Anda di halaman 1dari 27

POLITIK BEBAS AKTIF INDONESIA:Analisa Pengaruh Sistem Anarkis,

Kepemimpinan dan Dimensi Sejarah.

Abstrak

Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana sejarah


perjuangan kemerdekaan Indonesia yang disebabkan oleh faktor eksternal atau
kondisi sistem internasional yang berlaku sehingga membentuk karakteristik
Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif. Secara singkat, tulisan ini
memposisikan argumen pada Politik Luar Negeri Indonesia yang memiliki
kecenderungan tidak terlalu idealistik dan juga tidak pragmatis melainkan sebuah
pendekatan yang realistik dan rasional. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi
sistem internasional yang berlaku pada setiap masing-masing dimensi sejarah
(periodesasi) yang telah dilalui oleh Indonesia sebagai bagian dari komunitas
internasional. Dari pendekatan Balance of Threat, mengarahkan peneliti untuk
menggunakan pendekatan rasionalis sebagai instrumen analisis dalam
menganalisa sejauhmana, dari masing-masing periodesasi, Indonesia telah
merealisasikan politik luar negeri Bebas Aktif-nya yang berdampak pada
pencapaian kepentingan nasional Indonesia di masing-masing periodesasi.

Kata Kunci : Indonesia, Politik Luar Negeri, Bebas dan aktif, Dimensi Sejarah, Kepentingan
Nasional

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang dikategorikan sebagai negara berkembang.


Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki dimensi yang berbeda dengan negara-negara
maju terutama yang dikategorikan sebagai “Barat”. Sebagai negara berkembang, Indonesia
memiliki sejarah panjang dimensi kolonisasi. Proses kolonial yang terjadi di Indonesia cukup
panjang dan serupa dengan kebanyakan negara-negara berkembang lainnya di sekitar Asia
Tenggara.

Era kolonialisme ini berakhir pada masa perang dunia, khususnya perang dunia ke-2.
Perang dunia yang cukup singkat namun menggeser polarisasi dan dinamika hubungan antar
negara tersebut meninggalkan jejak kolonialisme dan melahirkan negara-negara berdaulat
baru. Di saat itulah Indonesia memasuki era Perang Dingin dimana sistem internasional dan

1
polarisasi kekuatan dunia terhadap negara dominan menjadi pengaruh besar bagi dinamika
hubungan internasional.

Dalam perkembangannya, Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka pada 17
Agustus 1945, merupakan negara yang sangat rentan dari nacaman luar maupun dalam negeri
sendiri. Indonesia pun membutuhkan kedua pijakan untuk memperkuat legitimasi
kedaulatannya sebagai negara baru. Sesuai dengan konferensi Montevideo 1933 yang dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua bentuk legitimasi kedaulatan negara, yaitu secara internal
dan secara eksternal. Secara Internal, Soekarno tentunya memiliki dukungan penuh dari
masyarakat Indonesia yang trauma akan kependudukan asing dan menginginkan kemandirian
sebagai sebuah bangsa yang utuh disamping Soekarno tetap harus membina hubungan politik,
ekonomi, sosial dan budaya dengan entitas-entitas yang membentuk Indonesia. Dengan
demikian, yang menjadi persoalan utamanya terletak pada prinsip kedaulatan eksternal.

Untuk dapat dikatakan berdaulat secara utuh, Indonesia harus mendapat pengakuan
dari komunitas internasional. Pengakuan tersebut merupakan bentuk penilaian dari komunitas
internasional bahwa Indonesia dapat dikatakan sebagai entitas, subjek dan atau aktor yang
mampu menjalin hubungan dengan entitas, subjek dan atau aktor lain terutama negara.
persoalan hubungan antar negara ini menjadi semakin rumit dan menjadi tantangan bagi
Indonesia yang baru lahir. Oleh karenanya Indonesia membutuhkan seperangkat landasan dan
alat untuk memulainya yaitu dengan merumuskan Politik Luar Negeri.

Pada tanggal 2 September 1948, Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia saat
itu, merumuskan landasan utama Politik Luar Negeri Indonesia yaitu Politik Luar Negeri
Indonesia yang Bebas dan Aktif.1 Menurut Mohammad Hatta, kondisi politik internasional
yang terjadi, menjadi sebuah tantangan besar bagi Indonesia dalam menentukan pilihan atas
nasib bangsa Indonesia sendiri. Perang yang terjadi diantara kedua blok tersebut merupakan
kondisi yang seharusnya tidak menjadikan Indonesia sebagai objek, melainkan Indonesia
tetaplah subjek yang memiliki hak untuk memutuskan pilihan-pilihan dan berjuang untuk
tujuan besar yaitu kemerdekaan sepenuhnya bangsa Indonesia. Pernyataan tersebut dikenal
dengan konsep “mendayung antara dua karang”.

1
Indonesia‟s Foreign Policy/The Principles Of The Foreign Policy, diakses melalui,
http://www.embassyofindonesia.org/foreign/foreignpolicy.htm pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 01.49
WIB.

2
Berawal dari hal tersebut, terminologi Bebas Aktif menjadi prinsip utama, konsep,
teori dan juga implementasi dari setiap Politik Luar Negeri Indonesia hingga saat ini.
Tentunya, Politik Luar Negeri Bebas Aktif memiliki tujuan utamanya. Terdapat tiga tujuan
utama yang terkandung dalam Politik Bebas Aktif tersebut, yaitu:2

1. Mendukung pembangunan nasional dengan prioritas pembangunan ekonomi,


seperti yang tertera dalam rencana pembangunan lima tahun.
2. Menyediakan stabilitas internal dan regional demi terwujudnya pembangunan
nasional yang kondusif.
3. Melindungi integritas wilayah kesatuan Indonesia dan keamanan masyarakat
seluruh Indonesia.

Meskipun demikian, pada pelaksanaannya, Bebas Aktif mengalami perubahan dan


memiliki perbedaan implementasi disesuaikan dengan periodesasi setiap pemimpin Indonesia.
Hal tersebut dikarenakan, perbedaan kepemimpinan memiliki perbedaan orientasi dan kondisi
sistem internasional. Dilihat dari periodesasinya, Indonesia memiliki beberapa pergantian
rezim. Orde lama dipimpin oleh Soekarno, Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, dan
Reformasi. Saat ini, Indonesia memasuki tahapan yang ketiga yaitu era reformasi, dimana
Indonesia berupaya untuk membentuk demokrasi dan sistem pemerintahan yang lebih mapan
dibanding sebelumnya. Dengan demikian, tentunya, perubahan dari masing-masing
kepemimpinan memiliki perbedaan implementasi Bebas Aktif karena masing-masing
kepemimpinan mengalami kondisi dan kepentingan nasional yang berbeda-beda.

Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia mencoba untuk membangun
ulang dan melakukan re-orientasi Politik Luar Negeri Indonesia. SBY menggunakan trend
“Thousand Friend – Zero Enemy” sebagai bentuk pendekatan baru dari Politik Luar Negeri
Indonesia. Prinsip Politik Bebas Aktif masih menjadi landasan dasarnya, hanya saja re-
orientasi Politik Luar Negeri ini ditujukan sebagai pengalihan cara yang menentukan perilaku
atau tindakan Indonesia terhadap negara-negara di seluruh dunia.

Hal ini merupakan cerminan sekaligus bukti bahwa trend yang dikeluarkan oleh SBY
tersebut tak terlepas dari kondisi sistem internasional. Trend liberalisme dan kosmopolitan
membentuk perilaku Indonesia. SBY sebagai agen yang melakukan konstruk sosial berupaya

2
Ibid.

3
untuk mencirikan identitas Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, dengan memiliki
banyak teman tanpa musuh. Oleh karenanya, Irfa Puspitasari (2010) menggambarkannya
dengan promosi Indonesia terhadap dunia luar yang memiliki karakteristik sebagai negara
muslim dan demokrasi terbesar yang mengedepankan kerjasama.3 Pembentukan citra tersebut
tidak terlepas dari dunia islam yang tidak demokratis, dunia islam yang memiliki
kecenderungan teroris, dan dunia islam yang cenderung anti-Barat.

Donald E. Weatherbee menggambarkan bahwa, jika dahulu Indonesia mendayung


antara dua karang, maka saat ini Indonesia sedang mendayung diantara banyak karang.4
Weatherbee menjelaskan bahwa Demokrasi bukanlah suatu hal yang ada dan nyata dalam
politik luar negeri, namun Indonesia menjadikan Demokrasi sebagai pijakan utama Politik
Luar Negerinya yang tercermin dalam pembentukan Bali Demokrasi Forum. Weatherbee
menjelaskan juga, bahwa kebijakan semacam itu tidak terjadi selama rezim Orde Baru atau
Soeharto.

Terlepas dari itu semua, Emirza Adi Syailendra (2013) berupaya untuk
mengembalikan trend regionalisme sebagai titik temu dari tingkat analisa Politik Luar Negeri
Indonesia. Menurutnya, tantangan Politik Luar Negeri Indonesia berada pada dimensi
regional. Regionalisme merupakan jalan tengah antara gambaran besar mengenai kondisi
sistem internasional dan pola perilaku dan pola interaksi negara. Emirza menjeleaskan tiga
tantangan kedepan yang akan dihadapi oleh Indonesia dengan mengembalikan trend
regionalisme, yaitu:5

1. Tantangan mengenai pembentukan ASEAN Community.


2. Kerjasama negara-negara Asia dibawah payung ASEAN.
3. Sistem aliansi yang terbentuk secara tidak sengaja di dalam ASEAN, dimana
terdapat negara-negara yang sangat bergantung dengan China dan terdapat juga
negara-negara yang sangat bergantung terhadap Amerika Serikat.

3
Irfa Puspita Sari, (2010), Indonesia‟s New Foreign Policy – „Thousand friends-Zero Enemy‟, New Delhi: IDSA

4
Aulia Akbar, (2013), Politik Luar Negeri Bebas Aktif Kini Semakin Rumit, diakses melalui,
http://international.okezone.com/read/2013/04/26/411/798300/politik-luar-negeri-bebas-aktif-kini-
semakin-rumit pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 04.23 WIB.

5
Emirza Adi Syailendra, (2013), Indonesia‟s Foreign Policy Outlook: Challanges of 2013 and Beyond,
Singapore: RSIS Commentaries.

4
Melihat penjelasan Emirza tersebut, ketiga tantangan tersebut dapat mengindikasikan
terjadinya sebuah trend regionalisme baru dan Bipolaritas yang hanya terjadi di dalam sub-
sistem regional Asia Tenggara. Penjelasan tersebut terkesan cukup unik dan parsial karena
Emirza hanya memfokuskan pada aspek regionalisme. ASEAN di samping menjadi pijakan
Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia, juga menjadi instrumen dari Politik Luar Negeri
itu sendiri. Hal ini menjadi penjelasan singkat bagaimana sub-sistem regional tersebut
menjadi potret kecil dari sistem internasional keseluruhan yang sangat memengaruhi pola
perilaku dan pola interaksi Indonesia dan hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
Indonesia untuk memainkan peranannya.

Indonesia harus tetap menjadi aktor yang rasional dan realistis dengan merefleksikan
gambaran dari sub-sistem maupun sistem internasional secara keseluruhan untuk mencapai
kepentingan nasional Indonesia. Berlandaskan pada prinsip Bebas Aktif, Indonesia tidak
harus menjadi negara yang idealis ataupun pragmatis. Bebas Aktif adalah prinsip sekaligus
cara agar bagaimana Indonesia mampu bertindak sebagai aktor yang memiliki peranan serta
menjadi bagian dari sistem dan sub-sistem internasional. Argumen utama dalam penelitian ini
adalah, peneliti meyakini bahwa dinamika sistem internasional yang terjadi sejak awal
kemerdekaan Indonesia hingga saat ini merupakan faktor utama yang membentuk
karakteristik sekaligus landasan konseptual politik luar negeri Bebas Aktif, karena dari
gambaran Bebas Aktif itu sendiri tercermin sebuah pendekatan yang rasional dan realistis
dalam praktik pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, tidak terlalu idealistik dan juga
tidak terlalu pragmatis.

Neorealis Dan Teori Politik Luar Negeri

Mengacu kepada pernyataan Kenneth Waltz, bahwa sistem internasional adalah


faktor yang paling memengaruhi perilaku sebuah negara. analisa mengenai sistem ini
merupakan analisa yang cukup sulit dipahami, karena sistem internasional terlalu abstrak
untuk dipahami. Akan tetapi, mengacu kepada realitas hubungan internasional yang
diasumsikan memiliki kesamaan dengan manusia individu secara alamiah, maka Waltz
berusaha untuk menjelaskan sistem internasional melalui pendekatan strukturalis dan
rasionalis.

5
Polarisasi atas subjek yang dianggap dominan dalam sebuah sistem merupakan
bentuk nyata dari sebuah struktur internasional. Dominasi tersebut memiliki indikator
tertentu, dalam hal ini Waltz mereferensikannya kepada terminologi konsep “Power”. Power
merupakan sesuatu yang abstrak begitu juga dengan “Negara” dan “Sistem Internasional”.
Akan tetapi, jika dilihat dari pendekatan Struktural, maka terdapat susunan dan tingkatan
tertentu mengenai gambaran nyata yang memengaruhi bentuk abstraknya. Oleh karena itu,
untuk mendefinisikan “Power” itu sendiri terdapat dua dimensi pendekatan. Dilihat dari
dimensi praktis, “Power” mengacu kepada potensi-potensi yang terlihat dan yang tidak
terlihat (tangible dan intangible) yang dimiliki oleh suatu negara. Dilain hal, defnisi “Power”
berdasarkan objektifnya mengacu pada tiga hal, Kapabilitas, Kredibilitas, dan Pengaruh
(Credibility, Capability & Influences).

Jika sistem atau struktur yang dimaksud memiliki pengaruh terhadap perilaku dan
membentuk pola perilaku terhadap subjek dalam hubungan internasional, maka perilaku
seperti apa yang dimaksud? Definisi perilaku itu sendiri megnarah kepada pembuatan
kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara. Oleh karena itu, perilaku dapat diartikan
sebagai Politik Luar Negeri, karena perilaku, seperti yang dikatakan oleh K. J. Holsti, adalah
tindakan yang memiliki landasan dan tujuan yang didalamnya memiliki nilai-nilai.6

Oleh karena itu juga, kajian mengenai Politik Luar Negeri suatu negara menjadi
penting sebagai refleksi atas kecenderungan-kecenderungan tertentu di bawah sebuah sistem
atau struktur. Kecenderungan perilaku sebuah negara menjadi pola yang membiasa dalam
bentuk interaksi yang terjadi di dalam sistem internasional.

Marijke Breuning (2007) menggambarkan perilaku tersebut sebagai bagian dari


rasionalitas Negara yang merefleksikan kondisi dan situasi eksternal untuk memenuhi apa
yang menjadi kepentingan nasionalnya.7 Kepentingan nasional itu sendiri dapat diartikan
sebagai kebutuhan dan keinginan suatu negara baik dalam jangka waktu pendek dan jangka
waktu panjangnya. Namun, tidak seperti Waltz yang memfokuskan secara penuh bahwa
sistem atau struktur menjadi faktor yang paling memengaruhi pola perilaku suatu negara,

6
Lihat juga: K.J.Holsti, (1987), Politik Internasional: Kerangka Analisa,(terj), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, hlm.
199.

7
Marijke Breuning, (2007), Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, New York: Palgrave
Macmilan.

6
Breuning memfokuskan analisanya pada tingkatan pemimpin di suatu negara. Breuning
mengambil contoh mengenai Hitler yang memutuskan untuk melakukan invasi terhadap
Polandia atau atau keputusan Saddam Hussein untuk menginvasi Kuwait dan keputusan
George W. Bush untuk menginvasi Iraq.

Hal tersebut dapat dibenarkan mengingat, Indonesia memiliki perbedaan perilaku di


masing-masing periodesasi kepemimpinannya. Pada era kepemimpinan Soekarno, Indonesia
dikenal dengan politik konfrontasi yang terkesan dengan anti-barat. Sementara di era
kepemimpinan Soeharto Indonesia lebih menitik beratkan fokus kebijakan luar negerinya
untuk mendekatkan kepada Amerika Serikat. Di era Reformasi, Abdurrahman Wahid8
mencoba untuk menjadikan Indonesia yang lebih mandiri dan mencoba menciptakan
keseimbangan geopolitik, sementara di era Megawati, Indonesia di sibukkan dengan isu
terorisme yang membuat Megawati memutuskan Indonesia untuk ikut serta dalam kampanye
global Amerika Serikat mengenai “War On Terror”.9

Analisa melalui perbedaan kepemimpinan ini dikatakan cukup relevan dengan


melihat kondisi Indonesia sebagai negara berkembang dimana peranan tokoh kepala negara
menjadi lebih dominan daripada sistem. Analisa Breuning tersebut tidak sepenuhnya relevan
jika disandingkan dengan kebanyakan negara-negara maju di Eropa atau bahkan Amerika
Serikat sendiri dimana sistem lebih dominan untuk menentukan agenda prioritas kebijakan
luar negeri suatu negara.

Dalam melakukan analisa, Breuning terjebak dalam eksklusivisme teoritis sehingga


analisa tersebut terbatas pada aspek rasionalitas dan pemimpin negara sebagai perwakilan dari
subjek negara merupakan aktor rasional yang menentukan kebijakan luar negerinya. Pada
tingkatan tertentu hal tersebut dapat dibenarkan. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh

8
Miftahul Aziz, (2010), Politik Luar Negeri Bebas Aktif (Studi Pemerintahan Abdurrahman Wahid),
Yogyakarta: UIN, diakses melalui, http://www.thedigilib.com/doc/41382-politik-luar-negeri-
indonesia-bebas-aktif-studi-pemerintahan-abdurrahman-wahid-#.UZkvb6MUXH0 pada tanggal 20
Mei 2013 pukul 03.03 WIB.

9
Triono Akmad Munib, (2012), Perbandingan Politik Luar Negeri Bebas Aktif Era Orde Lama, Orde Baru dan
Pasca Orde Baru, diakses melalui, http://djangka.com/2012/04/30/perbandingan-politik-luar-negeri-
bebas-aktif-era-orde-lama-orde-baru-dan-pasca-orde-baru/ pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 03.08
WIB.

7
Kenneth Waltz sebelumnya, bahwa sistem atau struktur merupakan penentu dari pola perilaku
dan pola interaksi.

Disamping terdapat perbedaan pemahaman mengenai tingkat analisa antara individu,


negara dan sistem internasional baik yang dikemukakan oleh Breuning dan Waltz, terdapat
dimensi lain yang menentukan instrumen analisa Politik Luar Negeri suatu negara. Rangkaian
dimensi sejarah juga menjadi penting mengingat perbedaan antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang terletak dari sisi dimensi sejarahnya. Negara-negara berkembang
yang notabenenya merupakan negara eks-koloni tentunya membentuk persepsi yang berbeda
dengan negara-negara maju, dalam konteks ini adalah Barat, yang menjadi negara Kolonial
atau yang menjajah. Hal tersebut dapat digambarkan dalam struktur internasional antara
negara yang mendominasi dan negara yang didominasi.

Daniel Novotny (2004) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan mendasar


mengenai ruang lingkup sejarah antara negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dan
negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Oleh karena itu, analisa ekslusivisme hampir
tidak berlaku untuk melihat kecenderungan dinamika perilaku negara-negara di Asia Timur
dan Asi Tenggara. Novotny mengambil contoh Indonesia sebagai negara tersebut. Dengan
menggunakan analisa eclecticism10 Novotny memberikan gambaran yang sempurna mengenai
bagaimana Indonesia memiliki perbedaan implementasi Politik Luar Negeri dengan
memadukan tingkat analisa individu dan kondisi sistem internasional yang berlaku.

Hal tersebut dijelaskan oleh Novotny melalui perbedaan masing-masing rezim di


Indonesia, gaya kepemimpinan yang disebabkan oleh kondisi eksternal untuk memungkinkan
Indonesia beradaptasi dan merefleksikan kepentingan domestiknya. Novotny menggunakan
analisanya melalui konsep Balance of Threat. Balance of Threat merupakan elaborasi teori
antara (neo)realis dan konstruktivisme dalam melihat perpaduan gambaran kondisi eksternal
yang diadaptasi dan menjadi refleksi bagi wilayah domestik suatu negara sehingga peranan
seorang tokoh pemimpin negara menjadi jembatan yang kuat untuk menggambarkan dan
mendeterminasikan persepsi ancaman dan menjadikan ancaman tersebut sebagai sebuah
konstruk sosial dalam wilayah teritorial domestiknya.

10
Eclecticism adalah analisa teoretis yang mengaitkan dua teori atau lebih untuk menggambarkan sebuah
fenomena yag terjadi. Novontny berupaya menggabungkan bagaimana neorealis dan konstruktivis
dapat melihat faktor-faktor yang menunjang pelaksanaan politik luar negeri. Lihat:
http://www.theory-talks.org/2008/08/theory-talk-15.html Op. Cit.

8
Balance of Power hanya berafiliasi pada peningkatan kapasitas militer yang
dilakukan antar negara atau sistem aliansi yang dilakukan oleh negara-negara dominan. Akan
tetapi, konsep Balance of Power tidak dapat menjelaskan kecenderungan perilaku dan
interaksi yang terjadi di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Persepsi
keseimbangan ancaman bagi negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara bukan terletak
pada terminologi Power yang bersumber pada aspek material seperti militer, melainkan
ancaman langsung yang memengaruhi perubahan identitas. Dalam konsep Balance of Threat,
penjelasan mengenai ancaman merupakan konstruk sosial yang dilakukan oleh suatu
pemerintahan. Salah satu penjelasannya adalah kecenderungan dari, negara-negara Asia
Tenggara lebih memiliki trauma kepada bentuk kolonialisme bukan pada peningkatan militer
yang dilakukan oleh Amerika Serikat ataupun Uni Soviet. Hal itulah yang kemudian
membentuk identitas kenegaraan.

Dimensi Sejarah Politik Luar Negeri Indonesia

Indonesia dibawah rezim Soekarno yang lebih dikenal dengan Politik Konfrontasi.
Di satu sisi Soekarno dihadapi dengan kondisi eksternal Perang Dingin. Pemusatan kekuatan
antar kubu membuat Soekarno tidak bisa menjadi terlalu condong kesalah satunya. Kedekatan
Soekarno terhadap kelompok komunis dan kampanye anti-Barat-nya tidak serta merta
menjadikan Soekarno adalah seorang komunis. Soekarno hanya mencoba untuk menjaga
kedekatan tersebut karena Soekarno juga berada di tengah-tengah posisi antara kelompok
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan kelompok pendukung Komunis. Bagi Novotny,
kampanye anti-Barat yang dilakukan oleh Soekarno ditujukan untuk mengangkat trauma
kolonialisme namun Soekarno pun tetap memiliki hubungan kerjasama dengan Amerrika
Serikat. Lebih lanjut, Novotny menjelaskan bahwa tujuan Soekarno adalah mencari jalan
keluar untuk mendapat pengakuan kedaulatan ketimbang menyulut konflik baru. Langkah
netralitas dan strategi pengakuan Soekarno itu sendiri terlihat pada pembentukan Gerakan
Non-Blok yang dilandasi pada Konfrensi Asia Afrika di bandung.

Begitu juga yang terjadi pada era Soeharto, Indonesia terkesan lebih mendekatkan
diri kepada Barat khususnya Amerika Serikat. Hal tersebut bukan berarti Soeharto memihak
dan tunduk sepenuhnya pada dominasi Barat, terutama Amerika Serikat. Soeharto
memanfaatkan peluang yang bisa diberikan oleh Amerika Serikat yang tidak ada pada kubu

9
Uni Soviet. Pada akhirnya, Soeharto pun mengembalikannya kepada kepentingan nasional
Indonesia yang membutuhkan investasi untuk program pembangunan nasional. Soeharto pun
berpijak pada pembentukan ASEAN sebagai wadah regional dimana Indonesia dapat
menjadikan wilayah kawasan Asia Tenggara sebagai bagian dari sub-sistem dan atau sub-
struktur untuk kemudian menjadi refleksi Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia dalam
memenuhi kepentingan nasionalnya.

Baik pada era Reformasi, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang
Yudhoyono pun demikian. Kondisi eksternal menjadi refleksi bagi kepentingan nasional. Apa
yang menjadi kebutuhan dan keinginan Indonesia maka itu lah yang menjadi tujuannya. Hal
ini tercermin dalam prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia yang dinilai tidak
berdasar pada idealisme atau pragmatisme tertentu. Jika dilihat berdasarkan peninjauan
teoritis dan praktis, maka Politik Luar Negeri Bebas Aktif merupakan sebuah konsep yang
terhitung rasional dan realistis.

Garis penekanan terhadap aspek rasional dan realistis menjadi analisis yang penting
dalam melihat praktik pelaksanaan politik luar negeri Bebas Aktif yang dinamis. Rasionalitas
tersebut dilihat melalui pemimpin Indonesia yang memiliki visi dan misi tertentu. Pada
tingkatan analisa individual, hal tersebut memang tidak dapat dielakkan mengingat peranan
tokoh pemimpin negara menjadi agen yang memiliki kemampuan untuk melakukan konstruk
sosial. Namun, persepsi keseimbangan ancaman yang terefleksi dalam kondisi eksternal juga
menjadi penting mengingat tanpa adanya perioritas ancaman, maka Indonesia pun tidak dapat
menentukan konstruk sosial seperti apa yang akan diterapkan dalam wilayah domestiknya.

Dua sisi penggambaran analisa Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia itu sendiri,
hingga saat ini masih menjadi tolak ukur dalam menentukan orientasi Politik Luar Negeri
Indonesia. Prinsip Bebas Aktif yang diterjemahkan oleh Mohammad Hatta digambarkan
melalui kiasan “mendayung antara dua karang”. Dua karang yang dimaksud adalah gambaran
kondisi sistem internasional yang didalamnya terdapat pertentangan dua kubu besar antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sebagaimana Waltz menggambarkannya sebagai sistem
internasional yang berada pada posisi Bipolar. Dengan kata lain, prinsip Bebas Aktif itu
sendiri lahir atas pengamatan Hatta untuk menentukan orientasi dan tujuan dari Politik Luar
Negeri Indonesia. Dengan bahasa yang fleksibel dan terkesan praktis ini, Bebas Aktif juga
dinilai sebagai cara untuk mengimplementasikan atau cara untuk bertindak.

10
Saat ini, Indonesia dihadapi oleh tantangan zaman yang terus berubah-ubah. Pasca
tumbangnya rezim Orde Baru, Indonesia memasuki tahapan baru. Dengan sistem dan bentuk
kepemerintahan yang juga baru ini, Indonesia dihadapi persoalan yang tidak sedikit.
Perbedaan mendasar yang dialami oleh Indonesia saat ini adalah, Indonesia tidak berada di
bawah dan di dalam sistem internasional yang Bipolar, melainkan Multipolar. Perbedaan
kondisi sistem internasional tentunya membentuk perbedaan pola perilaku dan pola interaksi
negara-negara yang ada didunia.

Pergeseran persepsi ancaman ini dibuktikan dengan adanya pergeseran isu-isu dalam
hubungan internasional. Saat ini, Indonesia tidak hanya dihadapkan pada persoalan polarisasi
kekuatan negara-negara dominan dalam sistem multipolar melainkan dihadapkan dengan
spesifikasi tema-tema ancaman yang berubah seperti ekonomi, kemiskinan, terorisme,
lingkungan hidup, dan ancaman yang lebih nyata lainnya yang tidak hanya menganggu
kedaulatan internal namun juga menganggu kedaulatan eksternal Indonesia. Isu-isu dengan
tema yang lebih spesifik ini juga memiliki dampak implikasi terhadap rusaknya hubungan
kenegaraan. Sebagai contohnya serangkaian aksi terorisme yang beberapa kali terjadi di
Indonesia. Pada tingkatan tertentu, hal tersebut tidak terlihat secara signifikan terhadap
hubungan antar negara karena ancaman ini berada pada wilayah domestik. Akan tetapi,
stabilitas domestik di era yang semakin terhubung saat ini, menjadi sangat berpengaruh bagi
hubungan antar negara. Aksi terorisme tentunya berdampak pada ketakutan dan kekhawatiran
sehingga terjadi sebuah ketidakstabilan yang berdampak pada menurunnya wisatawan asing
dan menurunnya tingkat kepercayaan investor terhadap pemerintahan yang dianggap tidak
dapat menghadirkan stabilitas di dalam wilayah teritorialnya.

“Sekarang, duta besar Indonesia di luar negeri dengan tegap tak


perlu lagi khawatir dipertanyakan isu-isu miring seperti yang dahulu
pernah dialami, seperti isu pelanggaran HAM oleh Negara, Hak-hak
kebebasan sipil dan praktik demokrasi.”11

11
“Jurnal Diplomasi”, diakses melalui,
http://www.kemlu.go.id/Tabloids/Jurnal%20Diplomasi%20Maret%202012.pdf pada tanggal 7
Januari 2015 pukul 21.00 WIB

11
Tabel 1.1 : Prioritas Kebijakan dan Strategi Pencapaiannya

Sumber: “Jurnal Diplomasi” http://www.kemlu.go.id/Tabloids/Jurnal%20Diplomasi%20Maret%202012.pdf

Doktrin dan prinsip polugri Indonesia yang ada tersebut kemudian diturunkan
dalam kebijakan pemerintahan SBY. Cerminannya terlihat dari fokus prioritas RPJMN
2010-2014 dalam bidang hubungan luar negeri. Keseluruhan muara kebijakan tersebut

12
ialah optimaslisasi intsrumen total diplomacy untuk mewujudkan indonesua dalam tiga
ciri utamanya, yaitu, kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan.12

Secara lebih terperinci, RPJMN 2010-2014 tersebut memberikan perhatian pada


bidang pelembagaan demokrasi dengan tiga fokus utama, yaitu :13

1. Pertama, peningkatan iklim kondusif bagi perkembangan kebebasan sipil dan


hak-hak politik rakyat

2. Kedua, peningkatan akuntabilitas lembaga demokrasi

3. Ketiga, peningkatan peran informasi dan komunikasi

Konsentrasi pemerintah dalam pelembagaan demokrasi inilah yang paling patut


dibanggakan di tingkat Internasional. Sekarang, duta besar RI di luar negeri dengan
tegap tak perlu khawatir dipertanyakan isu-isu miring, seperti yang dahulu pernah
dialami, seperti pelanggaran HAM oleh Negara, hak-hak kebebasan sipil, dan praktik
demokrasi. Dementara dalam bidang peningkatan diplomasi dan kerjasama
internasional, terdapat beberapa fokus prioritas kebijakan beserta strategi
14
pencapaiannya:

Proyeksi Politik Luar Negeri Indonesia

Memasuki milenium baru di tahun 2000-an, keadaaan dunia sudah banyak


berubah, kolonialisme sudah hampir hilang. Prioritas masalah tersebut dalam agenda
internasional telah sangat menurun. Hal ini tercermin pula dalam penanganannya di
PBB di mana badan-badan utama yang menanganinya telah dihapus, seperti Dewan
Perwalian (trusteeship Council), atau digabungkan dengan badan lain (Komite IV
tentang Dekolonisasi dari Majelis Umum PBB telah digabungkan dengan Special
Political Committee). Untuk mengingatkan bahwa masalah dekolonisasi tersebut masih
meyisakan beberapa kasus/persoalan, maka PBB telah mencanangkan International dor
the Eradication of Colonialism tahun 1990-2000 dan 2001-2010. Namun program ini

12
Ibid. Hlm, 21
13
Ibid. Hlm, 22
14
Ibid. Hlm, 22

13
tidak sepenuhnya berjalan baik. Pada abad ke-21 ini, sangat sulit untuk membayangkan
terjadinya lagi fenomena penjajahan seperti dahulu. Walaupun diskursus mengenai neo-
kolonialisme masih dapat dijumpai, namun pengertiannya masih rancu, tergantung dari
ideologi pembicaraannya.15

Bipolarisasi Timur-Barat dan Perang Dingin juga sudah dianggap usai dengan
kolapsnya Uni Soviet dan bubarnya kubu Timur. Bahkan sebagian besar bekas
anggotanya masuk organisasi-organisasi kubu Barat seperti Uni Eropa dan NATO.
Semula tampak kecenderungan akan munculnya gejala sistem kekuatan unipolar untuk
menggantikan bipolarisme dengan Amerika Serikat sebagai kutubnya. Namun,
perkembangan selanjutnya, termasuk krisis ekonomi parah yang dialaminya,
menunjukkan bahwa meskipun masih merupakan kekuatan nomor satu di dunia, banyak
yang meragukan apakah Amerika Serikat akan mampu menjadi kutub tunggal dalam
sistem kekuasaan Unipolar didunia. Munculnya kekuatan-kekuatan lain seperti
Republik Rakyat Cina, India, dan Brazil dan mulai menguatnya kembali Federasi Rusia,
ditambah dengan kekuatan gabungan dari sejumlah negara seperti ASEAN, telah
menimbulkan perkiraan akan tumbuhnya sistem kekuatan multipolarisme. Masa yang
belum menentu ini diperkompleks dengan semakin mengemukanya adu kekuatan
asimetris antara negara dengan entitas non-negara seperti Teroris. Begitu pula semain
signifikannya ancaman-ancaman non-tradisional.16

Dihadapkan dengan dunia yang demikian berkembang dan situasi internasional


yang begitu berubah, sudah semestinya Indonesia perlu mengasah daya tanggap dalam
politik luar negerinya. Dalam hal ini, inti masalahnya adalah bagaimana tetap berpegang
teguh pada amanat konstutional dan sekaligus mengadakan penyesuaianpenyesuaian
agar kebijakan yang diambil benar-benar relevan dan efektif dalam menghadapi
dinamika internasional. Sejauh menyangkut aspirasi antikolonilisme, konsistensi sikap
Indonesia terhadap sisa-sisa masalah masa lalu sudah jelas ditunjukkan, antara lain pada
dukungannya kepada International Decade for the Eradication of Colonialism 1990-

15
“Jurnal Diplomasi” diakses melalui,
http://www.kemlu.go.id/Tabloids/Jurnal%20Diplomasi%20Maret%202012.pdf pada tanggal 7
Januari 2015 pukul 20.00 WIB
16
Ibid.

14
2000 dan 2001-2010. Dalam rangka peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika,
Indonesia juga telah memprakarsai New Asia-African Strategic Partnership (NAASP).17

Dalam menghadapi dinamika perkembangan Internasional pasca Perang Dingin,


Indonesia telah menunjukkan konsistensinya sebagai anggota aktif Gerakan Non-Blok
dengan perannya sebagai tuan rumah KTM Komemoratif 50 tahun GNB, dimana telah
dikukuhkan bahwa Gerakan Non-Blok akan tetap dipertahankan sebagai wahana
perjuangan untuk merealisasikan aspirasi bersama yang masih valid. Sebagaimana
keadaan internasional sendiri yang masih terus berkembang, maka manifestasi prinsip
ebas Aktif dalam politik luar negeri Indonesia pun juga masih harus terus
dikembangkan. Landasan pemikiran pertama telah diletakkan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dengan metafora barunya “Navigating a turbulent ocean” yang
mengandung 4 tenets, yaitu ;18

1. Keberimbangan antara Independence of Judgement, freedom of action, dan


constructive approach

2. Tidak akan menjalin aliansi atau pakta militer

3. Konektivitas dengan dunia luar

4. Identitas internasional untuk melengkapi identitas nasional.

Tantangan Politik Luar Negeri Indonesia Yang Harus Dirumuskan Kedalam


Politik Luar Negeri

Politik Luar Negeri sebagai refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi
oleh perkembangan situasi internasional merupakan hal mendasar yang
melatarbelakangi perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri suat negara, termasuk
Indonesia. Namun, dalam konteks tertentu, politik domestik dan politik internasional
sebagai variabel penentu utama tidak memiliki derajat pengaruh yang sama. Orientasi
politik luar negeri Indonesia di awal era reformasi, misalnya, sangat dipengaruhi oleh
kondisi domestik akibat krises multidimensi seiring dengan runtuhnya rezim orde

17
Ibid.
18
ICWA.2010.Into the new world. Jakarta, Hlm. 4-7

15
baru.19 Upaya untuk memperoleh kembali kepercayaan dunia internasional terhadap
Indonesia dan memulihkan kondisi perekonomian nasional merupakan kepentingan
nasional yang mendasat agenda politik luar negeri Indonesia saat itu. Dengan kata lain,
pada masa itu politik luar negeri Indonesia lebih dipengaruhi oleh perkembangan politik
Domestik daripada politik Internasional.20

Namun, dinamika lingkungan internasional dalam dua dekade terakhir


menunjukkan peningkatan daya pengaruh politik internasional pada politik luar negeri
suatu negara. Politik Internasional saat ini hingga masa mendatang mengarah pada
transformasi sistem atau struktur dan agenda internasional. Perubahan sistem
internasional dari bipolar dan unipolar menjadi multipolar terindikasi dari kemunculan
dan berbagai kekuatan baru dikawasan Asia Pasifik yang dianggap dapat melemahkan
kekuatan negara-negara Barat. China India dan Rusia adalah negara-negara yang
mengalami pertumbuhan ekonomi sangat cepat akibat pertambahan jumlah populasi dan
akticitas industrialisasi. Ketiga negara tersebut diprediksi akan menjadi pesaing kuat
bagi Amerika Serikat (AS) dan Eropa dalam menancapkan pengaruhnya didunia
Internasional.21

Perkembangan situasi ekonomi global merupakan tantangan pertama yang perlu


menjadi perhatian Indonesia. Perkembangan dunia yang semakin mengglobal dan
terintegrasi menjadikan perekonomian Indonesia tidak mungkin terlepas dari situasi
global. Dalam konteks ini, dampak krisis ekonomi di Eropa yang telah menajalar ke
Asia perlu menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Meskipun krisis Eropa diprediksi
tidak berdampak langsung bagi Indonesia, pemerintah tetap perlu melakukan langkah
antisipasi. Dalam konteks inilah, maka Indoneisa memiliki kepentingan nasional untuk
mengamankan perekonomian domestik, supaya kondisi perekonomian yang pernah
terpuruk akibat krisis moneter di Asia tahun 1997/1998 dimana perekonomian nasional
anjlok hingga -13% tidak terjadi lagi. Komponen-komponen penentu perekonomian
domestik yang potensial terkena dampak krisis Eropa dapat dilihat dari sisi aktivitas
ekspor dan pasar saham Indonesia.22

19
Ganewati Wulandari (Ed).2008. politik Luar negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm, 3-4
20
Ibid. Hlm, 4
21
Ibid. Hlm, 6
22
Ibid. Hlm, 7

16
Eropa memang menjadi salah satu negara tujuan ekspor Indonesia. Selama
periode Januari-Agustus 2011, ekspor non-migas Indonesia ke Eropa mencapai
US$14,388 miliar atau senilai 13,4% dari total ekspor Indonesia.23 Namun situasi
seperti ini tidak terlalu jadi masalah bagi Indonesia karena tidak semua negara Eropa
terkena krisis, dan Indonesia masih mampu memiliki peluang diversifikasi ekspor.
Namun krisis Eropa akan menjadi tantangan bagi Indonesia ketika nengara-negara
tujuan ekspor Indonesia terkena dampaknya dan menyebabkan multiplier effects dari
penurunan ekspor Indonesia berdasarkan data BPS tahun 2010, negara-negara tujuan
terbesar ekspor Indonesia selama tahun 2011 adalah China dan Jepang, yang berarti
kedua negara adala mitra dagang dan investasi paling penting bagi Indonesia. Jepang
menyumbang 16% investasi luar negri nasional selain nilai perdagangan bilateral atau
menggunakan perjanjian tripatrit. Oleh karena itu, jika ekspor kedua negara tersebut
terpengaruh krisis Eropa, maka akan mempengaruhi ekspor Indonesia dalam jangka
panjang. Namun, kondisi terakhir menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan
ekonomi di sejumlah negara Asia, termasuk China dan Jepang. Data-data pemerintah
China menunjukkan adanya kontraksi pada aktivitas manufaktur di China pada
Desember 2011 akibat sepinya pemesanan.24

Tantangan global berikutnya yang perlu menjadi perhatian Indonesia terkait erat
dengan isu keamanan energi. Indonesia termasuk negara yang kaya akan cadangan
energi baik yang berbasis fosil maupun energi terbarukan. Sampai dengan tahun 2004,
potensi energi nasional untuk minyak sebesar 86,9 miliar barel, gas 384,7 TSCF,
batubara57 miliar ton, tenaga air 845,00 juta BOE, panas bumi (gethermal) 219,00 juta
BOE, dan microhydro sebesar 458,75 MW.25 Namun, penggunaan dan pengelolaan
sumber energi tersebut belum sepenuhnya maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa
hal,26 Pertama, masih adanya keterbatasan akses masyarakat terhadap energi akibat
rendahnya daya beli masyarakat terhadap batubara dan gas. Harga ekspor gas dan
batubara lebih tinggi dari harga pemasaran dalam negeri, sementara pada saat yang
sama belum ada insentif ekonomi baik fiskal maupun non-fiskal bagi energi fosil untuk

23
Melirik Potensi Ekspor ke Afrika dan Timur Tengah, diakses melalui,
http://www.topsaham.com/new1/index.php?option=com_content&view=article&id=5361%3alex&ite
mid=56 diakses pada tanggal 09 Januari 2015 pukul 19.30 WIB
24
Alami Nur Atiqah, “Proyeksi Politik Luar Negeri Indonesia : Tantangan Global dan Prioritas Diplomasi
Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Volume IV, No.1 (Maret 2012)
25
Kementerian ESDM RI. Blue Print Penelolaan Energi Nasional 2005-2025. Jakarta, 2005, hlm, 26.
26
Ibid.

17
pemakaian dalam negeri. Kedua, disektor energi Indonesia adalah besarnya
ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi berbasis fosil. Hal ini terlihat dari
besarnya pangsa konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan 63% energi
final. Akibarnya, impor BBM besar, meskipun ekspor energi juga besar. Untuk
komoditi minyak bumi, misalnya sampai pada dengan tahun 2006 pemakaian dalam
negeri mencapai 611 ribu barel/hari, dimana sebesar 487 ribu barel diantaranya dipenuhi
dari impor. Sementara itu, ekspor minyak bumi mencapai 514 barel/hari. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika struktur APBN masih tergantung pada penerimaan migas
dan dipengaruhi subsidi BBM.

Ketiga, adalah belum optimalnya perkembangan industri energi karena


menghadapi berbagai kendala, diantaranya adalahL keterbatasan infrasturktur energi;
belum tercapainya nilai keekonomian dari harga energi termasuk didalamnya BBM, gas
alam untuk pabrik pupuk, dan energi terbarukan; dan efisiensi dalam pemanfaatan
energi. Berbagai kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam bauran
energi primer akibat belum optimalnya pemanfaatan dan gas dalam energi. Selain itu
pengembangan energi alternatif seperti Energi Baru Terbarukan (EBT) masih terhambat
karena adanya subsidi BBM.

Tantangan Global berikutnya bagi Indonesia terkait erat dengan karakter


Indonesia sebagai negara tropis dan negara kepulauan. Indonesia menghadapi tantangan
kerentanan akan dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Meningkatnya
konsentrasi CO2 yang terbentuk diudara dan membentuk semacam “selimut” yang
mengurung panas matahari yang harusnya kembali ke udara telah menaikkan suhu bumi
dan menyebabkan perubahan iklim data yang dirilis PEACE menyebutkan bahwa pada
2005-2006 Indonesia merupakan negara penghasil emisi terbesar ketiga di dunia setelah
Amerika Serikat dan China. Maraknya aktivitas pembukaan lahan dengan membabat
hutan ( deforestasi) di berbagai daerah di Indonesia telah mengakibtakan degradasi atas
50% hutan tropis Indonesia (2005) yang berperan penting dalam siklus karbon dunia.27

Oleh karena itu, Indonesia memiliki kepentingan nasional yang besar dalam isu
perubahan iklim. Dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim akan dapat
mengancam eksistensi wilayah dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia serta memicu
terjadinya berbagai bencana alam di Indonesia. Namun, Operasionalisasi kesepakatan
27
PEACE. Indonesia and Climate Change : Current Status and Policies. 2007, Hlm, 11-12.

18
dan kebijakan terkait dengan isu perubahan iklim masih mengalami pertentangan dari
negara-negara maju penghasil emisi gas rumah kaca dan kelompok pengusaha yang
mengutamakan kepentingan ekonomi daripada penyelamatan lingkungan. Akibatnya,
kepentingan negara-negara berkembang atau negara-negara kepualuan rentan dan
terdampak langsung akan perubahan iklim menjadi terabaikan.28

Tantangan lain terkait dengan status Indonesia sebagai negara kepualuan adalah
kerawanan akan kejahatan transnasional, khususnya migrasi ilegal yang melintasi
wilayah Indonesia. Posisi Indonesia yang strategis di antara benua Asia dan Australia
menjadikannya sebagai batu loncatan dan negara transit bagi para imigran gelap yang
akan menuju ke Australia untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sebagian besar
imigran gelap tersebut berasal dari daerah konflik dan daerah bencana, seperti wilayah
Timur Tengah dan Asia Selatan.29

Indonesia Dalam Kancah Regional

Keberadaan Indonesia tidak boleh hanya secara georgrafis-statis, namun harus


menjadi pemain global. ASEAN perlu dipilih sebagai ladang exercise polugri Indonesia.
ASEAN merupakan kawasan yang telah berproses panjang dan walaupun kerjasama
ekonomi mendapat porsi penting, dalam kenyataannya kerjasama politik lebih
menonjol. Oleh karena itu, dari keseluruhan bangunan ASEAN dengan tiga pilarnya,
yaitu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya.30

Berbagai prakarsa di bidang ekonomi lebih banyak berupa declarations of intent,


sebab pelaksanaannya lambat dan tersendat-sendat. Terutama disebabkan karena
ASEAN tidak membangun mekanisme kelembagaannya untuk melaksanakan berbagai
prakarsa ekonomi.31

AFTA (Asean Free Trade Area) merupakan keputusan yang besar, walaupun
sebagai skema kerja sama dan integrasi ekonomi sebenarnya kesepakatan AFA itu
sangat minimal. Selain membentuk FTA dengan berbagai negara, kesepakatan strategis

28
Ibid.
29
Ibid.
30
Mahfudz Siddiq, “Indonesia Butuh Politik Luar Negeri Berorientasi Ekonomi”, Jurnal Dipomasi, Volume IV
No.1, (Maret 2012)
31
Ibid.

19
ASEAN lainnya dalam dimensi ekonomi ialah arahan pembentukan ASEAN Economic
Community (AEC).32

Semua arah menuju regionalisme Ekonomi (AEC) merupakan suatu kesepakatan


yang pelaksanaannya masih sangat lambat. Hal ini juga disebabkan karena keengganan
negara-negara ASEAN untuk membentuk kelembagaan regional yang dapat mendorong
kerjasama tersebut. Masingmasing negara ASEAN masih terlampau kuat
mempertahankan kedaulatan ekonomi dan politiknya ketimbang mengembangkan
Centrality ekonomi pada ASEAN. Padahal regionalisme ekonomi menyaratkan
kesefiaan untuk menyerahkan sebagian dari kedaulatan nasional kepada kesepakatan
Commitment) regional.33

Gambar 1.2 : ASEAN Economic Community

Sumber : http://www.kemlu.go.id/Tabloids/Jurnal%20Diplomasi%20Maret%202012.pdf

Jangan sampai dalam kebersamaan ASEAN ini Indonesia hanya berfokus pada
persepsi berbagi kedaulatan secara politik-keamanan. Sebab, jika hanya itu
pembobotannya, maka negara seperti Indonesia denga populasi dan teritorial raksasa

32
Ibid.
33
Ibid.

20
ada dalam posisi yang paling banyak berkorban. Sementara yang seharusnya menjadi
timbal balik ialah kmpensasi kebersamaan ekonomi-perdagangan dari negara seperti
Singapura, Malaysia, dan Thailand kepada Indonesia, sehingga negara kita tidak hanya
dilihat dalam posisi pasar ekonomi dan sasaran ekspor negara lain.34

Kontektualisasi Polugri pada Politik Global berdasarkan empat indikator


exercise terhadap konteks kawasan ASEAN, terdapat beberapa simpulan yang perlu
diproyeksikan terhadap kawasan lian. Situasi terbaru dibeberapa kawasan
memperlihatkan adanya dinamika yang memiliki dampak luas terhadap landscape
regional dan internasional. Dua diantara situasi kawasan yang terjadi itu adalah badai
krises Uni Eropa dan Kawasan Timur Tengah-Afrika Utara.35

Awal 2011 seluruh dunia melihat Uni Eropa sebagai masterpiece hingga
regionalisme seakan dianggap wajib berkiblat kesana. Anjuran itu juga sempat
terdengar begitu nyaring di ASEAN. Lalu Eropa di terjang Krisis. Mengutip Martin
Feldstein, ekonom Harvard dan National Bureau of Economic Research pada November
2011, Martin mengatakan bahwa krisis Eropa Bukanlah kecelakaan akibat salah urus,
namun merupakan konsekuensi logis dari eksperimen politik untuk memaksakan
ekonomi dengan heterogenitas tinggi kedalam sebuah mata uang tunggal36

Arah pelajaran dari dinamika krisis Eropa tersebut bukanlah anjuran positif bagi
ASEAN untuk secara ekstrem mengintegrasikan perdagangan, moneter, hingga fiskal,
akan tetapi, Indonesia dapat mengambil hikmah bahwa setiap negara di ASEAN, selama
ia tidak melebur sebagai satu kedaulatan fiskal, maka nasib capaian ekonomi dalam
perdagangan dan moneter akan tetap ditanggung setiap negara.37

Arab Spring yang terjadi dikawasan MENA (Middle East and Northe Africa)
memberi dampak perubahan dibeberapa aktor utama di kawasan. Tiga aktor utama
dikawasan itu ialah, Gulf Cooperation Council (GCC) yang memberikan pelajaran
tentang bagaimana struktur politik regional berperan menjaga kepentingan ekonominya.
Mereka merupakan negara-negara teluk pemilik 46% kekayaan minyak dunia yang kini
bertransformasi menjadi “Monarchy club” dengan menggaet Maroko dan Yordania

34
Ibid.
35
Ibid. Hlm, 30
36
Ibid. Hlm, 31
37
Ibid, Hlm, 32

21
untuk merespons ancaman demokratisasi kepada model kerajaan yang ada dinegara
mereka. Aktor kedua dikawasan itu ialah Multilateral Forum, dimana negara-negara
yang ada juga mengalami dinamika perubahan pola dukungan sebagaimana terlihat
dalam konstelasi politik negara-negara dalam sidang PBB di Jenewa. Aktor ketiga ialah
aktor politik domestik baru, yaitu para penggerak revolusi, dimana mayoritasnya ialah
praktis politik islam.38

Semangat doktrin “bebas-aktif” Indonesia serta slogan Thousands friends zero


enemy nyatanya tidak hadir dikawasan Timur Tengah. Kawasan ini luput secara respon
politik, misalnya dalam kasus sikap abstain Indonesia dalam memberikan pengakuan
terhadap Dewan Transisi Nasional/ National Transition Council (NTC) Libya yang
kemudian berdampak pada ketegangan hubungan ekonomi. Selain itu Indonesia juga
tidak pernah secara kenegaraan menunjukkan keseriusan menanam investasi politik
secara spesifik ke aktor-aktor utama dalam proses revolusi Timur Tengah yang terus
berlangsung. Dalam posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011, tidak ada upaya
untuk memberikan perhatian khusus terhadap revolusi Timur Tengah. Tidak pula hadir
usulan untuk memasukkan negara atau organisasi dikawasan Timur Tengah sebagai
mitra wicara ASEAN.39

38
Ibid. Hlm, 32
39
Ibid. Hlm, 33

22
Kesimpulan

Pada kesimpulannya, penelitian ini mencoba untuk menggambarkan Politik Luar


Negeri Indonesia yang memiliki kecenderungan tidak terlalu idealistik dan juga tidak
pragmatis melainkan sebuah pendekatan yang realistik dan rasional. Hal ini dikarenakan
situasi dan kondisi sistem internasional yang berlaku pada setiap masing-masing dimensi
sejarah (periodesasi) yang telah dilalui oleh Indonesia sebagai bagian dari komunitas
internasional.

Thesis atau argumen utama dalam penelitian ini adalah, bahwa dinamika sistem
internasional yang terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga saat ini merupakan faktor
utama yang membentuk karakteristik sekaligus landasan konseptual politik luar negeri Bebas
Aktif, karena dari gambaran Bebas Aktif itu sendiri tercermin sebuah pendekatan yang
rasional dan realistis dalam praktik pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, tidak terlalu
idealistik dan juga tidak terlalu pragmatis.

Mengacu kepada pernyataan Kenneth Waltz, bahwa sistem internasional adalah


faktor yang paling memengaruhi perilaku sebuah negara.Polarisasi atas subjek yang dianggap
dominan dalam sebuah sistem merupakan bentuk nyata dari sebuah struktur
internasional.Definisi perilaku itu sendiri megnarah kepada pembuatan kebijakan yang
dikeluarkan oleh suatu negara. Oleh karena itu, perilaku dapat diartikan sebagai Politik Luar
Negeri, karena perilaku, seperti yang dikatakan oleh K. J. Holsti, adalah tindakan yang
memiliki landasan dan tujuan yang didalamnya memiliki nilai-nilai.

Marijke Breuning (2007) menggambarkan perilaku tersebut sebagai bagian dari


rasionalitas Negara yang merefleksikan kondisi dan situasi eksternal untuk memenuhi apa
yang menjadi kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional itu sendiri dapat diartikan
sebagai kebutuhan dan keinginan suatu negara baik dalam jangka waktu pendek dan jangka
waktu panjangnya.

Bebas Aktif menjadi prinsip utama, konsep, teori dan juga implementasi dari setiap
Politik Luar Negeri Indonesia hingga saat ini. Tentunya, Politik Luar Negeri Bebas Aktif
memiliki tujuan utamanya yaitu apa yang menjadi kepentingan nasional Indonesia saat ini dan
di masa yang akan datang.Garis penekanan terhadap aspek rasional dan realistis terletak pada
analisis eclecticism, seperti yang dilakukan oleh Novotny. Rasionalitas tersebut dilihat
melalui pemimpin Indonesia yang memiliki visi dan misi tertentu. Pada tingkatan analisa

23
individual, hal tersebut memang tidak dapat dielakkan mengingat peranan tokoh pemimpin
negara menjadi agen yang memiliki kemampuan untuk melakukan konstruk sosial. Namun,
persepsi keseimbangan ancaman yang terefleksi dalam kondisi eksternal juga menjadi penting
mengingat tanpa adanya perioritas ancaman, maka Indonesia pun tidak dapat menentukan
konstruk sosial seperti apa yang akan diterapkan dalam wilayah domestiknya.

Dua sisi penggambaran analisa Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia itu sendiri,
hingga saat ini masih menjadi tolak ukur dalam menentukan orientasi Politik Luar Negeri
Indonesia.Indonesia harus tetap menjadi aktor yang rasional dan realistis dengan
merefleksikan gambaran dari sub-sistem maupun sistem internasional secara keseluruhan
untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia. Berlandaskan pada prinsip Bebas Aktif,
Indonesia tidak harus menjadi negara yang idealis ataupun pragmatis. Bebas Aktif adalah
prinsip sekaligus cara agar bagaimana Indonesia mampu bertindak sebagai aktor yang
memiliki peranan serta menjadi bagian dari sistem dan sub-sistem internasional.

24
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Breuning, Marijke, (2007), Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, New York:
Palgrave Macmilan.

Holsti, K. J., (1987), Politik Internasional: Kerangka Analisa,(terj), Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya.

Kementerian ESDM RI. (2005) Blue Print Penelolaan Energi Nasional 2005-2025. Jakarta.

PEACE.( 2007), Indonesia and Climate Change : Current Status and Policies.

ICWA.2010.Into the new world. Jakarta.

Ganewati, Wulandari (Ed).2008. politik Luar negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik
Domestik. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Jurnal

Alami Nur Atiqah, “Proyeksi Politik Luar Negeri Indonesia : Tantangan Global dan Prioritas
Diplomasi Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Volume IV, No.1 (Maret 2012)

Mahfudz Siddiq, “Indonesia Butuh Politik Luar Negeri Berorientasi Ekonomi”, Jurnal
Dipomasi, Volume IV No.1, (Maret 2012)

Website:

Daniel Novotny, (2004), Indonesia‟s Foreign Policy: in Quest for the Balance of Threats,
dalam http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-
conference/2004/Novotny-D-ASAA2004.pdf

Emirza Adi Syailendra, (2013), Indonesia‟s Foreign Policy Outlook: Challanges of 2013 and
Beyond, Singapore: RSIS Commentaries, diakses melalui,

25
http://www.rsis.edu.sg/publications/Perspective/RSIS0192013.pdf pada tanggal 19
Mei 2013 pukul 23.35 WIB.

Irfa Puspita Sari, (2010), Indonesia‟s New Foreign Policy – „Thousand friends-Zero Enemy‟,
New Delhi: IDSA, diakses melalui,
http://www.idsa.in/system/files/IB_IndonesiaForeignPolicy.pdf pada tanggal 19 Mei
2013 pukul 23.35 WIB.

Theory Talk #15: Peter Katzenstein, (2008), Peter Katzentein on anti-Americanism,


Analytical Eclecticism and Regional Powers, diakses melalui, http://www.theory-
talks.org/2008/08/theory-talk-15.html pada tanggal 19 Mei 2013 pukul 23.39 WIB.

Theory Talk#40 – Kenneth Waltz, (2011), Kenneth Neal Waltz – The Physiocrat of
Inernational Politics, diakses melalui, http://www.theory-talks.org/2011/06/theory-
talk-40.html pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 01.02 WIB.

Indonesia‟s Foreign Policy/The Principles Of The Foreign Policy, diakses melalui,


http://www.embassyofindonesia.org/foreign/foreignpolicy.htm pada tanggal 20 Mei
2013 pukul 01.49 WIB.

Miftahul Aziz, (2010), Politik Luar Negeri Bebas Aktif (Studi Pemerintahan Abdurrahman
Wahid), Yogyakarta: UIN, diakses melalui, http://www.thedigilib.com/doc/41382-
politik-luar-negeri-indonesia-bebas-aktif-studi-pemerintahan-abdurrahman-wahid-
#.UZkvb6MUXH0 pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 03.03 WIB.
Triono Akmad Munib, (2012), Perbandingan Politik Luar Negeri Bebas Aktif Era Orde
Lama, Orde Baru dan Pasca Orde Baru, diakses melalui,
http://djangka.com/2012/04/30/perbandingan-politik-luar-negeri-bebas-aktif-era-
orde-lama-orde-baru-dan-pasca-orde-baru/ pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 03.08
WIB.
Aulia Akbar, (2013), Politik Luar Negeri Bebas Aktif Kini Semakin Rumit, diakses melalui,
http://international.okezone.com/read/2013/04/26/411/798300/politik-luar-negeri-
bebas-aktif-kini-semakin-rumit pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 04.23 WIB.

Melirik Potensi Ekspor ke Afrika dan Timur Tengah, diakses melalui,


http://www.topsaham.com/new1/index.php?option=com_content&view=article&id=
5361%3alex&itemid=56 diakses pada tanggal 09 Januari 2015 pukul 19.30 WIB

26
27

Anda mungkin juga menyukai