SIROSIS HATI
Disusun oleh :
Muhammad Sholikhuddin Nafi’, dr.
Pembimbing:
Nyimas Maida Shofa, dr., Sp.PD
Pendamping :
Kurniati, dr., Sp.KK
Lisa Puspitorini, dr., Sp.S
ANAMNESIS
Keluhan Utama: BAB darah
2
kurang sejak 2 tahun yang lalu, warna kuning, namun pernah sekali berwarna seperti teh.
Muntah darah dan muntah hitam disangkal. Keluhan BAB hitam disangkal. Keluhan mata
kuning disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : GCS 456
Tekanan darah : 94/50 mmHg, pada lengan kanan dengan posisi berbaring.
Nadi : 87 x/ menit, teratur, kuat angkat
Pernapasan : 20 x/menit, teratur
Suhu : 36,7 oC
Berat badan : 62 kg
Tinggi badan : 172 cm
BMI : 21,35 (normal)
Kepala & leher : konjungtiva anemis +/+, ikterus (-), cyanosis (-), dyspneu (-).
pernafasan cuping hidung (-).
Thorax : simetris, bentuk normal, retraksi (-), deformitas (-) Spider nevi (-)
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : inspeksi gerak dada simetris, fremitus raba normal/normal,
perkusi sonor/sonor, vesikuler/vesikuler, wheezing -/-, rhonchi -/-
Abdomen : inspeksi membuncit, caput medusa (+), BU (+) normal, shifting dulness (+)
tes undulasi (+) hepar/lien sulit dievaluasi
Extremitas : akral hangat kering pucat, CRT < 2 detik, eritema palmaris (-)
edema pitting ekstrimitas bawah +/+.
Status lokalis : tidak tampak massa/benjolan pada anus. Pemeriksaan rectal touche
Tonus sphincter ani (+) normal, didapatkan feses (+), darah (-), massa (-).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP
Hb 3,8 g%
Leukosit 9.100
Trombosit 93.000
MCV 93
MCH 30
MCHC 32
PCV 12 %
Eo/Baso/Stab/Seg/Lym/Mono : 0/0/0/72/17/11
3
GDA 91 mg/dl
SGOT 72,9
SGPT 33,2
BUN 53,2
SC 10,05
Natrium 144
Kalium 5,3
Chloride 102
HbsAg Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
Anti-HIV Non Reaktif
eGFR: 7 mL/min
Albumin: 2,58
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Foto thorax
Kesimpulan:
Kedua sinus dan tulang tak tampak kelainan
Cor membesar ke kiri dengan konfigurasi LV
Ada tanda edema paru ringan
4
USG Abdomen (04-07-2015)
Kesimpulan:
1. Diffuse hepatomegali, dapat merupakan gambaran diffuse hepatoma
2. Splenomegali dengan ascites
3. Chronic parenchymal kidney disease bilateral
4. Calyectasis ringan ginjal kanan
Sebelumnya pasien pernah MRS di RS Semen Gresik sejak 5 tahun ini dengan
keluhan perut membesar dan dikatakan mempunyai sakit hepatoma. Pasien rutin HD
reguler hari senin & kamis di RS Semen Gresik karena penyakit ginjal kronik sejak 2
tahun ini. Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit darah tinggi sejak 10 tahun terakhir dengan riwayat pengobatan
dengan amlodipin. Pasien hanya kontrol ke dokter saat ada keluhan.
5
3. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa. Sakit kuning pada keluarga
disangkal.
4. Riwayat Sosial
Pasien merupakan lulusan SMP dan sehari-hari sebagai pensiunan pegawai KAI.
Konsumsi jamu pegal linu atau obat-obatan pereda nyeri (+). Riwayat penggunaan napza
(-), konsumsi alkohol (-), gonta-ganti pasangan (-) riwayat transfusi (+) sejak memiliki
riwayat PGK 2 tahun yang lalu.
Assesment
Sirosis hati + Anemia gravis + Hematochezia ec. Hemoroid interna + Asites permagna
+ CKD St. V HD Reguler + HT st. I JNC VII
Planning
Diagnosis: Albumin, DL post transfusi
Terapi:
- Transfusi PRC 1 bag/hari (pesan 2 bag)
- Inj. Pantoprazole 2 x 40 mg
- Inj. Asam traneksamat 3 x 500 mg
- P/O Sucralfat syrup 3 x CII
Monitoring
- Keluhan
- Vital Sign
- Balans cairan
Edukasi :
- Bed rest
- Minum obat secara teratur
Perkembangan Pasien
6
Tanggal S O A P
7
undulasi (+) - VipAlbumin 3 x 1
Pemeriksaan
penunjang:
DL:
Hb: 9,18
WBC: 9.060
Plt: 58.500
PCV: 26,4 %
Post HD:
BUN: 30,8
SC: 7,17
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sirosis Hati
1.1 Definisi
Sirosis hati merupakan perjalanan akhir dari perjalanan klinis yang panjang
dari semua penyakit hati kronis dengan tanda kerusakan parenkim hati (Setiati et
al., 2014). Istilah sirosis diperkenalkan oleh Laennec pada tahun 1826 dan diambil
dari bahasa Junani "scirrhus” dengan arti “warna oranye” yang menunjukkan
8
warna kuning kecoklatan dari permukaan hati yang tampak pada saat dilakukan
otopsi (Tjokroprawiro et al., 2015). Pada sirosis hati, telah terjadi perubahan
arsitektur jaringan hati yang ditandai dengan regenerasi nodular yang bersifat
difus dan dikelilingi oleh septa – septa fibrosis (Tanto et al., 2016).
1.2 Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit
kardiovaskular dan kanker pada penderita usia 45 tahun (Setiati et al., 2014).
Menurut data World Health Organization/WHO (2016), Indonesia memiliki
angka kematian (mortality rate) yang tinggi akibat sirosis hati yakni 51,1 per
100.000 penduduk pada jenis kelamin laki – laki & 27,1 per 100.000 penduduk
pada jenis kelamin perempuan.
Prevalensi sirosis hati di Indonesia belum didapatkan berupa data resmi
secara nasional. Namun prevalensi tersebut dapat dilihat berdasarkan data dari
beberapa Rumah Sakit Umum di Indonesia. Data dari Tambunan et al. (2011)
menunjukkan bahwa proporsi pasien sirosis hati dekompensata di RSUD dr.
Soedarso Pontianak sebesar 21,37%. Sedangkan secara umum prevalensi sirosis
hati di Pulau Jawa dan Sumatra sebesar 3,6 – 8,4 % (Tjokroprawiro et al., 2015).
Penderita sirosis hati lebih banyak pada laki – laki dibandingkan dengan
perempuan yakni dengan perbandingan 1,6-2,1 : 1 (Tjokroprawiro et al., 2015;
Setiati et al., 2014).
Penelitian terakhir terkait epidemiologi sirosis hati di Rumah sakit sekunder
di New Zealand menunjukkan bahwa penyebab umum sirosis hati adalah hepatitis
B kronik (37.3%), penyakit hati alkoholik (24.1%), hepatitis C kronik (22.3%) dan
NAFLD / non-alcoholic fatty liver disease (16.4%) (Hsiang et al. 2015). Penyebab
utama akibat hepatitis B kronik dan hepatitis C kronik didapatkan lebih tinggi
pada negara di Afrika & Asia dibandingkan di Eropa (Schuppan & Afdhal, 2008).
1.3 Klasifikasi
Klasifikasi sirosis hati dapat berdasarkan morfologi dan etiologi. Namun
klasifikasi etiologi lebih sering dipakai dibandingkan klasifikasi morfologi karena
saling tumpang tindih satu sama lain bila menggunakan morfologi.
Klasifikasi berdasarkan morfologi dapat berupa sirosis mikronoduler yang
berarti nodul berbentuk uniform dengan diameter < 3 mm; dapat berupa sirosis
makronoduler yang berarti nodul bervariasi dengan diameter > 3 mm; serta sirosis
9
campuran yang berarti kombinasi antara sirosis mikronoduler dan makronoduler
(Tjokroprawiro et al., 2015).
Penyebab sirosis mikronoduler antara lain: alkoholisme, hemokromatosis,
obstruksi bilier, obstruksi vena hepatika, pintasan jejunoilial & sirosis pada anak
India (Indian chilhood cirrhosis). Sedangkan penyebab sirosis makronoduler
antara lain hepatitis B kronik, hepatitis C kronik, defisiensi alfa-1 antitripsin dan
sirosi bilier primer (Tjokroprawiro et al., 2015).
1.4 Etiologi
Etiologi dari sirosis hati bermacam – macam. Seluruh penyakit hati yang
bersifat kronis dapat mengakibatkan sirosis hati. Pada masa lalu, etiologi tersering
di negara barat adalah konsumsi alkohol (Tanto et al., 2016). Namun saat ini
prevalensi hepatitis C mulai meningkat (26 %) dan menjadi penyebab utama
sirosis hati di Amerika serikat dibandingkan konsumsi alkohol (21 %)
(Tjokroprawiro et al., 2015).
Penyebab sirosis hati secara rinci tersedia dalam tabel berikut:
Tabel 1. Penyebab sirosis hati (Longo et al., 2012).
Penyebab Sirosis hati Jenis
Penyakit hati alkoholik
Hepatitis virus kronik Hepatitis B
Hepatitis C
Hepatitis autoimun
Non alcoholic steatohepatitis (NASH) / non-
alcoholic fatty liver disease
(NAFLD)
Sirosis bilier Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer
Kolangiopati autoimun
Sirosis kardiak
Penyakit hati metabolik yang diturunkanHemokromatosis
Wilsons’s disease
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Fibrosis sistik
Sirosis kriptogenik
1.5 Patogenesis
Sirosis hati merupakan stadium lanjut dari fibrosis hati yang disertai dengan
kelainan pembuluh darah hati (Schuppan & Afdhal, 2008). Sirosis dimulai dari
proses fibrogenesis yang akhirnya menuju proses pembentukan nodul regeneratif.
10
Fibrosis hati menggambarkan suatu proses penggantian jaringan hati sehat yang
mengalami jejas oleh jaringan ikat (kolagen). Induksi fibrosis pada hepar terjadi
akibat aktivasi sel Stelata / sel perisinusoidal. Pada keadaan normal, sel Stelata
bersifat “diam” dan berprean dalam penyimpanan retinoid. Namun, stimulus
berupa jejas dan reaksi inflamasi akan mengaktivasi sel Stelata sehingga
berploriferasi dan memproduksi matriks ekstraseluler (kolagen tipe I dan III,
proteoglikan sulfat dan glikoprotein) (Tanto et al., 2016). Hal tersebut
mengakibatkan penurunan massa hepatoseluler beserta fungsinya sehingga terjadi
perubahan aliran darah (Longo et al., 2012).
Secara normal, hati memungkinkan setiap hepatosit memiliki kontak
langsung dengan darah dari dua sumber: darah arteri yang berasal dari aorta dan
darah vena yang datang langsung dari saluran pencernaan. Hepatosit menerima
darah dari arteri hepatika yang memasok oksigen dan memberikan nutrisi yang
digunakan untuk kegiatan fisiologi hati. Darah vena memasuki hati melalui sistem
porta hepatis yakni sebuah koneksi vaskular yang unik dan kompleks antara
saluran pencernaan dan hepar. Vena-vena pada saluran pencernaan tidak langsung
bergabung dengan vena kava inferior. Sebaliknya, pembuluh darah dari lambung
dan usus memasuki vena porta, yang membawa produk dari saluran pencernaan.
Dalam hepar, vena porta sekali lagi memecah menjadi sinusoid untuk terjadi
pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum mengalir ke vena hepatika, yang
bergabung dengan vena cava inferior (Sherwood, 2010).
11
Gambar 1. Aliran darah ke hepar (Sherwood, 2010)
Sirosis hati menyebabkan pirau / shunting aliran darah dari vena porta dan
arteri hepatika ke aliran darah vena sentral sehingga mengakibatkan tidak
terjadinya pertukaran darah antara sinusoid dengan hepatosit. Pada keadaan
normal, sinusoid yang dilapisi oleh sel endotel fenestrated, bermuara pada
jaringan ikat permeabel (Celah Disse) yang berisi sel Stelata dan beberapa sel
mononuklear. Sedangkan pada sirosis, celah Disse dipenuhi oleh jaringan parut
dengan disertai hilangnya sel endotel fenestrated. Secara histologis, sirosis
ditandai oleh jaringan septa fibrotik vascularized yang menghubungkan vena
porta satu sama lain dan dengan vena sentral sehingga menyebabkan hepatosit
dikelilingi oleh septa fibrotik tanpa vena sentral. Sehingga konsekuensi klinis
utama sirosis adalah gangguan fungsi hati, peningkatan resistensi intrahepatik atau
hipertensi portal dan perkembangan karsinoma hepatoseluler (Schuppan &
Afdhal, 2008).
A B
12
1.6 Diagnosis
Pasien dengan sirosis hati dapat datang dalam keadaan asimtomatis yang
berarti tidak terdapat keluhan sama sekali (tahap sirosis hati kompensata), atau
dengan keluhan penyakit terkait komplikasi penyakit hati. Diagnosis sirosis hati
asimtomatis/kompensata biasanya dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi
hati atau penemuan radiologi sehingga pasien kemudian melakukan pemeriksaan
lebih lanjut bahkan hingga biopsi hati (Tjokroprawiro et al., 2015; Setiati et al.,
2014).
Sebagian besar pasien yang datang ke dokter sudah dalam tahap sirosis hati
dekompensata. Berikut tahapan diagnosis sirosis hati dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang:
1. Anamnesis
Beberapa keluhan dan gejala klinis yang sering timbul pada penderita
sirosis hati antara lain: kulit berwarna kuning, rasa capai, lemah, nafsu makan
menurun, gatal, mual, penurunan berat badan, nyeri perut, hilangnya rambut
pubis dan ketiak pada wanita, mudah berdarah dan berak hitam seperti petis
atau muntah darah (Setiati et al., 2014).
Pertanyaan terkait faktor risiko sirosis hati perlu ditanyakan kepada
pasien seperti riwayat konsumsi alkohol, penggunaan narkotik dalam bentuk
suntikan & riwayat penyakit hati menahun. Pasien dengan hepatitis B atau C
mempunyai kemungkinan tertinggi mengalami sirosis hati (Tjokroprawiro et
al., 2015).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pasien sirosis hati, secara runtut dapat ditemukan hasil pemeriksaan fisik
sebagai berikut: ikterus/jaundice, hepatomegali dan atau splenomegali pada
pemeriksaan palpasi abdomen, spider nevi (terutama pada kulit dada),
eritema palmaris, pembengkaan perut (asites) dan pembengkaan / edema
tungkai bawah (Tjokroprawiro et al., 2015).
A B
13
Gambar 3. Pemeriksaan fisik pada pasien sirosis hati. A. Spider nevi / spider
angioma pada pasien sirosis, bila tekanan di bagian sentral dihilangkan,
makan arteriol mengisi dari tengah & menyebar ke perifer. B. Eritema
palmaris pada pasien sirosis karena penyakit hati alkoholik, tanda eritem di
tepi & pucat di daerah sentral (Longo et al., 2012).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan pencitraan, endoskopi dan biopsi hati.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menilai fungsi hati dan
mencari etiologi dari sirosis hati.
Tabel 3. Tes laboratorium untuk sirosis hati (Setiati et al., 2014).
Jenis Pemeriksaan Hasil
Aminotransferase: ALT & AST Normal atau sedikit meningkat
Alkali fosfatase / ALP Sedikit meningkat
Gamma-glutamil transferase Korelasi dengan ALP, spesifik khas akibat
alkohol sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada tahap lanjut: prediksi
penting mortalitas
Albumin Menurun pada tahap lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Prothrombin time Meningkat karena penurunan produksi faktor
V/VII
Natrium serum Menurun akibat peningkatan ADH dan
14
aldosteron
Trombosit Menurun (hipersplenism)
Lekosit dan netrofil Menurun (hipersplenism)
Anemia Makrositik, normositik dan mikrositik
15
Komplikasi sirosis hati terjadi akibat dua mekanisme yakni: 1) hipertensi
porta & kondisi hiperdinamik serta 2) insufisiensi hati. Selain itu, sirosis hati
dapat berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler akibat perubahan materi
genetik pada hepatosit (Tanto et al., 2016).
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien tekanan vena
hepatik > 5 mmHg. Peningkatan resistensi aliran darah porta dan peningkatan
aliran masuk ke vena porta diakibatkan oleh perubahan struktur hepar &
vasokonstriksi sinusoid. Dampak hipertensi porta antara lain: 1) pembesaran limpa
dan sekuestrasi trombosit, 2) aliran darah balik & terbentuk pirau (shunting) dari
sistem porta ke pembuluh darah portosistemik 3) serta aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Sehingga secara klinis, hipertensi porta menyebabkan
varises gastro-esophagus, asites, sindrom hepatorenal, peritonitis bakterial
spontan, ensefalopati hepatikum, sindrom hepatopulmonal dan kardiomiopati
(Tanto et al., 2016).
Insufisiensi hati karena perubahan struktur hati menyebabkan penurunan
fungsi hati antara lain: 1) gangguan fungsi sintesis (hipoalbuminemia, defisiensi
vitamin K & koagulopati), 2) gangguan endokrin berupa estrogen meningkat &
paratiroidisme), 3) gangguan fungsi ekskresi (kolestasis, ikterus, hiperamonemia,
ensefalopati) dan 4) gangguan fungsi metabolisme (gangguan homeostatis glukoa,
malabsorpsi vitamin D dan kalsium) (Tanto et al., 2016).
1.8 Tatalaksana
Tatalaksana sirosis hati dibagi menjadi beberapa langkah yakni mencegah
kerusakan hati lebih lanjut, mengobati komplikasi sirosis, mencegah terjadinya
kanker hati (atau deteksi sedini mungkin) serta transplantasi hati.
Mencegah kerusakan hati lebih lanjut dilakukan dengan: istirahat &
membatasi aktivitas fisik, konsumsi diet tinggi kalori dan kaya protein bila tidak
ada ensefalopati hepatik, menghindari obat – obatan hepatotoksik (termasuk
alkohol), menghindari obat – obat anti-inflamasi non-steroid, eradikasi virus
hepatitis B & C menggunakan anti-viral, flebotomi untuk pasien hemokromatosis,
obat prednison & azathioprine (Imuran) untuk hepatitis autoimun, preparat asam
empedu untuk sirosis bilier primer dan imunisasi pasien sirosis terhadap hepatitis
A & B (Tjokroprawiro et al., 2015).
Mengobat komplikasi sirosis hati menggunakan tatalaksana sebagai berikut:
16
Tabel 4. Tatalaksana komplikasi sirosis hati (Setiati et al., 2014; Tjokroprawiro et al.,
2015).
Komplikasi Terapi Dosis
Asites Tirah baring
Diet rendah garam 5,2 gram atau 9 mmol/hari
Obat antidiuretik, diawali dengan
Spironolakton 100-200 mg sekali
spironolakton dan bila respons sehari
tidak adekuat menggunakan
furosemid Furosemid 20-40 mg/hari
Parasintesis bila asites sangat besar,
Albumin 8 – 10 gram IV per liter
hingga 4-6 liter dengan cairan parasintesis (jika >
pemberian albumin 5 L)
Restriksi cairan Direkomendasikan bila natrium
serum < 120-125 mmol/L
Ensefalopati hepatikum
Laktulosa 30-40 mL sirup oral 3-4
kali/hari
Neomisin 4-12 gram oral/hari dibagi tiap 6-
8 jam
Varises esophagus Propanolol 40-80 mg oral 2 kali/hari
Isosorbid mononitrat 20 mg oral 2 kali/hari
Saat perdarahan akut diberikan
somatostatin atau okreotid
diteruskan skleroterapi atau
ligasi endoskopi
Peritonitis bakterial
Profilaksis dengan sefotaksim Sefotaksim
dan 2- 3 gram IV selama
spontan albumin bila jumlah sel PMN > 5 hari
250/mm3 pada pungsi cairan
asites
Albumin 2 gram IV tiap 8 jam
1,5 gram per kg IV dalam 6 jam,
1 gram per kg IV hari ke
3
Norfloksasin 400 mg oral 2 kali/hari untuk
terapi, 400 mg oral 2
kali/hari selama 7 hari
untuk perdarahan
gastrointestinal, 400 mg
oral per hari untuk
17
profilaksis
Trimethoprim/sulfamethoxozale 1 tablet oral/hari untuk
profilaksis, 1 tablet oral
2 kali/hari selama 7 hari
untuk perdarahan
gastrointestinal
Sindrom hepatorenal Transjugular intrahepatic
portosystemic shunt / TIPS
18
Asites refrakter
Reakumulasi asites
19
Perdarahan varises
berulang
Terapi endoskopi +
terapi farmakologi
Kontrol
perdarahan
Pertimbangkan TIPS
Transplantasi hati
1.9 Prognosis
Perjalanan penyakit sirosis hati tergantung oleh sebab dan penanganan
etiologi yang mendasari (Setiati et al., 2014). Selain itu, prognosis pasien sirosis
tergantung dari ada tidaknya komplikasi akibat sirosisnya. Pasien dengan sirosis
20
kompensata tentu mempunyai harapan hidup lebih tinggi bila tidak berkembang
menjadi sirosis dekompensata yakni sekitar 47 % dalam waktu 10 tahun.
Sedangkan pasien dengan sirosis dekompensata mempunyai harapan hidup sekitar
16 % dalam waktu 5 tahun (Tjokroprawiro et al., 2015).
Beberapa sistem skoring dibuat dan dapat digunakan untuk menilai
keparahan sirosis dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring Child Turcotte
Pugh (CTP) (Tabel 4) berfungsi selain menentukan prognosis juga untuk menilai
kandidat tindakan bedah. Sedangkan skoring Model end stage liver Disease
(MELD) (Tabel 5) untuk menilai kandidat tindakan transplantasi hati.
Tabel 4. Klasifikasi Child Turcotte Pugh (CTP) (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Parameter Nilai
1 2 3
Ensefalopati Tidak ada Terkontrol dengan terapi
Kurang terkontrol
Asites Tidak ada Terkontrol dengan terapi
Kurang terkontrol
Bilirubin (mg/dL) >3
Albumin (g/L) 2,8-3,5 <2.8
PT atau < 4 detik atau INR 1,7
4-6 detik atau INR 1,7- >6 detik atau INR
2,3 2.3
21
PEMBAHASAN
22
16. SC 10,05
17. eGFR: 7 mL/min
18. Hasil USG Abdomen:
- Chronic parenchymal kidney
disease bilateral
- Calyectasis ringan ginjal kanan
19. RPD: Hipertensi / penyakit darah
Hipertensi + Kardiomegali
tinggi sejak 10 tahun yll
20. Chest X-ray: Kedua sinus dan
tulang tak tampak kelainan, Cor
membesar ke kiri dengan konfigurasi
LV, Ada tanda edema paru ringan
21. Hasil USG Abdomen: Hepatomegali + Splenomegali
- Diffuse hepatomegali, dapat
merupakan gambaran diffuse
hepatoma
- Splenomegali dengan ascites
22. Trombosit
Trombositopenia
93.000
23. SGOT 72,9 Transaminitis
24. SGPT 33,2
Berdasarkan daftar masalah dari kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien
memiliki diagnosis sirosis hati berdasarkan adanya tanda insufisiensi hati (transaminitis,
hepatomegali, trombositopenia dan hipoalbumin) dan tanda hipertensi porta (asites,
splenomegali dan hemoroid). Sedangkan diagnosis anemia dari pasien ini diduga karena
perdarahan dari hemoroid & defisiensi eritropoietin akibat penyakit penyakit ginjal kronik /
CKD. Sehingga tatalaksana yang komprehensif perlu dilakukan pada pasien berdasarkan
perjalanan penyakit sesuai Gambar 6 berikut.
23
Dasar Diagnosis
Hepatomegali Tatalaksana
Trombositopenia
Kegagalan fungsi
hati / insufisiensi Diet tinggikerusakan
Mencegah kalori
Bed rest
hati lebih lanjut
Transaminitis hati
Mengobati komplikasi
Asites:
Hipoalbuminemia Diet sirosis
rendahhati
garam
Furosemid IV
SIROSIS HATI
Pungsi cairan asites
Deteksi dini kanker hati
Asites permagna
Petimbangkan
Hipertensi porta transplantasi hati
Splenomegali
Hemoroid
Transfusi PRC
Asam folat Per oral
ANEMIA
Asam traneksamat IV
Hemodialisis
Hipertensi Balans cairan
Diet rendah protein
Furosemid IV
eGFR: 7 mL/min CKD St. CaCO3
V (HD Per oral
USG Abd: Chronic parenchymal Amlodipin Per oral
Reguler)
kidney disease bilateral
24
DAFTAR PUSTAKA
Garcia-Tsao G., and Bosch J. 2010. Management of varices and variceal hemorrhage in
cirrhosis. N Engl J Med, 362(9), pp. 823-32, dilihat 20 Januari 2019,
https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra0901512
Hsiang, J.C., Bai, W.W., Raos, Z. 2015. Epidemiology, disease burden and outcomes of
cirrhosis in a large secondary care hospital in South Auckland, New Zealand. Intern
Med J, 45, pp. 160–169, dilihat 21 Januari 2019,
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/imj.12624
Liou W. 2014. Management of end stage liver disease. Med Clin North Am, 98(1), pp. 119-
52,
dilihat 21 Januari 2019, https://www.medical.theclinics.com/article/S0025-7125(13)00130-2/
Longo, D. L., Kasper, D. L., Jameson J. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Loscalzo J. 2012.
Harrison’s Principle of Internal Medicine, 18th Ed, McGraw Hill, New York, pp
2592-2596
Schuppan, D., Afdhal, N. H., 2008. Liver Cirrhosis, Lancet, 371 (9615), pp. 838–851. Dilihat
21 Januari 2019, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2271178/pdf/nihms-
42379.pdf
Sherwood, L. 2010. Human Physiology From Cells to Systems. 7th Ed. Belmont,
Brooks/Cole, pp 460
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam, A. F., 2014.
Sirosis Hati dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 6, Interna Publishing, Jakarta,
pp. 1978-1983
Tambunan, A., Mulyadi, Y., Kahtan, M. I. 2011. Characteristics of Cirrhotic Patients in Dr.
Soedarso General Hospital Pontianak Periods of January 2008 – December 2010,
dilihat 21 Januari 2019, https://media.neliti.com/media/publications/193882-ID-
karakteristik-pasien-sirosis-hati-di-rsu.pdf
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E. A. 2016, Sirosis Hati dalam: Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi IV, Media Aesculapius, Jakarta, pp. 693-697
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Effendi, C., Santoso, D., Soegiarto, G. 2015. Sirosis Hati
dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 2, Airlangga University Press, Surabaya, pp.
292-298
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., Soegiarto, G. 2007. Sirosis Hati dalam:
Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 1, Airlangga University Press, Surabaya, pp. 130
World Health Organization / WHO. 2016. Mortality rate of liver cirrhosis (age standarized
> 15), dilihat 21 Januari 2019, http://apps.who.int/gho/data/node.main.A1092
25