Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH KESADARAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NARKOTIKA DI INDONESIA

I Made Widana Putra, S.H.


1092461024

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Euphoria reformasi membuat kita ada dalam keadaan senang-senangnya membuat atau
mengubah, merevisi atau mengamandamen undang-undang dan menggantinya dengan unda
ng-undang baru, bahkan Undang-undang Dasar 1945 saja diamandemen. Dalam mengubah
atau membentuk undang-undang baru jarang diperhatikan bahwa hukum itu merupakan
suatu sistem, yang berarti bahwa suatu undang-undang itu tidak berdiri sendiri,
tetapi merupakan sistem (berkaitan) dengan undang-undang yang lain. Selain itu
yang juga harus diperhatikan adalah undang-undang tidak bisa dipisahkan dari per
kembangan masyarakat dimana undang-undang itu diberlakukan karena hukum dan masy
arakat saling mempengaruhi.
Undang-undang Narkotika juga telah beberapa kali diganti dengan undang-undang ba
ru karena dianggap undang-undang Narkotika yang lama sudah tertinggal oleh perke
mbangan dan maraknya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Tindak pidana narko
tika yang menunjukkan kecenderungan semakin meningkat baik di tingkat nasional m
aupun internasional mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, sehingga dip
andang perlu memperbaharui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika de
ngan membentuk undang-undang baru, yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1997. Unda
ng-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika yang mempunyai cakupan yang lebi
h luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang di
perberat.
Kemudian Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 kembali dicabut dan diganti dengan Un
dang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang mulai berlaku sejak tangg
al 12 Oktober 2009. Jika ditinjau dari ancaman pidananya terdapat perbedaan anta
ra Undang-undang Nomor 9 tahun 1976, Undang-undang Nomor 22 tahun 1997, dan Unda
ng-undang Nomor 35 tahun 2009. Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tidak mengatur a
ncaman pidana mati, sedangkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 dan Undang-undan
g Nomor 35 tahun 2009 mengatur ancaman pidana mati bagi pelaku tindak pidana nar
kotika. Ancaman pidana mati untuk tindak pidana narkotika di Indonesia baru dibe
rlakukan sejak tahun 1997 hingga saat ini.
Perubahan maupun pergantian peraturan perundang-undangan ini dilakukan untuk men
gikuti perkembangan masyarakat dinamis. Laju peradaban manusia, teknologi dan i
nformasi sulit diikuti sektor hukum sehingga menyebabkan hukum seakan-akan menga
lami ketertinggalan dalam menghadapi persoalan-persoalan konkrit dalam kehidupan
masyarakat. Para sarjana berpikir ulang tentang hukum dan mulai memberikan perh
atian serius terhadap interaksi antara sektor hukum dan masyarakat, tidak hanya
berkutat pada persoalan-persoalan normatif belaka.
Dalam praktik terkadang terjadi suatu aturan hukum maupun sanksi hukum tidak efe
ktif sehingga tujuan undang-undang tersebut tidak dapat dicapai secara maksimal.
Hal ini bisa saja terjadi pada Undang-undang Narkotika, walaupun undang-undang
tersebut telah disertai dengan ancaman pidana mati. Efektivitas suatu undang-und
ang bukan semata-mata dipenggaruhi oleh faktor norma (kosong, kabur, atau konfli
k) dalam undang-undangnya sendiri, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-f
aktor yang terdapat dalam masyarakat, seperti kesadaran hukum, penegakan hukum,
kepatuhan hukum, faktor ekonomi, dan faktor-faktor sosial masyarakat lainnya seh
ingga dapat menimbulkan kesenjangan antara law in book dan law in action.
Untuk dapat mengetahui efektivitas Undang-undang Narkotika dan sanksi pidana mat
i yang diatur dalam undang-undang tersebut terhadap upaya pemberantasan tindak p
idana narkotika, maka harus dilakukan suatu penelitian dengan pendekatan sosiolo
gi hukum. Istilah â Sosiologi Hukumâ pertama sekali digunakan oleh seorang Itali yang
ernama Anzilloti pada tahun 1822. Istilah sosiologi hukum mulai terkenal terseb
ut setelah munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Max Weber, Kar
l Liewellyn, Emile Durkhim, serta tokoh-tokoh lain yang concern terhadap sosiolo
gi hukum baik nasional maupun internasional. Sosiologi hukum merupakan disiplin
yang sudah berkembang dewasa ini. Kini banyak penelitian hukum di Indonesia dil
akukan dengan mengunakan metode sosiologi hukum. Para sarjana di Indonesia mulai
menyadari bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat, huku
m dan masyarakat saling mempengaruhi, serta efektivitas hukum sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor empiris dalam masyarakat, bukan semata-mata hanya dipengaruh
i oleh faktor-faktor normatif.
I.2. Rumusan Masalah
1. Apakah Undang-undang Narkotika dan sanksi pidana mati efektif terhadap u
paya pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia ?
2. Bagaimanakah pengaruh kesadaran hukum masyarakat dan penegakan hukum ter
hadap efektivitas Undang-undang Narkotika di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Efektivitas Undang-undang Narkotika di Indonesia
Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya k
erja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hu
kum. Efektifitas hukum yang di maksud berarti mengkaji kembali hukum yang harus
memenuhi syarat ; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan b
erlaku secara filosofis. Efektivitas hukum dipengaruhi oleh sistem hukum yang me
nurut Lawrence M. Friedman terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu ; struktur, sub
stansi, kultur hukum. Stuktur adalah keseluruhan institusi-institusi hukum yang
ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kejaksaan dengan para jaksanya, pen
gadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain. Substansi meliputi keseluruhan atur
an hukum, norma hokum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tert
ulis. Komponen terakhir adalah kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-keper
cayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertin
dak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum da
n berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Untuk mengetahui efektifitas Undang-undang Narkotika dalam upaya pemberantasan t
indak pidana narkotika, maka diperlukan data-data yang dapat membuktikan meningk
at atau menurun jumlah tindak pidana maupun pelaku tindak pidana narkotika terse
but. Data tersebut dapat diperoleh dari pihak-pihak yang memiliki wewenang maupu
n terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia, seper
ti Badan Narkotika Nasional (selanjutnya ditulis BNN), Polisi, Kejaksaan, Depart
emen Hukum dan Ham, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana narkotika. Di bawah ini disajikan data-data ju
mlah kasus dan pelaku tindak pidana narkotika yang terjadi di Indonesia dalam ku
run waktu 11 tahun (1997-2008), sebagai berikut :

Data Jumlah Kasus Narkotika


Kasus Tahun
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2006 2007 2008
Narkotika 622 958 1.833 3.478 3.617 3.751 7.140 8.409
16.252 17.355 22.630 29.359
% kenaikan 0 54,4 91,3 89,7 4,0 3,7 90,3 17,8
93,3 6,8 30,4 29,7
Catatan : Kenaikan kasus rata-rata 50,1% per tahun.
Data Jumlah Tersangka Narkotika
Tersangka Tahun
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2006 2007 2008
Narkotika 939 1.308 2.590 4.955 4.924 5.320 9.717 11.323
22.780 31.635 36.169 44.694
% kenaikan 0 39,3 98,0 91,3 -0,6 7,8 83,0 16,5
101,2 38,9 14,3 23,6
Catatan : Kenaikan rata-rata 52,8 % per tahun.
Jumlah kasus dan pelaku tindak pidana narkotika yang terjadi pada tahun 2009 dan
2010 belum dirilis oleh BNN. Sumber : Dit IV/Narkoba BNN RI, Januari 2009.
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa setiap tahun terjadi peningkatan
jumlah tindak pidana narkotika dan terjadi kecenderungan peningkatan kasus dan j
umlah pelaku tindak pidana narkotika. Data ini membuktikan bahwa Undang-undang N
arkotika yang berlaku sejak tahun 1997 (kurun waktu 11 tahun hingga 2008) yang
menggunakan ancaman pidana mati tidak efektif dalam upaya pemberantasan tindak
pidana narkotika di Indonesia.
Dengan diberlakukannya ancaman pidana lebih berat atau pidana mati terhadap pela
ku tindak pidana narkotika, maka seharusnya terjadi kencenderungan jumlah tindak
pidana narkotika mengalami penurunan, tetapi yang terjadi sebaliknya sehingga t
ujuan pembentuk undang-undang ini tidak tercapai. Hal ini membuktikan bahwa anca
man pidana mati bukanlah syarat mutlak dalam mencegah dan memberantas terjadinya
tindak pidana narkotika secara maksimal.
Beberapa studi yang telah dilakukan memberitahu kepada kita tentang keharusan un
tuk senantiasa bersikap kritis terhadap penggunaan konsepsi-konsepsi yang tampak
sebagai sesuatu yang wajar, seperti misalnya bahwa pidana mati itu akan mempuny
ai efek menakut-nakuti. Dari studi empiris yang kemudian dilakukan ternyata, bah
wa pendapat-pendapat itu ternyata lebih merupakan suatu kesan yang umum daripada
suatu pendapat yang didasarkan kepada penyelidikan seksama. Penggunaan ancaman
pidana mati bukan sesuatu yang mutlak dapat menakut-nakuti sehingga mampu mence
gah orang tidak akan melakukan tindak pidana narkotika.
II.2. Pengaruh Kesadaran Hukum dan Penegakan Hukum Terhadap Efektivitas Undang-u
ndang Narkotika Di Indonesia
Data pada pembahasan di atas telah membuktikan bahwa Undang-undang Narkotika den
gan ancaman pidana mati tidak efektif dalam upaya pemberantasan tindak pidana na
rkotika. Ancaman pidana mati bukanlah syarat mutlak bahwa suatu Undang-undang da
pat berlaku secara efektif dan tercapai tujuan pembentuk Undang-undang tersebut.
Faktor kesadaran hukum, penegakan hukum, dan faktor-faktor sosial lain sangat b
erpengaruh terhadap efektivitas suatu Undang-undang. Untuk mengetahui faktor-fak
tor yang mempengaruhi Undang-undang Narkotika tidak efektif dalam upaya pemberan
tasan tindak pidana narkotika di Indonesia, maka hukum (Undang-undang Narkotika)
tidak dapat dipandang sebagai suatu fenomen yang semata-mata otonom dan tersisi
h dari interaksinya dengan fenomen kehidupan sosial di luarnya, melainkan ia dip
erkaitkan secara sadar pada basis sosial dan kulturnya.
Efektivitas suatu undang-undang dan sanksinya dalam penerapannya di masyarakat s
angat berkaitan dengan upaya penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat dima
na hukum tersebut bekerja. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa :
â Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu
atau apa seharusnya hokum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita
dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang
seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukanâ .
Menurut Achmad Ali, kesadaran hukum ada dua macam, yaitu ; kesadaran hukum posit
if, identik dengan ketaatan hukum, dan kesadaran hukum negatif, identik dengan k
etidaktaatan hukum. Sedangkan Oetojo Oesman menjelaskan bahwa kesadaran hukum
itu ada dua : kesadaran hukum yang baik , yaitu ketaatan hukum dan kesadaran huk
um yang buruk, yaitu ketidaktaan hukum. Soerjono Soekanto mengemukakan empat in
dikator kesadaran hukum, yaitu ; pengetahuan tentang hukum, pemahaman tentang hu
kum, sikap terhadap hukum, dan prilaku hukum. Kesadaran hukum terbentuk dalam t
indakan dan karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. D
engan kata lain, kesadan hukum adalah persoalan â hukum sebagai perilakuâ , dan bukan seb
gai aturan, norma atau asas. Dengan kesadaran hukumnya, seseorang dapat berlaku
positif yaitu mentaati hukum, tetapi sebaliknya seseorang juga dapat berprilaku
negatif, yaitu melanggar hukum.
Kesadaran hukum bukan monopoli dari sarjana hukum saja, bukan hanya harus dimili
ki oleh hakim, jaksa, dan polisi saja, tetapi pada dasarnya ada pada diri setiap
manusia baik ia terpelajar maupun tidak. Kesadaran hukum pada hakekatnya adalah
tentang manusia secara umum, bukan bicara tentang manusia dalam lingkungan tert
entu atau manusia dalam profesi tertentu seperti hakim, jaksa, polisi, dan sebag
ainya. Walaupun kesadaran hukum itu ada pada setiap manusia tetapi kesadaran hu
kum itu tidak selalu disertai dengan perbuatan yang positif yang sesuai dengan k
esadaran hukum manusia pada umumnya, tetapi justru disertai dengan perbuatan yan
g tidak terpuji.
Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan huk
um artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatu
han hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor
kepatuhan hukum. Apabila kesadaran hukum masyarakat kuat, maka proses perkemba
ngan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Kesadaran hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh kesadaran hukum setiap indivi
du dalam masyarakat tersebut. Apabila setiap individu tersebut memiliki kesadara
n hukum yang baik, maka akan baik pula kesadaran hukum masyarakat tersebut. Kes
adaran hukum masyarakat yang baik disebabkan karena memang jiwanya sadar bahwa m
ereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur masyarakat s
ecara baik, benar, dan adil, bukan karena paksaan dan sanksi.
Pada dasarnya masyarakat Indonesia tahu dan paham hukum, tetapi secara sadar pul
a mereka masih melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum. Para pemakai dan p
engedar narkotika tahu bahwa mengkomsumsi dan mengedarkan narkotika secara melaw
an hukum adalah tindak pidana, tetapi faktanya perbuatan itu masih tetap dilakuk
an. Para pengedar tahu bahwa narkotika merusak mental generasi muda yang pada ak
hirnya dapat berakibat fatal bagi kemajuan dan pembangunan bangsa, tetapi mereka
tetap melakukannya demi kepentingan pribadi atau golongan dengan alasan financi
al (uang).
Kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih lemah atau dengan kata lain kesadaran
hukum negatif (kesadaran hukum yang buruk) yang identik dengan ketidaktaatan hu
kum. Walaupun masyarakat Indonesia memiliki kesadaran hukum, tetapi kesadaran hu
kum itu tidak selalu disertai dengan perbuatan yang positif yang sesuai dengan k
esadaran hukum manusia pada umumnya, tetapi justru disertai dengan perbuatan yan
g melanggar hukum. Jadi kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat belum men
jamin bahwa warga masyarakat tersebut akan mentaati suatu atauran hukum atau per
undang-undangan.
Kesadaran hukum dalam masyarakat bukan merupakan proses sekali jadi, melainkan
merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap. Kesadaran hukum
tidaklah bersifat permanen, tidak stabil, tidak uniter atau tidak konsisten. Se
bagai gantinya, kita melihat kesadaran hukum sebagai sesuatu yang bersifat lokal
, kontekstual, pluralistik, yang diisi dengan konflik dan kontradiksi. Oleh kare
na itu, harus diupayakan, kesadaran hukum negatif masyarakat diubah menjadi kesa
daran hukum positif.
Pemerintah dan para penegak hukum harus melakukan upaya-upaya berkelanjutan untu
k meningkatkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Kesadaran hukum itu berhubu
ngan dengan manusianya bukan dengan hukum. Bukan hukum yang harus direformasi. Y
ang harus diperbaiki atau ditingkatkan adalah manusianya atau sumber daya manusi
anya, yaitu moral, mental dan intelektualitasnya. Upaya tersebut dapat dialakuka
n melalui pendidikan. Selama ini sistem pendidikan kita kurang menaruh perhatian
dalam menanamkan kesadaran hukum.
Upaya sosialisasi hukum kepada masyarakat juga harus terus dilakukan untuk menin
gkatkan kesadaran hukum masyarakat. Sosiologi hukum sangat berperan dalam upaya
sosialisasi hukum demi meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warg
a masyarakat secara keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. Sosialisasi
merupakan salah satu aspek penting dalam proses control sosial sebab untuk dapa
t mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah huku
m berlaku.
Masalah penegakan hukum tampaknya sangat sederhana, tetapi dalam kenyataan keada
an adalah tidak seperti itu, melainkan yang terjadi adalah bahwa penegakan hukum
itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan
yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif, kompleksitas tersebut diabaikan, sed
angkan sosiologi hukum sebagai ilmu empiris sama sekali tak dapat mengabaikannya
. Karena memasukkan kompleksitas tersebut ke dalam pemahaman dan analisisnya, ma
ka dalam sosiologi hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, me
lainkan variabel. Penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses yang melibat
kan manusia di dalamnya. Sosiologi hukum melihat penegakan hukum dengan pengamat
an yang demikian itu. Sesuai dengan tradisi empirisnya, maka dalam pengamatan te
rhadap kenyataan penegakan hukum, faktor manusia sangat terlibat dalam usaha men
egakkan hukum tersebut. Penegakan hukum itu bukan suatu proses logis semata, mel
ainkan sarat dengan keterlibatan manusia di dalamnya.
Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungki
n mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga d
ampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-f
aktor tersebut, adalah sebagai berikut ;
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakaan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didas
arkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan es
ensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penega
kan hukum. Kelima faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum. M
ungkin pengaruhnya adalah positif dan mungkin juga negatif. Akan tetapi, di anta
ra semua faktor tersebut, maka faktor penegak hukum yang menempati titik sentral
.
Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam penulisan ini hanya akan dibatasi pada Un
dang-undang Narkotika saja. Undang-undang Narkotika telah mengalami pembaharuan
dengan maksud agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis, dan men
cegah serta memberantas peredaran narkotika yang menunjukkkan kecendrungan semak
in meningkat. Dalam perubahan undang-undang narkotika mengatur mengenai pemberat
an ancaman pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara seumu
r hidup, maupun pidana mati. Diatur pula mengenai penguatan kelembagaan yang sud
ah ada yaitu BNN.
Secara normatif Undang-undang Narkotika sudah baik dan seharusnya mampu mencegah
dan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana narkotika karena undang-un
dang tersebut mengatur ancaman pidana yang lebih berat daripada undang-undang se
belumnya dan memberikan sanksi pidana mati kepada pelaku, memenuhi asas-asas dal
am pembentukan peraturan perundang-undang, seperti tidak berlaku surut (asas leg
alitas), kemudian tidak terdapat norma yang kabur, norma kosong maupun konflik n
orma dalam undang-undang tersebut, tidak bertentangan dengan peraturan perundang
-undangan lainnya, sehingga seharusnya dapat dilaksanakan secara maksimal oleh
para penegak hukum dalam praktik. Namun berdasarkan data-data di atas dapat dike
tahui bahwa undang-undang Narkotika tidak efektif.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak menerapkan hukum. Ruang lingkup dari is
tilah â penegak hukumâ adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langs
ng dan tidak secara laangsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Di dalam t
ulisan ini, yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang
secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya menca
kup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance kiranya sudah dapat didu
ga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehaki
maan, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.
Selama ini pihak penegak hukum bukan saja gagal menangkal tindak pidana narkotik
a tetapi mungkin saja ikut membantu kelancaran pelaksanaan dan atau terlibat tin
dak pidana narkotika maupun sebagai pengguna narkotika. Satu fakta yang diambil
dari media cetak yang mengungkapkan adanya keterlibatan oknum penegak hukum dala
m tindak pidana narkotika, yaitu sebagai pengguna narkotika, oknum anggota Brimo
b mengakui bahwa ia mengkonsumsi Ganja Aceh karena stres dalam persidangan di PN
Denpasar pada Kamis (21/10/2010). Bukan hanya oknum Polisi yang terlibat tind
ak pidana narkotika, oknum Jaksa juga ada yang terlibat tindak pidana narkotika,
seperti yang terjadi di Tanjung Perak, Surabaya. Ditangkapnya jaksa maupun staf
kejaksaan yang tersangkut kasus narkoba, membuat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa
Timur gerah. Salah satu staf kejari yang terjerat kasus sabu-sabu yakni, Aswin
Ardi, staf Kejari Tanjung Perak.
Petugas sipir LP / Rutan tidak melakukan pengawasan yang ketat, sehingga di dala
m LP / Rutan juga terjadi tindak pidana narkotika. Di TV maupun media cetak dibe
ritakan bahwa ditemukan adanya pabrik dan peredaran narkotika di dalam RUTAN (Ru
mah Tahanan) dan LP (Lembaga Permasyarakatan), seperti yang terjadi di Rutan Med
aen, Sidoarjo, Jawa Timur pada tahun 2007. Di awal tahun 2011 ini Badan Narkoti
ka Nasional (BNN) membongkar sindikat perdangan narkoba yang dikendalikan oleh n
api kasus narkoba di Lapas Nusakambangan. Jaringan itu diduga melibatkan sejumla
h sipir lapas yang dikenal berpengaman ketat tersebut. Dalam hal ini tidak tert
utup kemungkinan petugas sipir turut serta menikmati hasil penjualan atau pereda
ran narkotika. Bahkan pernah terjadi oknum penegak hukum menghilangkan barang bu
kti narkotika, kemudian barang bukti tersebut dijual oleh oknum aparat penegak h
ukum.
Masih sering terjadi disparitas pemidanaan terhadap kasus tindak pidana narkotik
a. Disparitas pidana adalah penerapan pidana tidak yang sama terhadap tindak pid
ana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berba
hayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar p
embenaran yang jelas. Terhadap kasus tindak pidana narkotika yang serupa (sama)
, tetapi hakim menjatuhkan sanksi pidana yang berbeda. Bahkan terkadang hakim me
njatuhkan vonis ringan bagi pelaku tindak pidana narkotika. Vonis ringan tersebu
t tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Vonis terseb
ut juga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dan setelah bebas kembali te
rgoda untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda dari peredaran gelap narkotika
. Menurut Kepala Kesatuan Psikotropika, Direktorat Narkoba, Polda Metro Jaya, Aj
un Komisaris Besar Hendra Joni, hampir sebagian besar nama yang pernah dipenjara
, berulang kali keluar masuk penjara dengan kasus serupa, yakni perdagangan nark
oba.
Di antara pekerjaan-pekerjaan penegakan hukum, pekerjaan kepolisian adalah yang
paling menarik. Hal tersebut menjadi menarik, karena di dalamnya banyak dijumpai
keterlibatan manusia sebagai pengambil keputusan. Polisi pada hakekatnya dapat
dilihat sebagai hukum yang hidup, karena di tangan polisi tersebut mengalami per
wujudannya, setidak-tidaknya di bidang hukum pidana. Apabila hukum bertujuan unt
uk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya dengan melawan kejahatan
. Akhirnya polisi, yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai
penegakan ketertiban. Siapa-siapa yang harus ditundukkan, siapa-siapa yang harus
dilindungi dan seterusnya. Melalui polisi hal-hal yang bersifat falsafi dalam h
ukum dapat ditransformasi menjadi ragawi dan manusiawi. Oleh karena pekerjaannya
tersebut, polisi banyak menanggung risiko mendapatkan sorotan yang tajam dari m
asyarakat yang dilaayaninya.
Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat kecendrunga
n yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidetifikasi
kannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu
akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola pe
rilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan da
ri hukum sebagai struktur maupun proses. Dari beberapa fakta bahwa perilaku okn
um polisi dan penegak hukum lainnya terlibat dalam tindak pidana narkotika, maka
ini menyebabkan muncul citra buruk hukum. Yang pada akhirnya akan mempengaruhi
ketidaktaatan masyarakat terhadap hukum.
Faktor berikutnya adalah sarana atau fasilitas yang mendukung penegakaan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin upaya pemberanta
san tindak pidana narkotika berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas ter
sebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, org
anisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Tenaga manusia atau Sumber Daya Manusia (SDM) POLRI dan BNN sangat tidak memadai
untuk mengawasi luasnya wilayah Republik Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan
sering terjadi penyelundupan narkotika melalui pulau-pulau terluar. Pantai di I
ndonesia rawan penyelundupan narkotika karena di sepanjang pantai pengawasannya
masih lemah, sehingga perlu peningkatan pengawasan di sepanjang pantai di Indone
sia mengingat penyelundup itu lebih pandai, apalagi penyelundup narkotika. Peny
elundupan narkotika tidak hanya dilakukan melalui transportasi laut saja, tetapi
juga dilakukan melalui transportasi udara. Pada tanggal 12 Juli 2010 Petugas B
ea dan Cukai Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali menangkap seorang perempuan warga
negara Filipina yang kedapatan membawa heroin seberat 2,5 Kg.
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 juga mengatur mengenai penguatan kelembagaan B
NN dengan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Diatur pula me
ngenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), serta teknik penyid
ikan lainnya. Kewenangan BNN harus didukung oleh sarana atau fasilitas yang mema
dai, misalnya dalam melakukan penyadapan, maka seharusnya penyidik BNN dilengkap
i dengan peralatan canggih guna melakukan penyadapan. Tetapi realitanya pengunaa
n peralatan canggih dalam membantu tugas POLRI maupun BNN belum banyak dilakukan
. Hal ini tentu sangat ironis bila melihat perkembangan modus operandi tindak pi
dana narkotika semakin canggih yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang
bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internas
ional.
Permasalahan utama di Indonesia dalam memenuhi sarana atau fasilitas yang memada
i adalah belum tersedia cukup dana (anggaran) untuk pengadaan alat-alat canggih
seperti di negara-negara maju guna mendukung upaya pemberantasan tindak pidana n
arkotika. Inilah penyebab BNN hanya tampak hebat dari sisi normatif karena undan
g-undang memberikan penguatan kewenangan kepada BNN, tapi dalam kenyataannya san
gat lemah, tidak banyak yang dapat dilakukan karena tidak didukung peralatan yan
g memadai dalam pelaksanaan tugas.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapk
an juga merupakan faktor yang sangat menentukan efektivitas hukum. Berdasarkan d
ata di atas terjadi peningkatan sangat signifikan jumlah tindak pidana narkotika
pada tahun 1999. Pada tahun 1998 terjadi 958 kasus, kemudian pada tahun 1999 te
rjadi 1.833 kasus, berarti terjadi kenaikan 91,3 %. Harus diingat bahwa pada tah
un 1998 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang menimbulkan efek domino di segala
sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai
dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perus
ahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut. Sek
tor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perb
ankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Penga
ngguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni s
ekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja. Akibat PHK dan na
iknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan ju
ga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk.
Tingginya angka penganguran pada saat itu mengakibatkan meningkat pula angka kri
minalitas, termasuk tindak pidana narkotika. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
semakin mahal, penganguran terpaksa menempuh cara yang melanggar hukum yaitu me
njadi pengedar atau kurir narkotika. Sebuah cara mudah mencari uang dengan hasil
yang berlipat ganda. Tidak disadari bahwa melakukan tindak pidana narkotika ama
t berbahaya dan dapat dijatuhi sanksi yang berat (misal pidana mati). Atau mungk
in keinginan untuk keluar dari pusaran kemiskinan telah mengalahkan ketakutan ak
an bahaya hukuman mati. Faktor ekonomi ini masih sangat relevan sampai saat ini
mempengaruhi meningkatnya jumlah tindak pidana narkotika di Indonesia. Dalam seb
uah media cetak nasional diberitakan bahwa ; Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengaku
i faktor ekonomi menghambat upaya pemberantasan tanaman ganja di provinsi itu. â Cuku
p sulit mengajak mereka berhenti menanam ganja karena keuntungan cukup menggiurk
anâ . Aceh merupakan salah satu wilayah dengan tingkat tindak pidana narkotika cukup
tinggi.
Dalam Undang-undang Narkotika diatur juga peran serta masyarakat dalam pencegaha
n dan pemberantasan tindak pidana narkotika. Selama ini masyarakat belum banyak
memberikan kontribusi dalam upaya pemberantasan tindak pidana di Indonesia. Ada
ketakutan dalam masyarakat untuk melaporkan kepada POLRI atau BNN jika di daerah
nya ditemukan ada indikasi tindak pidana narrkotika. Mereka takut keselamatan di
rinya dan keluarganya terancam jika melaporkan adanya tindak pidana narkotika. P
adahal peran serta masyarakat akan sangat membantu aparat penegak hukum memberan
tas tindak pidana dan peredaran gelap narkotika. Belum semua lapisan masyarakat
menyadari pentingnya peran serta mereka. Untuk meningkatkan peran serta masyarak
at dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkotika, maka diberikan penghargaan
bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pemberantasan tindak pidana na
rkotika.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pa
da karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya ber
satu padu dengan faktor masyarakaat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasa
nnya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan
spiritual atau non materiil. Pasangan nilai-nilai kebendaan dan keakhlakan, juga
merupakan pasangan nilai yang bersifat universal. Akan tetapi di dalam kenyataa
n masyarakat Indonesia pada masing-masing masyarakat timbul perbedaan-perbadaan
karena berbagai macam pengaruh. Pengaruh dari kegiatan modernisasi di bidang mat
eriil, misalnya tidak mustahil akan menempatkan nilai kebendaaan pada posisi yan
g lebih tinggi daripada nilai keakhlakan, sehingga akan timbul pula suatu keadaa
n yang tidak serasi. Penempatan nilai kebendaan yang pada posisi lebih tinggi da
n lebih penting, akan mengakibatkan bahwa berbagai aspek proses hukum akan menda
pat penilaian dari segi kebendaan belaka.
Penempatan nilai kebendaan lebih tinggi daripada nilai keakhlakan sebenaarnya te
lah terjadi dalam masyarakat Indonesia, dimana beberapa masyarakat Indonesia mem
ilih melakukaan peredaran gelap narkotika demi keuntungan yang berlipat ganda.
Segala sesuatu disandarkan pada cost and benefit. Akhlak tidak menjadi prioritas
bagi mereka yang telah melakukan tindak pidana narkotika. Hal inilah yang membu
ktikan bahwa nilai kebendaan lebih penting daripada nilai keakhlakan. Padahal pa
ndangan seperti ini sangat bertentangan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia.
Kebudayaan Indonesia sangat menjunjung akhlak, moral, etika berdasarkan nilai-n
ilai Ketuhanan. Jika nilai-nilai kebudayaan ini dipegang teguh dan diamalkan, ma
ka seharusnya bangsa Indonesia tidak terlibat dalam tindak pidana narkotika.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
1. Ancaman pidana mati dalam Undang-undang Narkotika tidak efektif dalam up
aya pemberantasan tindak pidana narkotika.
2. Dari pembahasan dapat diketahui bahwa kesadaran hukum masyarakat dan pen
egak hukum di Indonesia masih buruk (negatif), artinya walaupun mereka tahu bahw
a mengkomsumsi dan peredaran gelap narkotika adalah tindak pidana, tetapi hal it
u masih tetap dilakukan. Penegakan hukum di dalam bidang Undang-undang Narkotika
belum maksimal yang dipengaruhi oleh beberapa faktor Undang-undang narkotika ti
dak efektif, sebagai berikut :
i) Faktor hukumnya sendiri.
ii) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak menerapkan hukum.
iii) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakaan hukum.
iv) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
v) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didas
arkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor hukum (Undang-undang Narkotika) secara normatif sudah baik, tetapi yang p
aling menyebabkan undang-undang tersebut tidak efektif adalah faktor penegak huk
um, sarana atau fasilitas penegakan hukum, masyarakat, dan faktor kebudayaan.
III.2. Saran
Solusi yang harus dilakukan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana narkotika
, sebagai berikut :
1) Harus ditanamkan kesadaran hukum pada diri setiap orang (masyarakat dan
penegak hukum) melalui pendidikan dan sosialisai. Proses pendidikan harus lebih
memperhatikan nilai-nilai moral dan etika untuk membangkitkan kesadaran hukum, t
idak hanya mengedepankan intelektualitas semata.
2) Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak saja berpedoman ke
pada peraturan perundang-undangan, tetapi juga berpedoman pada hati nurani dan m
oral.
3) Pemerintah harus memberikan dana (anggaran) yang cukup sehingga upaya pe
mberantasan tindak pidana narkotika didukung penggunaan peralatan canggih.
4) Pemerintah harus mampu meningkatan pembangunan pada sektor riil serta m
embuka lapangan kerja bagi masyarakat.
5) Masyarakat harus meningkatkan peran sertanya dalam pemberantasan tindak
pidana narkotika.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialpru
dence), Kencana, Jakarta, 2009.
Muladi dan Barda Arief Nawawi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya,
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.52
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cet.III, Angkasa, Bandung, 1984.
Satjipto Raharjo, Sosilogi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cet.I
I, Genta, Yogyakarta, 2010.
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Cet.I, Genta, Yogyakarta, 2009.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafind
o Persada, Jakarta, 2010.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet.19, Raja Grafindo Persada, J
akarta, 2010.
Media Elektronik dan Cetak :
Andi Suruji dkk, Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi; Krisis Ekonomi 1998, Traged
i tak Terlupakan, http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi
.htm, 21 Desember 1998.
Badan Narkotika Nasional, Data Jumlah Kasus dan Tersangka Narkotika, http://www.
bnn.go.id
Gories Mere, Pantai Indonesia Rawan Penyelundupan Narkoba, http://www.tempointer
aktif.com, 21 September 2010.
Harian Bali Post, 22 Oktober 2010.
Harian Jawa Pos, 27 Mei 2007.
Harian Jawa Pos, 9 Januari 2011.
Mertokusumo, Sudikno, 19 Maret 2008, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, ht
tp://sudiknoartikel.blogspot.com
Mertokusumo, Sudikno,Kesadaran Hukum Sebagai Landasan Untuk Memperbaiki Sistem H
ukum, 19 Maret 2008, http://sudiknoartikel.blogspot.com Harian
News, Viva, Seorang Perempuan Filipina Ditangkap Membawa Heroin, 13/07/2010, htt
p://metro.vivanews.com
Rois, 19-11-2010, Dua Kali Terjerat Kasus Narkoba, Staf Kejari Tanjung Perak Dip
ecat, http://surabaya.detik.com Harian
Sofia, Kesadaran Hukum Masyarakat Dan Pengaruhnya Bagi Efektifitas Perkembangan
Hukum, 2010, http://s2hukum.blogspot.com
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang narkotika.
Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 Tentang Narkotika.

Anda mungkin juga menyukai