hidup yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi
DM, jika dicermati ternyata orang-orang yang gemuk mempunyai resiko terkena DM lebih besar dari
yang tidak gemuk . (Tan dan Raharja, 2002).

Menurut klasifikasi klinisnya diabetes melitus dibedakan menjadi :

a. Tipe 1 (DMT1) adalah insufisiensi absolut insulin.

b. Tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin yang disertai defek sekresi insulin dengan derajat bervariasi

c. Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul pada saat hamil (Kowalak & Welsh, 2003, hlm. 519).

d. Gangguan toleransi glukosa (GTG), kadar glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes
atau menjadi normal atau tetap tidak berubah. (Price, 1995, hlm. 1259).  

Pengaturan Metabolisme Glukosa oleh Insulin

Metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus adalah dua mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.
Keterkaitan antara metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus dijelaskan oleh keberadaan hormon
insulin. Penderita diabetes mellitus mengalami kerusakan pada produksi maupun sistem kerja insulin,
padahal insulin sangat dibutuhkan tubuh dalam menjalankan fungsi regulasi metabolisme karbohidrat.
Akibatnya, penderita diabetes mellitus akan mengalami gangguan pada metabolisme karbohidrat.
Insulin merupakan polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β pankreas yang terdiri atas dua rantai
polipeptida. Struktur insulin manusia dan beberapa spesies mamalia kini telah diketahui. Insulin manusia
terdiri atas 21 residu asam amino pada rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai ini
dihubungkan oleh adanya dua buah rantai disulfida (Granner, 2003).

Insulin disekresi sebagai respon atas meningkatnya konsentrasi glukosa dalam plasma darah.
Konsentrasi ambang kadar glukosa untuk sekresi tersebut adalah antara 80-100 mg/dL (pada saat
puasa). Sementara itu, respon maksimal diperoleh pada kadar glukosa yang berkisar antara 300-500
mg/dL. Insulin yang disekresikan dialirkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Umur insulin dalam
aliran darah sangat cepat, waktu paruhnya kurang dari 3-5 menit. Sel-sel tubuh menangkap insulin pada
suatu reseptor glikoprotein spesifik yang terdapat pada membran sel. Reseptor tersebut berupa
heterodimer yang terdiri atas subunit α dan subunit β dengan konfigurasi α2β2. Subunit α berada pada
permukaan luar membran sel dan berfungsi mengikat insulin. Subunit β berupa protein transmembran
yang melaksanakan fungsi tranduksi sinyal. Bagian sitoplasma subunit β mempunyai aktivitas tirosin
kinase dan tapak autofosforilasi (King, 2007).

Terikatnya insulin subunit α menyebabkan subunit β mengalami autofosforilasi pada residu tirosin.
Reseptor yang terfosforilasi akan mengalami perubahan bentuk, membentuk agregat, internalisasi dan
menghasilkan lebih dari satu sinyal. Kondisi dengan kadar insulin tinggi, misalnya: pada obesitas ataupun
akromegali, jumlah reseptor insulin berkurang dan terjadi resistansi terhadap insulin. Resistansi ini
diakibatkan terjadinya regulasi ke bawah. Reseptor insulin mengalami endositosis ke dalam vesikel
berbalut klatrin. Insulin mengatur metabolisme glukosa dengan memfosforilasi substrat reseptor insulin
(IRS) melalui aktivitas tirosin kinase subunit β pada reseptor insulin. IRS terfosforilasi memicu
serangkaian reaksi kaskade yang efek nettonya adalah mengurangi kadar glukosa dalam darah (Granner,
2003).

II.ALAT DAN BAHAN

Hewan uji : Mencit (MUS MUSCULUS)

Alat:

1. Squit oral dn 1m
2. Gunting bedah

3. Glukosa meter

4. Timbangan mencit.

III. PROSEDUR KERJA

1. Timbang hewan uji.di dapatkan BB mencit 24g

Dik: BB mencit = 24g

Konsentrasi insulin = 50mg/ml

Konsentrasi glukosa = 0,4mg/ml

Obat yang digunakan untuk uji coba ini adalah insulin

0.024 kg × 50iv /kgBB


Vao insulin =
50 mg/ml
= 0.024ml

0,024 ×2 mg/kgBB
Vao glukosa =
0,4 mg /ml

= 0,12ml

2. Cara penggunaan glukosa meter 1

a. Dipasangkan terlebih dahulu kode yang terdapat di dalam glukostrip

b. Dimasukan glukostrip kedalam alat

Cek terlebih dahulu kadar glukosa darah sebelum diberikan perlakuan dengan cara mengunting ujung
ekor mencit sepanjang ±1centi.kemudian darah dipencet keluar dan dimasukan kedalam glukostrip
tunggu 10 detik dan kelusr hasil kadar glukosa=92mg/dl itu merupakan kadar glukosa darah yang normal
dalam keadaan puasa.

Dalam praktikum ini hewan uji harus dipuasakan terlebih dahulu karena untuk menghindari dari
pengaruh makanan terhadap kadar glukosa darahnya.

3. Suntikan sampel/obat secara 1m

4. Tunggu selama 5 menit kemudian disuntikan secara oral glukosa untuk induksi diabetsnya.

5. Pemeriksaan kadar glukosa darah mencit dilakukan pada menit ke-15 dan menit ke-60

6. Dilakukan kadar glukosa darah mencit stelah 15 menit berlalu, hasil: 113

7. Dilakukan pengecekan kadar glukosa darah mencit setelah 60 menit dengan hasil 55

IV. HASIL

Dari percobaan tersebut hasil yang saya dapatkan yaitu kadar gula darah normal pada menit ke-15

V. DAFTAR PUSTAKA

Wilhiam, Skach,MD, dkk. 1996. Penuntun Terapi Medis (Hannd Book Of Medical

Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 7thed. New York: McGraw Hill.

Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, wells BG, Posey LM. 2008.

Ganiswarna, S.1995.Farmakologi danTerapi. FK-UI : Jakarta.

Gunawan, Sulistia Gan. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FKUI : Jakarta.
Sukarta Brunton LL, Lazo JS, dan Parker KL. 2006. Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of
Therapeutics 11th ed., California: McGraw-Hill.

Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Drug Information Handbook., American Pharmacist Association

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta : Dirktorat Bina Farmas Komunitas dan Klinik.

Slamet S. 2008. Diet Pada Diabetes dalam Noer dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. III. Jakarta: Balai
Penerbit FK-ill.

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKU.

Tjokroprawiro Askandar, 2001. Diabetes Mellitus : Klasifikasi Diagnosis dan

Terapi. Jakarta : Gramedia.

Ukandar, E. Y., J. I. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, Kusnandar. 2008. ISO

Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI Penerbitan. Jakarta

Utomo, A.Y., 2011. Hubungan Antara 4 Pilar Pengelolaan Diabetes Melitus

Dengan Keberhasilan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.Artikel karya

tulis ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro.p. 123-130.

Treatment). edisi 18. Jakarta : EGC

Lacy, F Charles., Lora, Armstrong., Morton, P, Goldman., Loenard L,L., 2009.,

Anda mungkin juga menyukai