Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

PENYEHATAN TANAH

DOSEN PENGAMPU :

GUSTOMO YAMISTADA S.Pd M.Sc

NIP: 197612032000121001

DISUSUN OLEH :

SYLVIA JULITA

PO71330180031

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

TAHUN 2018/2019
Hubungan Pencemaran Tanah oleh Telur Soil-Transmitted-Helminth (STH)
dengan Kejadian Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01
Krawangsari Natar

Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. 24% dari


populasi dunia terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale.
Keadaan sosial ekonomi rendah, lingkungan dengan sanitasi buruk, tidak
memperhatikan kebersihan makanan dan minuman, menyebabkan tingginya angka
kejadian kecacingan terutama pada anak-anak usia prasekolah dan usia sekolah.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh telur STH
dengan keajadian kecacingan pada anak. Penelitian ini merupakan penelitian analitik
observasional dengan rancangan cross sectional dengan teknik pengambilan sampel
total sampling. Dilakukan pemeriksaan terhadap feses siswa SDN 01 Krawangsari
Natar dan tanah halaman rumah siswa. Pemeriksaan dengan metode floating. Sampel
feses dilarutkan dengan larutan NaCl jenuh. Tambahkan NaCl jenuh sampai tabung
reaksi penuh dan tutup dengan cover glass. 5-10 menit kemudian amati dibawah
mikroskop. Pemeriksaan tanah dengan menggunakan larutan MgSO4 jenuh. Sampel
yang telah dilarutkan disentrifuse, buang supernatan lalu tambahkan larutan MgSO4
jenuh dan sentrifuse kembali. Kemudian tambahkan MGSO4 sampai penuh, tutup
dengan cover glass. 15-20 menit, amati dibawah mikroskop. Hasil uji Chi-Square
pencemaran tanah terhadap kejadian kecacingan p=0,062. Hasil menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang bermakna karena p>0.05. Tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara pencemaran tanah oleh telur STH dengan kejadian kecacingan pada
anak SDN 01 Krawangsari Natar.

Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih dari


satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH). Data dari World
Health Organization (WHO) pada tahun 2015 menyebutkan bahwa lebih dari 1,5 miliar
orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi olehcacing yang ditularkan melalui tanah.
Angka kejadian terbesar di Sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur. Di
Indonesia prevalensi penyakit kecacingan masih tinggi, yaitu 45-65%. Di wilayah-
wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk prevalensi kecacingan bisa mencapai 80%
(Chadijah,2014). Prevalensi kecacingan di Provinsi Lampung pada tahun 2012 adalah
6,32%.

Spesies utama yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris


lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing kait (Necator americanus
dan Ancylostoma duodenale). Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari
600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah yang banyak terdapat parasit ini. Cacing
lain yang juga dapat menginfeksi manusia diantaranya Strongyloides stercoralis,
beberapa spesies Trichostrongylus, Oxyuris vermicularis, dan Trichinella spiralis.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dengan sanitasi yang buruk, tidak
memperhatikan kebersihan makanan atau minuman, bermain di tanah, tidak mencuci
tangan sebelum makan, BAB di sembarang tempat, dan pemanfaatan feses sebagai
pupuk tanaman menjadi faktor risiko infeksi cacing.

Infeksi STH ditularkan melalui telur cacing yang terdapat dalam feses manusia
yang terinfeksi. Cacing dewasa yang tinggal di usus dapat menghasilkan ribuan telur
setiap hari. Di daerah yang sanitasinya tidak memadai, telurtelur ini akan mencemari
tanah dengan berbagai cara. Telur dapat melekat pada sayuran yang kemudian tertelan
tanpa dicuci, dikupas dan dimasak dengan baik. Telur dapat tertelan dari sumber air
yang terkontaminasi, dan telur tertelan oleh anak-anak yang bermain tanah yang
terkontaminasi kemudian meletakkan tangan dimulut tanpa mencuci tangan. Selain itu,
penularan cacing kait dapat menembus kulit yang terjadi pada orang-orang yang
berjalan tanpa menggunakan alas kaki pada tanah yang terkontaminasi. Kejadian
kecacingan banyak pada anak-anak dan orangorang miskin. Anak-anak sering
menderita kecacingan karena kurangnya kebersihan diri dan lingkungan, rendahnya
pendidikan, beraktivitas tanpa menggunakan alas kaki, kesehatan dan status gizi yang
buruk, serta sering bermain tanah. Chadijah (2014) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa anak usia Sekolah Dasar (SD) lebih sering diserang oleh infeksi cacing
dikarenakan aktivitas mereka yang lebih banyak berhubungan dengan tanah. Selain itu,
Kattula (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa anak-anak yang tinggal di
daerah kumuh memiliki risikotinggi infeksi STH daripada anak-anak yang tinggal di kota.

Pencemaran tanah oleh feses yang terinfeksi merupakan media penularan yang
baik bagi penularan STH. Samad (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
terdapat korelasi bermakna antara jumlah telur cacing di tanah dengan intensitas infeksi
Ascaris lumbricoides. Semakin banyak telur di tanah semakin bertambah tingkat
intensitas infeksi cacing. Perbedaan terdapat pada Trichuris trichiura. Jumlah telur
Trichuris trichiura di tanah tidak mempunyai korelasi yang bermakna dengan intensitas
infeksi Trichuris trichiura. Anak-anak yang menderita infeksi STH namun tinggal di
lingkungan yang tidak tercemar kemungkinan mendapatkan infeksi dari tempat bermain
yang lingkungannya tercemar oleh feses yang mengandung telur cacing. Oleh karena
itu, pengendalian lingkungan dari STH dapat menjadi upaya yang efektif untuk
mencegah infeksi cacing.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan bahwa kejadian kecacingan


masih banyak di Indonesia dan berkaitan dengan kontaminasi tanah oleh telur cacing,
maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai hubungan pencemaran tanah oleh
telur STH dengan kejadian kecacingan pada siswa SDN 01 Krawangsari Natar. SDN 01
Krawangsari Natar merupakan sekolah dasar yang lingkungannya masih berupa tanah.
Halaman rumah siswa-siswi pun masih berupa tanah. Di sekitar sekolah dan rumah
mereka tidak ditemukan sungai. Saat bermain di lingkungan rumah dan sekolah, siswa-
siswi ini sering tidak menggunakan alas kaki dan bermain tanah sehingga pada kuku
kaki dan tangan siswa-siswi ini terdapat banyak kotoran yang dapat menjadi sumber
penularan infeksi cacing.

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan


menggunakan rancangan cross sectional yaitu melakukan observasi atau pengukuran
variabel pada satu saat tertentu. Cara pengumpulan data sekaligus dalam suatu waktu
dengan tujuan untuk mecari hubungan antara variabel independen (pencemaran tanah
oleh telur STH) terhadap variabel dependen (kejadianJenis penelitian yang digunakan
adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional yaitu
melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Cara
pengumpulan data sekaligus dalam suatu waktu dengan tujuan untuk mecari hubungan
antara variabel independen (pencemaran tanah oleh telur STH) terhadap variabel
dependen (kejadiankecacingan). Selain itu dilakukan analisis klaster dan pemetaan.

Penelitian ini dilakukan di SDN 01 Krawangsari Natar. Pengambilan data berupa


pengambilan feses dan pengambilan sampel tanah di halaman rumah siswa.
Pemeriksaan sampel feses dan tanah dilakukan di Laboratorium Parasitologi dan
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Penelitian ini di lakukan pada
bulan Oktober 2015.

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi target pada penelitian


ini adalah seluruh siswa SDN 01 Krawangsari Natar yang memenuhi kriteria inklusi.
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh siswa SDN 01 Krawangsari Natar yang
berjumlah 74 orang yang memenuhi kriteria inklusi.

Teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel pada penelitian adalah total
sampling. Sampel diambil dari populasi penelitian dengan sejumlah sampel yang
ditemukan pada periode penelitian. Alasan pemilihan total sampling karena jumlah
populasi yang tersedia kurang dari 100.

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

a. Siswa dan orangtua yang bersedia mengikuti penelitian dan telah mengisi lembar
inform consent
b. Siswa yang tidak minum obat cacing dalam waktu 6 bulan terakhir
c. Orangtua yang bersedia untuk dilakukan pengambilan sampel tanah dihalaman
rumahnya
d. Tanah tempat anak sering bermain
e. Tanah disekitar rumah yang dekat dengan tempat pembuangan sampah, kotoran
dan jamban.
Adapun kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah :
a. Siswa yang halaman rumahnya semen
b. Tanah yang tidak bisa diperiksa
c. Tanah yang jumlahnya terlalu sedikit
d. Lokasi rumah yang sulit dijangkau
e. Tanah yang tergenang air

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kejadian kecacingan pada anak SDN 01


Krawangsari Natar sebanyak 56,9% dan 43,1% tidak terinfeksi STH. Dari keseluruhan
persentase anak yang menderita kecacingan, 62,7% adalah laki-laki dan 37,3% adalah
perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hairani (2014) yang
menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita kecacingan yaitu
7,83% dan perempuan 3,97%.

Berdasarkan usia, pada penelitian ini usia yang menderita kecacingan adalah 5-
12 tahun dengan usia terbanyak pada 8 tahun (21,6%) dan 9 tahun (21,6%). Hal ini
sejalan dengan teori dari WHO (2015) yang mengatakan bahwa infeksi kecacingan
sangat berisiko pada anak usia prasekolah (4-6 tahun) dan usia sekolah (6-12 tahun).

Pemeriksaan tanah pada penelitian ini menunjukkan bahwa tanah rumah yang
tercemar oleh STH sebesar 37,3%. Dari keseluruhan sampel tanah yang tercemar oleh
telur STH, didapatkan tingkat infeksi tertinggi terjadi di Dusun Jepang, Talang Sawo,
dan terendah di Dusun Krawangsari. Secara statistik, hasil yang didapat menunjukkan
bahwa tanah yang tercemar oleh telur STH (37,3%) lebih sedikit daripada tanah yang
tidak tercemar oleh telur STH (62,7%). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yang mempengaruhi pencemaran tanah menurut WHO (2004) yaitu faktor fisik, kimia
dan biologi yang telah dijelaskan pada bab 2. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh
sanitasi lingkungan. Sanitasi lingkungan yang baik akan mengurangi pencemaran pada
tanah. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Samad
(2009) bahwa tanah yang tercemar lebih banyak (52,5%) daripada tanah yang tidak
tercemar (47,5%).

Berdasarkan uji statistik, didapatkan nilai p-value 0.062 yang menunjukkan


bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pencemaran tanah oleh telur
STH dengan kejadian kecacingan pada anak. Hal ini dapat disebabkan karena faktor
lain seperti kebersihan perseorangan yang buruk yang telah diteliti dalam waktu dan
tempat yang sama oleh peneliti lain.

Penularan STH dapat terjadi akibat kebersihan perseorangan yang buruk. Tidak
memperhatikan kebersihan atau minuman seperti membiarkan adanya vektor (lalat)
pada makanan, tidak mecuci bersih bahan makanan, tidak memasak makanan secara
benar, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, tidak mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir setelah BAB, dan pemanfaatan feses sebagai pupuk
tanaman juga dapat menjadi faktor lain yang mendukung tingginya angka kejadian
kecacingan meskipun terdapat angka pencemaran tanah yang rendah.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chadijah (2014)
yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan,
perilaku dan sanitasi lingkungan dengan angka kecacingan. Hal ini disebabkan karena
terdapat angka kecacingan yang lebih kecil disebabkan karena personal higiene anak
yang baik walaupun sanitasinya buruk.

Pada penelitian ini terdapat beberapa hasil yang tidak sesuai antara feses dan
tanah. Ada beberapa sampel feses anak yang terinfeksi telur STH namun sampel
tanah tidak tercemar oleh telur STH. Hal ini dapat disebabkan oleh penularan STH
yang terjadi tidak hanya melalui tanah rumah, tetapi bisa didapatkan dari tempat lain
seperti sekolah. Setelah melakukan beberapa kali kunjungan ke SDN 01 Krawangsari
Natar, beberapa anak didapatkan tidak menggunakan sepatu dan bermain tanah di
sekolah. Kegiatan observasi ini didukung dengan hasil pemeriksaan sampel tanah
sekolah yang diambil dari beberapa bagian, yaitu tengah, belakang gedung, area WC,
serta area pembuangan sampah. Hasil pemeriksaan tanah sekolah positif tercemar
oleh telur STH dengan ditemukannya telur cacing Ascaris lumbricoides. Freeman et al
(2015) mengatakan bahwa anak-anak yang menderita infeksi STH namun tinggal di
lingkungan yang tidak tercemar kemungkinan mendapat infeksi dari tempat bermain
yang lingkungannya tercemar oleh feses yang mengandung telur cacing.

Sebaliknya, terdapat beberapa sampel feses yang tidak terinfeksi telur STH
namun sampel tanah tercemar oleh telur STH. Hal ini dapat disebkan oleh kebersihan
diri perseorangan anak yang baik, serta sistem imun yang baik.

Berdasarkan jumlah sampel tanah dan feses yang terkumpul, dilakukan


pengambilan data berupa titik koordinat dengan menggunakan alat GPS. GPS
Singkatan dari Global Positioning System, merupakan sistem untuk menentukan posisi
dan navigasi secara global dengan menggunakan satelit. Data yang sudah terkumpul
kemudian dipetakan. Pemetaan dilakukan untuk melihat jarak-jarak transmisi STH
pada anak dan tanah. Hasil analisa klaster yang didapat adalah tidak terbentuk kluster
dari penyebaran STH baik pada anak maupun pada tanah.

Pada pemetaan dapat terlihat titik koordinat yang menandakan hasil feses dan
tanah positif. Terlihat penyebaran STH yang menyebar luas. Penyebaran STH dapat
dipengaruhi oleh faktor seperti angin, air, vektor (lalat, tikus, anjing, babi, kucing) dan
untuk daerah endemis dapat ditularkan dari orang ke orang. Penampakan peta yang
tidak membentuk klaster dapat disebabkan oleh daya transmisi tiap vektor yang
berbeda. Lalat (Musca domestica) dapat terbang sejauh 8 km. Tikus (Rattus
argentiventer) dapat berpindah sejauh 1-2 km dari tempat semula.

Penularan STH juga dapat terjadi melalui air. Desa Krawangsari Natar ini,
setelah dilakukan kunjungan ke setiap rumah subjek penelitian tidak terlihat sungai
yang memungkinkan adanya pengaliran air untuk meningkatkan penyebaran infeksi
STH. Ditemukan area persawahan dan beberapa kolam yang sudah kering
dikarenakan cuaca panas saat pengambilan data dilakukan. Tidak terdapat genangan
air namun terdapat beberapa rumah yang memiliki kandang ternak (sapi) di samping
atau belakang rumah dengan tumpukan sejumlah kotoran.

Pada penelitian ini peneliti mengakui adanya beberapa kelemahan, diantaranya:

 Tanah yang diambil dari semua area digabung jadi satu, sehingga tidak bisa
mengidentifikasi tanah bagian mana dari satu rumah yang tercemar oleh telur
STH.
 Tidak mengelompokkan data rumah yang berdekatan dengan kandang ternak.

Anda mungkin juga menyukai