Anda di halaman 1dari 21

KEBIJAKAN FORMULASI SEMA No.

4 tahun 2011 adalah yang


HUKUM PIDANA DALAM mendasari peran dari Justice
collaborator ini. Penelitian hukum yang
PENERAPAN JUSTICE
secara normatif ini dibuat untuk
COLLABORATOR SEBAGAI mengetahui dan mengkaji kedudukan
UPAYA Justice collaborator khususnya sebagai
PENANGGULANGAN kebijakan formulasi aturan hukum untuk
TINDAK PIDANA diterapkan dalam Undang-undang
TERORISME DI Nomor 15 tahun 2003 yang telah direvisi
menjadi Undang-undang Nomor 5 tahun
INDONESIA 2018 tentang Pemberantasan Tindak
Sarah Nauli Pulungan1, Nyoman Serikat
Pidana Terorisme di Indonesia.
Putra Jaya2
Program kajian Pembaharuan Hukum Kata Kunci : Kebijakan Formulasi
Pidana
Hukum, Terorisme, Justice collaborator
Abstrak

Pemberantasan Tindak Pidana Abstract


Terorisme ini perlu adanya terobosan
hukum demi mengurangi dan The Eradication of Terrorism Crime
mempercepat pemberantasan tindak needs a Penal breakthrough to reduce
pidana terorisme tersebut. Selain and accelerate the eradication of the
dengan mekanisme pemberatan pidana crime of terrorism. In addition to the
sebagai efek jera, perlu juga criminal sanction mechanism as a
merealisasikan strategi represif yang deterrent effect, it is also necessary to
lain yaitu dengan memainkan peran realize another repressive strategy,
orang/pelaku dalam tindak pidana namely by playing the role of the person /
terorisme yang dapat menjadi saksi yang perpetrator in a criminal act of terrorism
mau bekerjasama dalam memberantas who can be a witness who wants to
tindak pidana terorisme yang lebih besar, cooperate in eradicating greater
yaitu mereka yang sering disebut dengan terrorism, namely those who are often
saksi pelaku atau Justice collaborator. called witnesses actor or Justice
Tanpa adanya upaya optimalisasi collaborator. Without an effort to optimize
kompensasi berupa perlindungan hukum compensation in the form of legal
akan sulit bagi aparat penegak hukum protection, it would be difficult for law
dalam mengungkap suatu tindak pidana enforcement officials to disclose a crime
tersebut yang tanpa adanya partisipasi without the participation of the public.
dari publik. Lahirnya Undang-undang The birth of the Witness and Victim
Perlindungan Saksi Dan Korban, juga Protection Act, also SEMA is the
underlying role of Justice Collaborator.
Normative legal research was made to
1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum
2
Dosen
find out and examine the position of
Program Justice collaborator specifically as a
Studi policy of formulating the rule of law to be
Magister applied in Law Number 15 of 2003 which
Ilmu Hukum has been revised into Law Number 5 of
UNDIP
2018 concerning the Eradication of Melakukan suatu revisi pada
Crime of Terrorism in Indonesia.
undang-undang pemberantasan tindak
Keywords : formulation Penal Policy, pidana terorisme yang diharapkan
Terorrism, Justice collaborator
A. Pendahuluan menjadi solusi tepat dalam penangan

Semakin marak dan beragamnya tindak pidana terorisme di Indonesia

jenis kejahatan terorisme membuat akhirnya diwujudkan pada tanggal 21

undang-undang yang lama di Indonesia Juni Tahun 2018 lalu Presiden Republik

yaitu undang-undang terorisme Nomor Indonesia Joko widodo resmi

15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan mengesahkan Undang-Undang Nomor 5

Tindak Pidana Terorisme dianggap Tahun 2018 Tentang Pemberantasan

sudah tidak relevan dan bahkan disebut Tindak Pidana Terorisme ini dan tepat

menghambat kinerja pihak berwajib pada tanggal 22 Juni Tahun 2018

dalam memberantas tindak pidana Menkumham pun telah resmi

terorisme. Perlu untuk diketahui, bahwa mengundangkannya. Aturan hukum yang

yang menjadi alasan utama adanya telah diperbaharui ini diharapkan menjadi

perubahan tersebut adalah untuk solusi tepat dalam penangan tindak

memberikan landasan hukum yang lebih pidana terorisme di Indonesia.

kukuh guna menjamin perlindungan dan Berbagai upaya penanggulangan

kepastian hukum dalam pemberantasan untuk kejahatan tindak pidana terorisme

tindak pidana terorisme, serta untuk ini telah dilakukan pemerintah dalam

memenuhi kebutuhan dan memberantas kejahatan transnasional

perkembangan hukum dalam tersebut. Mulai dari pembentukan

masyarakat, maka atas hal itu dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror pada

dilakukannya revisi atas Undang-Undang 26 April 2004 sampai hadirnya Badan

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Nasional Penanggulangan Terorisme

Penetapan Peraturan Pemerintah (BNPT) pada tahun 2010 melalui

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun

Tahun 2002 tentang Pemberantasan 2010, tidak hanya itu karena pada tahun

Tindak Pidana Terorisme itu diharapkan 2018 ini di dalam Undang-undang yang

bisa memberi pencerahan hukum di telah diperbaharui tentang

negeri ini. pemberantasan tindak pidana terorisme


Nomor 5 Tahun 2018 pemerintah bahkan program perlindungan saksi yang selama
melibatkan peran TNI (Tentara Nasional ini diterapkan di berbagai negara
Indonesia) untuk bertugas bersama cenderung digunakan sebagai individu
dalam mengatasi aksi terorisme. Walau melindungi individu yang berperan
begitu, meski dengan upaya sebagai informan bagi kepolisian. Aparat
penanggulangan yang dilakukan secara penegak hukum semakin bergantung
massif, tetapi kejahatan terorisme atau pada kesaksian, bantuan kerja sama,
radikalime yang menjurus terorisme dan petunjuk mengenai bukti-bukti yang
belum pula menunjukkan tanda-tanda diberikan oleh sesama pelaku untuk
akan berhenti, selalu dan terus ada melawan teman sendiri. Semakin terlibat
kader-kader baru para pelaku terorisme. informan tersebut dalam tindak pidana,
Pemberantasan Tindak Pidana semakin bergunalah bantuan informan
Terorisme ini perlu adanya terobosan dikarenakan ia tidak hanya melihat,
hukum untuk mengurangi dan mendengar, atau mengalami saja
mempercepat pemberantasan tindak melainkan mengetahui motif tindak
pidana terorisme tersebut selain dengan pidana dan bahkan ikut melakukannya.
mekanisme pemberatan pidana sebagai Tanpa adanya upaya optimalisasi
efek jera, perlu juga merealisasikan kompensasi berupa perlindungan hukum
strategi represif yang lain yaitu dengan bagi para pelapor, saksi, saksi pelapor
memainkan peran orang/pelaku dalam (whisteblower), korban ataupun saksi
tindak pidana terorisme yang dapat pelaku yang bekerjasama (Justice
menjadi saksi yang mau bekerjasama collaborator) tersebut, akan sulit bagi
dalam memberantas tindak pidana aparat penegak hukum dalam
terorisme yang lebih besar, yaitu mereka mengungkap suatu tindak pidana yang
yang sering disebut dengan saksi pelaku dilakukan tanpa adanya partisipasi
atau Justice collaborator. publik. Masalah ini dapat diatasi apabila
Dalam statusnya sebagai saksi saksi pelapor maupun saksi pelaku yang
pelaku, Justice collaborator termasuk bekerjasama turut berpartisipasi
golongan utama dalam perlindungan bersama aparat penegak hukum
saksi. Berdasarkan pengertian tentang membongkar kejahatan terorganisir.
Justice collaborator yang menjadi Oleh karena itu sangat penting pula
jaminan perlindungan hukum bagi saksi mengapa dalam penangan kasus tindak
pelapor maupun saksi pelaku yang pidana terorisme mengenai Justice
bekerjasama. Perlindungan ini collaborator tersebut sangat jarang
merupakan salah satu refleksi terdengar dan diterapkan padahal bukan
penghargaan terhadap pihak-pihak yang suatu rahasia bahwa baik TIPIKOR
memberi kontribusi dalam upaya maupun Terorisme adalah organized
mengungkap kejahatan yang crime dan merupakan extra ordinary
complicated dan berakibat serius crimes (kejahatan terorganisir dan
sehingga memerlukan treatment khusus merupakan tindak pidana khusus pula).
dan insentif untuk saksi pelapor maupun Dalam menghadapi kenyataan
saksi pelaku yang bekerjasama yang tersebut, aparat penegak hukum harus
berjasa. Kelahiran SEMA No. 04 Tahun bisa mendalami Undang-undang
2011 serta Undang-undang No. 13 tahun Terorisme dan Undang-undang PSK
2006 yang telah diperbaharui menjadi tersebut tersebut agar dapat
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 menerapkannya dengan benar dan tidak
tentang Perlindungan bagi Saksi melupakan latar belakang lahirnya
Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Undang-undang dan SEMA yang
Bekerjasama yang mengatur hal-hal mendasari peran dari Justice
mendasar mengenai Justice collaborator collaborator ini. Berdasarkan latar
dan perlindungan terhadapnya ini belakang diatas perlu untuk dikaji dan
ditujukan agar benar-benar dapat diteliti lebih dalam mengenai kebijakan
diimplementasikan. Kedua peraturan ini formulasi hukum pidana berkisar pada
bukan suatu hal yang baru dan masalah aspek substansi Justice
bukannya belum pernah diterapkan. collaborator dalam aturan hukum Tindak
Dalam prakteknya, terutama dalam Pidana Terorisme di Indonesia sekarang,
kasus korupsi yang sedang ramai dari segi normatif dan yuridis mengenai
dipublikasikan sejumlah media massa, ketentuan dan peran Justice collaborator
wacana mengenai Justice collaborator hingga dapat diterapkan dalam
sudah menjadi hal yang cukup sering menangani tindak pidana terorisme di
terdengar walau masih banyak juga Indonesia. atas hal tersebutlah maka
wacana ini dipermasalahkan. Namun, Penulis mengambil inisiatif untuk
membuat satu penelitian ilmu hukum kerap kali hukum dikonsepkan sebagai
secara normatif dengan judul apa yang tertulis dalam peraturan
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM perundang-undangan (law in books)
PIDANA DALAM PENERAPAN atau hukum yang dikonsepsikan
JUSTICE COLLABORATOR SEBAGAI sebagai suatu kaidah atau norma yang
UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK merupakan patokan berperilaku
PIDANA TERORISME DI INDONESIA. manusia yang dianggap pantas.
Bertitik tolak dari pokok pikiran Pendekatan secara yuridis
yang telah diuraikan diatas, masalah menggunakan Undang-undang dan
yang dapat dikemukakan dalam pendekatan normatif (statute approach)
penelitian ini adalah : 1. Bagaimana yaitu dengan mengkaji atau
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dan menganalisis data sekunder yang
Sistem Peradilan Pidana Terhadap berupa bahan-bahan hukum primer,
Peran Justice collaborator Dalam Tindak sekunder dan tersier dengan
Pidana Terorisme di Indonesia Saat ini ?, memahami hukum sebagai perangkat
dan 2. Bagaimana Kebijakan Formulasi peraturan atau norma-norma positif di
Hukum Pidana dan Sistem Peradilan dalam sistem undang-undang yang
Pidana Terhadap Peran Justice mengatur mengenai kehidupan
collaborator Dalam Tindak Pidana menusia khususnya Undang-undangan
Terorisme di Indonesia Pada Masa Yang yang berkaitan dengan isu hukum yang
Akan datang ? bahas, yaitu isu hukum yang dihadapi
dalam penelitian ini adalah terkait
B. Metode Penelitian dengan kebijakan pemidanaan
Jenis penelitian dalam penelitian permufakatan jahat. Jenis data yang
ini adalah yuridis normatif, dimana dipergunakan dalam penelitian ini
penelitian normatif adalah penelitian berupa data sekunder, yaitu data atau
hukum yang dilakukan dengan cara informasi hasil penelaahan dokumen
meneliti bahan Pustaka Sekunder atau penelitian serupa yang pernah
data sekunder. Penelitian hukum dilakukan sebelumnya, bahan
normatif disebut juga sebagai kepustakaan seperti buku-buku,
penelitian doctrinal. Pada penelitian literatur, koran, majalah, jurnal
ataupun arsip-arsip yang sesuai masyarakat dan wajib berkarakter
dengan penelitian yang akan dibahas. progresif dalam hal
C. Pembahasan penerapannya. Pada dasarnya
1. Kebijakan Hukum Pidana di tidak sedikit cara telah dilakukan
Indonesia Saat Ini Dalam negara dalam menanggulangi
Penanganan Tindak Pidana organized crime. Selain melalukan
Terorisme Melalui Penerapan upaya penegakan hukum secara
Justice Collaborator Sebagai institusional dalam rangka
Alat Bukti (Saksi Pelaku). optimalisasi pembaruan sistem
Adanya suatu kebijakan yang pencegahan dan penanggulangan
merupakan langkah awal untuk organized crime, sangat penting
mengatur suatu tindakan, pula diatur mengenai peran serta
terutama bila tindakan tersebut masyarakat/ partisipasi publik.
mempunyai akibat pada Perlindungan hukum serta
masyarakat. Strategis dalam perlakuan khusus kepada setiap
menyusun suatu kebijakan melalui orang yang mengetahui,
peraturan perundang-undangan melaporkan, dan/atau
maka dapat membantu menemukan suatu hal yang dapat
memberikan landasan, arah, membantu aparat penegak hukum
substansi, dan batasan untuk mengungkap dan
kewenanganan dalam penegakan menangani organized crime
hukum yang akan dilakukan oleh tersebut. Hukum pidana bertumpu
pengemban kewenangan pada 2 masalah substansial yaitu
kebijakan yudikatif dan eksekutif. masalah tindak pidana (Offense)
Perkembangan kejahatan seiring berkaitan dengan masalah
perkembangan masyarakat, perbuatan apa yang seharusnya
dengan demikian sistem dirancang/di desain sebagai tindak
pencegahan dan penanggulangan pidana; kedua, penentuan tentang
dari kejahatan-kejahatan tersebut syarat-syarat apa yang harus
harus bersifat responsif dibuat sebelum seseorang dapat
mengakomodasi perkembangan dikatakan telah melakukan tindak
pidana. Berdasar atas uraian pada lembaga hukum yang bernaung
bab sebelumnya, dimana Penulis dibawah Lembaga Yudikatif
telah menguraikan beberapa dalam hal ini adalah Mahkamah
aturan hukum di Indonesia yang Agung. Penggunaan aturan
mengatur mengenai Justice SEMA ini adalah untuk saksi
Collaborator atas hak-haknya pelaku yang bekerjasama atau
secara garis besar yaitu sesuai justice collaborator yang
dengan yang ada diatur dalam berkaitan langsung dengan
SEMA No.4 Tahun 2011, KUHAP, tindak pidana tertentu yang
UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU bersifat serius. Pendefinisian
Nomor 31 Tahun 2014 tentang tindak pidana tertentu yang
Perlindungan Saksi dan Korban, bersifat serius ini dalam SEMA
dan peraturan perundang- Nomor 4 Tahun 2011 terdapat
undangan lain, beserta aturan pada poin 1, yakni Tindak
hukum tentang Pemberantasan pidana tertentu yang bersifat
Tindak Pidana Terorisme yaitu serius seperti tindak pidana
daam UU No.5 Tahun 2018, dan korupsi, tindak pidana narkotika,
beberapa aturan hukum lainnya tindak pidana pencucian uang,
yang mengatur tentang aturan perdagangan orang, maupun
hukum tindak pidana khusus dan tindak pidana lainnya yang
kejahatan terorganisir lainnya. bersifat terorganisir, telah
Belum adanya pengaturan menimbulkan masalah dan
justice collaborator dalam ancaman yang serius terhadap
KUHAP, menyulitkan para stabilitas dan keamanan
aparat penegak hukum masyarakat sehingga
khususnya bagi para hakim meruntuhkan lembaga serta
dalam menangani kasus-kasus nilai-nilai demokrasi, etika dan
yang melibatkan peran justice keadilan, serta membahayakan
collaborator, dikeluarkannya pembangunan berkelanjutan san
SEMA dijadikan pedoman bagi supremasi hukum
Dimana keberadaannya hingga atau yang telah
kemudian mendapatkan perhatian dan diberikannya..
selanjutnya mulai diatur dalam Hukum (2) Seorang saksi
Positif di Indonesia. Lahirnya SEMA yang juga
Nomor 4 Tahun 2011 ini dikarenakan tersangka dalam
UU Nomor 13 Tahun 2006 belum kasus yang sama
mengatur secara konkret tentang tidak dapat
Justice collaborator tersebut. Hal ini dibebaskan dari
pula yang membuat Mahkamah Agung tuntutan pidana
menerbitkan Secara tersurat aturan apabila ia ternyata
tentang justice collaborator sebagai terbukti secara
saksi dalam proses peradilan. Sesuai syah dan
diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun meyakinkan
2011 Angka 6 (1) dan (2) bersalah, tetapi
menyebutkan bahwa : Perlindungan kesaksiannya
terhadap Pelapor Tindak Pidana dapat dijadikan
(WhistleB/ower) dan Saksi Pelaku yang pertimbangan
Bekerjasama (Justice Collaborator) hakim dalam
memang telah diatur di dalam Pasal 10 meringankan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 pidana.
tentang Perlindungan Saksi dan Karban
Selanjutnya pada poin 9 mengatur
sebagai berikut:
tentang Pedoman untuk
(1) Saksi korban dan menentukan seseorang sebaqai
pelapor tidak dapat Saksi Pelaku yang Bekerjasama
dituntut secara (Justice Collaborator) adalah
hukum baik pidana sebagai berikut :
maupun perdata
a. Yang bersangkutan
atas
merupakan salah satu
laporan, kesaksian
pelaku tindak pidana
yang akan, sedang
tertentu sebagaimana
dimaksud dalam SEMA Bekerjasama
ini, mengakui kejahatan sebagaimana
yang dilakukannya, dimaksud di atas, .
bukan pelaku utama hakim dalam
dalam kejahatan menentukan pidana
tersebut serta yang akan dijatuhkan
memberikan keterangan dapat
sebagai saksi di dalam mempertimbangkan
proses peradilan; hal hal penjatuhan
b. Jaksa Penuntut Umum pidana sebagai
di dalam tuntutannya berikut:
menyatakan bahwa yang i. menjatuhkan
bersangkutan telah pidana
memberikan keterangan percobaan
dan bukti-bukti yang bersyarat khusus;
sangat signifikan dan/atau;
sehingga penyidik atau ii. menjatuhkan
penuntut umum dapat pidana berupa
mengungkap tindak pidana penjara
pidana dimaksud secara yang paling ringan
efektif. mengungkap di antara terdakwa
pelaku-pelaku lainnya lainnya yang
yang memiliki peran terbukti bersalah
lebih besar dan/atau dalam perkara
mengembalikan aset- yang dimaksud.
aset/hasil suatu tindak Dalam pemberian
pidana; perlakuan khusus

c. Atas bantuannya dalam bentuk

tersebut, maka keringanan pidana

terhadap Saksi hakim tetap wajib

Pelaku yang mempertimbangkan


rasa keadilan namun eksistensinya dijadikan
masyarakat. sebagai petunjuk bagi Pengadilan.
Mengingat dalam pemeriksaan
d. Ketua Pengadilan
terhadap perkara pidana untuk
di dalam
mengungkap kebenaran dan
mendistribusikan
memberi keadilan berkait erat
perkara memperhatikan
dengan kekuatan alat bukti.
hal-hal sebagai berikut:
Sehubungan dengan kuat
i. Memberikan
lemahnya suatu pembuktian
perkara-perkara
dalam pemeriksaan terhadap
terkait yang
perkara pidana, maka saksi
diungkap Saksi
maupun korban memiliki
Pelaku yang
kedudukan yang sangat signifikan
Bekerjasama
dalam upaya pengungkapan
kepada majelis
kebenaran materiil. Peranan dari
yang sama sejauh
justice collaborator merupakan
memungkinkan;
sarana pembuktian yang ampuh
dan
untuk mengungkapkan dan
ii. Mendahulukan
membongkar kejahatan
perkara-perkara
terorganisir, baik yang termasuk
lain yang
scandal crime maupun serious
diungkap oleh
crime dalam tindak pidana. Justice
Saksi Pelaku yang
collaborator dapat dijadikan alat
Bekerjasama.
bantu pembuktian di dalam
SEMA inilah yang menjadi acuan pengungkapan kejahatan dimensi
bagi Pengadilan Tingkat Pertama baru (new dimention crime),
dan Tingkat Banding dalam seperti perbuatan korupsi yang
penerapan perlindungan terhadap mana merugikan perekonomian
Justice collaborator. Meskipun negara serta modus-modus
keberadaan SEMA tidak mengikat korupsi menggunakan hi-tech,
sebagaimana undang-undang bantuan dana dari hasil kejahatan
corporate crime, customer fraud, Justice collaborator tersebut
illegal fishing, illegal labour, dan dalam penanganan tindak pidana
cyber crime. Dalam penanganan terorisme.
Organized Crime tindak pidana
2. Kebijakan Formulasi Hukum
terorisme, Undang-undang Nomor
Pidana di Indonesia Dalam
05 Tahun 2018 yang baru direvisi
Penanganan Tindak Pidana
tampaknya banyak melakukan
Terorisme Melalui Penerapan
perubahan-perubahan misalnya
Justice Collaborator Sebagai Alat
perihal masa penahanan yang
Bukti (Saksi Pelaku) Di Masa
mana menurut KUHAP masa
Yang Akan Datang.
penahanan tersangka adalah 180
hari (6 bulan), namun Undang- Menurut Sudarto, seperti yang

Undang No. 5 Tahun 2018 dikutip oleh Barda Nawawi Arief,

menetapkan dalam Pasal 25 yang pernah mengemukakan tiga

bahwa masa penahanan menjadi arti mengenai kebijakan kriminal,

270 hari (9 bulan). Mengenai yaitu :

Penangkapan, dalam KUHAP 1) dalam arti sempit,ialah


telah diatur dalam Pasal 19 ayat keseluruhan asas dan
(1) bahwa Penangkapan hanya metode yang menjadi
berlaku selama 24 jam, namun di dasar dari reaksi
dalam UU Nomor 05 Tahun 2018 terhadap pelanggaran
sebagai tindak pidana khusus hukum yang berupa
menetapkan masa penangkapan pidana;
selama 21 hari. Hal ini merupakan 2) dalam arti luas, ialah
suatu hal yang pantas untuk keseluruhan fungsi dari
didukung, hanya saja di dalam UU aparatur penegak
Nomor 05 Tahun 2018 yang telah hukum,termasuk di
mengalami banyak revisi tersebut, dalamnya cara kerja dari
sangat disayangkan ternyata pengadilan dan polisi;
belum ada satupun pasal yang 3) dalam arti paling luas
mengatur khusus mengenai (yang beliau ambil dari
Jorgen Jepsen), ialah di dalam hukum pidana akan
keseluruhan kebijakan, menunjukkan adanya suatu
yang dilakukan melalui pembaharuan pada hukum pidana
perundang-undangan Indonesia masa yang akan
danbadan-badan resmi, datang. Selain itu, dalam sistem
yang bertujuan untuk peradilan pidana juga dapat
menegakkan norma- diciptakan pembaharuan dalam
norma sentral dari beracara, mengingat keberadaan
masyarakat. whistle blower dan Justice
collaborator sangatlah penting
Makna dan hakekat pembaharuan
dalam sistem peradilan pidana,
hukum pidana berkaitan erat
membantu aparat penegak hukum
dengan latar belakang dan urgensi
dalam tahap penyidikan dan
diadakannya pembaharuan hukum
pemeriksaan hingga tahap
pidana itu sendiri. Latar belakang
persidangan, oleh karena hal
dan urgensi diadakannya
itulah maka menurut penulis suatu
pembaharuan hukum pidana
formulasi hukum berupa kebijakan
dapat ditinjau dari aspek kebijakan
pembaharuan hukum dengan
(khususnya kebijakan sosial;
memasukkan aturan mengenai
kebijakan kriminal; dan kebijakan
Justice collaborator dalam
penegakan hukum) Perumusan
Undang-undang Pemberantasan
Pasal demi pasal dalam Undang-
Tindak Pidana Terorisme dan
undang Nomor 05 Tahun 2018
sistem peradilan dalam RUU
tersebut dengan tetap berpegang
KUHAP Indonesia.
pada asas legalitas sesuai hukum
pidana di Indonesia baiknya Rewards atau penghargaan atas
diperluas secara materiil dengan peran Justice collabolator dalam
lebih menegaskan ketentuan membantu mengungkap suatu
terkait peran saksi pelaku ( Justice tindak pidana yang terorganisir
collaborator) dalam penanganan tersebut harus segera dirumuskan
tindak pidana terorisme. untuk disahkan menjadi aturan
Diperluasnya asas legalitas formil hukum yang sah memuat aturan
justice collaborator, wajiblah untuk dengan aparat hukum pasti akan
dipertimbangkan dan landasan memberikan kontribusi hukum
atas haknya sang Justice dimasa mendatang menjadi
collaborator apabila telah hukum yang lebih progressif
menyatakan bersedia untuk namun tetap berlandaskan asas
membongkar kepada hukum atas legalitas dalam hukum pidana.
semua tindakan organisasi
D. Kesimpulan
terorisme di Indonesia tercinta ini.
seperti yang dituangkan dalam Saat ini kejahatan terorisme

Undang-Undang Nomor 31 Tahun dianggap begitu menakutkan, bukan

2014 jo Undang-Undang Nomor hanya sekedar menjadi kejahatan atas

13 Tahun 2006 tentang kemanusiaan, namun kejahatan

Perlindungan Saksi dan Korban terorisme ini menjadi kejahatan yang

dalam kaitannya dengan peran merusak peradaban dan menjadi salah

daripada justice collaborator satu ancaman atau kejahatan serius atas

tersebut sebagai saksi pelaku kedaulatan negara. Terorisme

yang bekerjasama membantu merupakan kejahatan bersifat

proses penanganan hukum, misal Transnasional, namun semakin lama

Abu Bakar Ba’asyir pelaku kasus banyak yang menyama-ratakannya

tindak Pidana terorisme yang saat sebagai kejahatan internasional karena

Agustus 2018 mendapatkan remisi bentuk kejahatan dan akibat atas

masa kurungan penjara kejahatan ini telah menimbulkan bahaya

dikarenakan yang bersangkutan yang tidak bisa dianggap sepele karena

telah bersedia untuk menjadi ini berpengaruh besar pada keamanan

Justice collaborator walaupun hal dunia, perdamaian dunia serta dapat

tersebut setelah melalui proses merugikan kesejahteraan masyarakat di

yang panjang karena harus dunia. Pada bagian kesimpulan ini,

mendapat izin dari Densus 88. berdasarkan data hasil analisis yang

Konsekuensi dan kultur hukum telah dilakukan dan telah tertuang dalam

yang relevan antara Justice bab pembahasan sebelumnya, maka

collaborator bekerja-sama
atas kajian-kajian diatas Penulis Undang-undang Nomor 05
mengambil kesimpulan sebagai berikut : Tahun 2018 yang sudah di
perbaharui hingga sah
1. Kebijakan hukum pidana di
menjadi pengaturan hukum
Indonesia saat ini dalam
baru atas pemberantasan
penanganan tindak pidana
tindak pidana terorisme
terorisme terkait dengan
tersebut, apabila dikaji dari
dikeluarkannya Undang-
beberapa perspektif hukum,
Undang Nomor O5 Tahun
maka dapat disimpulkan
2018 tentang perubahan
bahwa dalam UU Nomor 05
kedua atas Undang-Undang
Tahun 2018 tersebut banyak
Nomor 15 Tahun 2003
pasal demi pasal baru yang
sebagai pengesahannya
bermunculan maupun pasal
menjadi undang-undang
yang sebagai perubahan
atas Peraturan Pemerintah
adalah bertentangan, baik
Pengganti Nomor 1 Tahun
itu dari sisi HAM ataupun
2002 tentang
Pancasila misalnya seperti
Pemberantasan Tindak
pada pasal 15 UU Nomor 05
Pidana Terorisme, dimana
Tahun 2018 dimana pasal
Undang-undang
yang telah mengalamai
Pemberantasan Tindak
perubahan ini mengatur
Pidana Terorisme ini telah
tentang permufakatan jahat,
mengalami frase perubahan
dalam perspektif HAM setiap
demi perubahan dalam
orang memilik hak untuk
waktu yang cukup panjang.
mengeluarkan ide atau
Kegentingan, keadaan
pendapat dan memiliki hak
mendesak atas
untuk memilih. Menurut
keamananan negara
Pasal 15, bahwa perbuatan
Indonesia ini menjadikannya
berupa permufakatan,
sebagai suatu aturan hukum
persiapan, percobaan, atau
yang benar-benar
pembantuan untuk tindak
dibutuhkan negara ini.
pidana terorisme sudah serta pemenuhan komitmen
merupakan kejahatan, konstitusional pula. Pembuat
meskipun itu belum undang-undang juga tidak
dilakukan dan selanjutnya lupa kiranya membedakan
hukuman yang dijatuhkan antara Pelanggaran dan
atas kejahatan-kejahatan Kejahatan dalam ketentuan
tersebut juga sama dengan hukum pidana, karena harus
pelaku yang memang telah diingat bahwa ini bukan hal
terbukti melakukan tindak yang bisa untuk disama-
pidana terorisme tersebut. ratakan. Selanjutnya apabila
Apabila dikaji dari sila kedua ditinjau dari sisi Sistem
dalam Pancasila, yang Peradilan Pidana atau
dalam hal ini adalah hukum acara pidana dimana
kemanusiaan yang adil dan ini harusnya sesuai dengan
beradab berdasarkan KUHAP maka dalam aturan
perspektif HAM dan keadilan hukum kejahatan
yang bermartabat, pemberantasan tindak
pemberian hukum yang pidana terorisme tersebut
diatur dalam pasal ini tidak banyak yang melenceng dari
sesuai dengan konstitusi KUHAP seperti lamanya
dan komitmen Indonesia masa penahanan dan
dalam bidang hak asasi penyidikan yang berbeda
manusia. Sanksi atas jauh dengan yang diatur
tindakan hukum berupa KUHAP, selain itu masa
kejahatan, harus ada penahanan dan penyidikan
peninjauan kembali yang yang sangat lama ini akan
lebih mendalam dan tetap sangat merugikan tersangka
mengingat keberadaan atas haknya untuk disidang
konstitusi yaitu pasal demi dalam suatu peradilan yang
pasal dalam UUD 1945, cepat dan dengan biaya
harus bersifat perlindungan ringan sesuai dengan yang
atur dan ditetapkan dalam ditetapkan sebagai Lembaga
KUHAP. Belum adanya pula yang berwenang dan wajib
ketetapan yang tegas dari melindungi Justice
pemerintah dalam hal collabolator akan tetapi
penunjukkan lembaga yang faktanya hingga kini,
berwenang sebagai penyidik kepolisian yang tampak lebih
dan berhak menetapkan sering melindungi para saksi
atas korban hingga kini pelaku dalam penanganan
masih simpang siur, ketika tindak pidana khusus,
lembaga mengeluarkan dimana bukan menjadi
data, akan sangat rahasia bahwa untuk
membingungkan sehingga terorisme hal ini pun masih
perlu ada penetapan satu sangat jarang terlihat
lembaga yang berhak lembaga LPSK melindungi
menetapkan korban saksi pelaku tersebut,
danlembaga tersebut saja bahkan pelibatan Justice
yang berhak mengeluarkan collabolator dalam beracara
haknya. Selanjutnya atas penanganan tindak
mengenai ketegasan pidana terorisme pun masih
lembaga yang berwenang awam terdengar dan sangat
dalam melindungi korban jarang terlihat diterapkan.
atau leading sector yaitu
2. Kebijakan formulasi hukum
LPSK pada faktanya belum
pidana di indonesia dalam
tampak ada ketegasan,
penanganan tindak pidana
misalnya saja untuk
terorisme melalui penerapan
perlindungan korban disini
Justice collaborator sebagai
masih jelas terlihat bahwa
alat bukti (saksi pelaku) di
masalah ini dipegang oleh
masa mendatang harus
kepolisian. Begitu juga atas
yang sesuai dengan
perlindungan saksi pelaku,
Konstitusi dan HAM, serta
meskipun LPSK telah
KUHAP, yaitu dimana perlu
adanya aturan perlindungan Densus 88, hingga pada
yang tidak hanya korban pihak pengadilan yaitu para
namun juga terhadap saksi, hakim yang memutus.
saksi pelaku, penyidik, Melalui Justice collaborator
penuntut umum, serta hakim yang telah memiliki lembaga
dalam menangani perkara perlindungan hukum melalui
tindak pidana terorisme, dan penetapan matang dan
ini membutuhkan aturan tegas pastinya penemuan
hukum lanjutan seperti atas pelaku kejahatan
peraturan pemerintah. terorganisir ini bukan
Pelibatan saksi pelaku atau menjadi hal yang sulit lagi,
Justice collaborator harus seperti sekarang ini.
memiliki ketegasan hukum, Indonesia saat ini
hal ini akan sangat membutuhkan solusi baru
membantu penegak hukum dalam mengungkap extra
dalam mengungkap banyak ordinary crimes jadi
pihak yang terlibat dalam memberantas terorisme ini
tindak pidana terorisme ini. tidak bisa hanya dengan
Ini bisa dicontoh dari serangan balasan melalui
pengungkapan kasus senjata dan vonis hukuman,
TIPIKOR di Indonesia yang karena NKRI bukan negara
saat ini banyak Amerika Serikat yang lebih
menggunakan bantuan mendahulukan Bukti
Justice collaborator, kerja daripada Saksi dalam
sama yang efektif demi proses hukum, Indonesia
mengungkap keterlibatan lebih banyak menggunakan
para pihak dalam kejahatan saksi dalam proses
terorganisir akan sangat hukumnya.
membantu dan
Daftar Pustaka
mempermudah kerja Jaksa
penuntut umum, BNPT dan
Amirudin,. & Asikin, Zainal. (2013). dalam Diskusi Panel
Pengatar Metode
dengan tema “Undang-
Penelitian Cetakan Ke-
Undang Perindungan
7. Jakarta: Rajawali
Press. Saksi dan Korban di
Arief, Barda N. (2008). Masalah
Indonesia”,
Penegakan Hukum Dan
diselenggarakan oleh
Kebijakan Hukum
Pidana Dalam United States
Penanggulangan
Department of Justice,
Kejahatan. Jakarta:
Office of Overseas
Kencana.
Arief, Barda N. (2010). Bunga Prosecution
Rampai Kebijakan
Development
Hukum Pidana, Edisi 2.
Assistance and Training
Jakarta: Kencana.
Arief. Barda N. (2017). RUU KUHP (OPDAT), 12-14 Juni
BARU Sebuah
2007),
Restrukturisasi/Rekonst
ruksi Sistem Hukum Amirudin dan Asikin.Z., Metode
Pidana Indonesia,
Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
Cetakan ke-7.
Semarang: Pustaka Grafindo, 2010

Magister Semarang.
Andrisman,T, Hukum Pidana Asas-
Adji, IS, “Prospek Perlindungan
Asas Dan Aturan
Saksi dan Korban
Umum Hukum Pidana
dalam Sistem Peradilan
Indonesia Unila. 2009
Pidana Indonesia,
Anwar, H.A.K.M, Beberapa
makalah disampaikan
Ketentuan Umum
Dalam Buku Pertama Arief, Barda.N, Bunga Rampai

KUHP, Bandung: Kebijakan Hukum

Alumni, 1981 Pidana: Perkembangan

Anwar, H.A.K.M, Beberapa Penyusunan Konsep

Ketentuan Umum KUHP Baru, ..

Dalam Buku Pertama Artantojati,S Perlindungan

KUHP, Bandung: Terhadap Saksi Pelaku

Alumni, 1981 Yang Bekerjasama

Arief, Barda N, Bunga Rampai (Justice collaborators)

Kebijakan Hukum Oleh Lembaga

Pidana Perkembangan Perlindungan Saksi dan

Penyusunan Konsep Korban (LPSK), Tesis,

KUHP Baru, Jakarta, Program Pascasarjana,

Kencana Prenadamedia Jakarta: Universitas

Group, Cet.4, 2014 Indonesia, 2010

Arief, Barda N, Kapita Selekta Auliah A, Pertanggungjawaban

Hukum Pidana , Pidana Koorporasi

Bandung: Citra Aditya Pada Tindak Pidana

Bakti,, 2013 Pencucian Uang,

Thesis Fakultas Hukum

Pasca Sarjana

Universitas Indonesia,

Jakarta, 2012
H.L. Hart, The Concept of Law, New Jaya, Nyoman Serikat P. (2008).

York: Oxford University Press, 1994 Beberapa Pemikiran Ke

Arah Pengembangan
Hamzah, A., Bunga Rampai Hukum
Hukum Pidana.
Pidana dan Acara
Bandung: Citra Aditya
Pidana. Ghalia
Bakti.
Indonesia Jakarta, 2001
KUHAP
Huibers, Theo Falsafat Hukum,
KUHP
Yogyakarta: Kanisius, 1990

I Gde Pantja A., N. Suprin , Peraturan Bersama Menteri Hukum

Memahami Ilmu Negara dan Hak Asasi Manusia

dan Teori Negara, PT RI, Jaksa Agung RI,

Refika Aditama, Kepala Kepolisian

Bandung, 2009, . Negara RI, Komisi

Ibrahim.J, Teori dan Metodologi Pemberantasan Korupsi

Penelitian Hukum RI, Ketua Lembaga

Normatif, Malang: Perlindungan Saksi dan

Bayumedia Publishing Korban RI Nomor.

2006), M.HH-

11.HM.03.02.th,2011,

PER-045/A/JA/12/2011,

1 Tahun 2011, KEPB-

02/01-55/12/2011, 4

Tahun 2011 tentang


Perlindungan Bagi UUD 1945

Pelapor, Saksi Pelapor


Undang-Undang Nomor 05 Tahun
dan Saksi Pelaku yang
2018 tentang
Bekerjasama.
Pemberantasan Tindak
Perppu Nomor 01 Tahun 2002
Pidana Terorisme
tentang Pemberantasan Tindak
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
Pidana Terorisme
2003 tentang
Putusan Mahkamah Agung (No.
Pemberantasan Tindak
1989K/Pid.Sus/1989)., Tanggal 6
Pidana Terorisme
Agustus 1989.

SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011


Undang-Undang Nomor 13 Tahun
tentang Perlakuan bagi
2006 tentang Perindungan Saksi dan
Pelapor tindak Pidana
Korban
(Whistle blower) dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
Saksi Pelaku yang
2014 tentang Perindungan Saksi dan
Bekerjasama (Justice
Korban
collaborators) di dalam

Perkara Tindak Pidana

Tertentu.

Justice Collaborator Sebagai Alat Bukti


Kebijakan Formulasi Hukum Pidana di (Saksi Pelaku) Di Masa Yang Akan
Indonesia Dalam Penanganan Tindak Datang.
Pidana Terorisme Melalui Penerapan

Anda mungkin juga menyukai