1.3 Tujuan
Evaluasi pemantauan terapi obat terkait dengan Drugs releated problem
(masalah terkait obat) berdasarkan data klinis pasien.
1.4 Manfaat
Sebagai sarana serta gambaran tentangperan dan tanggung jawab seorang
apoteker di Rumah Sakit khususnya dalampelayanan farmasi klinik dalam
pemantauan terapi obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemantauan terapi obat adalah proses yang meliputi semua fungsi yang
perlu untuk menjamin terapi obat kepada pasien yang aman, efektif, rasional
dan ekonomis.Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara
berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar
keberhasilan ataupun kegagalan terapidapat diketahui.Pasien yang
mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat.
Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang
sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat.Hal
tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesiuntuk
mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki (Dirjen Binfar, 2009).
b. Menetapkan saran
c. Menetapkan Frekuensi
d. Tindak lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
olehapoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait.
Kerjasamadengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan
pencapaian tujuanterapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang
menyeluruh diperlukanuntuk menetapkan target terapi yang optimal.
Komunikasi yang efektif dengantenaga kesehatan lain harus selalu
dilakukan untuk mencegah kemungkinantimbulnya masalah baru.
Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhanpasien dan
kurangnya informasi obat.Sebagai tindak lanjut pasien harusmendapatkan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasiyang tepat
sebaiknya:
a. Tidak bertentangan atau berbeda dengan informasi dari tenaga
kesehatanlain,
b. Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
c. Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.
e. Dokumentasi
2. Etiologi
Penyebab terjadinya Bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri
seperti diplococus pneumonia, pneumococcus, stretococcus, hemoliticus
aureus, haemophilus influenza, basilus friendlander (klebsial pneumoni),
mycobacterium tuberculosis, disebabkan oleh virus seperti respiratory
syntical virus, virus influenza dan virus sitomegalik, dan disebabkan oleh
jamur seperti citoplasma capsulatum, criptococcus nepromas, blastomices
dermatides, aspergillus Sp, candinda albicans, mycoplasma pneumonia
dan aspirasi benda asing (Wijayaningsih, 2013).
3. Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada
anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh
penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011).
4. Patofisiologi
Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun benda asing (Hidayat,
2008). Suhu tubuh meningkat sampai 39-40oC dan dapat disertai kejang
karena demam yang sangat tinggi. Anak yang mengalami
bronkopneumonia sangat gelisah, dipsnea, pernafasan cepat, dan dangkal
disertai pernapasan cuping hidung, serta sianosis disekitar hidung dan
mulut, merintih dan sianosis (Riyadi & Sukarmin, 2009). Bakteri yang
masuk ke paru-paru menuju ke bronkioli dan alveoli melalui saluran napas
yang menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan
edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial (Riyadi &
Sukarmin, 2009). Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema
yang berisi eritrosit dan fibrin serta relative sedikit leukosit sehingga
kapiler alveoli 8 menjadi melebar. Apabila proses konsolidasi tidak dapat
berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat
pada alveolus maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan.
Perubahan tersebut akan berdampak pada pada penurunan jumlah oksigen
yang dibawa oleh darah. Sehingga berakibat pada hipoksia dan kerja
jantung meningkat akibat saturasi oksigen yang menurun dan hiperkapnia.
Penurunan itu yang secara klinis menyebabkan penderita mengalami pucat
sampai sianosis.
5. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang
memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan
etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia
berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang
lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia
interstitiali, Bronkopneumonia
b. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari
masyarakat (community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang
didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri Pneumonia
virus Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal Pneumonia
atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia
persisten.
6. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada bronkopneumonia adalah (Wijaya & Putri,
2013):
a. Atelektasis
Atekektasis merupakan pengembangan paru-paru yang tidak sempurna
atau kolaps paru akibat kurangnya mobilasi atau reflek batuk hilang
b. Empisema
Empisema merupakan keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam
rongga pleura terdapat di satu tempat atau terdapat pada seluruh rongga
pleura
c. Otitis Media Akut
d. Meningitis Meningitis merupakan infeksi yang menyerang selaput otak
7. Manifestasi klinis
Menurut Ringel, 2012 tanda-gejala dari Bronkopneumonia yaitu :
a. Gejala penyakit datang mendadak namun kadang-kadang didahului
oleh infeksi saluran pernapasan atas.
b. Pertukaran udara di paru-paru tidak lancar dimana pernapasan agak
cepat dan dangkal sampai terdapat pernapasan cuping hidung.
c. Adanya bunyi napas tambahan pernafasan seperti ronchi dan
wheezing.
d. Dalam waktu singkat suhu naik dengan cepat sehingga kadang-kadang
terjadi kejang.
e. Anak merasa nyeri atau sakit di daerah dada sewaktu batuk dan
bernapas.
f. Batuk disertai sputum yang kental.
g. Nafsu makan menurun.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada anak baita dengan bronkopneumonia antara lain
(Riyadi & Sukarmin, 2009) :
1. Pemberian penisilin 50.000 U/kg BB/hari, ditambah dengan
kloramfenikol 50- 70 mg/kg BB/hari atau diberikan obat antibiotik
yang mempunyai spektrum luas seperti obat ampisilin. Pengobatan ini
diteruskan sampai anak bebas demam yaitu 4-5 hari. Tujuan dari
pemberian obat kombinasi adalah untuk menghilangkan penyebab
infeksi yang kemungkinan lebih dari 1 jenis dan untuk menghindari
resistensi obat antibiotik.
2. Koreksi gangguan asam basa dengan pemberian asam basa dengan
pemberian oksigen dan pemberian cairan intravena, biasanya
diperlukan adanya campuran glukosa 5% dan Nacl 0,9% dalam
perbandingan 3 : 1 ditambah larutan Kcl 10 mEq/500/l botol infus.
3. Sebagian besar anak balita dengan bronchopneumonia mengalami
asidosis metabolik akibat kurang makan dan hipoksia, maka dapat
diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis gas darah arteri.
4. Pemberian makanan enteral bertahap melalui selang nasogatrik pada
penderita yang sesak nafasnya sudah berkurang.
5. Pemberian inhalasi dengan salin normal serta beta agonis untuk
memperbaiki transport mukosilier seperti pemberian terapi nebulizer
dapat diberikan jika sekresi lendir yang berlebihan, yang bertujuan
untuk mempermudah mengeluarkan dahak dan meningkatkan lebar
lumen pada bronkus.
9. Algoritma terapi
1. Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai
dengan adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul
terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran
pernapasan. (Infodatin, 2017) Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran
pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema, dan hipersekresi kelenjar.(Nelson, 2013) Asma adalah
suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan. (Amin & Hardi,
2016)
Beberapa faktor penyebab asma, antara lain umur pasien, status atopi, faktor
keturunan, serta faktor lingkungan.
Asma dibedakan menjadi 2 jenis, (Amin & Hardi, 2016) yakni :
Asma bronkial
Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari
luar, seperti debu rumah, bulu binatang, asap dan bahan lain penyebab alergi.
Gejala kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang
secara tiba-tiba. Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaranadanya radang
yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah.
Penyempitan iniakibat berkerutnya otot polos saluran pernapasan pembengkakan
selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir yang berlebihan.
Asma kardial
Asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung. Gejala asma kardial biasanya
terjadi pada malam hari, disertai sesak napas yang hebat. Kejadian ini disebut
nocturnal paroxymul dispnea. Biasanya terjadi pada saat penderita sedang tidur.
2. Etiologi Asma
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkaan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada
berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai
suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronkokonstriktor neural
diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus
pada epitel jalan napas, disebut reseptor batu atau iritan, tergantung pada
lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens
merangsang kontraksi otot polos bronkus.
Faktor imunologis
Pada beberapa penderita yang disebut asma ekstrinsik atau alergik, eksaserbasi
terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah,
tepungsari, dan ketombe. Bentuk asma adanya instrinsik dan ekstrinsik. Perbedaan
intrinsik dan ekstrinsik mungkun pada hal buatan (artifisial), karena dasar imun
pada jejas mukosa akibat mediator pada kedua kelompok tersebut. Asma
ekstrinsikmungkin dihubungkan dengan lebih mudahnya mengenali rangsangan
pelepasan mediator daripada asma instrinsik.
Faktor endokrin
Asma dapat lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan menstruasi,
terutama premenstruasi, atau dapat timbul pada saat wanita menopause. Asma
membaik pada beberapa anak saat pubertas.
Faktor psikologis
Faktor emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang
berpenyakit asma, tetapi “penyimpangan” emosional atau sifat-sifat perilaku yang
dijumpai pad anak asma tidak lebih sering daripada anak dengan penyakit cacat
kronis yang lain.(Nelson, 2013).
3. Klasifikasi Asma
Keparahan asma juga dapat dinilai secara retrospektif dari tingkat obat yang
digunakan untuk mengontrol gejala dan serangan asma. Hal ini dapat dinilai jika
pasien telah menggunakan obat pengontrol untuk beberapa bulan. Yang perlu
dipahami adalah bahwa keparahan asma bukanlah bersifat statis, namun bisa
berubah dari waktu-waktu, dari bulan ke bulan, atau dari tahun ke tahun, (GINA,
2015)
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
Asma Ringan
Adalah asma yang terkontrol dengan pengobatan tahap 1 atau tahap 2, yaitu terapi
pelega bila perlu saja, atau dengan obat pengontrol dengan intensitas rendah
seperti steroid inhalasi dosis rendah atau antogonis leukotrien, atau kromon.
Asma Sedang
Adalah asma terkontrol dengan pengobatan tahap 3, yaitu terapi dengan obat
pengontrol kombinasi steroid dosis rendah plus long acting beta agonist (LABA).
Asma Berat
Adalah asma yang membutuhkan terapi tahap 4 atau 5, yaitu terapi dengan obat
pengontrol kombinasi steroid dosis tinggi plus long acting beta agonist (LABA)
untuk menjadi terkontrol, atau asma yang tidak terkontrol meskipun telah
mendapat terapi.
Perlu dibedakan antara asma berat dengan asma tidak terkontrol. Asma yang tidak
terkontrol biasnya disebabkan karena teknik inhalasi yang kurang tepat,
kurangnya kepatuhan, paparan alergen yang berlebih, atau ada komorbiditas.
Asma yang tidak terkontrol relatif bisa membaik dengan pengobatan. Sedangkan
asma berat merujuk pada kondisi asma yang walaupun mendapatkan pengobatan
yang adekuat tetapi sulit mencapai kontrol yang baik.
4. Manifestasi Klinik
Berikut ini adalah tanda dan gejala asma, menurut Zullies (2016), tanda dan gejala
pada penderita asma dibagi menjadi 2, yakni :
- Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
Wheezing belum ada
Belum ada kelainana bentuk thorak
Ada peningkatan eosinofil darah dan IGE
Blood gas analysis (BGA) belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :
Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
Wheezing
Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
Penurunan tekanan parial O2
- Stadium lanjut/kronik
Batuk, ronchi
Sesak nafas berat dan dada seolah-olah tertekan
Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
Thorak seperti barel chest
Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
Sianosis
Blood gas analysis (BGA) Pa O2 kurang dari 80 %
Ro paru terdapat peningkatan gambaran
bronchovaskuler kanan dan kiri
Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis repiratorik
5. Patofisiologi
Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan penyakit yang
disebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja, sehingga terapi utama pada
saat itu adalah suatu bronkodilator, seperti betaegonis dan golongan metil ksantin
saja. Namun, para ahli mengemukakan konsep baru ayng kemudian digunakan
hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran
pernafasan, yang ditandai dengan bronkokonstriksi, inflamasi, dan respon yang
berlebihan terhadap rangsangan (hyperresponsiveness). Selain itu juga terdapat
penghambatan terhadap aliran udara dan penurunan kecepatan aliran udara akibat
penyempitan bronkus. Akibatnya terjadi hiperinflasi distal, perubahan mekanis
paru- paru, dan meningkatnya kesulitan bernafasan. Selain itu juga dapat
terjadipeningkatan sekresi mukus yang berlebihan (Zullies, 2016).
Secara klasik, asma dibagidalam dua kategori berdasarkan faktor pemicunya,
yaitu asma ekstrinsik atau alergi dan asma intrinsik atau idiosinkratik. Asma
ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena menghirup alergen, yang
biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki keluarga dan riwayat penyakit
alergi (baik eksim, utikaria atau hay fever). Asma instrinsik mengacu pada asma
yang disebabkan oleh karena faktor-faktordi luar mekanisme imunitas, dan
umumnya dijumpai pada orang dewasa. Disebut juga asma non alergik, di mana
pasien tidak memiliki riwayat alergi. Beberapa faktor yang dapat memicu
terjadinya asma antara lain : udara dingin, obat-obatan, stress, dan olahraga.
Khusus untuk asma yang dipicu oleh olahraga. Khusus untuk asma yang dipicu
oleh olahraga dikenal dengan istilah (Zullies, 2016)
Seperti yang telah dikatakan diatas, asma adalah penyakit inflamasi saluran napas.
Meskipun ada berbagai cara untuk menimbulkan suatu respons inflamasi, baik
pada asma ekstrinik maupun instrinsik, tetapi karakteristik inflamasi pada asma
umunya sama, yaitu terjadinya infiltrasi eosinofil dan limfosit serta terjadi
pengelupasan sel-sel epitelial pada saluran nafas dan dan peningkatan
permeabilitas mukosa. Kejadian ini bahkan dapat dijumpai juga pada penderita
asma yang ringan. Pada pasien yang meninggal karena serangan asma , secara
histologis terlihat adana sumbatan (plugs) yang terdiri dari mukus glikoprotein
dan eksudat protein plasma yang memperangkap debris yang berisi se-sel epitelial
yang terkelupas dan sel-sel inflamasi. Selain itu terlihat adanya penebalan lapisan
subepitelial saluran nafas. Respons inflamasi ini terjadi hampir di sepanjang
saluran napas, dan trakea samapi ujung bronkiolus. Juga terjadi hiperplasia dari
kelenjar-kelenjar sel goblet yang menyebabkan hiperserkesi mukus yang
kemudian turut menyumbat saluran napas (Zullies, 2016)
Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel inflamasi,
mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran napas. Sel-sel inflamasi utama yang
turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara lain adalah
sel mast, limfosit, dan eosinofil, sedangkan mediator inflamasi utama yang terlibat
dalam asma adalah histamin, leukotrein, faktor kemotaktik eosinofil dan beberapa
sitokin yaitu : interleukin (Zullies, 2016)
Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari meningkatnya
responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya rangsangan dari luar, yang
disebut alergen. Rangsangan ini kemudian akan memicu pelepasan berbagai
senyawa endogen dari sel mast yang merupakan mediator inflamasi, yaitu
histamin, leukotrien, dan faktor kemotaktik eosinofil. Histamin dan leukotrien
merupakan bronkokonstriktor yang poten, sedangkan faktorkemotaktik eosinofil
bekerja menarik secara kimiawi sel-sel eosinofil menuju tempat terjadinya
peradangan yaitu di bronkus (Zullies, 2016)
6. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan Asma adalah mencapai asma terkontrol sehingga
penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma dibagi menjadi 2, yaitu :
penatalaksanaan asma jangka panjang dan penatalaksanaan asma akut/saat
serangan.
- Tatalaksana Asma Jangka Panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat Asma (pengontrol
dan pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat pelega diberikan pada
saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus.
- Tatalaksana Asma Akut pada Anak dan Dewasa
Tujuan tatalaksana serangan Asma akut:
Mengatasi gejala serangan asma
Mengembalikan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan
Mencegah terjadinya kekambuhan
Mencegah kematian karena serangan asma Menurut Kusuma (2016), ada
program penatalaksanaan asma meliputi 7 komponen, yaitu :
1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti. Edukasi tidak hanya
ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang membutuhkan
energi pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidan kesehatan/asma, profesi
kesehatan.
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut disebabkan
berbagai faktor antara lain :
a. Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan terapi
b. Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada
asmanya
c. Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview, sehingga
membantu penanganan asma terutama asma mandiri.
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan :
a. Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
b. Tahapan pengobatan
- Asma Intermiten, medikasi pengontrol harian tidak perlu sedangakan
alternatif lainnya tidak ada.
- Asma Presisten Ringan, medikasi pengontrol harian diberikan
Glukokortikosteroid ihalasi (200-400 ug Bd/hati atau ekivalennya),
untuk alternati diberikan Teofilin lepas lambat, kromolin dan
leukotriene modifiers.
- Asma Persisten Sedang, medikasi pengontrol harian diberikan
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau
ekivalennya), untuk alternatifnya diberikan glukokortikosteroid
ihalasi (400-800 ug Bd atau ekivalennya) ditambah Teofilin dan di
tambah agonis beta 2 kerja lama oral, atau Teofilin lepas lambat.
- Asma Persisten Berat, medikasi pengontrol harian diberikan ihalasi
glukokortikosteroid (> 800 ug Bd atau ekivalennya) dan agonis beta 2
kerja lama, ditambah 1 antara lain : Teofilin lepas lambat,
Leukotriene, Modifiers, Glukokortikosteroid oral. Untuk alternatif
lainnya Prednisolo/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg
ditambah agonis bate 2 kerja lama oral, ditambah Teofilin lepas
lambat.
c. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Hubungan penderita dokter yang baik adalah dasar yang kuat untuk terjadi
kepatuhan dan efektif penatalaksanaan asma. Rencanakan pengobatan asma
jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik/ memungkinkan bagi penderita
dengan maksud mengontrol asma.
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Pengobatan pada serangan akut antara lain : Nebulisasi agonis beta 2 tiap 4 jam,
alternatifnya Agonis beta 2 subcutan, Aminofilin IV, Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK,
dan oksigen bila mungkin Kortikosteroid sistemik.
6. Kontrol secara teratur
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting diperhatikan
oleh dokter yaitu:
a. Tindak lanjut (follow-up) teratur
b. Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penangan lanjut bila diperlukan
7. Pola hidup sehat
a. Meningkatkan kebugaran fisik
Olahraga menghasilkan kebugaran fisik secara umum. Walaupun terdapat salah
satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah execrise, akan tetapi tidak berarti
penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Senam asma Indonesia (SAI) adalah
salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-
otot pernapasan khususnya, selain manfaat lain pada olahraga umumnya.
b. Berhenti atau tidak pernah merokok
c. Lingkungan kerja
Kenali lingkungan kerja yang berpotensi dapat menimbulkan asma.
7. Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks, yaitu toraks menbungkuk
ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letaknya
rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah.
Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak
sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga
dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke
arah atelektasis. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi
bronkietasis, dan bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma
yang terus menerus dan berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat
diatasi dengan obat-obat yang biasa disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong
dengan semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan pernafasan dan
kegagalan jantung.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Ngastiyah (2013), ada beberapa pemeriksaan diagnostik bagi para
penderita asma, antara lain :
a. Uji faal paru
Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil
provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Alat yang digunakan untuk uji faal paru adalah peak flow meter, caranya anak
disuruh meniup flow meter beberapa kali (sebelumnya menarik napas dalam
melalui mulut kemudian menghembuskan dengan kuat) dan dicatat hasil.
b. Foto toraks
Foto toraks dilakukan terutama pada anak yang baru berkunjung pertama kali di
poliklinik, untuk menyingkirkan kemungkinan ada penyakit lain. Pada pasien
asma yang telah kronik akan terlihat jelas adanya kelainan berupa hiperinflasi dan
atelektasis.
c. Pemeriksaan darah
Hasilnya akan terdapat eosinofilia pada darah tepi dan sekret hidung. Bila tidak
eosinofilia kemungkinan bukan asma. Selain itu juga, dilakukan uji tuberkulin dan
uji kulit dengan menggunakan alergen.
Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Penyakit Asma.
2015. Jakarta
BAB III
INFORMASI PENGGUNAAN OBAT
(Sumber : MIMS.COM, Basic Pharmacology, 2019, Medscape, Pionas)
Aturan
No Jenis Obat Rute Dosis Indikasi Kontraindikasi Efek Samping
Pakai
1. Ringer Laktat IV 8 tpm 20 ml/kgBB Mengatasi gangguan irama Hipernatremia, Alergi Nyeri dada, detak
dalam 24 jam jantung dan pengaturan terhadap sodiumlaktat jantung tidak
keseimbangan cairan dalam normal, turunnya
tubuh tekanan darah,
kesulitan bernapas
Penatalaksanaan &
pencegahan serangan asma,
penanganan rutin
4 X 1 bronkospasme kronik yang Tremor, sakit kepala,
2 Nebu Velutin Nasal 2,5 mg hipersesitivitas
hari tidak responsif terhadap takikardi.
terapi konvensional; asma
akut berat (status
asmatikus).
3 Inj Cinam Iv 4 x 1 vial 1500mg Infeksi saluran pernapasan pada penderita Kemerahan, diare, mual
( Ampicillin Na atas : faringitis dan tonsilitis dengan fungsi hati dan
1 g, sulbactam yang disebabkan oleh S. ginjal yang rusak
Na 0.5 g) pyogenes dan S. aureus. terutama pada
Sinusitis akut maupun pemakaian obat dalam
kronis yang disebabkan oleh jangka waktu panjang.
S. aureus, S. pneumoniae,
H. influenzae dan
S.progenies. Otitis media, Alergi terhadap cinam
terutama media yang
supuratif, dengan atau tanpa
mastoiditis antrum
kehamilan, miastenia
septikemia dan sepsis pada
gravis
neonatus, meningitis dan
gangguan fungsi ginjal,
infeksi SSP lainnya, infeksi
bayi dan lansia gangguan vestibuler dan
bilier, pielonefritis dan
(sesuaikan dosis, awasi pendengaran,
prostatitis akut, endokarditis
1x 120 fungsi ginjal, nefrotoksisitas,
4 Inj gentamicin Iv 80 mg karena Streptococcus
mg pendengaran dan hipomagnesemia pada
viridans atau Streptococcus
vestibuler dan periksa pemberian jangka
faecalis (bersama penisilin),
kadar plasma); hindari panjang,
pneumonia nosokomial,
penggunaan jangka
terapi tambahan pada
panjang. Lihat juga
meningitis karena listeria.
keterangan di atas.
Nafsu makan
supresi inflamasi dan meningkat,Berat badan
gangguan alergi; Cushing's bertambah,Perubahan
disease, hiperplasia adrenal siklus
kongenital; udema serebral Pada ibu hamil dsn menstruasi,Gangguan
5 Inj Dexametason Iv 5 mg 1x3mg
yang berhubungan dengan hipersensivitas tidur,Pusing,Sakit kepal
kehamilan; batuk yang
disertai sesak napas, a
penyakit rematik
120 mg
dalam
nacl 0,9
% 100 cc Takikardia, mual
obstruksi saluran napas Hipersensivitas,
Aminophilin Iv Selanjutn 1 kolf 24 jam gangguan saluran cerna
6 reversibel, asma akut berat porfiria, kehamilan
ya 480 lainya
mg
dalam d5
¼ 500 cc
BAB IV
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)
Berikut analisis diagnosa pasien menurut pengobatan yang diterima oleh pasien keterkaitan dengan kerasionalan terapi yang diterima
oleh pasien.
Bb anak 20 kg
Dosis = 2-5 mg/kgbb
Jadi = 2 x 20 = 40 mg
= 5 X 20 = 100 mg
Jadi dosis anak 40-100 mg
Dosis pasien = 80 mg
Dosis pasien sudah tepat
5 Inj 0,08-0,3 mg / 3 mg Tepat
dexamethasone kg / hari IV /
PO / IM dibagi
setiap 6 jam
atau 12 jam
Keterangan : Minor :
Moderat :
Mayor :
Tidak ada interaksi :
Keterangan nama kode obat
1. RL
2. Nebu Veletulin
3. Cinam
4. Gentamicin
5. Dexamethasone
6. Aminophilin
4.3 Plan
Pemantauan terapi obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
ProsesPTO adalah proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien,
pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi,
rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan
secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai.
Tujuan pemantauan terapi obat adalah untuk memastikan bahwa pasien mendapat
obat yang paling sesuai, dalam bentuk dan dosis yang tepat, di mana waktu
pemberian dan lamanya terapi dapat dioptimalkan, dan Drugs Related Problems
(DRPs) diminimalkan.Pasien yang akan dilakukan pemantaiuan terapi obatnya
yaitu An S Pemilihan pasien untuk dilakukan PTO yaitu sesuai dengan
kriteriapemilihan pasien salah satunya pasien geriatri, hal tersebut dikarenakan
pasiengeriatri memerlukan penyesuaian dosis yang tepat dan pemberian obat pada
pasiengeriati perlu pemantauan karena organ-organ dalam tubuhnya sudah
mengalami penurunan fungsi secara optimal.
Pada tanggal 23 Agustus 2020 pasien datang ke IGD mengeluhkan sesak, Pasien
mengeluh sesak, sesak dirasakan semakin hari semakain berat dan meningkat,
demam, batuk serta mengalami rasa sakit saat menelan. Dokter mendiagnosa
pasien mengalami Bronkopneumonial, Asma Bronkial, dan telah dilakukan cek
Laboratporium yaitu Basafil, Eosinofil, Batang, Segmen netrofil,Monosit, HB
lekosit, Hematokrit, Trombosit serta Radiologi : dilakukan pemeriksaan foto
thorax paru. Rontgen dada atau CT scan (foto toraks) untuk melihat ada atau
tidaknya kelain berupa hiperinflasi dan atelektasis pada pemerikasaan penungjang
penyakit asma bronkial. Tes darah untuk mendeteksi peningkatan jumlah sel
darah putih (leokosit) yang menandakan infeksi yang berfungsi sebagai
pemerikasaan penungjang penyakit bronchopnemonia.
Terapi obat pasien yang diberikan selama dirawat dirumah sakit Bhayangkara Tk
II Sartika Asih yaitu pada ruang Sartika, yaitu:
1. RL
2. Nebu Veletulin
3. Cinam
Untuk pengobatan septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi
SSP lainnya, infeksi bilier, pielonefritis dan prostatitis akut, endokarditis
karena Streptococcus viridans atau Streptococcus faecalis (bersama penisilin),
pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis karena listeria.2-5
mg/kg bb/hari (dalam dosis terbagi tiap 8 jam). Setalah dihitung dosis berdasarkan
berat badan pasien dosis yang diterima oleh pasien sudah sesuai dengan dosis
yaitu 1x 120 mg.
5. Dexamethasone
6. Aminophilin
6.1 Kesimpulan
Penggunaan obat yang diberikan pada pasien tidak terdapat interaksi
obat dan berdasarkan perbandingan antara dosis yang diberikan kepada
pasien dan dosis pada literatur semua obat tidak ada yang underdose
atau pun overdose.
Setelah dilakukan pemantauan terapi obat terhadap pasien shafa selama
dirumah sakit menunjukan adanya perbaikan terhadap kondisi pasien,
dibandingkan pada saat awal pasien masuk ke rumah sakit
6.2 Saran
Disarankan kepada perawat pengisi Kartu Obat Pasien agar lebih rapih dan tepat
dalam mencatat pemberian obat kepada pasien, disertakan detail dengan jam
waktu pemberian obat dan tanggal kapan obat mulai diguanakan ataupun obat
dihentikan.
Daftar Pustaka
Menkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit.
Smeltzer & Bare. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medika Bedah. Jakarta : EGC
from:http://www.worldmedicine.ge/?
Lang=2&level1=5&event=publication&id
Lampiran
Cover dan halaman awal rekam medis pasien
Lampiran 2
Pengakajian keperawat di IGD
Lampiran
Asssement awal medis gawat darurat
Lampiran lajutan
Asssement awal medis gawat darurat
Lampiran
radiologi
Lampiran
Hasil lab tanggal 23 agustus 2020
Hasil lab tanggal 27 agustus 2020
Lampiran
Surat pengatar rawat inap
Lampiran
Surat pernyatan dokter penanggung jawab (DPJP)
Lampiran
Assemen awal medis anak rawat inap
Lanjutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi
Lanjutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi
Lajutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi
Lanjutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi
Lanjutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi
Lampiran
Formulir evaluasi harian
Lampiran
Formulir rekonsiliasi obat
Lampiran
Catatatan pengobatan
Lampiran
Pemberian pendidikan kesehatan pasien/keluarga terintegrasi