Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Marx1, yang dimaksud dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome atau
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau
sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV atau infeksi virusvirus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya. Virusnya
disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan
pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan virusvirus sejenisnya umumnya ditularkan
melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah,
dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan
preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal,
ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama
kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh
tersebut. Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.
Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta
orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO
memperkirakan bahwa AIDS menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama
kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981.
Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS) diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun
2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah
kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi
dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus
sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses
terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara. Hukuman sosial bagi penderita
HIV-AIDS umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit
Penyakit menular seksual terus menjadi ancaman bagi penduduk didunia. Pemberantasan
penyakit menular yang merupakan bagian dari pembangunan kesehatan menjadi perhatian
setiap negara. Salah satu penyakit menular yang menjadi fokus perhatian adalah HIV dan
AIDS. Berdasarkan Peraturan Wali Kota Pekanbaru Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Pekanbaru yang tercantum dalam Pasal
2 ayat 1 sampai 5 yaitu:
1. Mencegah dan mengendalikan laju penularan HIV dan AIDS baik pada masyarakat
umum, kelompok rentan, kelompok resiko tinggi tertular HIV dan meningkatkan
kualitas hidup orang yang telah terempeksi HIV.
2. Menyebar luaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif dengan menitik
beratkan pencegahan pada perilaku resiko tinggi tertular HIV.
3. Menyediakan pelayanan kesehatan berupa layanan Konseling Tes Sukarela (KTS),
Pengobatan Perawatan dan Dukungan kepada orang yang telah terempeksi HIV dan
kelompok populasi kunci dalam upaya pencegahan.
4. Mengoktimalkan peran serta masyarakat termasuk orang yang telah teremfeksi HIV
dan kelompok populasi kunci dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS.
5. Menciptakan dan mengembangkan kemitraan antara instansi Pemerintah/Pemerintah
Daearah, LSM, Lembaga Donor, Sektor Swasta/Dunia Usaha, Organisasi Profesi,
Organisasi Kepemudaan, Organisasi Keagamaan, Organisasi masyarakat peduli HIV
dan AIDS dan Perguruan Tinggi secara terpadu dan berkelanjutan guna meningkatkan
respon terhadap penularan/penyebaran HIV/AIDS.

Pemerintah Kota Pekanbaru menyadari sepenuhnya, bahwa perkembangan penularan dan


penyebaran HIV dan AIDS memperlihatkan kecenderungan yang semakin memprihatinkan
dimana jumlah kasus HIV dan AIDS terus meningkat di Kota Pekanbaru. Perkembangan
jumlah kasus HIV dan AIDS di Kota Pekanbaru meningkat secara tajam dan cukup signifikan
serta wilayah penularan dan penyebarannya semakin meluas, karena HIV dan AIDS sudah
menjadi ancaman epidemik. Dari tahun 2013 sampai dengan bulan Februari 2019 di Kota
Pekanbaru telah terdapat kasus HIV dan AIDS. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai kasus
HIV dan AIDS yang terdapat di Kota Pekanbaru, penulis sajikan pada table berikut: HIV
adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup.
Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik (Zein, 2006). Sementara itu Davey (2006) mengatakan “HIV atau Human
Immune Deficiency Virus yaitu virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yang merupakan
sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh penurunan sistem kekebalan tubuh karena
serangan HIV (Djoerban dan Djazulia, 2006). Menurunya kekebalan tubuh terhadap penyakit
karena infeksi virus HIV (Human Immunodeviciency Virus) (Djoerban & Djazuli, 2006).
Dari keterangan tersebut jelas bahwa sebelum seseorang menderita AIDS dalam tubuhnya,
terlebih dahulu terjadi kerusakan sistem kekebalan tubuh. Akibat kerusakan kekebalan tubuh
tersebut tubuh penderita menjadi peka terhadap infeksi kuman yang dalam keadaan normal
sebenarnya tidak berbahaya. Infeksi kuman 3 bentuk ini disebut infeksi oportunistik. Infeksi
oportunistik adalah infeksi yang timbul karena mikroba yang berasal dari luar tubuh maupun
dalm tubuh manusia, namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh.
(Kemenkes, 2011)

Tabel 1.1

Jumlah Kasus HIV dan AIDS di Kota Pekanbaru

Dari Tahun 2013 s/d Tahun HIV AIDS


Februari 2019 No
1 2013 133 69
2 2014 261 107
3 2015 347 187
4 2016 462 253
5 2017 544 342
6 2018 622 436
7 Februari 2019 116 98
Melihat kondisi yang demikian, maka untuk mencegah dan menanggulangi semakin
meningkatnya penderita HIV/AIDS di Kota Pekanbaru perlu adanya kebijakan untuk
menanggulangi penyakit HIV/AIDS melalui Permenkes No.21 Tahun 2013. Peraturan
Menteri ini meliputi penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif dan
berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan
dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga, dan masyarakat. Melalui Permeskes No. 21
Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV/AIDS Dinas Kesehatan bekerjasama dengan
Puskesmas dalam menanggulangi penyebaran virus HIV/AIDS di Kota Pekanbaru, dapat
dilihat dari table berikut:

Tabel 1.2
Program Kegiatan dan Tujuan serta Sasaran Penanngulangan HIV/AIDS di

Kota PROGRAM/ KEGIATAN TUJUAN SASARAN


Pekanbaru KEGIATAN
No
1 Penemuan Penemuan Mengetahui Masyarakat
kasus baru kasus secara informasi potensial di
HIV/AIDS di dini tentang pekanbaru
masyarakat (Penemuan adanya
kasus baru masyarakat
HIV/AIDS di yang
masyarakat terjangkit
HIV/AIDS
2 Pendampinga Pendampinga Meningkatkan Penderita
n rujukan n kasus kualitas ODHA baru
penderita (pendampinga ODHA baru
ODHA baru n rujukan dengan
kepuskesmas penderita pengobatan
atau ke ODHA baru
Rumah Sakit ke puskesmas
atau Rumah
Sakit)
3 Kunjungan Pelayanan Mengetahui Penderita
Ulang Kesehatan kualitas ODHA baru
pelayanan Pada
Masyarakat
(Kunjuan

1.1 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari HIV/AIDS ?

2. Apa saja jenis-jenis ?

3. Bagaimana pengaruh dan efek dari penggunaan narkoba?

4. Apa saja penyebab dari penggunaan napza ?

5. Bagaimana napza ditinjau dari agama ?

6. Bagaimana pencegahan dan solusi dari penyalahgunaan napza ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari napza

2. Mengetahui apa saja jenis-jenis dari napza

3. Mengetahui pengaruh dan efek dari penggunaan narkoba

4. Mengetahui penyebab dari penggunaan narkoba

5. Mengetahui napza yang ditinjau dari agama

6. Mengetahui pencegahan dan solusi dari penyalahgunaan napza

1.2 Manfaat
BAB II
Tinjauan Teori

2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang sistem imun
manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag
dan limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kondisi
immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder,
serta manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti terdiri atas
untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA
pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu
penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi
immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun
setelah diagnosis (Corwin, 2009).
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit
akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).
2.1.2 Klasifikasi
a. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan terinfeksi.
Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini
antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala
ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).
b. Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah
positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang
lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari
dan sembuh sendiri).
c. Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS. Gejala –
gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus
menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu
makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase
ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
d. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh
sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut
dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru yang menyebabkan radang
paru – paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau
sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan
infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala (Hasdianah & Dewi,
2014).
2.1.3 Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari
sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated
Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-
Cell Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya
(RNA) menjadi asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu
(Nurrarif & Hardhi, 2015). Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase
yaitu:

a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari,
berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh,
dan manifestasi neurologis
2.1.4 Kelompok Risiko
Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai berikut:
a. Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian
b. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang untuk
kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks
c. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki

d. Narapidana

e. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi

f. Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko seperti


kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV tanpa
pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks (Ernawati, 2016).
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah a. Lelaki homoseksual atau biseks
b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi

c. Orang yang ketagihan obat intravena

d. Partner seks dari penderita AIDS

e. Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).

2.1.5 Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring
pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan
terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada
AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut
yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan,
limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang
asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama
bertahun – tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa
infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi
autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014).
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel – sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe,
limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler
makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto & Made Ari, 2013). Seseorang yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat
berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 – 300
per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala –
gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).
2.1.6 Manifestasi Klinis
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:

a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung
antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya
b. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem
imun atau kekebalan
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa
diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis
oral yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi.
Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder
(Soedarto, 2009).
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi
menurut WHO:
a. Stadium 1 (asimtomatis)
1) Asimtomatis
2) Limfadenopati generalisata

b. Stadium 2 (ringan)

1) Penurunan berat badan < 10%

2) Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis,


ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritik
3) Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir

4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
c. Stadium 3 (lanjut)
1) Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas

2) Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan

3) Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan

4) Kandidiasis oral persisten

5) Oral hairy leukoplakia

6) Tuberculosis paru

7) Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi tulang/sendi,


meningitis, bakteremia
8) Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut

9) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×10 9/L) tanpa sebab
jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas
d. Stadium 4 (berat)

1) HIV wasting syndrome

2) Pneumonia akibat pneumocystis carinii

3) Pneumonia bakterial berat rekuren

4) Toksoplasmosis serebral

5) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan


6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
7) Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral

8) Leukoensefalopati multifocal progresif

9) Mikosis endemic diseminata

10) Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus

11) Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru

12) Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren

13) Tuberculosis ekstrapulmonal


14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV,
kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma
serviks invasive, leismaniasis atipik diseminata
15) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis
(Kapita Selekta, 2014).
2.1.7 Komplikasi
a. Oral lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.

b. Neurologik

1) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency


Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
2) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensefalitis. Dengan efek: sakit
kepala, malaise, demam, paralise total/parsial.
3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
4) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV.

c. Gastrointertinal

1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-
gatal dan siare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus
dan strongyloides dengan efek sesak nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan,
gagal nafas.

e. Dermatologik

Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar,
infeksi sekunder dan sepsis.

f. Sensorik

1) Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan

2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran


dengan efek nyeri (Susanto & Made Ari, 2013).
2.1.8 Cara Penularan
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah,
semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya seseorang tergantung pada status
imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia serta jenis kelamin merupakan faktor risiko.
Seseorang akan berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah dengan orang yang
terinfeksi, pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama pada pengguna narkoba,
hubungan seksual (Corwin, 2009). Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain
melalui cairan tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam
saliva, air mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat didalam air mata
dan keringat. Pria yang sudah disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan
dengan pria yang tidak disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui:
a. Ibu hamil

1) Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)

2) Angka transmisi mencapai 20-50%

3) Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga

4) Laporan lain menyatakan risiko penularan malalui ASI adalah 11-29%


5) Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian pada
duakelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi
dan kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya,
melaporkan bahwa angka penularan HIV pada bayi yang belum disusui adalah
14% (yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan
persalinan), dan angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya
disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya
selama 6-15 bulan.
b. Jarum suntik

1) Prevalensi 5-10%

2) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena
penyalahgunaan obat
3) Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa, pengguna obat
suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali 53%.
c. Transfusi darah

1) Risiko penularan sebesar 90%

2) Prevalensi 3-5%

d. Hubungan seksual

1) Prevalensi 70-80%

2) Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim

3) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini dengan
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kondom, maka
penularan melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh penularan
melalui jalur penasun (pengguna narkoba suntik) (Widoyono, 2011).
2.1.9 Pencegahan Penularan

a. Secara umum
Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu: A: Abstinence
– memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi, terutama seks
pranikah

B: Be faithful – saling setia

C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar

D: Drugs – menolak penggunaan NAPZA

E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama

b. Untuk pengguna Napza

Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti
menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama.

c. Untuk remaja

Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari penggunaan obat-


obatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung
percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku
yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab
(Hasdianah & Dewi, 2014).

2.1.10 Pengobatan
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah
antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan
untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan
yang termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi
oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek
samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu
menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll
(Hasdianah dkk, 2014).
2.1.11 Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi: a. ELISA (Enzyme-
Linked ImmunoSorbent Assay)
Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil
positif 2-3 bulan setelah infeksi.

b. Western blot

Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal,


dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

c. PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini digunakan untuk:


1) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi yang dapat
menghambat pemeriksaan secara serologis.
2) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi
3) Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi.

4) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk
HIV-2 (Widoyono, 2014).
2.2 Persepsi
2.2.1 Definisi
Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasikan terhadap rangsang yang
diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan suatu yang berarti dan merupakan
aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena merupakan aktivitas yang intergrated,
maka dalam seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu aktif berperan dalam
persepsi itu (Walgito, 2012).
Persepsi adalah proses mengintergrasikan, mengenali, dan menginterpretasikan informasi
yang diterima oleh sistem sensori, sehingga menyadari dan mengetahui apa yang di indra sebagai
bentuk respons dari individu (Walgito, 2003 & Pinel, 2009 dalam Puspitawati, 2012). Persepsi
adalah kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan dan sebagainya
itu, yang selanjutnya diinterprestasi. Persepsi berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari
dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam otak. Di
dalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam pemahaman (Sarwono,
2014).
2.2.2 Jenis-Jenis

Ada dua macam persepsi, yaitu:


a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang
dari luar diri individu.
b. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari
dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri
(Sunaryo, 2004).
Ada dua bentuk persepsi yaitu antara lain:
a. Persepsi positif
Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menuju pada suatu keadaan
dimana subjek yang mempersepsikan cenderung menerima objek yang ditangkap
sesuai dengan pribadinya.
b. Persepsi negative
Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menunjuk pada keadaan
dimana subjek yang mempersepsi cenderung menolak objek yang ditangkap karena
tidak sesuai dengan pribadinya.

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Berikut ini adalah beberapa faktor yang berperan dalam persepsi

a. Adanya objek yang dipersepsi


Objek menimbulkan stimulus yang masuk melalui indra atau reseptor. Stimulus
bisa berasal dari lingkungan mauun dari dalam diri manusia sendiri yang langsung
mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor, tetapi sebagian besar
stimulus berasal dari luar individu.
b. Adanya alat indra (sistem sensori) dan sistem saraf pusat
Alat indra merupakan alat untuk menerima stimulus. Setelah stimulus diterima
reseptor, maka stimulus selanjutnya akan dikirim ke sistem saraf pusat, yaitu otak
yang merupakan pusat kesadaran melalui sel-sel saraf sensori, sedangkan untuk
menghasilkan suatu respons diperlukan adanya sel-sel saraf motoris.
c. Atensi (perhatian selektif) (Puspitawati & Hapsari, 2012).

Menurut Yue (2012), terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi sebagai
berikut:
a. Pengamat: penginterpretasikan dari apa yang seseorang lihat bergantung pada
karakteristik pribadi orang tersebut
b. Sikap: mempengaruhi persepsi yang dibentuknya akan hal-hal di sekitarnya

c. Motif atau alasan dibalik tindakan yang dilakukan seseorang yang mampu
menstimulasi dan memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan persepsi mereka
akan segala sesuatu
d. Ketertarikan atau interest: fokus perhatian kita terhadap hal-hal yang tengah dihadapi
membuat persepsi orang berbeda-beda
e. Pengalaman: pengetahuan atau kejadian yang telah didapatkan dan dialami seseorang.
f. Harapan atau ekspresi: gambaran atau ilustrasi yang membentuk sebuah pencitraan
terhadap sebuah keadaan.
Menurut Rakhmat (2005), faktor yang dapat mempengaruhi persepsi baik dari internal maupun
eksternal adalah sebagai berikut

a. Faktor internal

1) Alat indra

Alat untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris
sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan
syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon
diperlukan syaraf motoris.

2) Perhatian

Untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu


langkah pertama sebagai suatu persiapan merupakan pemusatan atau konsentrasi
dari seluruh individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

3) Pengalaman

Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu


lewatproses belaar formal. Pengalaman bisa bertambah melalui rangkaian
peristiwa yang pernah dihadapi.

b. Faktor eksternal
1) Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenaialt indra atau reseptor. Stimulus


dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari
individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang
bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.

2) Informasi

Era teknologi zaman sekarnag ini lebih dari kata maju, banyak sekali cara untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber yang terpercaya,
baik dari media cetak maupun elektronik.

3) Budaya/lingkungan

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara
sosial oleh para anggota suatu masyarakat.

2.2.4 Proses Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004), proses terjadinya persepsi melalui tiga proses yaitu proses fisik,
proses fisiologis dan proses psikologis. Proses fisik berupa objek menimbulkan stimulus, lalu
stimulus mengenai alat indera atau reseptor.

Proses fisiologis berupa stimulus yang diterima oleh indera diteruskan oleh saraf sensoris
ke otak. Sedangkan proses psikologis berupa proses dalam otak sehingga individu menyadari
stimulus yang diterima. Individu mengenali suatu objek dari dunia luar dan ditangkap melalui
inderanya. Bagaimana individu menyadari, mengerti apa yang diindera ini merupakan suatu
proses terjadinya persepsi. Proses terjadinya persepsi dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Proses fisik atau kealaman

Tanggapan tersebut dimulai dengan objek yang menimbulkan stimulus dan akhirnya
stimulus itu mengenai alat indera atau reseptor.

b. Proses fisiologi

Proses fisiologi yaitu stimulus yang diterima oleh alat indera kemudian dilanjutkan
oleh syaraf sensorik ke otak.
c. Proses psikologis

Proses psikologis adalah proses yang terjadi dalam otak sehingga seseorang dapat
menyadari apa yang diterima dengan reseptor itu sebagai suatu akibat stimulus yang
diterimanya (Walgito, 2010).

2.3 Teori Health Belief Model

2.3.1 Definisi
Health Belief Model (HBM) merupakan suatu teori mengenai faktorfaktor intrapersonal
yang berpengaruh terhadap health belief behavior yang kemudian digunakan dalam penyusunan
program kesehatan, baik dalam hal intervensi maupun preventif (Burke, 2013). Teori health
belief model menjelaskan bahwa kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan
tergantung pada hasil dari keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari
sakit dan pertimbangan tentang keuntungan serta kerugian (Machfoedz, 2008). Pada health belief
model, perubahan sikap terhadap kesehatan yang didasari oleh tiga hal yang muncul pada waktu
yang bersamaan (Burke, 2013), yaitu:
a. Individu tersebut menemukan bahwa alasan untuk fokus terhadap masalah
kesehatannya.
b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan dan efek negatif dari penyakit yang
diderita.
c. Individu tersebut menyadari bahwa perubahan perilaku dapat bermanfaat untuk
kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih efektif terutama dalam hal
pembiayaan.
2.3.2 Komponen Health Belief Model

Komponen health belief model antara lain :

a. Perceived Susceptibility (persepsi kerentanan)

Persepsi akan kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong


individu untuk berperilaku lebih sehat. Suatu keyakinan pencegahan terhadap suatu
penyakit akan timbul bila seseorang telah merasa bahwa ia dan keluarganya rentan
terhadap penyakit tersebut ataupun keyakinan untuk melakukan suatu perilaku
tertentu. Persepsi individu tentang kemungkinan terkena suatu penyakit. Mereka yang
merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam.
Kerentanannya dirasakan setiap individu berbeda tergantung persepsi tentang resiko
yang dihadapi individu pada suatu keadaan tertentu. Seseorang akan bertindak untuk
mencegah penyakit bila ia merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit tersebut
tapi sebaliknya mereka yang merasa jauh dari resiko akan menyangkal kemungkinan
terkena penyakit atau kondisi yang merugikan.

b. Perceived Severity (persepsi keparahan)

Keyakinan individu untuk mencari pertolongan pengobatan atau pencegahan


penyakit didorong pula oleh keseriusan suatu penyakit tersebut terhadap individu atau
masyarakat. Keseriusan ini merupakan dampak atau resiko yang akan ditanggung oleh
penderitanya, resiko ini tidak hanya resiko secara fisik tetapi resiko yang datangnya
juga dari lingkungan sekitarnya misalnya pandangan moral, agama, norma
masyarakat, keuangan dan lainnya.

Pandangan atau keyakinan individu tentng beratnya penyakit yang diderita.


Selain keseriusan penyakit yang diderita, keyakinan seseorang mengenai akibat atau
efek dari suatu penyakit dapat dipertimbangkan dari sudut pandang kesulitan-kesulitan
yang diciptakan oleh suatu penyakit seperti kematian, pengurangan fungsi fisik dan
mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial seperti kehilangan waktu
kerja dan biaya pengobatan.

c. Perceived Benefits (persepsi manfaat)

Persepsi individu tentang manfaat yang diperoleh dari perilaku baru yang
dilakukan untuk mengurangi risiko suatu penyakit. Keyakinan terhadap manfaat yang
dirasakan ketika melakukan suatu tindakan tertentu dan tetap melakukan tindakan
tersebut.

Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif memang bermanfaat


mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan
sumberdaya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi
oleh norma dan tekanan dari kelompok. Sulit meyakinkan seseorang untuk mengubah
perilaku jika tidak ada sesuatu manfaat untuk mereka.
d. Perceived Barriers (persepsi hambatan)

Persepsi terhadap biaya/aspek negative yang menghalangi individu untuk


melakukan tindakan kesehatan. Misalnya membutuhkan biaya, usaha, waktu yang
lama, dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Apabila individu menghadapi
rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut.

e. Cues to Action (isyarat untuk melakukan tindakan)

Isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal maupun internal, misalnya


pesan-pesan pada media massa, nasihat atau anjuran anggota keluarga, aspek
sosiodemografis misalnya tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, pengasuhan
dan pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi,
sosial dan budaya untuk melakukan perubahan perilaku.

Kejadian eksternal yang menganjurkan suatu keinginan untuk membuat


perubahan kesehatan, suatu isyarat untuk bertindak kadangkadang membantu
menggerakkan seseorang dari keinginan untuk membuat perubahan kesehatan.

f. Self Efficacy (kepercayaan diri untuk bertindak)

Keyakinan seseorang bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau


menampilkan suatu perilaku tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Ahluwalia V.K, Ahluwalia M. 2005. HIV/AIDS transmission, prevention andalternative


therapies. New Delhi: Lotus Press.

Zeth, Arwam Hermanus Markus. "Perilaku dan Risiko Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua
Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS." Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan 13.04 (2010).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatas Lingkungan.
Kemenkes RI. 2013. Laporan Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Triwulan IV Tahun 2011.
Jakarta: Kemenkes RI
Kemenkes RI. 2013. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Update Terakhir 11 Maret 2014.
Jakarta: Kemenkes RI.

Anda mungkin juga menyukai