Abstrak
Kata Kunci : Indonesia, Politik Luar Negeri, Bebas dan aktif, Dimensi Sejarah, Kepentingan
Nasional
Pendahuluan
Era kolonialisme ini berakhir pada masa perang dunia, khususnya perang dunia ke-2.
Perang dunia yang cukup singkat namun menggeser polarisasi dan dinamika hubungan antar
negara tersebut meninggalkan jejak kolonialisme dan melahirkan negara-negara berdaulat
baru. Di saat itulah Indonesia memasuki era Perang Dingin dimana sistem internasional dan
1
polarisasi kekuatan dunia terhadap negara dominan menjadi pengaruh besar bagi dinamika
hubungan internasional.
Dalam perkembangannya, Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka pada 17
Agustus 1945, merupakan negara yang sangat rentan dari nacaman luar maupun dalam negeri
sendiri. Indonesia pun membutuhkan kedua pijakan untuk memperkuat legitimasi
kedaulatannya sebagai negara baru. Sesuai dengan konferensi Montevideo 1933 yang dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua bentuk legitimasi kedaulatan negara, yaitu secara internal
dan secara eksternal. Secara Internal, Soekarno tentunya memiliki dukungan penuh dari
masyarakat Indonesia yang trauma akan kependudukan asing dan menginginkan kemandirian
sebagai sebuah bangsa yang utuh disamping Soekarno tetap harus membina hubungan politik,
ekonomi, sosial dan budaya dengan entitas-entitas yang membentuk Indonesia. Dengan
demikian, yang menjadi persoalan utamanya terletak pada prinsip kedaulatan eksternal.
Untuk dapat dikatakan berdaulat secara utuh, Indonesia harus mendapat pengakuan
dari komunitas internasional. Pengakuan tersebut merupakan bentuk penilaian dari komunitas
internasional bahwa Indonesia dapat dikatakan sebagai entitas, subjek dan atau aktor yang
mampu menjalin hubungan dengan entitas, subjek dan atau aktor lain terutama negara.
persoalan hubungan antar negara ini menjadi semakin rumit dan menjadi tantangan bagi
Indonesia yang baru lahir. Oleh karenanya Indonesia membutuhkan seperangkat landasan dan
alat untuk memulainya yaitu dengan merumuskan Politik Luar Negeri.
Pada tanggal 2 September 1948, Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia saat
itu, merumuskan landasan utama Politik Luar Negeri Indonesia yaitu Politik Luar Negeri
Indonesia yang Bebas dan Aktif.1 Menurut Mohammad Hatta, kondisi politik internasional
yang terjadi, menjadi sebuah tantangan besar bagi Indonesia dalam menentukan pilihan atas
nasib bangsa Indonesia sendiri. Perang yang terjadi diantara kedua blok tersebut merupakan
kondisi yang seharusnya tidak menjadikan Indonesia sebagai objek, melainkan Indonesia
tetaplah subjek yang memiliki hak untuk memutuskan pilihan-pilihan dan berjuang untuk
tujuan besar yaitu kemerdekaan sepenuhnya bangsa Indonesia. Pernyataan tersebut dikenal
dengan konsep “mendayung antara dua karang”.
1
Indonesia‟s Foreign Policy/The Principles Of The Foreign Policy, diakses melalui,
http://www.embassyofindonesia.org/foreign/foreignpolicy.htm pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 01.49
WIB.
2
Berawal dari hal tersebut, terminologi Bebas Aktif menjadi prinsip utama, konsep,
teori dan juga implementasi dari setiap Politik Luar Negeri Indonesia hingga saat ini.
Tentunya, Politik Luar Negeri Bebas Aktif memiliki tujuan utamanya. Terdapat tiga tujuan
utama yang terkandung dalam Politik Bebas Aktif tersebut, yaitu:2
Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia mencoba untuk membangun
ulang dan melakukan re-orientasi Politik Luar Negeri Indonesia. SBY menggunakan trend
“Thousand Friend – Zero Enemy” sebagai bentuk pendekatan baru dari Politik Luar Negeri
Indonesia. Prinsip Politik Bebas Aktif masih menjadi landasan dasarnya, hanya saja re-
orientasi Politik Luar Negeri ini ditujukan sebagai pengalihan cara yang menentukan perilaku
atau tindakan Indonesia terhadap negara-negara di seluruh dunia.
Hal ini merupakan cerminan sekaligus bukti bahwa trend yang dikeluarkan oleh SBY
tersebut tak terlepas dari kondisi sistem internasional. Trend liberalisme dan kosmopolitan
membentuk perilaku Indonesia. SBY sebagai agen yang melakukan konstruk sosial berupaya
2
Ibid.
3
untuk mencirikan identitas Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, dengan memiliki
banyak teman tanpa musuh. Oleh karenanya, Irfa Puspitasari (2010) menggambarkannya
dengan promosi Indonesia terhadap dunia luar yang memiliki karakteristik sebagai negara
muslim dan demokrasi terbesar yang mengedepankan kerjasama.3 Pembentukan citra tersebut
tidak terlepas dari dunia islam yang tidak demokratis, dunia islam yang memiliki
kecenderungan teroris, dan dunia islam yang cenderung anti-Barat.
Terlepas dari itu semua, Emirza Adi Syailendra (2013) berupaya untuk
mengembalikan trend regionalisme sebagai titik temu dari tingkat analisa Politik Luar Negeri
Indonesia. Menurutnya, tantangan Politik Luar Negeri Indonesia berada pada dimensi
regional. Regionalisme merupakan jalan tengah antara gambaran besar mengenai kondisi
sistem internasional dan pola perilaku dan pola interaksi negara. Emirza menjeleaskan tiga
tantangan kedepan yang akan dihadapi oleh Indonesia dengan mengembalikan trend
regionalisme, yaitu:5
3
Irfa Puspita Sari, (2010), Indonesia‟s New Foreign Policy – „Thousand friends-Zero Enemy‟, New Delhi: IDSA
4
Aulia Akbar, (2013), Politik Luar Negeri Bebas Aktif Kini Semakin Rumit, diakses melalui,
http://international.okezone.com/read/2013/04/26/411/798300/politik-luar-negeri-bebas-aktif-kini-
semakin-rumit pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 04.23 WIB.
5
Emirza Adi Syailendra, (2013), Indonesia‟s Foreign Policy Outlook: Challanges of 2013 and Beyond,
Singapore: RSIS Commentaries.
4
Melihat penjelasan Emirza tersebut, ketiga tantangan tersebut dapat mengindikasikan
terjadinya sebuah trend regionalisme baru dan Bipolaritas yang hanya terjadi di dalam sub-
sistem regional Asia Tenggara. Penjelasan tersebut terkesan cukup unik dan parsial karena
Emirza hanya memfokuskan pada aspek regionalisme. ASEAN di samping menjadi pijakan
Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia, juga menjadi instrumen dari Politik Luar Negeri
itu sendiri. Hal ini menjadi penjelasan singkat bagaimana sub-sistem regional tersebut
menjadi potret kecil dari sistem internasional keseluruhan yang sangat memengaruhi pola
perilaku dan pola interaksi Indonesia dan hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
Indonesia untuk memainkan peranannya.
Indonesia harus tetap menjadi aktor yang rasional dan realistis dengan merefleksikan
gambaran dari sub-sistem maupun sistem internasional secara keseluruhan untuk mencapai
kepentingan nasional Indonesia. Berlandaskan pada prinsip Bebas Aktif, Indonesia tidak
harus menjadi negara yang idealis ataupun pragmatis. Bebas Aktif adalah prinsip sekaligus
cara agar bagaimana Indonesia mampu bertindak sebagai aktor yang memiliki peranan serta
menjadi bagian dari sistem dan sub-sistem internasional. Argumen utama dalam penelitian ini
adalah, peneliti meyakini bahwa dinamika sistem internasional yang terjadi sejak awal
kemerdekaan Indonesia hingga saat ini merupakan faktor utama yang membentuk
karakteristik sekaligus landasan konseptual politik luar negeri Bebas Aktif, karena dari
gambaran Bebas Aktif itu sendiri tercermin sebuah pendekatan yang rasional dan realistis
dalam praktik pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, tidak terlalu idealistik dan juga
tidak terlalu pragmatis.
5
Polarisasi atas subjek yang dianggap dominan dalam sebuah sistem merupakan
bentuk nyata dari sebuah struktur internasional. Dominasi tersebut memiliki indikator
tertentu, dalam hal ini Waltz mereferensikannya kepada terminologi konsep “Power”. Power
merupakan sesuatu yang abstrak begitu juga dengan “Negara” dan “Sistem Internasional”.
Akan tetapi, jika dilihat dari pendekatan Struktural, maka terdapat susunan dan tingkatan
tertentu mengenai gambaran nyata yang memengaruhi bentuk abstraknya. Oleh karena itu,
untuk mendefinisikan “Power” itu sendiri terdapat dua dimensi pendekatan. Dilihat dari
dimensi praktis, “Power” mengacu kepada potensi-potensi yang terlihat dan yang tidak
terlihat (tangible dan intangible) yang dimiliki oleh suatu negara. Dilain hal, defnisi “Power”
berdasarkan objektifnya mengacu pada tiga hal, Kapabilitas, Kredibilitas, dan Pengaruh
(Credibility, Capability & Influences).
Jika sistem atau struktur yang dimaksud memiliki pengaruh terhadap perilaku dan
membentuk pola perilaku terhadap subjek dalam hubungan internasional, maka perilaku
seperti apa yang dimaksud? Definisi perilaku itu sendiri megnarah kepada pembuatan
kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara. Oleh karena itu, perilaku dapat diartikan
sebagai Politik Luar Negeri, karena perilaku, seperti yang dikatakan oleh K. J. Holsti, adalah
tindakan yang memiliki landasan dan tujuan yang didalamnya memiliki nilai-nilai.6
Oleh karena itu juga, kajian mengenai Politik Luar Negeri suatu negara menjadi
penting sebagai refleksi atas kecenderungan-kecenderungan tertentu di bawah sebuah sistem
atau struktur. Kecenderungan perilaku sebuah negara menjadi pola yang membiasa dalam
bentuk interaksi yang terjadi di dalam sistem internasional.
6
Lihat juga: K.J.Holsti, (1987), Politik Internasional: Kerangka Analisa,(terj), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, hlm.
199.
7
Marijke Breuning, (2007), Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, New York: Palgrave
Macmilan.
6
Breuning memfokuskan analisanya pada tingkatan pemimpin di suatu negara. Breuning
mengambil contoh mengenai Hitler yang memutuskan untuk melakukan invasi terhadap
Polandia atau atau keputusan Saddam Hussein untuk menginvasi Kuwait dan keputusan
George W. Bush untuk menginvasi Iraq.
8
Miftahul Aziz, (2010), Politik Luar Negeri Bebas Aktif (Studi Pemerintahan Abdurrahman Wahid),
Yogyakarta: UIN, diakses melalui, http://www.thedigilib.com/doc/41382-politik-luar-negeri-
indonesia-bebas-aktif-studi-pemerintahan-abdurrahman-wahid-#.UZkvb6MUXH0 pada tanggal 20
Mei 2013 pukul 03.03 WIB.
9
Triono Akmad Munib, (2012), Perbandingan Politik Luar Negeri Bebas Aktif Era Orde Lama, Orde Baru dan
Pasca Orde Baru, diakses melalui, http://djangka.com/2012/04/30/perbandingan-politik-luar-negeri-
bebas-aktif-era-orde-lama-orde-baru-dan-pasca-orde-baru/ pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 03.08
WIB.
7
Kenneth Waltz sebelumnya, bahwa sistem atau struktur merupakan penentu dari pola perilaku
dan pola interaksi.
10
Eclecticism adalah analisa teoretis yang mengaitkan dua teori atau lebih untuk menggambarkan sebuah
fenomena yag terjadi. Novontny berupaya menggabungkan bagaimana neorealis dan konstruktivis
dapat melihat faktor-faktor yang menunjang pelaksanaan politik luar negeri. Lihat:
http://www.theory-talks.org/2008/08/theory-talk-15.html Op. Cit.
8
Balance of Power hanya berafiliasi pada peningkatan kapasitas militer yang
dilakukan antar negara atau sistem aliansi yang dilakukan oleh negara-negara dominan. Akan
tetapi, konsep Balance of Power tidak dapat menjelaskan kecenderungan perilaku dan
interaksi yang terjadi di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Persepsi
keseimbangan ancaman bagi negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara bukan terletak
pada terminologi Power yang bersumber pada aspek material seperti militer, melainkan
ancaman langsung yang memengaruhi perubahan identitas. Dalam konsep Balance of Threat,
penjelasan mengenai ancaman merupakan konstruk sosial yang dilakukan oleh suatu
pemerintahan. Salah satu penjelasannya adalah kecenderungan dari, negara-negara Asia
Tenggara lebih memiliki trauma kepada bentuk kolonialisme bukan pada peningkatan militer
yang dilakukan oleh Amerika Serikat ataupun Uni Soviet. Hal itulah yang kemudian
membentuk identitas kenegaraan.
Indonesia dibawah rezim Soekarno yang lebih dikenal dengan Politik Konfrontasi.
Di satu sisi Soekarno dihadapi dengan kondisi eksternal Perang Dingin. Pemusatan kekuatan
antar kubu membuat Soekarno tidak bisa menjadi terlalu condong kesalah satunya. Kedekatan
Soekarno terhadap kelompok komunis dan kampanye anti-Barat-nya tidak serta merta
menjadikan Soekarno adalah seorang komunis. Soekarno hanya mencoba untuk menjaga
kedekatan tersebut karena Soekarno juga berada di tengah-tengah posisi antara kelompok
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan kelompok pendukung Komunis. Bagi Novotny,
kampanye anti-Barat yang dilakukan oleh Soekarno ditujukan untuk mengangkat trauma
kolonialisme namun Soekarno pun tetap memiliki hubungan kerjasama dengan Amerrika
Serikat. Lebih lanjut, Novotny menjelaskan bahwa tujuan Soekarno adalah mencari jalan
keluar untuk mendapat pengakuan kedaulatan ketimbang menyulut konflik baru. Langkah
netralitas dan strategi pengakuan Soekarno itu sendiri terlihat pada pembentukan Gerakan
Non-Blok yang dilandasi pada Konfrensi Asia Afrika di bandung.
Begitu juga yang terjadi pada era Soeharto, Indonesia terkesan lebih mendekatkan
diri kepada Barat khususnya Amerika Serikat. Hal tersebut bukan berarti Soeharto memihak
dan tunduk sepenuhnya pada dominasi Barat, terutama Amerika Serikat. Soeharto
memanfaatkan peluang yang bisa diberikan oleh Amerika Serikat yang tidak ada pada kubu
9
Uni Soviet. Pada akhirnya, Soeharto pun mengembalikannya kepada kepentingan nasional
Indonesia yang membutuhkan investasi untuk program pembangunan nasional. Soeharto pun
berpijak pada pembentukan ASEAN sebagai wadah regional dimana Indonesia dapat
menjadikan wilayah kawasan Asia Tenggara sebagai bagian dari sub-sistem dan atau sub-
struktur untuk kemudian menjadi refleksi Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia dalam
memenuhi kepentingan nasionalnya.
Baik pada era Reformasi, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang
Yudhoyono pun demikian. Kondisi eksternal menjadi refleksi bagi kepentingan nasional. Apa
yang menjadi kebutuhan dan keinginan Indonesia maka itu lah yang menjadi tujuannya. Hal
ini tercermin dalam prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia yang dinilai tidak
berdasar pada idealisme atau pragmatisme tertentu. Jika dilihat berdasarkan peninjauan
teoritis dan praktis, maka Politik Luar Negeri Bebas Aktif merupakan sebuah konsep yang
terhitung rasional dan realistis.
Garis penekanan terhadap aspek rasional dan realistis menjadi analisis yang penting
dalam melihat praktik pelaksanaan politik luar negeri Bebas Aktif yang dinamis. Rasionalitas
tersebut dilihat melalui pemimpin Indonesia yang memiliki visi dan misi tertentu. Pada
tingkatan analisa individual, hal tersebut memang tidak dapat dielakkan mengingat peranan
tokoh pemimpin negara menjadi agen yang memiliki kemampuan untuk melakukan konstruk
sosial. Namun, persepsi keseimbangan ancaman yang terefleksi dalam kondisi eksternal juga
menjadi penting mengingat tanpa adanya perioritas ancaman, maka Indonesia pun tidak dapat
menentukan konstruk sosial seperti apa yang akan diterapkan dalam wilayah domestiknya.
Dua sisi penggambaran analisa Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia itu sendiri,
hingga saat ini masih menjadi tolak ukur dalam menentukan orientasi Politik Luar Negeri
Indonesia. Prinsip Bebas Aktif yang diterjemahkan oleh Mohammad Hatta digambarkan
melalui kiasan “mendayung antara dua karang”. Dua karang yang dimaksud adalah gambaran
kondisi sistem internasional yang didalamnya terdapat pertentangan dua kubu besar antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sebagaimana Waltz menggambarkannya sebagai sistem
internasional yang berada pada posisi Bipolar. Dengan kata lain, prinsip Bebas Aktif itu
sendiri lahir atas pengamatan Hatta untuk menentukan orientasi dan tujuan dari Politik Luar
Negeri Indonesia. Dengan bahasa yang fleksibel dan terkesan praktis ini, Bebas Aktif juga
dinilai sebagai cara untuk mengimplementasikan atau cara untuk bertindak.
10
Saat ini, Indonesia dihadapi oleh tantangan zaman yang terus berubah-ubah. Pasca
tumbangnya rezim Orde Baru, Indonesia memasuki tahapan baru. Dengan sistem dan bentuk
kepemerintahan yang juga baru ini, Indonesia dihadapi persoalan yang tidak sedikit.
Perbedaan mendasar yang dialami oleh Indonesia saat ini adalah, Indonesia tidak berada di
bawah dan di dalam sistem internasional yang Bipolar, melainkan Multipolar. Perbedaan
kondisi sistem internasional tentunya membentuk perbedaan pola perilaku dan pola interaksi
negara-negara yang ada didunia.
Pergeseran persepsi ancaman ini dibuktikan dengan adanya pergeseran isu-isu dalam
hubungan internasional. Saat ini, Indonesia tidak hanya dihadapkan pada persoalan polarisasi
kekuatan negara-negara dominan dalam sistem multipolar melainkan dihadapkan dengan
spesifikasi tema-tema ancaman yang berubah seperti ekonomi, kemiskinan, terorisme,
lingkungan hidup, dan ancaman yang lebih nyata lainnya yang tidak hanya menganggu
kedaulatan internal namun juga menganggu kedaulatan eksternal Indonesia. Isu-isu dengan
tema yang lebih spesifik ini juga memiliki dampak implikasi terhadap rusaknya hubungan
kenegaraan. Sebagai contohnya serangkaian aksi terorisme yang beberapa kali terjadi di
Indonesia. Pada tingkatan tertentu, hal tersebut tidak terlihat secara signifikan terhadap
hubungan antar negara karena ancaman ini berada pada wilayah domestik. Akan tetapi,
stabilitas domestik di era yang semakin terhubung saat ini, menjadi sangat berpengaruh bagi
hubungan antar negara. Aksi terorisme tentunya berdampak pada ketakutan dan kekhawatiran
sehingga terjadi sebuah ketidakstabilan yang berdampak pada menurunnya wisatawan asing
dan menurunnya tingkat kepercayaan investor terhadap pemerintahan yang dianggap tidak
dapat menghadirkan stabilitas di dalam wilayah teritorialnya.
11
“Jurnal Diplomasi”, diakses melalui,
http://www.kemlu.go.id/Tabloids/Jurnal%20Diplomasi%20Maret%202012.pdf pada tanggal 7
Januari 2015 pukul 21.00 WIB
11
Tabel 1.1 : Prioritas Kebijakan dan Strategi Pencapaiannya
Doktrin dan prinsip polugri Indonesia yang ada tersebut kemudian diturunkan
dalam kebijakan pemerintahan SBY. Cerminannya terlihat dari fokus prioritas RPJMN
2010-2014 dalam bidang hubungan luar negeri. Keseluruhan muara kebijakan tersebut
12
ialah optimaslisasi intsrumen total diplomacy untuk mewujudkan indonesua dalam tiga
ciri utamanya, yaitu, kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan.12
12
Ibid. Hlm, 21
13
Ibid. Hlm, 22
14
Ibid. Hlm, 22
13
tidak sepenuhnya berjalan baik. Pada abad ke-21 ini, sangat sulit untuk membayangkan
terjadinya lagi fenomena penjajahan seperti dahulu. Walaupun diskursus mengenai neo-
kolonialisme masih dapat dijumpai, namun pengertiannya masih rancu, tergantung dari
ideologi pembicaraannya.15
Bipolarisasi Timur-Barat dan Perang Dingin juga sudah dianggap usai dengan
kolapsnya Uni Soviet dan bubarnya kubu Timur. Bahkan sebagian besar bekas
anggotanya masuk organisasi-organisasi kubu Barat seperti Uni Eropa dan NATO.
Semula tampak kecenderungan akan munculnya gejala sistem kekuatan unipolar untuk
menggantikan bipolarisme dengan Amerika Serikat sebagai kutubnya. Namun,
perkembangan selanjutnya, termasuk krisis ekonomi parah yang dialaminya,
menunjukkan bahwa meskipun masih merupakan kekuatan nomor satu di dunia, banyak
yang meragukan apakah Amerika Serikat akan mampu menjadi kutub tunggal dalam
sistem kekuasaan Unipolar didunia. Munculnya kekuatan-kekuatan lain seperti
Republik Rakyat Cina, India, dan Brazil dan mulai menguatnya kembali Federasi Rusia,
ditambah dengan kekuatan gabungan dari sejumlah negara seperti ASEAN, telah
menimbulkan perkiraan akan tumbuhnya sistem kekuatan multipolarisme. Masa yang
belum menentu ini diperkompleks dengan semakin mengemukanya adu kekuatan
asimetris antara negara dengan entitas non-negara seperti Teroris. Begitu pula semain
signifikannya ancaman-ancaman non-tradisional.16
15
“Jurnal Diplomasi” diakses melalui,
http://www.kemlu.go.id/Tabloids/Jurnal%20Diplomasi%20Maret%202012.pdf pada tanggal 7
Januari 2015 pukul 20.00 WIB
16
Ibid.
14
2000 dan 2001-2010. Dalam rangka peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika,
Indonesia juga telah memprakarsai New Asia-African Strategic Partnership (NAASP).17
Politik Luar Negeri sebagai refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi
oleh perkembangan situasi internasional merupakan hal mendasar yang
melatarbelakangi perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri suat negara, termasuk
Indonesia. Namun, dalam konteks tertentu, politik domestik dan politik internasional
sebagai variabel penentu utama tidak memiliki derajat pengaruh yang sama. Orientasi
politik luar negeri Indonesia di awal era reformasi, misalnya, sangat dipengaruhi oleh
kondisi domestik akibat krises multidimensi seiring dengan runtuhnya rezim orde
17
Ibid.
18
ICWA.2010.Into the new world. Jakarta, Hlm. 4-7
15
baru.19 Upaya untuk memperoleh kembali kepercayaan dunia internasional terhadap
Indonesia dan memulihkan kondisi perekonomian nasional merupakan kepentingan
nasional yang mendasat agenda politik luar negeri Indonesia saat itu. Dengan kata lain,
pada masa itu politik luar negeri Indonesia lebih dipengaruhi oleh perkembangan politik
Domestik daripada politik Internasional.20
19
Ganewati Wulandari (Ed).2008. politik Luar negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm, 3-4
20
Ibid. Hlm, 4
21
Ibid. Hlm, 6
22
Ibid. Hlm, 7
16
Eropa memang menjadi salah satu negara tujuan ekspor Indonesia. Selama
periode Januari-Agustus 2011, ekspor non-migas Indonesia ke Eropa mencapai
US$14,388 miliar atau senilai 13,4% dari total ekspor Indonesia.23 Namun situasi
seperti ini tidak terlalu jadi masalah bagi Indonesia karena tidak semua negara Eropa
terkena krisis, dan Indonesia masih mampu memiliki peluang diversifikasi ekspor.
Namun krisis Eropa akan menjadi tantangan bagi Indonesia ketika nengara-negara
tujuan ekspor Indonesia terkena dampaknya dan menyebabkan multiplier effects dari
penurunan ekspor Indonesia berdasarkan data BPS tahun 2010, negara-negara tujuan
terbesar ekspor Indonesia selama tahun 2011 adalah China dan Jepang, yang berarti
kedua negara adala mitra dagang dan investasi paling penting bagi Indonesia. Jepang
menyumbang 16% investasi luar negri nasional selain nilai perdagangan bilateral atau
menggunakan perjanjian tripatrit. Oleh karena itu, jika ekspor kedua negara tersebut
terpengaruh krisis Eropa, maka akan mempengaruhi ekspor Indonesia dalam jangka
panjang. Namun, kondisi terakhir menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan
ekonomi di sejumlah negara Asia, termasuk China dan Jepang. Data-data pemerintah
China menunjukkan adanya kontraksi pada aktivitas manufaktur di China pada
Desember 2011 akibat sepinya pemesanan.24
Tantangan global berikutnya yang perlu menjadi perhatian Indonesia terkait erat
dengan isu keamanan energi. Indonesia termasuk negara yang kaya akan cadangan
energi baik yang berbasis fosil maupun energi terbarukan. Sampai dengan tahun 2004,
potensi energi nasional untuk minyak sebesar 86,9 miliar barel, gas 384,7 TSCF,
batubara57 miliar ton, tenaga air 845,00 juta BOE, panas bumi (gethermal) 219,00 juta
BOE, dan microhydro sebesar 458,75 MW.25 Namun, penggunaan dan pengelolaan
sumber energi tersebut belum sepenuhnya maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa
hal,26 Pertama, masih adanya keterbatasan akses masyarakat terhadap energi akibat
rendahnya daya beli masyarakat terhadap batubara dan gas. Harga ekspor gas dan
batubara lebih tinggi dari harga pemasaran dalam negeri, sementara pada saat yang
sama belum ada insentif ekonomi baik fiskal maupun non-fiskal bagi energi fosil untuk
23
Melirik Potensi Ekspor ke Afrika dan Timur Tengah, diakses melalui,
http://www.topsaham.com/new1/index.php?option=com_content&view=article&id=5361%3alex&ite
mid=56 diakses pada tanggal 09 Januari 2015 pukul 19.30 WIB
24
Alami Nur Atiqah, “Proyeksi Politik Luar Negeri Indonesia : Tantangan Global dan Prioritas Diplomasi
Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Volume IV, No.1 (Maret 2012)
25
Kementerian ESDM RI. Blue Print Penelolaan Energi Nasional 2005-2025. Jakarta, 2005, hlm, 26.
26
Ibid.
17
pemakaian dalam negeri. Kedua, disektor energi Indonesia adalah besarnya
ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi berbasis fosil. Hal ini terlihat dari
besarnya pangsa konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan 63% energi
final. Akibarnya, impor BBM besar, meskipun ekspor energi juga besar. Untuk
komoditi minyak bumi, misalnya sampai pada dengan tahun 2006 pemakaian dalam
negeri mencapai 611 ribu barel/hari, dimana sebesar 487 ribu barel diantaranya dipenuhi
dari impor. Sementara itu, ekspor minyak bumi mencapai 514 barel/hari. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika struktur APBN masih tergantung pada penerimaan migas
dan dipengaruhi subsidi BBM.
Oleh karena itu, Indonesia memiliki kepentingan nasional yang besar dalam isu
perubahan iklim. Dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim akan dapat
mengancam eksistensi wilayah dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia serta memicu
terjadinya berbagai bencana alam di Indonesia. Namun, Operasionalisasi kesepakatan
27
PEACE. Indonesia and Climate Change : Current Status and Policies. 2007, Hlm, 11-12.
18
dan kebijakan terkait dengan isu perubahan iklim masih mengalami pertentangan dari
negara-negara maju penghasil emisi gas rumah kaca dan kelompok pengusaha yang
mengutamakan kepentingan ekonomi daripada penyelamatan lingkungan. Akibatnya,
kepentingan negara-negara berkembang atau negara-negara kepualuan rentan dan
terdampak langsung akan perubahan iklim menjadi terabaikan.28
Tantangan lain terkait dengan status Indonesia sebagai negara kepualuan adalah
kerawanan akan kejahatan transnasional, khususnya migrasi ilegal yang melintasi
wilayah Indonesia. Posisi Indonesia yang strategis di antara benua Asia dan Australia
menjadikannya sebagai batu loncatan dan negara transit bagi para imigran gelap yang
akan menuju ke Australia untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sebagian besar
imigran gelap tersebut berasal dari daerah konflik dan daerah bencana, seperti wilayah
Timur Tengah dan Asia Selatan.29
AFTA (Asean Free Trade Area) merupakan keputusan yang besar, walaupun
sebagai skema kerja sama dan integrasi ekonomi sebenarnya kesepakatan AFA itu
sangat minimal. Selain membentuk FTA dengan berbagai negara, kesepakatan strategis
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Mahfudz Siddiq, “Indonesia Butuh Politik Luar Negeri Berorientasi Ekonomi”, Jurnal Dipomasi, Volume IV
No.1, (Maret 2012)
31
Ibid.
19
ASEAN lainnya dalam dimensi ekonomi ialah arahan pembentukan ASEAN Economic
Community (AEC).32
Sumber : http://www.kemlu.go.id/Tabloids/Jurnal%20Diplomasi%20Maret%202012.pdf
Jangan sampai dalam kebersamaan ASEAN ini Indonesia hanya berfokus pada
persepsi berbagi kedaulatan secara politik-keamanan. Sebab, jika hanya itu
pembobotannya, maka negara seperti Indonesia denga populasi dan teritorial raksasa
32
Ibid.
33
Ibid.
20
ada dalam posisi yang paling banyak berkorban. Sementara yang seharusnya menjadi
timbal balik ialah kmpensasi kebersamaan ekonomi-perdagangan dari negara seperti
Singapura, Malaysia, dan Thailand kepada Indonesia, sehingga negara kita tidak hanya
dilihat dalam posisi pasar ekonomi dan sasaran ekspor negara lain.34
Awal 2011 seluruh dunia melihat Uni Eropa sebagai masterpiece hingga
regionalisme seakan dianggap wajib berkiblat kesana. Anjuran itu juga sempat
terdengar begitu nyaring di ASEAN. Lalu Eropa di terjang Krisis. Mengutip Martin
Feldstein, ekonom Harvard dan National Bureau of Economic Research pada November
2011, Martin mengatakan bahwa krisis Eropa Bukanlah kecelakaan akibat salah urus,
namun merupakan konsekuensi logis dari eksperimen politik untuk memaksakan
ekonomi dengan heterogenitas tinggi kedalam sebuah mata uang tunggal36
Arah pelajaran dari dinamika krisis Eropa tersebut bukanlah anjuran positif bagi
ASEAN untuk secara ekstrem mengintegrasikan perdagangan, moneter, hingga fiskal,
akan tetapi, Indonesia dapat mengambil hikmah bahwa setiap negara di ASEAN, selama
ia tidak melebur sebagai satu kedaulatan fiskal, maka nasib capaian ekonomi dalam
perdagangan dan moneter akan tetap ditanggung setiap negara.37
Arab Spring yang terjadi dikawasan MENA (Middle East and Northe Africa)
memberi dampak perubahan dibeberapa aktor utama di kawasan. Tiga aktor utama
dikawasan itu ialah, Gulf Cooperation Council (GCC) yang memberikan pelajaran
tentang bagaimana struktur politik regional berperan menjaga kepentingan ekonominya.
Mereka merupakan negara-negara teluk pemilik 46% kekayaan minyak dunia yang kini
bertransformasi menjadi “Monarchy club” dengan menggaet Maroko dan Yordania
34
Ibid.
35
Ibid. Hlm, 30
36
Ibid. Hlm, 31
37
Ibid, Hlm, 32
21
untuk merespons ancaman demokratisasi kepada model kerajaan yang ada dinegara
mereka. Aktor kedua dikawasan itu ialah Multilateral Forum, dimana negara-negara
yang ada juga mengalami dinamika perubahan pola dukungan sebagaimana terlihat
dalam konstelasi politik negara-negara dalam sidang PBB di Jenewa. Aktor ketiga ialah
aktor politik domestik baru, yaitu para penggerak revolusi, dimana mayoritasnya ialah
praktis politik islam.38
38
Ibid. Hlm, 32
39
Ibid. Hlm, 33
22
Kesimpulan
Thesis atau argumen utama dalam penelitian ini adalah, bahwa dinamika sistem
internasional yang terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga saat ini merupakan faktor
utama yang membentuk karakteristik sekaligus landasan konseptual politik luar negeri Bebas
Aktif, karena dari gambaran Bebas Aktif itu sendiri tercermin sebuah pendekatan yang
rasional dan realistis dalam praktik pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, tidak terlalu
idealistik dan juga tidak terlalu pragmatis.
Bebas Aktif menjadi prinsip utama, konsep, teori dan juga implementasi dari setiap
Politik Luar Negeri Indonesia hingga saat ini. Tentunya, Politik Luar Negeri Bebas Aktif
memiliki tujuan utamanya yaitu apa yang menjadi kepentingan nasional Indonesia saat ini dan
di masa yang akan datang.Garis penekanan terhadap aspek rasional dan realistis terletak pada
analisis eclecticism, seperti yang dilakukan oleh Novotny. Rasionalitas tersebut dilihat
melalui pemimpin Indonesia yang memiliki visi dan misi tertentu. Pada tingkatan analisa
23
individual, hal tersebut memang tidak dapat dielakkan mengingat peranan tokoh pemimpin
negara menjadi agen yang memiliki kemampuan untuk melakukan konstruk sosial. Namun,
persepsi keseimbangan ancaman yang terefleksi dalam kondisi eksternal juga menjadi penting
mengingat tanpa adanya perioritas ancaman, maka Indonesia pun tidak dapat menentukan
konstruk sosial seperti apa yang akan diterapkan dalam wilayah domestiknya.
Dua sisi penggambaran analisa Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia itu sendiri,
hingga saat ini masih menjadi tolak ukur dalam menentukan orientasi Politik Luar Negeri
Indonesia.Indonesia harus tetap menjadi aktor yang rasional dan realistis dengan
merefleksikan gambaran dari sub-sistem maupun sistem internasional secara keseluruhan
untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia. Berlandaskan pada prinsip Bebas Aktif,
Indonesia tidak harus menjadi negara yang idealis ataupun pragmatis. Bebas Aktif adalah
prinsip sekaligus cara agar bagaimana Indonesia mampu bertindak sebagai aktor yang
memiliki peranan serta menjadi bagian dari sistem dan sub-sistem internasional.
24
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Breuning, Marijke, (2007), Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, New York:
Palgrave Macmilan.
Holsti, K. J., (1987), Politik Internasional: Kerangka Analisa,(terj), Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya.
Kementerian ESDM RI. (2005) Blue Print Penelolaan Energi Nasional 2005-2025. Jakarta.
PEACE.( 2007), Indonesia and Climate Change : Current Status and Policies.
Ganewati, Wulandari (Ed).2008. politik Luar negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik
Domestik. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Jurnal
Alami Nur Atiqah, “Proyeksi Politik Luar Negeri Indonesia : Tantangan Global dan Prioritas
Diplomasi Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Volume IV, No.1 (Maret 2012)
Mahfudz Siddiq, “Indonesia Butuh Politik Luar Negeri Berorientasi Ekonomi”, Jurnal
Dipomasi, Volume IV No.1, (Maret 2012)
Website:
Daniel Novotny, (2004), Indonesia‟s Foreign Policy: in Quest for the Balance of Threats,
dalam http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-
conference/2004/Novotny-D-ASAA2004.pdf
Emirza Adi Syailendra, (2013), Indonesia‟s Foreign Policy Outlook: Challanges of 2013 and
Beyond, Singapore: RSIS Commentaries, diakses melalui,
25
http://www.rsis.edu.sg/publications/Perspective/RSIS0192013.pdf pada tanggal 19
Mei 2013 pukul 23.35 WIB.
Irfa Puspita Sari, (2010), Indonesia‟s New Foreign Policy – „Thousand friends-Zero Enemy‟,
New Delhi: IDSA, diakses melalui,
http://www.idsa.in/system/files/IB_IndonesiaForeignPolicy.pdf pada tanggal 19 Mei
2013 pukul 23.35 WIB.
Theory Talk#40 – Kenneth Waltz, (2011), Kenneth Neal Waltz – The Physiocrat of
Inernational Politics, diakses melalui, http://www.theory-talks.org/2011/06/theory-
talk-40.html pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 01.02 WIB.
Miftahul Aziz, (2010), Politik Luar Negeri Bebas Aktif (Studi Pemerintahan Abdurrahman
Wahid), Yogyakarta: UIN, diakses melalui, http://www.thedigilib.com/doc/41382-
politik-luar-negeri-indonesia-bebas-aktif-studi-pemerintahan-abdurrahman-wahid-
#.UZkvb6MUXH0 pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 03.03 WIB.
Triono Akmad Munib, (2012), Perbandingan Politik Luar Negeri Bebas Aktif Era Orde
Lama, Orde Baru dan Pasca Orde Baru, diakses melalui,
http://djangka.com/2012/04/30/perbandingan-politik-luar-negeri-bebas-aktif-era-
orde-lama-orde-baru-dan-pasca-orde-baru/ pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 03.08
WIB.
Aulia Akbar, (2013), Politik Luar Negeri Bebas Aktif Kini Semakin Rumit, diakses melalui,
http://international.okezone.com/read/2013/04/26/411/798300/politik-luar-negeri-
bebas-aktif-kini-semakin-rumit pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 04.23 WIB.
26
27