Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SKI

Tentang

ILMUAN MUSLIM DAN PERANNYA DALAM PERADAPAN ISLAM


PADA MASA DINASTI ALAYYUBIYAH

Disusun Oleh :

Aurel Jandriko
Tilla Apriliani
Elvita Najwa
Fedora Fajrul Dwika
Nuzul Alham Dani
Ikmal Fathan

Guru Pembimbing : Indri Antoni, S.Pd.I

MTs.M LUBUK JAMBI


KECAMATAN KUANTAN MUDIK
KABUPATEN KUANTAN SINGINGI
TAHUN 2020
3. ABU BARAKAT AL - BAGHDADI

Abu'l-Barakat al-Baghdadi dikenal sebagai seorang


dokter dan filsuf. Ia dikenal pula sebagai seorang saintis. Nama
lengkapnya, Hibat-Allah ibn Ali ibn Malka Abu'l-Barakat al-
Baghdadi. Ia pun memiliki nama julukan, Awhad al-Zaman
atau orang ternama pada zamannya.

Julukan ini diyakini terkait dengan profesi Barakat sebagai


seorang dokter. Sebab, ia merupakan dokternya para khalifah
Baghdad, tempat ia tinggal. Ia juga dokter langganan para
sultan dari Dinasti Seljuk. Selain melakukan praktik
kedokteran, ia juga mengajar tentang kedokteran.

Barakat memiliki sejumlah murid kedokteran. Ia tak hanya dikenal dengan julukannya Awhad
al-Zaman, tapi juga memiliki reputasi luas karena karya fenomenalnya yang berjudul Al Kitab al
Mu'tabar.
Karya ini berisi esai-esai Barakat tentang filsafat. Dalam esainya itu, ia menguraikan konsep-
konsep dasar tentang filsafat alam dengan analisis yang tajam. Kitab ini disusun saat ia mencapai
usianya yang matang.

Kitab al-Mu'tabar berisi refleksi-refleksi filosofis Barakat yang dilakukannya dari waktu ke
waktu. Terutama, mengenai logika, fisika, ilmu pengetahuan alam, dan metafisika. Ia mengutip
pula Kitab al-Shifa yang ditulis cendekiawan Muslim ternama, Ibnu Sina.

Bahkan, dalam beberapa bagian bukunya, Barakat mengutip sepenuhnya kalimat Ibnu Sina.
Namun, ia pun menyanggah pemikiran Ibnu Sina dan menguraikan alasan tak sependapat
pemikirannya dengan Ibnu Sina tersebut.

Barakat mengenalkan ide-ide alternatif yang menarik. Dan, ide tersebut mengantarkan gaungnya
pada perkembangan fisika modern. Seperti, idenya mengenai gerak dan konsep tentang waktu.
Pada 1938, seorang ilmuwan, Shlomo Pines, menaruh perhatian besar pada ide inovatif Barakat
itu.

Pemikiran Barakat tentang gerak, di antaranya mengenai gerakan proyektil, yang memiliki kaitan
dengan perkembangan teknologi pada beberapa abad kemudian. Ini bermula dari perbincangan
mengenai bubuk mesiu yang ditemukan di Cina.

Bubuk mesiu tersebut menjadi sangat populer dalam perang Eropa pada abad ke-15. Bubuk ini
digunakan pihak-pihak yang bertikai dalam peperangan untuk mendorong proyektil besar, guna
menghantam tembok-tembok pertahanan kota yang mereka serang.

Pada pertengahan abad ke-16, para pakar senjata di Eropa mulai mencari cara lain untuk
meningkatkan daya jangkau kekuatan artileri mereka. Ada sisi lain dari perkembangan itu yang
menjadi sebuah polemik dalam bidang sains.

Sebab, ternyata gerak proyektil yang didorong bubuk mesiu itu tak sesuai dengan konteks
doktrin gerak yang diusung oleh Aristoteles. Dalam konteks ini, berdasarkan hukum gerak
Aristoteles mestinya proyektil yang dilontarkan jatuh langsung ke tanah.
Pada kenyataannya, proyektil itu justru tak langsung jatuh ke tanah saat terlontar dari selongsong
meriam. Sebaliknya, benda tersebut bergerak mengikuti sebuah lintasan melengkung. Bahkan,
para pendukung Aristoteles yang paling setia pun melihat cacat doktrin itu.

Kritik terhadap konsep gerak yang diusung Aristoteles, sebenarnya bermunculan sebelum abad
ke-15. Banyak cendekiawan termasuk cendekiawan  Muslim melontarkan kritik terhadap doktrin
gerak Aristoteles.

Misalnya, Joannes Philoponus yang lebih dikenal sebagai John the Grammarian. Kritik itu lalu
dikembangkan lebih jauh oleh cendekiawan Muslim Ibnu Sina, Barakat, dan Ibnu Bajja dari
Andalusia pada abad ke-12.

Dalam konteks ini, Barakat menyatakan ada tenaga dorong dari meriam untuk melontarkan
proyektil. Hingga proyektil itu terdorong dan mencapai jarak tertentu. Bukan seperti yang
dilontarkan oleh Aristoteles bahwa proyektil akan langsung jatuh ke bumi.

Hal itu tak akan terjadi, kata Aristoteles, jika ada penggerak yang berhubungan dengan objek
yang sedang bergerak. Saat penggerak tak ada, objek itu akan langsung jatuh ke bumi. Pada
kenyataannya, proyektil itu tak langsung jatuh, tapi bergerak meniti garis lengkung.

Konsep yang diajukan oleh Barakat dan Ibnu Sina mengenai gerakan proyektil ini, kemudian
menjadi acuan pula bagi pengembangan konsep dorongan dan momentum. Terutama, pada
pemikiran yang dikembangkan Galileo Galilei pada abad ke-17.

Pemikiran lain Barakat adalah mengenai akselerasi atau percepatan. Ia mengatakan, percepatan
gerak benda jatuh disebabkan adanya gaya gravitasi yang menghasilkan kecenderungan alami
benda tersebut untuk jatuh.

Konsep pemikiran Barakat digunakan untuk mengantisipasi hukum dasar mekanika klasik. Ia
juga menjelaskan, percepatan yang dialami benda berat yang jatuh merupakan kecenderungan
alami. Pemikiran dia ini mendorong lahirnya hukum dasar dinamika modern.

Paling tidak melalui pemikiran-pemikiran itu, Barakat telah menyumbangkan banyak ide baru
mengenai fisika yang berkaitan dengan gerak. Selain mengemukakan hukum percepatan, dia
juga menyatakan gerak itu relatif.

Dalam Kitab al-Mu'tabar, Barakat memberi perhatian atas kondisi yang saling memengaruhi
antara kata-kata dan konsep. Misalnya, ia mengembangkan teori inovatifnya tentang waktu. Ini
terlontar setelah ia menemukan sebuah kesimpulan.

Menurut Barakat, kata waktu yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah
konsep fundamental. Ia mengatakan, waktu merupakan sebuah entitas. Ia menegaskan pula
bahwa waktu adalah ukuran sesuatu yang terjadi bukan ukuran gerak seperti kata Aristoteles.

Barakat memiliki pula kontribusi pemikiran dalam bidang psikologi. Ia membahas tentang
kesadaran diri. Hal ini pernah pula diangkat oleh Ibnu Sina, terutama yang berkaitan dengan
kegiatan ini. Namun, Barakat melakukan kajian lebih dalam.
Kehidupan Barakat

Barakat hidup di abad ke-11 hingga abad ke-12. Ia lahir di Balad, sebuah kota di wilayah Tigris,
dekat Mosul, Irak. Ia dilahirkan di sebuah keluarga Yahudi. Laman Muslimheritage dan
Wikipedia, mengungkapkan, akhirnya Barakat memutuskan untuk memeluk Islam.

Saat menjalani profesinya sebagai seorang dokter, Barakat memiliki saingan berat, yaitu seorang
dokter Kristen bernama Ibn al-Tilmidh. Di sisi lain, ia pun memiliki teman karib bernama Ishaq
bin Ibrahim bin Erza yang menulis sebuah buku berisi kata-kata sanjungan terhadapnya.

Ibn Abi-Usyabi'a in juga menulis sebuah karya yang berisi sejumlah anekdot dan ungkapan, serta
daftar sejumlah karya Barakat dalam bidang kedokteran. Ini dianggap sebagai sebuah karya
biografi tentang Barakat yang lengkap.

Setumpuk Karya Barakat

Harus diakui, karya fenomenal Abu'l-Barakat al-Baghdadi adalah Kitab al-Mu'tabar. Karya ini
berisikan beragam pemikiran Barakat dalam sejumlah bidang, terutama filsafat dan sains.
Namun, ada sejumlah karya lain yang ditulis Barakat.

Di antaranya adalah karya dalam bidang kedokteran. Barakat memang dikenal pula sebagai
seorang dokter. Karyanya dalam bidang kedokteran adalah risalah mengenai farmakologi yang
berjudul Sifat Barsha'tha, dan berisi resep obat-obatan dari India.

Terdapat tiga salinan karya tersebut yang tersimpan di perpustakaan Turki. Selain itu, ada risalah
lain tentang farmakologi yang ditulis oleh Barakat, yaitu risalah yang ia beri judul Tiryaq Amir
al-Arwah.

Salinan karya tersebut tersimpan di Perpustakaan Kitapsaraydi Manisa, Turki. Ada pula risalah
lain mengenai pemikiran intelektual yang berjudul Maqala fi'l-'Aql. Karya tersebut disimpan di
perpustakaan di Iran dan Leipzig, Jerman.

Ada pula risalah Barakat yang diberi judul Risala fi Sabab Zuhur al-Kawa-kib Laylan wa
Khafa'iha Naharan. Dalam risalahnya ini, ia menjelaskan mengapa bintang bisa terlihat di langit
pada malam hari. Karya ini ditulis untuk menjawab pertanyaan Sultan Muhammad Tapar.

Manuskrip tentang karyanya itu disimpan di perpustakaan di Berlin, Jerman, dan Hiderabad,
Pakistan. Juga, ada risalah mengenai kajian astronomi soal piring universal. Risalah ini berjudul
Risala fi al-Amal bi al-Safiha al-Afaqiyyah.
4. DAUD AL AN-TAKI

Nama lengkapnya adalah Daud bin Umar Al-Darir Al-Antaki. Ia lahir


di Antiokia sebagai putra Ka'is ( Kepala, Ketua ) dari Karyat Sidi
Habib Al-Najjar. Ia dikenal sebagai tabib ahli fisioterapi, ahli meramu
obat, dan ahli ilmu jiwa. keahliannya itu menyebabkan ia diberi gelar
" Thabib Hazhiq al-Wahid "
Walaupun kedua matanya buta, ia kemudian dibawa serta berlayar
mengarungi samudera yang mengantarkannya masuk ke Asia Kecil.
Di sana Daud mendalami bahasa dan kebudayaan Yunani kuno atas
saran seorang dokter berbangsa Persia yang berhasil menyembuhkan
penyakit yang telah lama diidapnya, dengan maksud agar al-Antaki
bisa lebih berkonsentrasi menekuni dan mendalami sumber-sumber
ilmu pengetahuan ketabiban kedokteran langsung dari teks teks aslinya.

Karya utama al_antaki yang dinilai sebagai buku pegangan ( hand book ) kedokteran lengkap
dengan kupasan mendalam adalah berjudul " Tadkhirat Ulil a-Bab Wal Jami'ill ajab al-Ujab "
Kairo 1308-1309/1890-1891. Buku tebal ini dianggap sejajar dan berbobot  kualitasnya dengan
karya-karya prestatif ilmuwan kondang Ibnu al-Baytar. Buku tersebut juga merupakan indikasi
keadaan sains dan ilmu medis islam selama abad ke-16, pada saat arus sains di Eropa mulai
bergerak ke arah baru

Karena karyanya " Seni Bercinta ", kemudian dianggap hanya sebagai sebuah halam belakang
ilmu kedokteran, ia pun lantas mengedit pula karangan Muhammad Al-Sanay ( wafat tahun 500
Hijriyah / 1106 Masehi ) tentang " Cinta " di bawah judul " Tanzym al-Aswak bi tafsir ( Tartib )
Ash dan kawak al-Ushshak", Bulak 1251/1864 dan 1291/1862, 1302/1884, 1305/1887 dan
1308/1309
Di tengah kesibukannya, al-Anthaki sempat menulis sebuah buku setebal 700 halaman. Buku itu
berjudul Kitab Nafis, yang kemudian buku ini dikenal dengan nama Tazkirah Daud. Dikemudian
hari, buku ini juga diberi judul tambahan judul Tazkirah Ulil Alhab wal Jami'lil 'Ajabil Ujjah.
Untuk waktu beberapa lama, al-Antaki menetap di sana beberapa waktu, sebelum hengkang atau
pindah lagi ke Mekkah. Di kota suci inilah ( Mekkah ) al-Antaki (meninggal ) berpulang ke
Rahmatullah pada tahun 1008 Hijriah / 1599 Masehi setelah bermukim di sana selama kurang
lebih setahun. Setelah menyelesaikan sejumlah monograf yang ringkas, Daud juga menulis
sebuah karya mengenai kecaman pedas para Filosof berjudul " Risalah fi Ta'ir Wal Ukab " dan
karangan lain tentang penggunaan astrologi dalam kedokteran " Unmudhai fi'ilmal Falak"
5. AL – BUSHIRI

Hari itu merupakan hari yang sangat bersejarah bagi


Said. Hatinya berbunga-bunga. Tampak di wajahnya
kebahagiaan dan keceriaan. Janin yang selama ini dinanti-
nanti, kini lahir menghiasi suasana. Tangisan bayi mungil itu
semakin membuat hati terhibur. Ia diberi nama Muhammad.
Kelak, Muhammad masyhur dengan sebutan al-Bushiri. Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Said bin Hammad
Addallâshi Ash-shanhâji asy-Syâdzili al-Bushiri (selanjutnya
ditulis al-Bushiri). Bergelar Syarafuddin (kemuliaan Agama) dan berkunyah Abu Abdillah.

Al-Bushiri lahir pada hari Selasa awal Sya’ban pada tahun 608 H. bertepatan dengan
tanggal  07 Maret 1213 M. Ia lahir di desa Dallash, salah satu desa Bani Suef yang termasuk
bagian wilayah Mesir. Namun, beliau tumbuh besar di desa Bushir, dekat Dallash. Hal itu bisa
dimaklumi. Sebab, Said ayah al-Bushiri, berasal dari Dallash sedangkan ibunya dari Bushir.
Maka tak heran jika di kemudian hari al-Bushiri  juga dijuluki ad-Dalashiri (gabungan Dalash
dan Bushir). Kalau diteliti lebih lanjut al-Bushiri termasuk keturunan Kabilah Sanhaj etnis
Barbar yang tinggal di negara Maroko paling selatan.
 
Di awal pertumbuhnnya, al-Bushiri menempuh pendidikan di rumah. Ia memulai
kegiatan belajarnya dengan menghafal al-Qur'an. al-Bushiri sangat antusias dan giat sekali.
Sehigga, di umur yang masih belia, ia sudah hafal al-Qur'an.

Kemudian, al-Bushiri hijrah ke Kairo. Di sana ia menimba berbagai macam ilmu agama,
tata bahasa, sastra dan sejarah. Ia juga belajar kepada banyak ulama terkenal kala itu. Di
antaranya, Syekh Ali bin Ahmad bin Abi Bakar, Syekh Umar bin Syeikh Isa, Syekh Jamaluddin
bin Yusuf bin Ismail al-Anbali, Syekh Izzudin Abu Umar Abd. Aziz bin Badruddin al-Makruf
bin Ibn Jamaah, Syekh Attaqi ibn Hatim, Syekh Ibrahim bin Ahmad bin Abd. Wahid at-
Tanwahki al-Burhan al-Syami, Syekh Abu Fadlu al-Iraqi, Syekh Ahmad bin Ali bin Muhammad
(Ibn Hajar al-Asqolani), Syekh Abul Abbas Al-mursi, dan yang lainnya.

Beliau adalah salah satu wali Allah I, guru orang-orang yang meniti jalan Ilahi, memiliki
makrifat rabbânî dan mawâhib as-Samadâni. Beliau juga orang istimewa yang selalu berkumpul
dengan Rasulullah r dalam tidur maupun terjaga, orang yang memiliki gelar Syarafuddin
(kemulyaan agama).

Al-Bushiri dalam ilmu tasawuf dan meniti jalan menuju hadhratil-Lâh berguru kepada
Sayyid Abul Abbas al-Mursi, pemegang matarantai tarekat Syadziliyah pasca wafatnya Syekh
Abul Hasan Ali asy-Syadzili. Ajaran tasawuf yang diberikan Syekh Abul-Abbas al-Mursi  begitu
berkesan dan memberikan pengaruh besar dalam pandangan hidup al-Bushiri. Tak'
mengherankan jika al-Bushiri tertulis sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam tarekat
Syadziliyah.

Mengenai perjalanan tasawuf al-Bushiri, Dr. Su’ad Mahir berkata, “Mulanya al-Bushiri
mengajar menulis pada beberapa kelompok di daerah Bilbis. Kemudian beliau meningggalkan
tugas-tugas pemerintahan dan kesengangan dunia, lalu menyendiri dalam kehidupan tasawuf dan
menghabiskan waktunya untuk beribadah. Setelah itu ia pergi ke Iskandariyah untuk menjadi
murid Al-Quthb Abul Abbas Al Mursi".
Ketika al-Bushiri berguru kepada Sayyid Abul Abbas al-Mursi, beliau memiliki banyak
teman seperguruan, di antaranya adalah Syekh Ibnu Athaillah al-Iskandar. Meski sama-sama
memiliki karya dalam bentuk prosa dan puisi, tapi dalam pandangan masyarakat kedua tokoh ini
memiliki keistimewaan berbeda. Syaikh Ibnu Athaillah terkenal  mahir dalam karya prosanya,
sedangkan Imam al-Busiri terkenal pandai dalam bentuk syi’irnya.

Dua santri Sayyid Abul Abbas al-Mursi ini, meski pernah hidup seperiode tapi selisih
tahun kewafatannya relative jauh. Imam al-Bushiri wafat pada tahun 694 H., sedangkan
pengarang Syekh Ibnu Athaillah wafat pada tahun 707 H

Meski al-Bushiri termasuk dalam jajaran para wali, beliau juga dikenal sebagai penyair.
Dalam hal syi’ir, siapapun mengakui keahliannya. Puisi-puisi beliau sangat indah dan
mempesona serta memiliki makna yang agung. Kata-katanya mengalir, susunan lafalnya rapi dan
alur kata apik serta elok.

Beliau juga sangat arif menyusun badî’  dan bayân dalam bait-bait syi’irnya. Bisa dikata,
beliau di antara penyair nomor wahid hingga sekarang. Tidak ada satupun penyair yang mampu
mengalahkan karangan beliau, lebih-lebih Kasidah Burdahnya. Tak heran jika syair beliau
menjadi acuan utama bagi para penyair berikutnya.

Selain cakap dalam menulis puisi, al-Bushiri juga pandai dalam kaligrafi. Tulisan beliau
sangat indah. Bentuknya menyilaukan mata; menggambarkan betapa pandainya beliau meliuk-
liukkan tangannya. Karena kepandaiannya itu, banyak orang yang ingin belajar khât kepadanya.
Sehingga, dalam seminggu orang yang belajar kepada beliau lebih dari 1000 orang. Konon,
beliau belajar tehnis dan kaidah kaligrafi ini kepada Syekh Ibrahim bin Abi Abdullah al-Misri,
salah satu khattât Mesir yang sangat mashur kala itu.

Al-Bushiri memang tidak pernah memperoklamirkan diri sebgai pecinta Rasulullah r.


Namun, kecintaan beliau begitu tampak dari pekertinya. Memang, sedalam apapun perasaan
cinta itu dikubur, serapat apapun cinta itu ditutupi, pasti akan terungkap. Rasa cinta bagaikan
batuk. Sulit sekali bagai orang batuk meyembunyikan batuknya.

Kecintaan al-Bushiri bisa dilihat dari hobinya. Beliau sangat hobi membaca sejarah dan
perjalanan hidup Baginda Nabi Muhammad r.  Rasa cinta itu menggebu-gebu seakan tak mampu
lagi mengendap dalam hati terlalu lama. Kemudian, rasa cinta itu tertuang dalam bait-bait puisi.
Pujian al-Bushiri kepada Nabi r berserakan dalam bait-bait syairnya. Al-Busiri berkata dalam
Kasidah Hamziyahnya,

Bagaimana mungkin
para nabi menggapai darajatmu
Wahai langit yang tak ada langit lagi di atasnya
Engkau lentera keutamman
Cahaya-cahaya lahir dari cahayamu.

Namun yang menjadi puncak dari keindahan sastra dalam memuji sang Baginda r adalah
Kasidah Burdah karya menumentalnya. Sehingga, beliau dijuluki Sayyidul-Madah,Pemimpin
para pemuji Rasulullah r.
Al-Bushiri juga seorang kristolog. Beliau banyak membaca Taurat, Injil, dan karya-karya
yang ditulis oleh orang-orang Nasrani-Yahudi. Dengan keahlian ini, Imam al-Bushiri senantiasa
tampil dalam polemik dan perdebatan melawan orang-orang Nasrani-Yahudi. Konon, al Bushiri
telah menulis kitab al-Mukhraj wal Mardâd `alan-Nashârâ wal-Yahûd yang pernah disebarka
oleh Ahmad Fahmi Muhammad di Kairo pada tahun 1372 H./1953 M. Karangan ini berisi
kritikan-kritikan terhadap keyakinan agama Yahudi-Nasrani. Beliau juga pernah menulis kitab
yang berjudul Tahzdibul alfahd al-Amyah, dan kitab ini juga pernah di cetak di Kairo. Oleh
karena itu, Ibnu Hajar al-Haitami sempat menyebut al-Bushiri sebagai keajaiban Allah I dalam
sajak-prosa-Nya.

Meski demikian, keahlian al-Bushiri dalam karya-karya prosanya masih diragukan karena
memang jarang sekali karya-karya prosanya muncul. Beda halnya dengan keahliannya di bidang
sajak. Dalam bidang ini, tidak ada satu orang pun yang meragukan kemampuan al-Bushiri. 

Selain menjadi keristolog, al-Bushiri juga tidak segan mengkritik aliran-aliran di luar
Ahlusunah Waljamaah. Beliau menolak keras paham Syi'ah Rafidah, kelompok yang benci
sahabat selain dari keluarga Sayyidina Ali t. Beliau juga sangat menentang paham nashb,
kelompok yang membenci Sayyidina Ali. Beliau berpendapat, perselisihan yang terjadi antara
Sayyidina Ali t dan Muawiyah t lahir dari perbedaan ijtihad. Dan itu tidak menjadikan mereka
legal dibenci apa lagi dicaci maki.

Al-Bushiri memang tidak pernah memperoklamirkan diri sebgai pecinta Rasulullah r.


Namun, kecintaan beliau begitu tampak dari pekertinya. Memang, sedalam apapun perasaan
cinta itu dikubur, serapat apapun cinta itu ditutupi, pasti akan terungkap. Rasa cinta bagaikan
batuk. Sulit sekali bagai orang batuk meyembunyikan batuknya.

Kecintaan al-Bushiri bisa dilihat dari hobinya. Beliau sangat hobi membaca sejarah dan
perjalanan hidup Baginda Nabi Muhammad r.  Rasa cinta itu menggebu-gebu seakan tak mampu
lagi mengendap dalam hati terlalu lama. Kemudian, rasa cinta itu tertuang dalam bait-bait puisi.
Pujian al-Bushiri kepada Nabi r berserakan dalam bait-bait syairnya. Al-Busiri berkata dalam
Kasidah Hamziyahnya,

Bagaimana mungkin
para nabi menggapai darajatmu
Wahai langit yang tak ada langit lagi di atasnya
Engkau lentera keutamman
Cahaya-cahaya lahir dari cahayamu.

Namun yang menjadi puncak dari keindahan sastra dalam memuji sang Baginda r adalah
Kasidah Burdah karya menumentalnya. Sehingga, beliau dijuluki Sayyidul-Madah,Pemimpin
para pemuji Rasulullah r.

Al-Bushiri juga seorang kristolog. Beliau banyak membaca Taurat, Injil, dan karya-karya
yang ditulis oleh orang-orang Nasrani-Yahudi. Dengan keahlian ini, Imam al-Bushiri senantiasa
tampil dalam polemik dan perdebatan melawan orang-orang Nasrani-Yahudi. Konon, al Bushiri
telah menulis kitab al-Mukhraj wal Mardâd `alan-Nashârâ wal-Yahûd yang pernah disebarka
oleh Ahmad Fahmi Muhammad di Kairo pada tahun 1372 H./1953 M. Karangan ini berisi
kritikan-kritikan terhadap keyakinan agama Yahudi-Nasrani. Beliau juga pernah menulis kitab
yang berjudul Tahzdibul alfahd al-Amyah, dan kitab ini juga pernah di cetak di Kairo. Oleh
karena itu, Ibnu Hajar al-Haitami sempat menyebut al-Bushiri sebagai keajaiban Allah I dalam
sajak-prosa-Nya.
Meski demikian, keahlian al-Bushiri dalam karya-karya prosanya masih diragukan karena
memang jarang sekali karya-karya prosanya muncul. Beda halnya dengan keahliannya di bidang
sajak. Dalam bidang ini, tidak ada satu orang pun yang meragukan kemampuan al-Bushiri. 

Selain menjadi keristolog, al-Bushiri juga tidak segan mengkritik aliran-aliran di luar
Ahlusunah Waljamaah. Beliau menolak keras paham Syi'ah Rafidah, kelompok yang benci
sahabat selain dari keluarga Sayyidina Ali t. Beliau juga sangat menentang paham nashb,
kelompok yang membenci Sayyidina Ali. Beliau berpendapat, perselisihan yang terjadi antara
Sayyidina Ali t dan Muawiyah t lahir dari perbedaan ijtihad. Dan itu tidak menjadikan mereka
legal dibenci apa lagi dicaci maki.

Suatu ketika, Sa’duddin al-Fariqi, Petugas Pengesahan Surat (stempel) menderita sakit
mata yang sangat parah, sehingga hampir mencapai kebutaan. Suatu malam, dia bermimpi
seseorang yang menyuruhnya agar mendatangi Bahauddin. 

Tanpa fikir panjang dia langsung bergegas menemui Bahauddin dan menceritakan
mimipi itu. Mendengar penuturan Sa’duddin, Bahauddin berkata “Aku tidak memiliki selendang
peninggalan Rasulullah r” Lalu, Bahauddin diam sejenak. Fikirannya ingat sesuatau. “Mungkin
yang dimaksud mimpi itu adalah Kasidah Burdah milik al-Bushiri” Tukas Bahauddin. “Hai
Yaqut… (pembantunya) bukalah peti tempat penyimpanan Kasidah.” Lantas, Yaqut
mengeluarkannya dan membawakanya kepada Bahauddin. Melihat Kasidah Burdah itu,
Sa’duddin al-Fariqi sangat bahagia. Lalu dia mengambilnya dan meletakkannya di Mata yang
sakit. Subhanal-Lâh, seketika itu mata Sa’duddin langsung sembuh.

Dalam kisah lain disebutkan, suatu ketika Hadramaut, Yaman tertimpa paceklik hayawan
buas pun keluar dari sarangnya berkeliaran di jalan-jalan. Melihat fenomena menakutkan itu,
Habib Abdurrahman memerintahkan kepada semua masyarakat agar setiap rumah dibacakan
Burdah. Dengan izin Allah I hewan buas itu tidak mengganggu rumah masyarakat sama sekali.

Selain di atas, Kasidah Burdah juga bisa diamalkan untuk terkabulnya hajat. Habib Salim
mengatakan bahwa Burdah ini sangat mujarab untuk mengabulkan hajat-hajat kita dengan izin
Allah I. Namun, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu mempunyai sanad sampai
kepada Imam al-Bushiri, mengulangi bait ‘maula ya shalli wa sallim…’, berwudu, menghadap
kiblat, memahami makna bait-baitnya, dibaca dengan himmah yang besar, beradab, dan memakai
wewangian.

Konon, Presiden Chechya, Aslan Mashkadov pernah berkata bahwa pasukannya tidak
lebih dari 4000 orang ketika perang melawan Rusia. Hanya 837 Mujahidin saja yang
ditempatkan di Grozny, ibu kota Chechya. Padahal tentara Rusia yang mengepung Grozny
berjumlah 12,000. Sebelum Mujahidin berangkat menuju medan perang, mereka duduk
melingkar sambil membaca Kasidah Burdah. Mereka mengalunkannya serempak dengan keras.

Setelah selesai membaca Burdah, mereka membaca salawat kepada Nabi r, lalu berzikir.
Setelah selesai, mereka mengangkat senjata dan maju kemedan tempur. Alhamdulil-Lâh, dengan
pertolonga Allah I mereka bisa menumpas pasukan Rusia, padahal jumlah mereka sangat sedikit
sekali dibanding tentara Rusia.
          

     
        Di kalangan ulama, sangat banyak yang mensyarahinya. Demikian ini menjadi bukti bahwa
mereka sangat mengagumi dan menyukainya. Di antaranya, Syekh Ali al-Busthami, Syekh
Muhammad bin muhammad al-Ghazzy, Syekh Muhammad Syekh Zadah, Syekh al-Qadhi Bahar
al-Haruni, Syekh Muhammad Ya’qub al Fanari, Syekh Ali al-Yazdi, Syekh Ibnu al-Sha’igh,
Syekh Husain al- khawarizimi, Syekh Ibnu Hisyam al-Nahwi, Syekh Khalid al-Azhari, Syekh
Muhammad bin Ahmad al-Mahalli as-Syafi’i, Syekh Khidhir al-Athofi, Syekh Thohir bin Hasan
yang terkenal dengan sebutan Ibnu Hubaib al-Halabi, Syekh Muhammad bin Marzuq at-
Talmasani, Syekh Al-Syihab al-Qisthilani, Syekh Zakariyya al-Anshari, Sykeh Ibnu Hajar al-
Makki, Syekh Abu al-Fadl al-Makki, Syekh Utsman al-Uryani, Syekh Muhammad al-Jujari, dan
lainnya dari kalangan ulama’.                                                 

Dunia berkabut. Rintik-rintik air mata menghiasi pemandangan Kota Iskandar, Mesir. 
Penyair hebat yang tak ada tandingannya sepenjang sejarah itu menghembuskan nafas terakhir.
Tepatnya pada tahun 694 H. Beliau dimakamkan di Kota Iskandariyah Mesir.

6. IBNU AL – BAITAR

Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-


Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi. Namun salah satu ilmuwan Muslim
terbaik yang pernah ada ini lebih dikenal sebagai Ibnu Al-Baitar. Dia
dikenal sebagai ahli botani (tetumbuhan) dan farmasi (obat-obatan)
pada abad pertengahan. Dilahirkan pada akhir abad 12 di kota Malaga
(Spanyol), Ibnu Al-Baitar menghabiskan masa kecilnya di tanah
Andalusia tersebut.

Minatnya pada tumbuh-tumbuhan sudah tertanah semenjak kecil.


Beranjak dewasa, dia pun belajar banyak mengenai ilmu botani
kepada Abu al-Abbas al-Nabati yang pada masa itu merupakan ahli
botani terkemuka. Dari sinilah, al-Baitar pun lantas banyak berkelana untuk mengumpulkan
beraneka ragam jenis tumbuhan.

Tahun 1219 dia meninggalkan Spanyol untuk sebuah ekspedisi mencari ragam tumbuhan.
Bersama beberapa pembantunya, al-Baitar menyusuri sepanjang pantai utara Afrika dan Asia
Timur Jauh. Tidak diketahui apakah jalan darat atau laut yang dilalui, namun lokasi utama yang
pernah disinggahi antara lain Bugia, Qastantunia (Konstantinopel), Tunisia, Tripoli, Barqa dan
Adalia.

Setelah tahun 1224 al-Baitar bekerja untuk al-Kamil, gubernur Mesir, dan dipercaya menjadi
kepala ahli tanaman obat. Tahun 1227, al-Kamil meluaskan kekuasaannya hingga Damaskus dan
al-Baitar selalu menyertainya di setiap perjalanan. Ini sekaligus dimanfaatkan untuk banyak
mengumpulkan tumbuhan. Ketika tinggal beberapa tahun di Suriah, Al-Baitar berkesempatan
mengadakan penelitian tumbuhan di area yang sangat luas, termasuk Saudi Arabia dan Palestina,
di mana dia sanggup mengumpulkan tanaman dari sejumlah lokasi di sana.

Sumbangsih utama Al-Baitar adalah Kitab al-Jami fi al-Adwiya al- Mufrada. Buku ini sangat
populer dan merupakan kitab paling terkemuka mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu
pengobatan Arab. Kitab ini menjadi rujukan para ahli tumbuhan dan obat-obatan hingga abad 16.
Ensiklopedia tumbuhan yang ada dalam kitab ini mencakup 1.400 item, terbanyak adalah
tumbuhan obat dan sayur mayur termasuk 200 tumbuhan yang sebelumnya tidak diketahui
jenisnya. Kitab tersebut pun dirujuk oleh 150 penulis, kebanyakan asal Arab, dan dikutip oleh
lebih dari 20 ilmuwan Yunani sebelum diterjemahkan ke bahasa Latin serta dipublikasikan tahun
1758.

Karya fenomenal kedua Al-Baitar adalah Kitab al-Mughni fi al-Adwiya al-Mufrada yakni
ensiklopedia obat-obatan. Obat bius masuk dalam daftar obat terapetik. Ditambah pula dengan
20 bab tentang beragam khasiat tanaman yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Pada masalah
pembedahan yang dibahas dalam kitab ini, Al-Baitar banyak dikutip sebagai ahli bedah Muslim
ternama, Abul Qasim Zahrawi. Selain bahasa Arab, Baitar pun kerap memberikan nama Latin
dan Yunani kepada tumbuhan, serta memberikan transfer pengetahuan.

Kontribusi Al-Baitar tersebut merupakan hasil observasi, penelitian serta pengklasifikasian


selama bertahun-tahun. Dan karyanya tersebut di kemudian hari amat mempengaruhi
perkembangan ilmu botani dan kedokteran baik di Eropa maupun Asia. Meski karyanya yang
lain yakni kitab Al-Jami baru diterjemahkan dan dipublikasikan ke dalam bahasa asing, namun
banyak ilmuwan telah lama mempelajari bahasan-bahasan dalam kitab ini dan memanfaatkannya
bagi kepentingan umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA

http://darisejarah.blogspot.com/2016/07/daud-al-antaki-dokter-buta-yang.html

https://biografi.kamikamu.net/abu-barakat-al-baladi-dokter-muslim/

https://santreh.blogspot.com/2019/03/biografi-al-bushiri-pengarang-burdah.html

Anda mungkin juga menyukai