Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lansia
1. Defenisi Lansia
Menua atau lansia adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang tidak hanya
dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga
tahap - tahap kehidupan, yaitu nepnatus, toddler, pra school, school, remaja,
dewasa dan lansia. Tahap ini dimulai baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki usia tua banyak mengalami perubahan misalnya perubahan fisik yang
ditandai dengan kulit menjadi keriput karena berkurangnya bantalan lemak,
rambut memutih, pendengaran berkurang, penglihatan memburuk, gigi mulai
ompong, aktifitas menjadi lambat, nafsu makan berkurang dan menurunnya daya
tahan tubuh.(Padila,2013)
Lansia merupakan kelompok usia yang rentan mengalami perubahan-
perubahan akibat proses penuaan. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan
permasalahan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Salah satu
permasalahan yang sering dijumpai pada lansia selain permasalahan fisiologis
adalah permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan mental atau psikologis.
(Ekawati Sutikno, 2015)

2. klasifikasi Lansia
Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia menurut prganisasi kesehatan
dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu :
1) Usia pertengahan (middle age) usia : 45-59 tahun
2) Lanjut usia (elderly) usia : 60-74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) usia : 70-90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun
3. Karateristik Lansia
Menurut Budi Anna Keliat (1999) dalam Padila (2013) karakteristik lansia
sebagai berikut :
a. Berusia lebih dari 60 tahun
b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
kondisi maladaptif.
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

4. Tipe Lansia
Tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi
fisik, mental, sosial dan ekonominya (nugroho, 2000). Tipe tersebut
diantaranya :
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memnuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak
menuntut.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan
melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder menyesal, pasif
dan acuk tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, konstruktif,dependen
(tergantung),defensif ( bertahan ), militan dan serius, tipe pemarah/frustasi
( kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu ), serta tipe putus asa
( benci pada diri sendiri ).

5. Perubahan-Perubahan pada Lansia


Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia adalah faktor kesehatan
yang meliputi keadaan fisik dan keadaan psikososial lanjut usia.
a. perubahan Fisik
Faktor kesehatan meliputi keadaan psikis lansia. Keadaan fisik merupakan
faktor utama dari kegelisahan manuia. Perubahan secara fisik meliputi sistem
prnapasan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler,
muskuloskletal, gastrointestinal, sistem neurology , sistem integumen dan
sistem endokrin mulai menurun pada tahap-tahap tertentu. Dengan demikian
orang lanjut usia harus menyesuaikan diri kembali dengan
ketidakberdayaannya.
b. Perubahan Psikososial
1) Paranoid
Respons perilaku yang ditunjukkan dapat berupa curiga, agresif, atau
menarik diri.
2) Gangguan tingkah laku
Sifat buruk pada lansia bertambah seiring perubahan fungsi fisik. Lansia
merasa kehilangan harga diri, kehilangan peran, merasa tidak berguna,
tidak berdaya, sepi, pelupa, kurang percaya diri, dan sebagainya
3) Gangguan tidur
Lansia mengalami tidur superfisial, tidak pernah mencapai total bed sleep,
merasa tengen, setiap detik dan jam selalu terdengar, desakan mimpi
buruk, serta bangun lebih cepat dan tidak dapat tidur lagi. Lansia selalu
mengeluh tidak bisa tidur. sedangkan kebutuhan tidur lansia tidak
terganggu, hanya pola tidur yang berubah.
4) Keluyuran (wandering)
Hal ini biasanya terjadi akibat bingung dan demensia. Lansia keluar rumah
dan tidak dapat pulang, hilang, berkelana, atau menggelandang.
Sebenarnya ini tidak dikehendaki oleh lansia. Hal tersebut terjadi karena
lansia tidak betah di rumah, tetapi saat keluar tidak tahu jalan untuk
pulang.
5) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama
jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit
fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama
pendengaran.
6) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada
lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
7) Depresi
Ada banyak jenis depresi yang terjadi pada lansia, di antaranya depresi
terselubung, keluhan fisik menonjol, merasa lebih pusing, nyeri, dan
sebagainya atau suatu keadaan Duka cita yang berlanjut akan
menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti dengan keinginan untuk
menangis yang berlanjut sehingga mengalami depresi.
8) Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas umum,
gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif,
gangguan-gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek
samping obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
9) Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku sangat
mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-
main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak
teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang
kembali.
10) Demensia
Demensia adalah suatu sindrom gejala gangguan fungsi luhur kortikal
yang multipel, seperti daya ingat, daya pikir, daya tangkap, orientasi,
berhitung, berbahasa, dan fungsi nilai sebagai akibat dari gangguan fungsi
otak. (yusuf,Fitryasari, dan Nihayati, 2015 )

6. Tugas Perkembangan Lansia


Kesiapan lansia untuk beradaptasi terhadap tugas perkembangan lansia
dipengaruhi oleh proses tumbang( Erikson dalam Padila, 2013)
Tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pensiu
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai
f. Memepersiapkan diri untuk kematian dan kematian pasangan

7. Masalah – Masalah Psikososial Yang Lazim Pada Lansia


a. Peristiwa-peristiwa hidup yang dialami lansia
1) Pensiun
2) Pindah tempat tinggal
3) Menjanda / menduda
4) Identitas sering dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan
5) Sadar akan kematian teman dan keluarga
6) Kehilangan hubungan dengan teman-teman dan keluarga
7) Penyakit kronis dan ketidakmampuan
8) Perubahan terhadap gambaran diri, konsep diri
9) Kesepian ( loneliness)
Masalah psikososial lansia menurut (kuntjoro dalam padila, 2013 ) :
1) Aspek sosial lansia
Sikap, nilai, keyakinan terhadap lansia, label/stigma, perubahan social.
2) Ketergantungan
Penurunan fungsi, penyakit fisik
3) Gangguan konsep diri
Gangguan alam perasaan : depresi
Faktor resiko masalah psikososial lansia :
 Sumber finansial kurang
 Tipe kepribadian : stress
 Kejadian yang tidak terduga
 Jumlah kejadian pada waktu yang berdekatan
 Dukungan sosial kurang
b. Perubahan yang berdampak pada fungsi kognitif
Setiap proses memasuki masa lansia akan mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti
gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang
cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian
lansia.Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe
kepribadian lansia sebagai berikut :
1) Tipe kepribadian konstruktif ( construction personality)
Tipe yang ditandai dengan tetap tenang dan menerima sampai tua.
2) Tipe kepribadian mandiri ( independent personality )
Ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada
masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi
pada dirinya.
3) Tipe kepribadian tergantung ( dependen personality)
Biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan
keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak ada hambatan,
tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan
akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari
kedukaannya.
4) Tipe kepribadian bermusuhan ( hostility personality )
Setelah memasuki masa lansia tetap merasa tidak puas dengan
kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonomi
menjadi tidak terkontrol dan terpuruk.
5) Tipe kepribadian kritik diri ( self hate personality )
Lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri
sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.

8. Penatalaksanaan Secara Umum Terkait Dengan Proses Penuaan yang


meliputi hal berikut:
a. Penanggulangan masalah akibat perubahan fungsi tubuh.
1) Perawatan diri sehari-hari.
2) Senam atau latihan pergerakan secara teratur.
3) Pemeriksaan kesehatan secara rutin.
4) Mengikuti kegiatan yang masih mampu dilakukan.
5) Minum obat secara teratur jika sakit.
6) Memakan makanan bergizi.
7) Minum paling sedikit delapan gelas setiap hari.
b. Penanggulangan masalah akibat perubahan psikologis.
1) Mengenal masalah yang sedang dihadapi.
2) Memiliki keyakinan dalam memandang masalah.
3) Menerima proses penuaan.
4) Memberi nasihat dan pandangan.
5) Beribadah secara teratur.
6) Terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan.
7) Sabar dan tawakal.
8) Mempertahankan kehidupan seksual.
c. Penanggulangan masalah akibat perubahan sosial/masyarakat.
1) Saling mengunjungi.
2) Memiliki pandangan atau wawasan.
3) Melakukan kegiatan rekreasi.

B. Kesehatan Jiwa
1. Defenisi
Menurut Undang – undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
menyatakan sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian
yang luas, sehat adalah suatu keadaan dinamis dimana individu dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan internal ( seperti psikologis,
intelektual, spiritual, dan penyakit ) dan lingkungan eksternal ( seperti
lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi ) dalam mempertahankan kesehatannya.
( kartika sari dewi, 2012 ).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan
kriteria orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal
berikut.
a. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu
buruk.
b. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
c. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
d. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan
untuk menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi
dengan baik, tepat, bahagia dan juga bebas dari gejala gangguan psikis, serta
dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada padanya. sehingga dapat mencegah
gangguan mental akibat berbagai stresor, serta dipengaruhi oleh besar kecilnya
stresor, intensitas, makna, budaya, kepercayaan, agama, dan sebagainya.
(yusuf,Fitryasari, dan Nihayati, 2015 )

2. Ciri-ciri sehat jiwa yaitu :


a. Bersikap positif terhadap diri sendiri
b. Mampu tumbuh, berkembang dan mencapai aktualisasi diri
c. Mampu mengatasi stress atau perubahan pada dirinya
d. Bertanggung jawab terhadap kepuasan tindakan yang diambil
e. Mempunyai persepsi realistis dan menghargai
f. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (budi anna keliat, 2016)

Menurut UU No 36, 2009 Kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dari kesehatan secara umum serta merupakan dasar bagi
pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kesehatan jiwa membuat
perkembangan fisik, intelektual dan emosional seseorang berkembang
optimal selaras dengan perkembangan orang lain. (yusuf,Fitryasari, dan
Nihayati, 2015 )

3. Faktor-faktor peningkatan kesehatan jiwa


Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan kesehatan jiwa adalah :
a. Kesehatan fisik
b. Aktivitas fisik
c. Aktivitas mental
d. Aktivitas sosial
e. Dukungan sosial

Beberapa strategi penting untuk mencapai suatu kondisi kesehatan jiwa yang
optiml adalah :
a. Mempertahankan kesehatan dengan gaya hidup yang sehat
b. Berusaha untuk tetap aktif baik secara fisik maupun mental
c. Memiliki atau menjaga hubungan dengan baik dan sebagai pendukung yang
kuat , seperti : keluarga, teman , dan tetangga
d. Tetap mampu untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap perubahan-
perubahan yang dialami
e. Mengembangkan keinginan yang baru
f. Berpartisipasi dalam aktivitas yang berarti secara pribadi, seperti bekerja dan
berpatisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
g. Memiliki penghasilan yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan dasar
h. Menghindari situasi yang dapat menimbulkan stress
i. Melakukan apa yang diinginkan dan merencanakan kegiatan terstruktur setiap
hari dan memiliki sesuatu untuk dicapai .

4. Ruang Lingkup Dalam Kesehatan Jiwa


Adapun tujuan dan sasaran dalam Gerakan Kesehatan Mental itu sendiri
meliputi tujuannya:
a. memahami makna sehat mental dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
b. memahami pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penanganan
kesehatan mental
c. memiliki kemampuan dasar dalam usaha peningkatan dan pencegahan
kesehatan mental masyarakat
d. memiliki sikap proaktif dan mampu memanfaatkan berbagai sumber daya
dalam upaya penanganan kesehatan mental masyarakat
e. meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi timbulnya gangguan mental.

C. Kesehatan jiwa komunitas


1. Defenisi
Kesehatan jiwa masyarakat adalah memperoleh prestasi kerja
semaksimal mungkin, yang ditandai dengan adanya optimalisasi prestasi,
kreativitas dan produktivitas dalam dunia kerja. Tidak ada upaya saling
menghambat, permusuhan, dan menghalangi pencapaian kinerja seseorang.
Setiap orang dalam kelompok saling membantu menyelesaikan pekerjaan sesuai
kemampuan, kewenangan, dan keahliannya. Dengan demikian, setiap orang
dapat mencapai kepuasan dalam menampilkan prestasi kerja, sehingga
terciptalah kesehatan jiwa di masyarakat.
Keluarga adalah merupakan unit terkecil dari masyarakat. Oleh karena
itu, kesehatan jiwa masyarakat ditentukan pula oleh kondisi keluarga. Menurut
Good & Good, kesehatan jiwa masyarakat dapat terjadi apabila keluarga dan
masyarakat dalam keadaan sejahtera.
Upaya peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dalam
mewujudkan kesehatan jiwa masyarakat perlu memperhatikan beberapa stresor
di masyarakat yang sangat memengaruhi kesehatan jiwa masyarakat.
Beberapa stresor di masyarakat antara lain timbulnya harapan yang
terlalu banyak, meningkatnya permintaan kebutuhan, dampak teknologi modern,
urbanisasi, dan kepadatan penduduk.
a. Timbulnya harapan yang banyak.
Sebelum merdeka terjadi kebobrokan, kejelekan, dan kebodohan akibat
penjajah. Setelah merdeka ternyata harapan belum tentu sama kenyataan,
serta terdapat kekecewaan dan kecemasan.
b. Meningkatnya permintaan kebutuhan
Tuntutan kebutuhan dalam meningkatkan harga diri, yang meliputi
perumahan, perlengkapan isi rumah, sarana transportasi dan komunikasi,
pendidikan, serta gaya hidup.
c. Dampak teknologi modern
1) Arus dari luar mudah diakses.
2) Pengaruh budaya.
3) Peralatan rumah tangga jadi modern.
4) Makanan siap saji, hangat, dingin.
5) Ibu bekerja di luar rumah.
6) Kesiapan terhadap perubahan yang cepat.
7) Kesesuaian perkembangan teknologi dengan kebutuhan saat ini.
d. Urbanisasi
1) Pergeseran dari masyarakat desa ke kota.
2) Keluarga besar (extended family) berubah menjadi keluarga inti (nuclear
family).
3) Agraris berubah menjadi industri.
4) Mobilisasi semakin cepat.
5) Ikatan keluarga menjadi longgar, kontak menurun, komunikasi menurun.
6) Peran keluarga yang semakin berkurang.
e. Kepadatan penduduk
Sehingga mengakibatkan terbentuknya suatu daya saing semakin ketat dan
meningkat. ( kartika sari dewi, 2012 )

D. Gangguan jiwa
1. Defenisi
Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau di dalam satu atau lebih
fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik,
dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi
juga dengan masyarakat (yusuf,Fitryasari, dan Nihayati, 2015 )
Gangguan jiwa menurut American Psychiatric Association (APA) adalah
sindrom atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis, yang
terjadi pada individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress
(misalnya, gejala nyeri, menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada
salah satu bagian atau beberapa fungsi penting) atau disertai peningkatan resiko
secara bermagna untuk mati, sakit, ketidakmampuan, atau kehilangan kebebasan
(APA, 1994 dalam Jamila Kasim,2018).
Gangguan mental disebut juga kekacauan mental, atau penyakit mental.
Kartono ( 1989 ) mengungkapkan bahwa gangguan mental adalah bentuk
gangguan atau kekecauan fungsi mental atau kesehatan mental, yang disebabkan
oleh kegagalan reaksi mekanisme badaptasi dari fungsi kejiwaan terhadap
stimulus eksternal dan ketegangan sehingga terjadi gangguan fungsi atau
gangguan struktur dari satu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental.
( sunaryo, 2015 )
Kaplan dan sadock ( 1997), mengungkapkan bahwa gangguan mental
diartikan sebagai suatu sindrom atau pola perilaku atau psikologis yang secara
klinis bermakna dan terjadi pada seorang individu sekaligus disertai dengan
adanya individu yang mengalaminya ( mis : gangguan satu atau lebih bidang f
ungsi yang penting) atau dengan peningkatan resiko yang bermakna untuk
mengalami kematian, kesakitan, kecacatan, atau kehilangan kebebasan secara
signifikan. ( sunaryo, 2015 )

2. Penyebab Gangguan Jiwa


Manusia mengalami perubahan secara keseluruhan bio-psiko-sosial dan
spiritual . Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, unsur ini harus diperhatikan.
Gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit
dan menderita tetap sebagai manusia seutuhnya (Maramis, 2010).
a. Faktor somatik (somatogenik)
yakni akibat gangguan pada neuroanatomi, neurofisiologi, dan neurokimia,
termasuk tingkat kematangan dan perkembangan organik, serta faktor
pranatal dan perinatal.
b. Faktor psikologik (psikogenik)
yaitu terkait dengan interaksi ibu dan anak, peranan ayah, persaingan
antarsaudara kandung, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permintaan
masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi,
konsep diri, dan pola adaptasi juga akan memengaruhi kemampuan untuk
menghadapi masalah. Apabila keadaan ini kurang baik, maka dapat
mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang
berlebihan.
c. Faktor sosial budaya
Yaitu yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat
ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok minoritas yang meliputi
prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta
pengaruh rasial dan keagamaan.

Gangguan mental tidak terjadi secara tiba-tiba, namun ada beberapa faktor
yang menyebabkannya, tiga faktor yang mempengaruhi gangguan mental
menurut kartono ( 1999 ) adalah faktor internal, faktor eksternal, dan proses
intrapsikis yang salah.
Herdjan ( 1987 ) mengungkapkan bahwa ada tiga faktor penyebab gangguan
kesehatan jiwa yaitu :
a. faktor organobiologis atau jasmaniah : meliputi infeksi, keracunan, hereditas,
defisiensi vitamin, cedera karena kecelakaan, kanker, dan kelainan peredaran
darah.
b. Faktor psikologis : meliputi konflik jiwa, stress, kekecewaan, frustasi dan
kurangnya perhatian.
c. Faktor sosial budaya : meliputi kekacauan sosial, kekacauan etnis, serta
perubahan sosial dan budaya yang cepat. ( sunaryo, 2015 )

3. Tanda Dan Gejala Awal Terjadinya Gangguan Jiwa


Tanda dan gejala awal terjadinya gangguan mental meliputi :
a. Cemas : respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui,
internal, samar-samar, atau bersifat konflik. Kecemasan pada individu yang
mengalami gangguan mental karena perasaannya diliputi adanya bahaya yang
mengancam.
b. Ketakutan : respon dari suatu ancaman yang asalnya diketahui, ekternal, jelas
dan tidak bersifat konflik. Kecemasan pada individu yang mengalami
gangguan mental muncul karena merasa adanya ancaman dari luar dirinya.
c. Apatis : individu yang mengalami gangguan mental tidak peduli terhadap
lingkungan sendiri.
d. Pahit hati : perasaan hati tidak enak karena gangguan perasaan.
e. Hambar hati : individu yang mengalami gangguan mental tidak memiliki
perasaan apapun.
f. Iri hati : individu yang mengalami gangguan mental tidak senang melihat
orang lain beruntung.
g. Cemburu : individu yang mengalami gangguan mental yang memiliki
perasaan iri hati terhadap keberhasilan orang lain.
h. Dengki : individu yang mengalami gangguan mental memiliki perasaan tidak
suka/benci karena terlalu cmburu.
i. Kemarahan yang ekplosif : individu yang mengalami gangguan mental pada
saat marah terlihat tidak terkontrol.
j. Rasa asosial : individu yang mengalami gangguan mental tidak memiliki
kesadaran hidup bersama orang lain.
k. Ketergantungan batin yang kronis : individu yang mengalami gangguan
mental memiliki ketegangan batin yang menahun dan tidak hilang. ( sunaryo,
2015 )

4. Manifestasi klinis gangguan jiwa yang disebabkan oleh Gangguan


Kesehatan Kronis
Orang dengan gangguan jiwa seringkali diidentifikasi ketika
memeriksakan diri atas penyakit fisik yang dideritanya.
Pasien dengan penyakit kronis rentan mengalami depresi, bahkan hingga
muncul keinginan bunuh diri. Oleh karena itu perlu diberikan upaya
kesehatan jiwa berupa konseling dalam pendampingan proses pengobatannya.
Diagnosis penyakit kronis dapat menghasilkan ketakutan ekstrem atau
depresi, saat pasien menyadari bahwa aktivitasnya akan terganggu selamanya
oleh penyakit (Holahan, Moos, Holahan, & Brennan, 1995; Taylor &
Aspinwall, 1990, dalam Taylor, Peplau & Sears., 2009:564). Selain itu,
banyak pasien butuh belajar berbagai aktivitas perawatan sendiri untuk
membantu mengelola gangguan itu (misalnya, Glasgow, Toobert, Hampson,
& Wilson, 1995, dalam Taylor, Peplau & Sears., 2009:564). Perubahan psikis
tidak hanya memengaruhi diri pasien, tetapi juga keluarga atau orang dekat
yang harus menyesuaikan diri dengan perubahannya. (Elga Andina,2013)
5. Ciri-ciri gangguan jiwa
a. Sedih berkepanjangan
b. Tidak semangat dan cenderung malas
c. Marah tanpa sebab
d. Mengurung diri tidak mengenali orang
e. Bicara kacau
f. Bicara sendiri
g. Tidak mampu merawat diri ( budi anna keliat, 2016 )

6. Cara Pencegahan Gangguan Jiwa


Gangguan jiwa dapat kita cegah dengan cara yang efektif. Cara pencegahan
tersebut :
a. Usahakan dalam hidup ini menghindari terjadinya konflik batin yang
berasal dari diri sendiri dan lingkungan.
b. Upayakan untuk selalu memelihara kebersihan jiwa, kebersihan hati
nurani, yaitu dengan kejujuran, tidak iri, dengki, berfikir negatif, dan
munafik.
c. Upayakan segala tingkah laku dan perubuatan kita sesuai tata susila
dimasyarakat, artinya sesuai standar, nilai, norma dan etika yang
berlaku dimasyarakat.
d. Dalam kehidupan berusaha melatih, membiasakan, dan menegakkan
kedisiplinan diri dalam segala hal.
e. Melatih berfikir positif dan berbuat wajar tanpa menggunakan
mekanisme pembelaan ( defence mechanism ) dan pelarian diri (escape
mechanism) yang negatif.
f. Berani dan mampu mengatasi setiap kesulitan yang dihadapi dengan
kemauan dan usaha yang konkret dan rasional. (yusuf,Fitryasari, dan
Nihayati, 2015 )
E. Penatalaksanaan gangguan jiwa
Menurut Maramis, 1998 mengidentifikasi penyebab gangguan dapat
berasal dari masalah fisik, kondisi kejiwaan (psikologis), dan masalah sosial
(lingkungan). Apabila gangguan jiwa disebabkan karena masalah fisik, yaitu
terjadinya gangguan keseimbangan neurotransmiter yang mengendalikan
perilaku manusia, maka pilihan pengobatan pada farmakologi. Apabila penyebab
gangguan jiwa karena masalah psikologis, maka dapat diselesaikan secara
psikologis. Apabila penyebab gangguan karena masalah lingkungan sosial, maka
pilihan terapi difokuskan pada manipulasi lingkungan. Dengan demikian,
berbagai macam terapi dalam keperawatan kesehatan jiwa dapat berupa terapi
somatik, psikoterapi, dan terapi lingkungan (Maramis, 1998 dalam yusuf 2015 )
 Psikofarmaka
adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat. Efek
utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk
pengobatan gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka
dengan farmakokinetik khusus untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku
pasien gangguan jiwa. obat psikotropika dibagi menjadi golongan
antipsikotik, antidepresan, antiansietas, dan antimanik (mood stabilizer).
 Antipsikotik
1. Derivat fenotiazin

 Chlorpromazine (Largatil, ethibernal)


 Trifluoperazin (Stelazine)
 Thioridazin (Melleril)

2. Derivat butirofenon

Contoh: Haloperidol (Haldol, Serenace)

3. Derivat thioxanten

Contoh: Klorprotixen (Taractan)


Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik
seperti gangguan proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi),
aktivitas psikomotor yang berlebihan (agresivitas), dan juga memiliki
efek sedatif serta efek samping ekstrapiramidal.

 Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi
atau menghilangkan gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan
neurotransmitter norepinefrin dan serotonin.

1. Golongan trisiklik
Contoh: a. Imipramin (Tofranil)
2. Golongan tetrasiklik
Contoh: Maprotilin (Ludiomil)
3. Golongan monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
Contoh: Rima/Moclobemide (Auroric)
4. Golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
Contoh: a. Setralin (Zoloft)

 Antiansietas (Anxiolytic Sedative)


Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang
patologis tanpa banyak berpengaruh pada fungsi kognitif.

1. Derivat benzodiazepin
Contoh: a. Klordiazopoksid (Librium)
b. Diazepam (Valium)
c. Bromazepam (Lexotan)
d. Lorazepam (Aktivan)
e. Clobazam (Frisium)
f. Alprazolam (Xanax)
2. Derivat gliserol
Contoh: Meprobamat (Deparon)
3. Derivat barbitrat
Contoh: Fenobarbital (Luminal)
 Antimanik (Mood Stabilizer)
Merupakan kelompok obat yang berkhasiat untuk kasus gangguan afektif
bipolar terutama episodik mania dan sekaligus dipakai untuk mencegah
kekambuhannya. Obat yang termasuk kelompok ini adalah sebagai berikut.

1. Golongan garam lithium (Teralith, Priadel)


2. Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
3. Asam Valproat

b. Terapi Aktivitas Kelompok


Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantungan, serta mempunyai norma yang sama
(Stuart dan Sundeen, 1991). Manusia adalah makhluk sosial, hidup
berkelompok, dan saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan sosial.
Kebutuhan sosial dimaksud antara lain rasa menjadi milik orang lain atau
keluarga, kebutuhan pengakuan orang lain, kebutuhan penghargaan orang lain,
dan kebutuhan pernyataan diri.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan
mengubah perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Cara ini
cukup efektif karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang
lain, saling memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma
yang diakui bersama, sehingga terbentuk suatu sistem sosial yang khas yang di
dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan interdependensi.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) bertujuan memberikan fungsi terapi
bagi anggotanya, yang setiap anggota berkesempatan untuk menerima dan
memberikan umpan balik terhadap anggota yang lain, mencoba cara baru untuk
meningkatkan respons sosial, serta harga diri. Keuntungan lain yang diperoleh
anggota kelompok yaitu adanya dukungan pendidikan, meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah, dan meningkatkan hubungan interpersonal.
( yusup, 2015 )
c. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah terapi jangka pendek dan dilakukan secara teratur,
yang memberikan dasar berpikir pada pasien untuk mengekspresikan perasaan
negatifnya, memahami masalahnya, mampu mengatasi perasaan negatifnya,
serta mampu memecahkan masalah tersebut. (yusuf, 2015 )
Tujuan Terapi Kognitif

1. Mengubah Pikiran Dari Tidak Logis Dan Negatif Menjadi Objektif,


Rasional, Dan Positif.
2. Meningkatnya Aktivitas.
3. Menurunkan Perilaku Yang Tidak Diinginkan.
4. Meningkatkan Keterampilan Sosial.

d. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah suatu cara untuk menggali masalah emosi yang
timbul kemudian dibahas atau diselesaikan bersama dengan anggota keluarga,
dalam hal ini setiap anggota keluarga diberi kesempatan yang sama untuk
berperan serta dalam menyelesaikan masalah (Keliat, 1996; Gladding, 2002).
Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah kelompok kecil
yang terdiri atas beberapa individu yang mempunyai hubungan erat satu sama
lain dan saling bergantung, serta diorganisasi dalam satu unit tunggal dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.

 Ciri- ciri Keluarga yang Fungsional

Ciri sistem keluarga yang fungsional antara lain sebagai berikut (Gladding,
2002).
1) Mempertahankan keseimbangan, fleksibilitas, dan adaptif terhadap
perubahan tahap transisi yang terjadi dalam hidup.
2) Masing-masing anggota keluarga menyadari bahwa masalah emosi
merupakan bagian dari fungsi setiap individu.
3) Setiap anggota keluarga mampu mempertahankan kontak emosi pada
setiap generasi.
4) Menjalin hubungan erat antaranggota keluarga dan menghindari
menjauhi masalah.
5) Menggunakan perbedaan antaranggota keluarga yang ada sebagai
motivasi untuk meningkatkan pertumbuhan dan kreativitas individu.
6) Antara orang dan anak terbentuk hubungan yang terbuka dan bersahabat.

 Manfaat terapi keluarga

1. Pasien
a. Mempercepat proses penyembuhan pasien yang berdampak positif
bagi dinamika keluarga.
b. Memperbaiki hubungan interpersonal.
c. Menurunkan angka kekambuhan.

2. Keluarga
a. Memperbaiki fungsi dan struktur keluarga.
b. Keluarga mampu meningkatkan pengertian terhadap pasien sehingga
lebih dapat menerima, lebih bertoleransi, dan lebih menghargai
pasien sebagai manusia.
F. Kerangka Teori

Lanjut Usia
Kesehatan
Jiwa

Gangguan Jiwa

Faktor eksternal Faktor Internal

Anda mungkin juga menyukai