Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Anestesi spinal memberikan blokade sensorik dan motorik simetris, cepat
serta mendalam pada pasien yang melahirkan secara sectio caesaria. Efek yang
paling sering dan serius dari penggunaan anestesi spinal pada persalinan sesar
adalah hipotensi, dengan insidensi kasus yang dilaporkan lebih dari 80 %.
Banyak cara (strategi) untuk mencegah hipotensi telah dilakukan, karena
hal ini dapat berpengaruh besar terhadap bayi dan ibu. Penggunaan
penggantian uterine lateral adalah prosedur rutin untuk mencegah hipotensi.
Cara lainnya dengan preload cairan intravena, gravitasi (Trendelenburg),
perangkat kompresi yang diletakkkan pada kaki dan vasopresor profilaktik.
Meskipun belum ada metode yang memberikan hasil memuaskan.
Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam
bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1
dan β2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung
yaitu dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg
intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan
hipotensi, 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik,
juga sebagai bronkodilator dan dekongestan.
Penggunaan efedrin di bidang anestesi banyak dilakukan pada kasus
hipotensi akibat regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural
anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan
simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan
anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan
obat-obat anestesi. Untuk Ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesarea
dengan spinal anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi hipotensi yang
diakibatkan oleh spinal anestesi.
Pemberian efedrin sebagai profilaktik secara intramuskular sangat
kontroversial, karena absorbsi sistemik dan efek puncak sulit untuk

1
diperkirakan. Pemberian secara intravena mungkin lebih efektif dan terkontrol,
meskipun menggunakan dosis dalam jumlah yang besar (tinggi) dan insidensi
dari hipotensi masih tinggi dalam beberapa penelitian.
Efedrin secara intravena diberikan dengan segera (cepat) setelah induksi
anestesi spinal dilakukan. Dosis 10-20-30 mg atau 0,25 mg/kgBB tidak begitu
efektif dalam mencegah ataupun mengurangi kejadian hipotensi. Berdasarkan
pada hal tersebut, perlu diketahui tingkat keamanan dan keberhasilan serta
efektifitas dari penggunaan efedrin intravena dalam mencegah hipotensi selama
anestesi spinal pada persalinan secara sectio caesaria.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang ingin diketahui bagaimana efek


penggunaan efedrin intravena selama anestesi spinal pada persalinan sectio
caesaria.

3. Tujuan penulisan

Tujuan dari referat ini adalah untuk mengetahui efek penggunaan efedrin
intravena selama anestesi spinal pada persalinan sectio caesaria.

4. Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan


khususnya di bidang anestesiologi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anestesi Spinal
I.1 Definisi
      Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik
lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-
L4 atau L4-L5.
I.2 Mekanisme Kerja Anestesi Regional
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana
tempat kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah
meradang tidak akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena
meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami peradangan sehingga akan
menurunkan aktifitas dari zat anestesi lokal (pH sekitar 5).
Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf,
efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial
aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada
permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada
membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal
Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive
Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf,
maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan
peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor
pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini
akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan
dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf. Ada kemungkinan
zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang
merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan saluran (channel)

3
pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran
akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium
dengan aksi ganda pada membran sel berupa :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak
dapat keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek
blok. Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat
anestesi lokal terletak di dalam saluran natrium.
2.   Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat
dengan reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan
oleh zat non-polar lemak misalnya barbiturat, anestesi umum dan
benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali
harus dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang
diperlukan untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk
kation yang bergabung dengan reseptor di membran sel yang mencegah
timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat anestesi
spinal pertama kali harus menembus jaringan sekitarnya.
I.3 Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan
anestesi spinal adalah sebagai berikut :
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar processus
spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

4
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.


4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-
Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º

5
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.
I.4 Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah
papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua
operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.
I.5 Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati,
dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor
cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan
(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama
operasi yang tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat
terapi antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat
dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus
memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang
dapat meningkatkan risiko meningitis.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,
herniasi otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma,
hal ini penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum melakukan induksi anestesi spinal. Jika durasi
operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup

6
panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi
membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan,
penambahan terapi spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan
diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang
belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit
neurologis seperti multiple sclerosis masih kontroversial karena dalam
percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap
toksisitas obat bius lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin
menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam
perawatan anestesi mereka deformitas dari kolumna spinalis dapat
meningkatkan kesulitan dalam menempatkan anestesi spinal. Arthritis,
kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal dalam kemampuan dokter anestesi
untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali
pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba
anestesi spinal.
I.6 Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan
gastrointestinal.
a. Komplikasi sirkulasi :
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.
Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga
tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan,
sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini.
Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau

7
terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus
bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan
otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin
tinggi blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah
penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan
cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi,
blok spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada
kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan melakukan
ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat.
Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam.
2.   Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit,
berikan atropin 0,5 mg intravena.
3.   Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi
anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal
biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila
pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau
oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini
disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui
pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya
sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring
secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
4.   Komplikasi Respirasi
a)      Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.

8
b)      Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
c)      Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
d)     Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera
ditangani dengan pernafasan buatan.
5.  Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

II. Obat-Obat Anestesi Spinal


1. Bupivakain
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali
lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting  dan disintesa
oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara
komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan
kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada motoris
menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan
pasca bedah. Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik
maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk
operasi abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya
menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg,

9
sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume
2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain
juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan
rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik
paska bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian
dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam
atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik
dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %)
digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf
tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada
pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.
2. KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk
obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga
mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek
anestesi dari pemberian secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg),
intravena (1-3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg)
dan epidural (1-2μg/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin
menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan
memberikan efek sedasi dan anxiolisis.
Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias
sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama
anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan

10
meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis
mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan ramus dorsalis.
Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya
postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala
withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis.
Efek samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan
mulut kering. Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang
bekerja secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui
kemampuannya untuk menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem
saraf pusat. Obat ini telah terbukti efektif digunakan pada pasien dengan
hipertensi berat atau penyakit renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa
digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal
ditujukan untuk pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak
dapat diberikan obat per oral.
3. EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang
secara alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin
mempunyai gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan
dalam “efek secara langsung” pada sel efektor.
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, α1, α2. Efek
pada α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase.
Efek pada α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat.
Efek α1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada
baroreseptor karena efek peningkatan TD. Efek perifer efedrin melalui kerja
langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya
mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus
dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah
karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang menurun
ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin
rasemik yang digunakan dalam klinik.

11
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik
dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek
Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik
meningkat juga biasanya tekanan diastolik, sehingga tekanan nadi membesar.
Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi
terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi
jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat
reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal
dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rekat.
Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak
nyata pada efedrin.
4. EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh
neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf
simpatis, dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut
jantung dan meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan
mengeluarkan efek metabolik lain.
Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas sebagai
respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain. Preparat
sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai vasokonstriktor
topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara intranasal,
intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprin (noradrenalin)
adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang dilepaskan oleh
saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga diekskresi oleh
medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus dan
disimpan dalam granul kromafin.
Norephineprin merupakan neurotransmiter utama yang bekerja pada
reseptor adrenergik α- dan β1. Norephineprine merupakan vasopressor kuat
dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap hipotensi dan

12
stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam bentuk
garam bitartat.
5. FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang
disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan
menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol
rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk
pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa
sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem
syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan
tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.
Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak.
Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan
dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat
(CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang
analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60
menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi
Fentanyl 12,5 µg menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih
rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggimeningkatkan kejadian
efek samping.

III. Efedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari
tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas
di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional
Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang. Efedrin mempunyai rumus

13
molekul C10H15NO dan nama lainnya adalah α-hydroxy-β-
methylaminopropylbenzene. Rumus bangun efedrin adalah sebagai berikut:

Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam


bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1
dan β2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung
yaitu dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50
mg intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan
hipotensi, 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik,
juga sebagai bronkodilator dan dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga
bisa diatasi dengan efedrin, seperti asma bronkhial, kongesti nasal karena akut
koriza, rhinitis dan sinusitis. Efedrin 25 atau 30 mg subkutan, intramuskular
atau intravena lambat) dapat juga untuk mengatasi bronkospasme tetapi
epinefrin lebih efektif.
Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus hipotensi akibat
regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi. Pemberian
efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik
mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan anestesi regional
ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi.
Untuk Ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesarea dengan spinal
anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi hipotensi yang diakibatkan oleh
spinal anestesi. Efedrin selain meningkatkan tekanan darah, sejalan dengan itu
memperbaiki aliran darah plasenta.
Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi akibat induksi
dengan propofol. Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja rokuronium.
Efedrin mencegah nyeri akibat injeksi propofol. Pencampuran efedrin dengan

14
propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri akibat
suntikan propofol.
2. Farmakokinetik
Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin
dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun
intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian
oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur
intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian
subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi.
Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada
pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada pemberian secara
oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu
ibu.
Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi
oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah
p-hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin
dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak
berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine.
Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam
pada pH urin. Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4
menit setelah injeksi.
3. Efek terhadap kardiovaskular
Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon
kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin
membutuhkan 250 kali dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek
kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena
meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah
renal dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet
meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena vasokonstriksi pada
vascular beds diimbangi dengan vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-

15
tempat yang lain. Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor α menyebabkan
vasokonstriksi arteri dan vena di perifer.
Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan
meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan
adanya antagonis reseptor β maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah
dengan stimulasi reseptor α.
Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas
lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah
takifilaksis, yang mana juga terjadi pada simpatomimetik dan berhubungan
dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor
adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi
reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah sistemik terjadi
pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa
menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah.
Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin.
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi termasuk riwayat hipertensi, tirotoksikosis, angina
pectoris, aritmia dan gagal jantung.
4. Toksisitas efedrin
Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan bingung, delirium,
halusinasi atau euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan
pendengaran bisa terjadi pada dosis yang sangat besar. Efedrin bisa juga
menyebabkan sakit kepala, kesulitan bernafas, demam atau merasa hangat,
merasa kering pada hidung atau tenggorokan, takikardi, aritmia, nyeri dada,
berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah, retensi urine, hipertensi yang
akibatnya perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya selera makan.
Dalam suatu laporan disebutkan seorang wanita 21 tahun mengkonsumsi
efedrin 6 tablet (120 mg). Tekanan darah mencapai 210/110 mmHg dan
diatasi dengan lidokain dan nitroprusside dan tekanan darah turun dalam 9 jam
kemudian. Seorang pemuda 19 tahun menelan tablet yang berisi 24 mg efedrin
dan 100 mg kafein dan 15 menit kemudian mengalami nyeri dada hebat dan

16
menjalar ke lengan kiri. Untuk kasus ini juga diatasi dengan lidokain dan
nitroprusside.
Teknik Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan obat
analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini sering
digunakan pada persalinan per vaginam dan pada seksio sesarea tanpa
komplikasi. Pada seksio sesarea blokade sensoris spinal yang lebih tinggi
penting. Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas,
diperlukan dosis agen anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan
frekuensi serta intensitas reaksi-reaksi toksik.
1. Teknik anestesi spinal pada seksio sesarea
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan
antasida, dan lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit
daerah punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal
dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 23 atau 25) pada
bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan
menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus
duramater - subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan
menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam
ruang subarachnoid tersebut.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan
plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.
2. Indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah) :
1) Vaginal delivery
2) Ekstremitas inferior
3) Seksio sesarea
4) Operasi perineum
5) Operasi urologic

17
3. Kontra indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :
1) Infeksi tempat penyuntikan
2) Gangguan fungsi hepar
3) Gangguan koagulasi
4) Tekanan itrakranial meninggi
5) Alergi obat lokal anstesi
6) Hipertensi tak terkontrol
7) Pasien menolak
8) Syok hipovolemik
9) Sepsis
4. Obat anestesi spinal pada seksio sesarea :
Obat anestetik yang sering digunakan:
1) Lidocain 1-5 %
2) Bupivacain 0,25-0,75 %
5. Komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :
1) Hipotensi
2) Brakikardi
3) Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
4) Menggigil
5) Mual-muntah
6) Depresi nafas
7) Total spinal
8) Sequelae neurologic
9) Penurunan tekanan intrakranial
10) Meningitis
11) Retensi urine

18
BAB III
PEMBAHASAN

Anestesi spinal memberikan blokade sensorik dan motorik simetris, cepat


serta mendalam pada pasien yang melahirkan secara sectio caesaria. Efek yang
paling sering dan serius dari penggunaan anestesi spinal pada persalinan sesar
adalah hipotensi, dengan insidensi kasus yang dilaporkan lebih dari 80 %.
Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam
bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1 dan
β2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung yaitu
dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg
intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan hipotensi,
25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik, juga sebagai
bronkodilator dan dekongestan.
Penggunaan efedrin di bidang anestesi banyak dilakukan pada kasus
hipotensi akibat regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural
anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan
simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan
anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-
obat anestesi. Pemberian secara intravena mungkin lebih efektif dan terkontrol,
meskipun menggunakan dosis dalam jumlah yang besar (tinggi) dan insidensi dari
hipotensi masih tinggi dalam beberapa penelitian.
Berdasarkan pada jurnal Korean Medical Science, The Effect of
Intravenous Ephedrine During Spinal Anesthesia for Caesarean Delivery : A
Randomized Cotrolled Trial, menyatakan bahwa selama periode penelitian, 52
pasien telah diidentifikasi dan memenuhi kriteria penelitian. Mereka adalah
wanita, status ASA I atau II, menjalani seksio sesaria elektif dibawah anestesi
spinal. 3 orang telah tereksklusi (dikeluarkan) karena mempunyai hipertensi, 2
menolak untuk berpartisipasi, dan satu tidak datang karena bekerja.

19
Setelah partisipan didapatkan, dilakukan persetujuan informed consent
tertulis dari masing-masing partisipan dan protokol penelitian disetujui oleh
komite medik sekolah. Pasien dengan hipertensi dalam kehamilan, memiliki
penyakit jantung (kardiovaskular) atau cerebrovaskular, kelainan cardiotokografi
(CTG), atau yang memenuhi kriteria dari kontraindikasi anestesi spinal dieksklusi,
sehingga jumlah partisipan yang mengikuti penelitian adalah 46 orang.
Pasien secara acak (random) dibagi ke dalam dua kelompok : kelompok
efedrin (n = 23) dan kelompok kontrol ( n=23) setelah dilakukan anestesi spinal.
Premedikasi tidak dilakukan pada satu pasien pun. Setelah memasuki ruang
operasi, penilaian dasar dari tekanan arterial sistolik (SAR) dan denyut jantung
(HR) dikontrol dengan sistem criticare 1100 monitor sebagai pengukuran dengan
validitas tinggi. Preload cairan ringer laktat 15 ml/kgBB diberikan. Anestesi
spinal dilakukan dimana efedrin 0,5 ml/kg diberikan pada kelompok efedrin
selama 60 detik dan salin diberikan juga selama 60 detik pada kelompok kontrol.
Metode penelitian menggunakan randomized, double-blinded.
Tidak terdapat perbedaan yang signikan antara tekanan arteri sistolik dan
denyut jantung antara kedua kelompok (p>0,05). Rata-rata dari denyut jantung
tertinggi dan terendah dalam kelompok efedrin lebih tinggi daripada kelompok
kontrol (p<0,05). Tidak terdapat penurunan insidensi secara signifikan dari
hipotensi pada kelompok efedrin, dibandingkan dengan kelompok kontrol 8 (38,1
%) vs 18 (85,7 %) p<0,05. Tidak terdapat penurunan insidensi secara signifikan
dari mual, muntah pada kelompok efedrin dibandingkan dengan kelompok kontrol
(4 (19 %) vs 12 (57,1 %) p<0,05.
Tidak terdapat perbedaan dalam rasio hipertensi antara kedua kelompok
(p<0,05). Rasio bradikardia pada kelompok kontrol secara signifikan lebih tinggi
dari kelompok efedrin (14,3 %) vs 0 % ; p<0,05). Total dosis dari penggunaan
efedrin pada kelompok efedrin lebih tinggi dari kelompok kontrol. Penanganan
pertama dari penggunaan efedrin pada kelompok efedrin lebih lama secara
signifikan (14,9 ± 7,1 min vs, 7,9 ± 5,4 min) daripada kelompok kontrol (p <
0,05). Tidak terdapat kelainan nilai kardiotokografi selama persalinan. Analisis
dari hasil yang didapatkan dari data neonatal tidak menunjukkan perbedaan antara

20
kedua kelompok penelitian. Nilai skor apgar dalam batas normal antara 7-10
(p<0,05). Tidak terdapat perbedaan pH < 7,2 ditemukan pada kedua kelompok
(p<0,05).
Dari pembahasan jurnal didapatkan bahwa dosis bolus profilaktik efedrin
intravena 0,5 mg/kg diberikan pada saat blok intratekal setelah preload cairan
kristaloid, dapat mengurangi insidensi hipotensi.

21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
a. Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran
termasuk dalam bidang Anestesi.
b. Penggunaan efedrin di bidang anestesi, pada kasus hipotensi akibat
regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi.
c. Untuk Ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesarea dengan
spinal anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi hipotensi
yang diakibatkan oleh spinal anestesi.
d. Dari pembahasan jurnal didapatkan bahwa dosis bolus profilaktik
efedrin intravena 0,5 mg/kg diberikan pada saat blok intratekal
setelah preload cairan kristaloid, dapat mengurangi insidensi
hipotensi.
2. Saran
Dilakukan penelitian tentang efektivitas efedrin selama spinal
anestesi pada tindakan pembedahan lain selain pada persalinan secara
sectio caesaria dan efek selain hipotensi yang dapat ditimbulkannya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Lukito Husodo. Pembedahan dengan laparotomi. Di dalam : Wiknjosastro

H, editor. Ilmu kebidanan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo; 2002 . 863 – 875.

2. World Health Organization. Managing complications in pregnancy and

childbirth. Didapat dari : URL, : http://www.who.int. 2003 (diakses

tanggal 18 Desember 2011).

3. Oyston J. A guide to spinal anaesthesia for caesarean section. Didapat dari

: URL, : http://www.oyston.com. Oktober 2000 (diakses tanggal 18

Desember 2011).

4. Dahlan S. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta : PT Arkans;

2004 Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : PT

Rineka Cipta ; 2002 Scott D. Spinal anaesthesia and specific

cardiovascular conditions. Didapat dari : URL, : http://www.manbit.com.

1997 (diakses tanggal 18 Desember 2011).

5. Hidayat R. Perbedaan efek kardiovaskuler pada anestesi inhalasi enfluran

antara teknik medium flow dan high flow semi closed system. Semarang :

2006 Tohaga E. Hubungan antara dosis preload dengan perubahan tekanan

darah pada operasi dengan teknik anestesi spinal. Semarang : 1998.

6. Sessler DI. Temperature monitoring. In : Miller ed. Anesthesia. 3rd ed.

New York : Churchill Livingstone, 1993 ; p.1227-41.

23
7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Post anesthesia care. In

: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anesthesiology 3rd ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill

Medical Publishing Edition, 2002 : p.940 – 1.

8. Snow JC. Complication during anesthesia and recovery periode.In :

Manual of anesthesia. Boston : Little Broun and Co, 1997: p.355 – 66.

9. Rosa G, Pinto G, Orsi P. Control of post anesthesic shivering with

nefopam hydrochloride in midly hypothermi patients after neurosurgery.

Acta Anaesth Scand 1995 ; 39 (1) : p. 90-5.

10. Sternio JE, Rettrup A, Sandin R. Prophylactic i.m. ephedrine in

bupivacaine spinal anaesthesia.British Journal Anaesthesia 1995;74:p.517-

20.

11. Ahmadi A. Perbandingan Efek Efedrin Per Oral dan Efedrin Intramuskular

sebagai Profilaksis Hipotensi pada Anestesi Spinal. 2002.

Semarang:Universitas Diponegoro.

12. Caesarean section (editorial). Didapat dari : URL, :

http://www.wikipedia.org. 1 Maret 2006 (diakses tanggal 18 Desember

2011)

13. Owen P. Caesarian section. Didapat dari : URL, :

http://www.netdoctor.co.uk. 2005 (diakses tanggal 18 Desember 2011)

14. Owen P. Caesarean section. Didapat dari : URL, : Elridge. Monitoring

during caesarean section. Didapat dari : URL, : http://www.nda.ox.ac.uk.

2000 (diakses tanggal 16 Desember 2011)

24
15. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan). Edisi 9.

Jakarta: EGC; 1996. 1063-76, 1203-37.

16. Smith GFN. Anaesthetic. Didapat dari : URL, :

http://www.netdoctor.co.uk. 2005 (diakses tanggal 18 Desember 2011)

17. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2nd ed. Stamford:A

LANGE medical book; 1996. 834.

25

Anda mungkin juga menyukai