Anda di halaman 1dari 65

PEMANTAUAN TERAPI OBAT TERHADAP PASIEN

BRONCHOPNEUMONIA DAN ASMA BRONKIAL


DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. II SARTIKA ASIH KOTA
BANDUNG JAWA BARAT

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK II SARTIKA ASIH


AGUSTUS 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut permenkes no 72 tahun 2016 pelayanan farmasi klinik merupakan
pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka
meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek
samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Standar pelayanan
kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi
tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan peayanan kefarmasian.
Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit meliputi standar pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai dan pelayanan
farmasi klinik.

Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi pengkajian danpelayanan


Resep; penelusuran riwayat penggunaan Obat; rekonsiliasi Obat;Pelayanan
Informasi Obat (PIO); konseling; visite; Pemantauan Terapi Obat(PTO);
Monitoring Efek Samping Obat (MESO); Evaluasi Penggunaan Obat(EPO);
dispensing sediaan steril; dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
(Permenkes no 72 2016).

Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup


kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan dilakukannya PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi
dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi: pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara
pemberian Obat, respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD); pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan
pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat. Adapun tahapan dari
PTO adalah pengumpulan data pasien; identifikasi masalah terkait Obat;
rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; pemantauan; dan tindak
lanjut. Faktor yang harus diperhatikan dalam PTO meliputi: kemampuan
penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini dan
terpercaya (Evidence Best Medicine); kerahasiaan informasi; dan kerjasama
dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat) (Permenkes no 72 2016).

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terapi yang didapatkan oleh pasien An Shafa Nurhaliza di ruang
lodaya Sartika Rumah Sakit Bhayangkara TK.II Sartika Asih Bandung
sudah rasional, aman dan efektif.

1.3 Tujuan
Evaluasi pemantauan terapi obat terkait dengan Drugs releated problem
(masalah terkait obat) berdasarkan data klinis pasien.

1.4 Manfaat
Sebagai sarana serta gambaran tentangperan dan tanggung jawab seorang
apoteker di Rumah Sakit khususnya dalampelayanan farmasi klinik dalam
pemantauan terapi obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan Terapi Obat (PTO) menurut Permenkes No 72 tahun 2016
tentang standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan suatu
proses yang mencakup kegiatanuntuk memastikan terapi Obat yang aman,
efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan
efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obatyang Tidak
Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi: pengkajianpemilihan
Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi, Reaksi Obat yangTidak
Dikehendaki (ROTD); pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait
Obat; dan pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun


2014 pemantauan terapi obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatanuntuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektifitas terapi dan
meminimalkan risiko reaksi obatyang tidak diinginkan (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
1. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi,
reaksiobat yang tidak dikehendakai (ROTD);
2. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan
3. Pemantauan efektifitas dan efek samping terapi obat.

Adapun tahapan dalam PTO antara lain :


a. Pengumpulan data pasien
b. Identifikasi masalah terkait obat
c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
d. Pemantauan
e. Tindak lanjut
Faktor yang harus diperhatikan :
a Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kriteria terhadap
bukti terkini dan terpercaya ( Evidence Best Medicine).
b Keberhasilan informasi, dan
c Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).

Pemantauan terapi obat adalah proses yang meliputi semua fungsi yang
perlu untuk menjamin terapi obat kepada pasien yang aman, efektif, rasional
dan ekonomis.Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara
berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar
keberhasilan ataupun kegagalan terapidapat diketahui.Pasien yang
mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat.
Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang
sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat.Hal
tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesiuntuk
mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki (Dirjen Binfar, 2009).

2.2 Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat


Tatalaksana dalam pemantauan terapi obat ada hal-hal yang perlu dilakukan
yaitu sebagai berikut:

2.2.1. Seleksi Pasien

Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh


pasien. Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan
jumlah pasien, maka perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau.
Seleksi dapat dilakukan berdasarkan:
1. Kondisi pasien
a Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit
sehingga menerima
b polifarmasi.
c Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
d Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan
ginjal.
e Pasien geriatri dan pediatric
f Pasien hamil dan menyusui.
g Pasien dengan perawatan intensif
2. Obat
a Jenis Obat Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi
seperti:
 Obat dengan indeks terapi sempit (contoh:
digoksin,fenitoin),
 Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin)
dan hepatotoksik (contoh:OAT),
 Sitostatika (contoh: metotreksat),
 Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
 Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh:
metoklopramid, AINS),
 Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
b Kompleksitas Regimen
 Polifarmasi
 Variasi rute pemberian
 Variasi aturan pakai
 Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)

2.2.2. Pengumpulan data pasien


Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data
tersebutdapat diperoleh dari:
a. Rekam medik
Menurut permenkes RI no 269/MENKES/PER/III/2008 rekam medis
adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang
telah diberikan kepada pasien. Data yang dapatdiperoleh dari rekam
medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan
obat,riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium,
diagnostik, diagnosis dan terapi. Data tersebut di pelayanan komunitas
dapat diperoleh melaluiwawancara dengan pasien, meskipun data
yang diperoleh terbatas (Anonim, 2009).Profil pengobatan pasien di
rumah sakit dapat diperoleh dari catatan pemberianobat oleh perawat
dan kartu/formulir penggunaan obat oleh tenaga farmasi.
Profiltersebut mencakup data penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat
jika perlu), obatdengan instruksi khusus (contoh: insulin) (Anonim,
2009). Semua data yang sudahditerima, dikumpulkan, dan kemudian
dikaji. Data yang berhubungan dengan PTO diringkas dan
diorganisasikan ke dalam suatu format yang sesuai. Sering kali
datayang diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan pasien
belum cukup untuk melakukan PTO, oleh karena itu perlu dilengkapi
dengan data yang diperoleh dariwawancara pasien, anggota keluara,
dan tenaga kesehatan lain (Anonim, 2009).
b. Profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat.
c. Wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan
lain.

2.2.3. Identifikasi masalah terkait obat


Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat dikategorikan
sebagai berikut :
a. Ada Indikasi Tetapi Tidak di Terapi
b. Pemberian Obat Tanpa Indikasi
c. Pemilihan Obat Yang Tidak Tepat
d. Dosis terlalu tinggi
e. Dosis terlalu rendah
f. Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
g. Interaksi obat
h. Pasien tidak menggunakan obat dengan suatu sebab
2.2.4. Rekomendasi terapi

Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup


pasien,yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
b. Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
c. Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
d. Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).

2.2.5. Rencana pemantauan


Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlumenetapkan langkah-
langkah:
a. Menetapkan Parameter Farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter pemantauan,
antara lain:
1. Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol ataupun
aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang harus
diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoksin).
2. Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
3. Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada
pasien geriatri mencapai 40%)
4. Efisiensi pemeriksaan laboratorium
5. Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam
darah untuk penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan)
6. Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia)
7. Biaya pemantauan.

b. Menetapkan saran

Terapi Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau


yangdisesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi
yangdiinginkan, apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
 Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan
dideritapasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit
ParuObstruksi Kronis/PPOK dan asma).
 Karakteristik obat Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara
pemberian akanmempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan
(contoh: perbedaanpenurunan kadar gula darah pada pemberian
insulin dan anti diabetes oral).
 Efikasi dan toksisitas.

c. Menetapkan Frekuensi

Pemantauan Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan


penyakitdan risiko yang berkaitan dengan terapi obat.Sebagai contoh pasien
yang menerimaobat kanker harus dipantau lebih sering dan berkala
dibanding pasien yangmenerima aspirin.Pasien dengan kondisi relatif stabil
tidak memerlukanpemantauan yang sering. Berbagai faktor yang
mempengaruhi frekuensipemantauan antara lain:
 Kebutuhan khusus dari pasien. Contoh: penggunaan obat nefrotoksik
padapasien gangguan fungsi ginjal.
 Karakteristik obat pasien. Contoh: pasien yang menerima warfarin
 Biaya dan kepraktisan pemantauan
 Permintaan tenaga kesehatan lain

d. Tindak lanjut

Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
olehapoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait.
Kerjasamadengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan
pencapaian tujuanterapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang
menyeluruh diperlukanuntuk menetapkan target terapi yang optimal.
Komunikasi yang efektif dengantenaga kesehatan lain harus selalu
dilakukan untuk mencegah kemungkinantimbulnya masalah baru.
Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhanpasien dan
kurangnya informasi obat.Sebagai tindak lanjut pasien harusmendapatkan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasiyang tepat
sebaiknya:
a. Tidak bertentangan atau berbeda dengan informasi dari tenaga
kesehatanlain,
b. Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
c. Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.

e. Dokumentasi

Setiap langkah kegiatan pemantauan terapi obat yang dilakukan harus


didokumentasikan. Hal ini penting karena berkaitan dengan bukti otentik
pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan
akuntabilitas atau pertanggung jawaban, evaluasi pelayanan, pendidikan dan
penelitian. Sistimatika pendokumentasian harus dibuat sedemikian rupa
sehingga mudah untuk penelusuran kembali. Pendokumentasian dapat
dilakukan berdasarkan nomor rekam medik, nama, penyakit, ruangan dan
usia. Data dapat didokumentasikan secara manual, elektronik atau
keduanya. Data bersifat rahasia dan disimpan dengan rentang waktu sesuai
kebutuhan. Sesuai dengan etik penelitian, untuk publikasi hasil penelitian
identitas pasien harus disamarkan.

2.3 Tinjauan Penyakit


A. Bronchopenuomonia
1. Definisi penyakit
Bronkopneumonia adalah penyakit infeksi saluran pernafasan
bawah, yang melibatkan parenkim paru-paru, termasuk alveoli dan
struktur pendukungnya (Reeves, 2001). Adapun pengertian menurut
Smeltzer dan Bare (2001), Mansjoer (2000) dan Ngastiyah (2005).
Bronkopneumonia adalah proses inflamatori permukaan bagian bawah
yang mengenai parenkim paru yang umumnya disebabkan oleh agen
infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.Definisi lain
menurut Sudoyo (2006) bronkopneumonia adalah peradangan yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun benda asing (Hidayat,
2008). Bronkopneumonia adalah radang pada paru-paru yang
menggambarkan pneumonia yang mempunyai penyebaran berbercak,
teratur, dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan
meluas ke parenkim paru (Wijayaningsih, 2013). Bronkopneumonia
adalah suatu peradangan pada parenkim paru dimana peradangan tidak
saja pada jaringan paru tetapi juga pada bronkioli (Ringel, 2012).

2. Etiologi
Penyebab terjadinya Bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri
seperti diplococus pneumonia, pneumococcus, stretococcus, hemoliticus
aureus, haemophilus influenza, basilus friendlander (klebsial pneumoni),
mycobacterium tuberculosis, disebabkan oleh virus seperti respiratory
syntical virus, virus influenza dan virus sitomegalik, dan disebabkan oleh
jamur seperti citoplasma capsulatum, criptococcus nepromas, blastomices
dermatides, aspergillus Sp, candinda albicans, mycoplasma pneumonia
dan aspirasi benda asing (Wijayaningsih, 2013).

3. Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada
anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh
penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011).

4. Patofisiologi
Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun benda asing (Hidayat,
2008). Suhu tubuh meningkat sampai 39-40oC dan dapat disertai kejang
karena demam yang sangat tinggi. Anak yang mengalami
bronkopneumonia sangat gelisah, dipsnea, pernafasan cepat, dan dangkal
disertai pernapasan cuping hidung, serta sianosis disekitar hidung dan
mulut, merintih dan sianosis (Riyadi & Sukarmin, 2009). Bakteri yang
masuk ke paru-paru menuju ke bronkioli dan alveoli melalui saluran napas
yang menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan
edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial (Riyadi &
Sukarmin, 2009). Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema
yang berisi eritrosit dan fibrin serta relative sedikit leukosit sehingga
kapiler alveoli 8 menjadi melebar. Apabila proses konsolidasi tidak dapat
berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat
pada alveolus maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan.
Perubahan tersebut akan berdampak pada pada penurunan jumlah oksigen
yang dibawa oleh darah. Sehingga berakibat pada hipoksia dan kerja
jantung meningkat akibat saturasi oksigen yang menurun dan hiperkapnia.
Penurunan itu yang secara klinis menyebabkan penderita mengalami pucat
sampai sianosis.

5. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang
memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan
etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia
berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang
lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia
interstitiali, Bronkopneumonia
b. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari
masyarakat (community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang
didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri Pneumonia
virus Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal Pneumonia
atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia
persisten.

6. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada bronkopneumonia adalah (Wijaya & Putri,
2013):
a. Atelektasis
Atekektasis merupakan pengembangan paru-paru yang tidak sempurna
atau kolaps paru akibat kurangnya mobilasi atau reflek batuk hilang
b. Empisema
Empisema merupakan keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam
rongga pleura terdapat di satu tempat atau terdapat pada seluruh rongga
pleura
c. Otitis Media Akut
d. Meningitis Meningitis merupakan infeksi yang menyerang selaput otak

7. Manifestasi klinis
Menurut Ringel, 2012 tanda-gejala dari Bronkopneumonia yaitu :
a. Gejala penyakit datang mendadak namun kadang-kadang didahului
oleh infeksi saluran pernapasan atas.
b. Pertukaran udara di paru-paru tidak lancar dimana pernapasan agak
cepat dan dangkal sampai terdapat pernapasan cuping hidung.
c. Adanya bunyi napas tambahan pernafasan seperti ronchi dan
wheezing.
d. Dalam waktu singkat suhu naik dengan cepat sehingga kadang-kadang
terjadi kejang.
e. Anak merasa nyeri atau sakit di daerah dada sewaktu batuk dan
bernapas.
f. Batuk disertai sputum yang kental.
g. Nafsu makan menurun.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada anak baita dengan bronkopneumonia antara lain
(Riyadi & Sukarmin, 2009) :
1. Pemberian penisilin 50.000 U/kg BB/hari, ditambah dengan
kloramfenikol 50- 70 mg/kg BB/hari atau diberikan obat antibiotik
yang mempunyai spektrum luas seperti obat ampisilin. Pengobatan ini
diteruskan sampai anak bebas demam yaitu 4-5 hari. Tujuan dari
pemberian obat kombinasi adalah untuk menghilangkan penyebab
infeksi yang kemungkinan lebih dari 1 jenis dan untuk menghindari
resistensi obat antibiotik.
2. Koreksi gangguan asam basa dengan pemberian asam basa dengan
pemberian oksigen dan pemberian cairan intravena, biasanya
diperlukan adanya campuran glukosa 5% dan Nacl 0,9% dalam
perbandingan 3 : 1 ditambah larutan Kcl 10 mEq/500/l botol infus.
3. Sebagian besar anak balita dengan bronchopneumonia mengalami
asidosis metabolik akibat kurang makan dan hipoksia, maka dapat
diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis gas darah arteri.
4. Pemberian makanan enteral bertahap melalui selang nasogatrik pada
penderita yang sesak nafasnya sudah berkurang.
5. Pemberian inhalasi dengan salin normal serta beta agonis untuk
memperbaiki transport mukosilier seperti pemberian terapi nebulizer
dapat diberikan jika sekresi lendir yang berlebihan, yang bertujuan
untuk mempermudah mengeluarkan dahak dan meningkatkan lebar
lumen pada bronkus.
9. Algoritma terapi

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Bronkopneumonia


(https://www.scribd.com/document/331361748/Algoritma-Terapi-
Pneumonia\)
B. Asma Bronkial

1. Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai
dengan adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul
terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran
pernapasan. (Infodatin, 2017) Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran
pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema, dan hipersekresi kelenjar.(Nelson, 2013) Asma adalah
suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan. (Amin & Hardi,
2016)
Beberapa faktor penyebab asma, antara lain umur pasien, status atopi, faktor
keturunan, serta faktor lingkungan.
Asma dibedakan menjadi 2 jenis, (Amin & Hardi, 2016) yakni :
 Asma bronkial
Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari
luar, seperti debu rumah, bulu binatang, asap dan bahan lain penyebab alergi.
Gejala kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang
secara tiba-tiba. Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaranadanya radang
yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah.
Penyempitan iniakibat berkerutnya otot polos saluran pernapasan pembengkakan
selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir yang berlebihan.
 Asma kardial
Asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung. Gejala asma kardial biasanya
terjadi pada malam hari, disertai sesak napas yang hebat. Kejadian ini disebut
nocturnal paroxymul dispnea. Biasanya terjadi pada saat penderita sedang tidur.
2. Etiologi Asma
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkaan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada
berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai
suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronkokonstriktor neural
diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus
pada epitel jalan napas, disebut reseptor batu atau iritan, tergantung pada
lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens
merangsang kontraksi otot polos bronkus.
 Faktor imunologis
Pada beberapa penderita yang disebut asma ekstrinsik atau alergik, eksaserbasi
terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah,
tepungsari, dan ketombe. Bentuk asma adanya instrinsik dan ekstrinsik. Perbedaan
intrinsik dan ekstrinsik mungkun pada hal buatan (artifisial), karena dasar imun
pada jejas mukosa akibat mediator pada kedua kelompok tersebut. Asma
ekstrinsikmungkin dihubungkan dengan lebih mudahnya mengenali rangsangan
pelepasan mediator daripada asma instrinsik.
 Faktor endokrin
Asma dapat lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan menstruasi,
terutama premenstruasi, atau dapat timbul pada saat wanita menopause. Asma
membaik pada beberapa anak saat pubertas.
 Faktor psikologis
Faktor emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang
berpenyakit asma, tetapi “penyimpangan” emosional atau sifat-sifat perilaku yang
dijumpai pad anak asma tidak lebih sering daripada anak dengan penyakit cacat
kronis yang lain.(Nelson, 2013).

3. Klasifikasi Asma
Keparahan asma juga dapat dinilai secara retrospektif dari tingkat obat yang
digunakan untuk mengontrol gejala dan serangan asma. Hal ini dapat dinilai jika
pasien telah menggunakan obat pengontrol untuk beberapa bulan. Yang perlu
dipahami adalah bahwa keparahan asma bukanlah bersifat statis, namun bisa
berubah dari waktu-waktu, dari bulan ke bulan, atau dari tahun ke tahun, (GINA,
2015)
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
 Asma Ringan
Adalah asma yang terkontrol dengan pengobatan tahap 1 atau tahap 2, yaitu terapi
pelega bila perlu saja, atau dengan obat pengontrol dengan intensitas rendah
seperti steroid inhalasi dosis rendah atau antogonis leukotrien, atau kromon.
 Asma Sedang
Adalah asma terkontrol dengan pengobatan tahap 3, yaitu terapi dengan obat
pengontrol kombinasi steroid dosis rendah plus long acting beta agonist (LABA).
 Asma Berat
Adalah asma yang membutuhkan terapi tahap 4 atau 5, yaitu terapi dengan obat
pengontrol kombinasi steroid dosis tinggi plus long acting beta agonist (LABA)
untuk menjadi terkontrol, atau asma yang tidak terkontrol meskipun telah
mendapat terapi.
Perlu dibedakan antara asma berat dengan asma tidak terkontrol. Asma yang tidak
terkontrol biasnya disebabkan karena teknik inhalasi yang kurang tepat,
kurangnya kepatuhan, paparan alergen yang berlebih, atau ada komorbiditas.
Asma yang tidak terkontrol relatif bisa membaik dengan pengobatan. Sedangkan
asma berat merujuk pada kondisi asma yang walaupun mendapatkan pengobatan
yang adekuat tetapi sulit mencapai kontrol yang baik.
4. Manifestasi Klinik
Berikut ini adalah tanda dan gejala asma, menurut Zullies (2016), tanda dan gejala
pada penderita asma dibagi menjadi 2, yakni :
- Stadium dini
 Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
 Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
 Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
 Wheezing belum ada
 Belum ada kelainana bentuk thorak
 Ada peningkatan eosinofil darah dan IGE
 Blood gas analysis (BGA) belum patologis
 Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :
 Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
 Wheezing
 Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
 Penurunan tekanan parial O2

- Stadium lanjut/kronik
 Batuk, ronchi
 Sesak nafas berat dan dada seolah-olah tertekan
 Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
 Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
 Thorak seperti barel chest
 Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
 Sianosis
 Blood gas analysis (BGA) Pa O2 kurang dari 80 %
 Ro paru terdapat peningkatan gambaran
bronchovaskuler kanan dan kiri
 Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis repiratorik

Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan/ tanpa stetoskop, batuk


produktif, sering pada malam hari, nafas atau dada seperti tertekan, ekspirasi
memanjang

5. Patofisiologi
Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan penyakit yang
disebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja, sehingga terapi utama pada
saat itu adalah suatu bronkodilator, seperti betaegonis dan golongan metil ksantin
saja. Namun, para ahli mengemukakan konsep baru ayng kemudian digunakan
hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran
pernafasan, yang ditandai dengan bronkokonstriksi, inflamasi, dan respon yang
berlebihan terhadap rangsangan (hyperresponsiveness). Selain itu juga terdapat
penghambatan terhadap aliran udara dan penurunan kecepatan aliran udara akibat
penyempitan bronkus. Akibatnya terjadi hiperinflasi distal, perubahan mekanis
paru- paru, dan meningkatnya kesulitan bernafasan. Selain itu juga dapat
terjadipeningkatan sekresi mukus yang berlebihan (Zullies, 2016).
Secara klasik, asma dibagidalam dua kategori berdasarkan faktor pemicunya,
yaitu asma ekstrinsik atau alergi dan asma intrinsik atau idiosinkratik. Asma
ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena menghirup alergen, yang
biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki keluarga dan riwayat penyakit
alergi (baik eksim, utikaria atau hay fever). Asma instrinsik mengacu pada asma
yang disebabkan oleh karena faktor-faktordi luar mekanisme imunitas, dan
umumnya dijumpai pada orang dewasa. Disebut juga asma non alergik, di mana
pasien tidak memiliki riwayat alergi. Beberapa faktor yang dapat memicu
terjadinya asma antara lain : udara dingin, obat-obatan, stress, dan olahraga.
Khusus untuk asma yang dipicu oleh olahraga. Khusus untuk asma yang dipicu
oleh olahraga dikenal dengan istilah (Zullies, 2016)
Seperti yang telah dikatakan diatas, asma adalah penyakit inflamasi saluran napas.
Meskipun ada berbagai cara untuk menimbulkan suatu respons inflamasi, baik
pada asma ekstrinik maupun instrinsik, tetapi karakteristik inflamasi pada asma
umunya sama, yaitu terjadinya infiltrasi eosinofil dan limfosit serta terjadi
pengelupasan sel-sel epitelial pada saluran nafas dan dan peningkatan
permeabilitas mukosa. Kejadian ini bahkan dapat dijumpai juga pada penderita
asma yang ringan. Pada pasien yang meninggal karena serangan asma , secara
histologis terlihat adana sumbatan (plugs) yang terdiri dari mukus glikoprotein
dan eksudat protein plasma yang memperangkap debris yang berisi se-sel epitelial
yang terkelupas dan sel-sel inflamasi. Selain itu terlihat adanya penebalan lapisan
subepitelial saluran nafas. Respons inflamasi ini terjadi hampir di sepanjang
saluran napas, dan trakea samapi ujung bronkiolus. Juga terjadi hiperplasia dari
kelenjar-kelenjar sel goblet yang menyebabkan hiperserkesi mukus yang
kemudian turut menyumbat saluran napas (Zullies, 2016)
Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel inflamasi,
mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran napas. Sel-sel inflamasi utama yang
turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara lain adalah
sel mast, limfosit, dan eosinofil, sedangkan mediator inflamasi utama yang terlibat
dalam asma adalah histamin, leukotrein, faktor kemotaktik eosinofil dan beberapa
sitokin yaitu : interleukin (Zullies, 2016)
Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari meningkatnya
responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya rangsangan dari luar, yang
disebut alergen. Rangsangan ini kemudian akan memicu pelepasan berbagai
senyawa endogen dari sel mast yang merupakan mediator inflamasi, yaitu
histamin, leukotrien, dan faktor kemotaktik eosinofil. Histamin dan leukotrien
merupakan bronkokonstriktor yang poten, sedangkan faktorkemotaktik eosinofil
bekerja menarik secara kimiawi sel-sel eosinofil menuju tempat terjadinya
peradangan yaitu di bronkus (Zullies, 2016)

6. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan Asma adalah mencapai asma terkontrol sehingga
penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma dibagi menjadi 2, yaitu :
penatalaksanaan asma jangka panjang dan penatalaksanaan asma akut/saat
serangan.
- Tatalaksana Asma Jangka Panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat Asma (pengontrol
dan pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat pelega diberikan pada
saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus.
- Tatalaksana Asma Akut pada Anak dan Dewasa
Tujuan tatalaksana serangan Asma akut:
 Mengatasi gejala serangan asma
 Mengembalikan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan
 Mencegah terjadinya kekambuhan
 Mencegah kematian karena serangan asma Menurut Kusuma (2016), ada
program penatalaksanaan asma meliputi 7 komponen, yaitu :
1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti. Edukasi tidak hanya
ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang membutuhkan
energi pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidan kesehatan/asma, profesi
kesehatan.
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut disebabkan
berbagai faktor antara lain :
a. Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan terapi
b. Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada
asmanya
c. Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview, sehingga
membantu penanganan asma terutama asma mandiri.
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan :
a. Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
b. Tahapan pengobatan
- Asma Intermiten, medikasi pengontrol harian tidak perlu sedangakan
alternatif lainnya tidak ada.
- Asma Presisten Ringan, medikasi pengontrol harian diberikan
Glukokortikosteroid ihalasi (200-400 ug Bd/hati atau ekivalennya),
untuk alternati diberikan Teofilin lepas lambat, kromolin dan
leukotriene modifiers.
- Asma Persisten Sedang, medikasi pengontrol harian diberikan
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau
ekivalennya), untuk alternatifnya diberikan glukokortikosteroid
ihalasi (400-800 ug Bd atau ekivalennya) ditambah Teofilin dan di
tambah agonis beta 2 kerja lama oral, atau Teofilin lepas lambat.
- Asma Persisten Berat, medikasi pengontrol harian diberikan ihalasi
glukokortikosteroid (> 800 ug Bd atau ekivalennya) dan agonis beta 2
kerja lama, ditambah 1 antara lain : Teofilin lepas lambat,
Leukotriene, Modifiers, Glukokortikosteroid oral. Untuk alternatif
lainnya Prednisolo/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg
ditambah agonis bate 2 kerja lama oral, ditambah Teofilin lepas
lambat.
c. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Hubungan penderita dokter yang baik adalah dasar yang kuat untuk terjadi
kepatuhan dan efektif penatalaksanaan asma. Rencanakan pengobatan asma
jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik/ memungkinkan bagi penderita
dengan maksud mengontrol asma.
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Pengobatan pada serangan akut antara lain : Nebulisasi agonis beta 2 tiap 4 jam,
alternatifnya Agonis beta 2 subcutan, Aminofilin IV, Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK,
dan oksigen bila mungkin Kortikosteroid sistemik.
6. Kontrol secara teratur
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting diperhatikan
oleh dokter yaitu:
a. Tindak lanjut (follow-up) teratur
b. Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penangan lanjut bila diperlukan
7. Pola hidup sehat
a. Meningkatkan kebugaran fisik
Olahraga menghasilkan kebugaran fisik secara umum. Walaupun terdapat salah
satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah execrise, akan tetapi tidak berarti
penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Senam asma Indonesia (SAI) adalah
salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-
otot pernapasan khususnya, selain manfaat lain pada olahraga umumnya.
b. Berhenti atau tidak pernah merokok
c. Lingkungan kerja
Kenali lingkungan kerja yang berpotensi dapat menimbulkan asma.
7. Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks, yaitu toraks menbungkuk
ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letaknya
rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah.
Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak
sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga
dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke
arah atelektasis. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi
bronkietasis, dan bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma
yang terus menerus dan berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat
diatasi dengan obat-obat yang biasa disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong
dengan semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan pernafasan dan
kegagalan jantung.

8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Ngastiyah (2013), ada beberapa pemeriksaan diagnostik bagi para
penderita asma, antara lain :
a. Uji faal paru
Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil
provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Alat yang digunakan untuk uji faal paru adalah peak flow meter, caranya anak
disuruh meniup flow meter beberapa kali (sebelumnya menarik napas dalam
melalui mulut kemudian menghembuskan dengan kuat) dan dicatat hasil.
b. Foto toraks
Foto toraks dilakukan terutama pada anak yang baru berkunjung pertama kali di
poliklinik, untuk menyingkirkan kemungkinan ada penyakit lain. Pada pasien
asma yang telah kronik akan terlihat jelas adanya kelainan berupa hiperinflasi dan
atelektasis.
c. Pemeriksaan darah
Hasilnya akan terdapat eosinofilia pada darah tepi dan sekret hidung. Bila tidak
eosinofilia kemungkinan bukan asma. Selain itu juga, dilakukan uji tuberkulin dan
uji kulit dengan menggunakan alergen.
Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Penyakit Asma.
2015. Jakarta
BAB III
INFORMASI PENGGUNAAN OBAT
(Sumber : MIMS.COM, Basic Pharmacology, 2019, Medscape, Pionas)

Aturan
No Jenis Obat Rute Dosis Indikasi Kontraindikasi Efek Samping
Pakai
1. Ringer Laktat IV 8 tpm 20 ml/kgBB Mengatasi gangguan irama Hipernatremia, Alergi Nyeri dada, detak
dalam 24 jam jantung dan pengaturan terhadap sodiumlaktat jantung tidak
keseimbangan cairan dalam normal, turunnya
tubuh tekanan darah,
kesulitan bernapas
Penatalaksanaan &
pencegahan serangan asma,
penanganan rutin
4 X 1 bronkospasme kronik yang Tremor, sakit kepala,
2 Nebu Velutin Nasal 2,5 mg hipersesitivitas
hari tidak responsif terhadap takikardi.
terapi konvensional; asma
akut berat (status
asmatikus).
3 Inj Cinam Iv 4 x 1 vial 1500mg Infeksi saluran pernapasan pada penderita Kemerahan, diare, mual
( Ampicillin Na atas : faringitis dan tonsilitis dengan fungsi hati dan
1 g, sulbactam yang disebabkan oleh S. ginjal yang rusak
Na 0.5 g) pyogenes dan S. aureus. terutama pada
Sinusitis akut maupun pemakaian obat dalam
kronis yang disebabkan oleh jangka waktu panjang.
S. aureus, S. pneumoniae,
H. influenzae dan
S.progenies. Otitis media, Alergi terhadap cinam
terutama media yang
supuratif, dengan atau tanpa
mastoiditis antrum
kehamilan, miastenia
septikemia dan sepsis pada
gravis
neonatus, meningitis dan
gangguan fungsi ginjal,
infeksi SSP lainnya, infeksi
bayi dan lansia gangguan vestibuler dan
bilier, pielonefritis dan
(sesuaikan dosis, awasi pendengaran,
prostatitis akut, endokarditis
1x 120 fungsi ginjal, nefrotoksisitas,
4 Inj gentamicin Iv 80 mg karena Streptococcus
mg pendengaran dan hipomagnesemia pada
viridans atau Streptococcus
vestibuler dan periksa pemberian jangka
faecalis (bersama penisilin),
kadar plasma); hindari panjang,
pneumonia nosokomial,
penggunaan jangka
terapi tambahan pada
panjang. Lihat juga
meningitis karena listeria.
keterangan di atas.
Nafsu makan
supresi inflamasi dan meningkat,Berat badan
gangguan alergi; Cushing's bertambah,Perubahan
disease, hiperplasia adrenal siklus
kongenital; udema serebral Pada ibu hamil dsn menstruasi,Gangguan
5 Inj Dexametason Iv 5 mg 1x3mg
yang berhubungan dengan hipersensivitas tidur,Pusing,Sakit kepal
kehamilan; batuk yang
disertai sesak napas, a
penyakit rematik
120 mg
dalam
nacl 0,9
% 100 cc Takikardia, mual
obstruksi saluran napas Hipersensivitas,
Aminophilin Iv Selanjutn 1 kolf 24 jam gangguan saluran cerna
6 reversibel, asma akut berat porfiria, kehamilan
ya 480 lainya
mg
dalam d5
¼ 500 cc
BAB IV
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)

4.1 Data Dan Profil Pengobatan Pasien

IDENTITAS PASIEN Ruang rawat : Sartika melalui IGD


Nama inisial : S N Nomer rekam medik : 162 272
Tanggal Lahir : 22/09/2011 Tanggal masuk : 23/08/2020
Umur : 8 tahun 11 bulan 1 hari Tanggal keluar :
Jenis kelamin : Perempuan Status pulang :
Alamat : Kp palasari RT 2 RW 4 Kel Dokter : dr.G R, SpA
Sukasari Apoteker : A.S., S.Farm., Apt. M.PA
DATA KLINIS AWAL RIWAYAT KONSUMSI OBAT
Keadaan umum: Sesak Nafas -
Kesadaran: compos mentis
GCS : E4 M6 V5
CRT < 2 detik
Akral = hangat
Kulit = lembab
Nadi: 150x / menit
Respirasi: 30 x/menit
Suhu = 36,4 ºC
Bb 20 kg
Alasan Masuk Rumah Sakit
Sesak yang dirasakan semakin hari semakin berat dan meningkatkan
Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas sejak 1 hari masuk , sesak disertai rasa nyeri, keluhan disertai
batuk berdahak sejak 1 hari masuk,sering batuk berdahak serta demam,,
nyeri menelan.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Bronkitis
Riwayat Penyakit Keluarga
Data tidak ada
Riwayat Sosial/Kebiasaan Gaya Hidup
Data tidak ada
Diagnosis Utama
Bronkopneumonia
Asma Bronkial
Diagnosis penunjang
Laboratorium : Basafil, Eosinofil, Batang, Segmen netrofil,Monosit, HB
lekosit, Hematokrit, Trombosit
Radiologi : dilakukan pemeriksaan foto thorax paru
Diagnosis kerja
Bronkopneumonia
Asma bronkial
Terapi
IVFD RL 20 tpm
Nebu Velutin 4 x perhari
Inj Cinam 4 x 500mg
Inj Gentamicin 1 x 120 mg
Inj Dexamethasone 1 x 3 mg
Aminophilin 120 mg dalam nacl 0.9% 100 cc selanjutnya
aminophilin 480 dalam D5 ¼ 1 Klof 24 jam
4.2 Pemantauan Terapi Obat Pasien
Diagnosis Kerja : bronkopneumonia + asma bromkial serangan ringan-sedang
subjektif Sesak nafas
PEMERIKSAAN TANDA VITAL PASIEN
Parameter tanda 23 Agustus 2020 24 Agutus 2020 25 Agustus 2020 26 Agustus 2020 27 Agustus 2020 28 Agustus 2020
vital yangdiperiksa
Nadi (kali permenit) 108 124 110 104 102 107
Respirasi (kali 30 28 25 22 22 23
Permenit)
Suhu Tubuh (ºC) 36,4 36 36,3 36.5 36.4 36,4
Kesadaran composmentis
Objective Data klinis pasien menunjukkan tingkat kesadaran pasien CM (Compos mentis), nadi109x/menit, suhu tubuh
pasien yaitu 36,3°C,respirasi 25x/menit. Pemeriksaan penunjang awal dengan hasil data laboratorium sebagai
berikut:

PEMERIKSAAN PENUNJANG AWAL


HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 23 Agustus 2020
N0 Jenis Pemeriksaaan Hasil Pemeriksaan Ket Satuan Nilai Rujukan
Hematologi pemeriksaan
1 Hitung jenis
1.1 Basofil 0 % 0-1
1.2 Eosinofil 4 % 1-5
1.3 Batang 0 % 1-2
1.4 Segmen Netrofil 80 % 50-70
1.5 Limfosit 13 % 20-40
1.6 Monosit 3 % 3-6
2 Hematologi
2.1 Hemoglobin 14,4 g/dl 12-18
2.2 Lekosit 19.600 /mm2 4000-10000
2.3 Hematokrit 41 % 37-48
.
2.4 Trombosit 464.000 /mm3 150000-400000
Assesment

Berikut analisis diagnosa pasien menurut pengobatan yang diterima oleh pasien keterkaitan dengan kerasionalan terapi yang diterima
oleh pasien.

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 27Agustus 2020


N0 Jenis Pemeriksaaan Hasil Pemeriksaan Ket Satuan Nilai Rujukan
Hematologi pemeriksaan
1 Hematologi
1.1 Hemoglobin 12,4 g/dl 12-18
1.2 Lekosit 18.600 /mm2 4000-10000
1.3 Hematokrit 35 % 37-48
.
1.4 Trombosit 489.000 /mm3 150000-400000
Tabel 4.1 Ketepatan Penggunaan Obat Terhadap Indikasi / Diagnosa

(Medscape,mims.com, drugs.com, Pionas.go.id)

No Nama obat Indikasi menurut literatur Diagnosa Ketepatan


Pasien dosis
1 Ringer LaktatMengatasi gangguan irama Sesuai
jantung dan pengaturan
keseimbangan cairan dalam
tubuh
2 Penatalaksanaan & Sesuai
pencegahan serangan asma,
penanganan rutin
Nebu Velutin bronkospasme kronik yang
tidak responsif terhadap terapi
BRONCHOPNEUMO
konvensional; asma akut berat NIA DAN ASMA
(status asmatikus). BRONKIAL
3 Infeksi saluran pernapasan atas Sesuai
: faringitis dan tonsilitis yang
disebabkan oleh S. pyogenes
dan S. aureus. Sinusitis akut
maupun kronis yang
Inj Cinam disebabkan oleh S. aureus, S.
pneumoniae, H. influenzae dan
S.progenies. Otitis media,
terutama media yang
supuratif, dengan atau tanpa
mastoiditis antrum
4 septikemia dan sepsis pada Sesuai
neonatus, meningitis dan
infeksi SSP lainnya, infeksi
bilier, pielonefritis dan
prostatitis akut, endokarditis
Inj
karena Streptococcus
gentamicin
viridans atau Streptococcus
faecalis (bersama penisilin),
pneumonia nosokomial, terapi
tambahan pada meningitis
karena listeria.
5 Inj supresi inflamasi dan gangguan Sesuai
Dexametason alergi; Cushing's disease,
hiperplasia adrenal kongenital;
udema serebral yang
berhubungan dengan
kehamilan; batuk yang disertai
sesak napas, penyakit rematik
6 obstruksi saluran napas Sesuai
Aminophilin
reversibel, asma akut berat

Tabel 4.2 Ketepatan Dosis (Medscape, Drugs.com)

No Nama obat, Dosis Dosis Ketepatan


kekuatan, menurut pasien dosis
bentuk sediaan literatur
1 Ringer laktat Kebutuhan 500cc/24 tepat
cairan jam
20ml/kgBB
dalam 24 jam
BB pasien 20 kg
20 ml/kgBB x 20 kg
Dosis : 400 ml/hari
kebutu h an cairan x faktor tetes
Tetes/menit =
waktu(menit )
400 ml x 20
=
24 x 60
= 9 tpm
2 Nebu Velutin Anak anak 4 x sehari Tepat
=Awalnya 2,5
mg, lalu dpt
ditingkatkan
menjadi 5 mg.
Dpt diulang 4
x / hr
Dosis literatur : 2,5-5 mg. Dpt diulang 4 x / hr
Dosis paisen : 4 x sehari
Dosis pasien sudah tepat
3 Inj Cinam 1.5-3 g tiap 6- 1,5 g Sesuai
8 jam. Dosis
sulbaktam
harian maks: 4
g. Infeksi
ringan &
sedang Hingga
6 g. Infeksi
parah Hingga
12 g

Dosis literatur : 1.5-3 g


Dosis pasien : 1 x 1.5 g
Dosis pasien sudah tepat
4 Inj Gentamicin 2-5 mg/kg 80 mg Tepat
bb/hari (dalam
dosis terbagi
tiap 8 jam). 

Bb anak 20 kg
Dosis = 2-5 mg/kgbb
Jadi = 2 x 20 = 40 mg
= 5 X 20 = 100 mg
Jadi dosis anak 40-100 mg
Dosis pasien = 80 mg
Dosis pasien sudah tepat
5 Inj 0,08-0,3 mg / 3 mg Tepat
dexamethasone kg / hari IV /
PO / IM dibagi
setiap 6 jam
atau 12 jam

Dosis literatur : 0,08-0,3mg/kg


BB = 20 kg
Jadi = 0,08 x 20 = 1,6 mg
= 0,3 x 20 = 6 mg
Dosis = 1,6-6 mg
Dosis pasien 3 mg
Dosis pasien sudah tepat
6 Aminophilin Bronkospasm 480 Tepat
e berat akut :
250-500 mg
secara inj atau
infus lambat.
Pemeliharaan:
0,5 mg / kg /
jam. Tingkat
maks: 25 mg /
menit

Dosis literatur : 250-500mg/ hari


Dosis pasien : 480 mg
Dosis pasien sudah tepat

Tabel 4.3 Kejadian Interaksi Obat


Obat 1 2 3 4 5 6
1 - - - - -
2 - - - - -
3 - - - -
4 - - - -
5 - - - -
6 - - - -

Keterangan : Minor :
Moderat :
Mayor :
Tidak ada interaksi :
Keterangan nama kode obat
1. RL
2. Nebu Veletulin
3. Cinam
4. Gentamicin
5. Dexamethasone
6. Aminophilin

Tabel 4.4 Obat yang berinteraksi (Stockley, Medscape, drugs.com)


N Obat yang Level Mekanisme interaksi Solusi
o berinteraksi interaksi obat

1 Dexametsone + Moderate Ampisilin dapat Ampisilin dan


Gentamicin menonaktifkan aminoglikosida harus
aminoglikosida in vivo diberikan secara
dan in vitro. terpisah selama terapi
Mekanismenya adalah kombinasi (dijeda waktu
kompleksasi dengan 2-3 jam antara
aminoglikosida. Biasanya, dexametsone dan
efek ini hanya signifikan gentamicin).
pada pasien dengan
gagal ginjal atau jika agen
dicampur dalam wadah
atau jalur IV yang sama.
Kadar aminoglikosida
serum yang lebih rendah
dapat terlihat, dan
penyesuaian dosis
mungkin diperlukan.
2 Dexamethasone + moderat Penggunaan teofilin dan Pemantauan efikasi dan
aminophilin kortikosteroid secara keamanan teofilin yang
bersamaan secara diubah dan konsentrasi
teoritis dapat kalium dan teofilin
meningkatkan risiko serum yang diubah
hipokalemia karena efek disarankan jika obat ini
penurun kalium aditif. diberikan bersamaan.
Selain itu, konsentrasi Pasien harus dinasihati
serum teofilin dapat untuk memberi tahu
diubah. Mekanismenya dokter mereka jika
tidak diketahui dan mereka mengalami
datanya terbatas dan tanda-tanda
saling bertentangan; hipokalemia (misalnya,
peningkatan, penurunan, lemah, lesu, dan nyeri
dan tingkat teofilin tidak otot atau kram), gejala
berubah semuanya telah pernapasan yang
dilaporkan. memburuk.
Dijeda waktu 2-3 jam

Tabel 4.5 Jenis DRP’s


No Jenis DRP’s Penilaian
1 Indikasi tidak terobati Tidak ada
2 Obat tanpa indikasi Tidak ada
3 Under dose Tidak ada
4 Over dose Tidak ada
5 ROTD Tidak ada
6 Interaksi obat Ada
7 Ketidakpatuhan pasien Tidak ada
8 Pemilihan obat tidak tepat Tidak ada

4.3 Plan

Catatan yang harus dilihat Rinkasan keseluruhan rekam medis


kembali
Rekomendasi kepada dokter Kepada dokter dengan adanya interaksi
obat disarankan agar lebih
memperhatikan kondisi pasien dan waktu
meminum masing-masing obat yang
diberikan.
Rekomendasi kepada perawat Kepada perawat disarankan agar
memberik obat pasien harus sesuai
dengan jadwal dan tidak boleh ada yang
terlewatkan. Selain itu pemeriksaan
tanda-tanda vital pasien juga perlu rutin
dilakukan dan didokumentasikan
Rekomendasi kepada keluarga Edukasi kepada pasien/keluarga untuk:
pasien Pasien dilarang untuk jajan atau makan
sembarangan
Pasien jangan terlalu sering bermain
Meningkatkan pemahaman (mengenai
penyakit) 
Meningkatkan keterampilan
(kemampuan dalam penanganan
penyakit sendiri) 
Meningkatkan kepatuhan (compliance)
dan penanganan mandiri 
Hindari pencetus kekambuhan seperti
asap rokok
Hindari polusi udara
Jika terjadi suhu dingin maka anak disuruh
menggunakan pakai tebal agar suhunya
stabil
BAB V
PEMBAHASAN

Pemantauan terapi obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
ProsesPTO adalah proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien,
pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi,
rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan
secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai.
Tujuan pemantauan terapi obat adalah untuk memastikan bahwa pasien mendapat
obat yang paling sesuai, dalam bentuk dan dosis yang tepat, di mana waktu
pemberian dan lamanya terapi dapat dioptimalkan, dan Drugs Related Problems
(DRPs) diminimalkan.Pasien yang akan dilakukan pemantaiuan terapi obatnya
yaitu An S Pemilihan pasien untuk dilakukan PTO yaitu sesuai dengan
kriteriapemilihan pasien salah satunya pasien geriatri, hal tersebut dikarenakan
pasiengeriatri memerlukan penyesuaian dosis yang tepat dan pemberian obat pada
pasiengeriati perlu pemantauan karena organ-organ dalam tubuhnya sudah
mengalami penurunan fungsi secara optimal.
Pada tanggal 23 Agustus 2020 pasien datang ke IGD mengeluhkan sesak, Pasien
mengeluh sesak, sesak dirasakan semakin hari semakain berat dan meningkat,
demam, batuk serta mengalami rasa sakit saat menelan. Dokter mendiagnosa
pasien mengalami Bronkopneumonial, Asma Bronkial, dan telah dilakukan cek
Laboratporium yaitu Basafil, Eosinofil, Batang, Segmen netrofil,Monosit, HB
lekosit, Hematokrit, Trombosit serta Radiologi : dilakukan pemeriksaan foto
thorax paru. Rontgen dada atau CT scan (foto toraks) untuk melihat ada atau
tidaknya kelain berupa hiperinflasi dan atelektasis pada pemerikasaan penungjang
penyakit asma bronkial. Tes darah untuk mendeteksi peningkatan jumlah sel
darah putih (leokosit) yang menandakan infeksi yang berfungsi sebagai
pemerikasaan penungjang penyakit bronchopnemonia.
Terapi obat pasien yang diberikan selama dirawat dirumah sakit Bhayangkara Tk
II Sartika Asih yaitu pada ruang Sartika, yaitu:

1. RL

Mengatasi gangguan irama jantung dan pengaturan keseimbangan cairan dalam


tubuh. Dosis yang ada di literatur kbutuhan cairan yaitu 20ml/kgBB dalam 24
jam setalah dihitung dosisnya berdasarkan berat badan dosi yang diterima oleh
pasien sudah sesuai dengan dosis literatur yaitu 8 tpm.

2. Nebu Veletulin

Nebu veletulin digunakan untuk penatalaksanaan & pencegahan serangan asma,


penanganan rutin bronkospasme kronik yang tidak responsif terhadap terapi
konvensional; asma akut berat (status asmatikus). Dosis dileteratur untuk anak
anak =Awalnya 2,5 mg, lalu dpt ditingkatkan menjadi 5 mg. Dpt diulang 4 x / hr
dan dosis yang diterima oleh pasien sesuai dengan literatur dan dosis yang
digunakan yaitu 4 x sehari

3. Cinam

cinam (ampicillin + sulbactam) adalah antibiotik kombinasi yang digunakan untuk


mengatasi resistensi bakteri produsen enzim betalaktamase terhadap ampicillin.
ampicillin adalah antibiotik beta laktam yang termasuk golongan penicillin
sedangkan sulbactam adalah obat yang bekerja dengan cara menghambat enzim
betalaktamase yang diproduksi oleh bakteri, sehingga penambahan sulbactam
akan meningkatkan potensi ampicillin. ampicillin + sulbactam adalah
bakteriosidal yang bekerja dengan cara menghambat secara irreversibel aktivitas
enzim transpeptidase yang dibutuhkan untuk sintesis dinding sel bakteri.
Digunakan untuk mengatasi infeksi saluran pernafasan. Dosis diliteratur yaitu1.5-
3 g tiap 6-8 jam. Dosis sulbaktam harian maks: 4 g. Infeksi ringan & sedang
Hingga 6 g. Infeksi parah Hingga 12 g dan dosis yang diterima oleh pasien sudah
sesuai dengan dosis literatur yaitu 4x1 vial sehari.
4. Gentamicin

Untuk pengobatan septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi
SSP lainnya, infeksi bilier, pielonefritis dan prostatitis akut, endokarditis
karena Streptococcus viridans atau Streptococcus faecalis  (bersama penisilin),
pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis karena listeria.2-5
mg/kg bb/hari (dalam dosis terbagi tiap 8 jam). Setalah dihitung dosis berdasarkan
berat badan pasien dosis yang diterima oleh pasien sudah sesuai dengan dosis
yaitu 1x 120 mg.
5. Dexamethasone

Dexamethasone digunakan untuk mengatasi inflamasi dan gangguan alergi, batuk


yang disertai sesak napas, dosis yang ada dileteratur adalah 0,08-0,3 mg / kg / hari
IV / PO / IM dibagi setiap 6 jam atau 12 jam. Setalah dihitung dosis pasien
berdasarakan berat badan nya, bahwa dosis yang diterima oleh pasien yaitu 3 mg
telah sesuai.

6. Aminophilin

Aminophilin digunakan mengalami kesulitan bernapas karena asma akut berat,


bronkitis kronis, emifsema, atau masalah paru-paru lainnya yang bersifat kronis.
Dosis berdasarkan literatur Bronkospasme berat akut : 250-500 mg secara inj atau
infus lambat. Pemeliharaan: 0,5 mg / kg / jam. Tingkat maks: 25 mg / menit.
Dosis yang diterima oleh pasien yaitu 480 mg berada dalam rentang dosis literatur
bearti ini telah sesuai.

Berdasarkan pemantauan terapi obat pasien dan kesesuaian diagnosa pasien,


maka dokter disarankan agar menyesuaikan dosis pasien dengan berat badan dan
umur pasien. Dan kepada perawat, dengan adanya interaksi obat disarankan agar
lebih memperhatikan kondisi pasien dan waktu meminum masing-masing obat
yang diberikan . Selain itu pemeriksaan tanda-tanda vital pasien juga perlu rutin
dilakukan dan didokumentasikan.Serta, edukasi kepada pasien/keluarga untuk:
meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit), meningkatkan keterampilan
(kemampuan dalam penanganan penyakit sendiri) , meningkatkan kepatuhan
(compliance) dan penanganan mandiri, hindari pencetus kekambuhan seperti asap
rokok, aktivitas yang berat
BAB VI
Kesimpulan dan Saran

6.1 Kesimpulan
 Penggunaan obat yang diberikan pada pasien tidak terdapat interaksi
obat dan berdasarkan perbandingan antara dosis yang diberikan kepada
pasien dan dosis pada literatur semua obat tidak ada yang underdose
atau pun overdose.
 Setelah dilakukan pemantauan terapi obat terhadap pasien shafa selama
dirumah sakit menunjukan adanya perbaikan terhadap kondisi pasien,
dibandingkan pada saat awal pasien masuk ke rumah sakit

6.2 Saran

Disarankan kepada perawat pengisi Kartu Obat Pasien agar lebih rapih dan tepat
dalam mencatat pemberian obat kepada pasien, disertakan detail dengan jam
waktu pemberian obat dan tanggal kapan obat mulai diguanakan ataupun obat
dihentikan.
Daftar Pustaka

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset


kesehatan dasar. Bakti Husada; 2013.

Depkes, RI.(2008).Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Direktorat


pengendalian penyakit tidak menular Kemenkes RI.

Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2014. Pedoman


Pemantauan Terapi Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Drugs.com, diakses dari https://www.drugs.com/ diakses tanggal 27 Agustus 2020

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2018. Jakarta:


Kemenkes RI; 2018

Menkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit.

Medscape, diakses dari https://www.medscape.com/ pada tanggal 27 Agutus 2020

Pionas BPOM 2020 diakses dari : www.pionas.pom.go.id pada 27 agustus 2020

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2004. Asma dan Pedoman


Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai penerbit FKUI

Rengganis, I,2008, Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial, Fakultas


Kedokteran, Universitas Indonesia.

Smeltzer & Bare. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medika Bedah. Jakarta : EGC

Simadibrata MK. Diagnosis of NSAID gastropathy and its com-plications. In:


Simadibrata MK, Abdullah M, Syam AF, editors.Procedings of the 4th
international endoscopy workshop & inter-national symposium on digestive
disease. Jakarta: PusatPenerbitan Departemen IPD FK UI; 2008. p. 85-7.2.
Tugushi M. Nonsteroidal anti inflamatory drug (NSAID) associated
gastropathies [online]. World Medicine [cited January 28 2011].
Available

from:http://www.worldmedicine.ge/?
Lang=2&level1=5&event=publication&id

Lampiran
Cover dan halaman awal rekam medis pasien
Lampiran 2
Pengakajian keperawat di IGD
Lampiran
Asssement awal medis gawat darurat
Lampiran lajutan
Asssement awal medis gawat darurat
Lampiran
radiologi
Lampiran
Hasil lab tanggal 23 agustus 2020
Hasil lab tanggal 27 agustus 2020

Lampiran
Surat pengatar rawat inap
Lampiran
Surat pernyatan dokter penanggung jawab (DPJP)
Lampiran
Assemen awal medis anak rawat inap
Lanjutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi
Lanjutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi
Lajutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi

Lanjutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi

Lanjutan lampiran
Catatan perkembangan pasien terintegrasi
Lampiran
Formulir evaluasi harian
Lampiran
Formulir rekonsiliasi obat
Lampiran
Catatatan pengobatan
Lampiran
Pemberian pendidikan kesehatan pasien/keluarga terintegrasi

Anda mungkin juga menyukai