Anda di halaman 1dari 12

Makalah

EPIDEMIOLOGI KEP (KEKURANGAN ENERGI PROTEIN)


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Gizi yang diampu oleh
Dr. Sunarto Kadir, M.Kes

Oleh :

KELOMPOK 2
Abd. Arif Arumasi 811418014
Anita Andang 811418010
Dwi Yuliana 811418175
Nur Alvira Bau 811418056
Yusniar Adiningsih Husen 811418085

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena rahmatnya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berisi “Epidemiologi KEP”. Makalah ini
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Gizi.
Kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kami
tentang materi ini untuk itu meminta kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun. Kami memohon maaf apabila ada kekurangan dalam
penulisan makalah ini.
Harapan kami, semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita,
setidaknya untuk sekedar membuka cakrawala berpikir kita tentang epidemiologi
KEP.

Gorontalo, September 2020

Kelompok 2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian KEP........................................................................................
B. Prevalensi dan Metode Pengukuran KEP.................................................
C. Hasil Penelitian Gizi Tentang KEP..........................................................
BAB III PENUTUP
A. Simpulan..................................................................................................
B. Penutup ...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan
pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor,
oleh karena itu pendekatan penanggulangannya melibatkan berbagai sektor yang
terkait. Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang masih didominasi
oleh masalah kurang energi protein (KEP), anemia besi, gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY), kurang vitamin A (KVA) dan obesitas terutama di
kota-kota besar yang perlu ditanggulangi. Disamping masalah tersebut, ada
masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zink yang sampai saat ini belum
terungkapkan, karena adanya keterbatasan iptek gizi. Secara umum masalah gizi
di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara
ASEAN lainnya (Supariasa, 2002).
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga
tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP
ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Gejala klinis KEP
berat secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, adalah marasmus,
kwashiorkor, dan marasmik kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang
protein. Marasmus disebabkan kurang energi dan marasmik kwashiorkor
disebabkan karena kurang energi dan protein (Supariasa, 2002).
Pudjiadi (1990), juga menyatakan bahwa penyakit KEP merupakan bentuk
malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur lima tahun dan
kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan mortalitas
yang tinggi terdapat pada penderita KEP berat, hal tersebut dapat terjadi karena
pada umumnya penderitaKEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti
tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Pada penderita KEP
berat, tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan zat gizi lain,
misalnya xeroftalmia, stomatis angularis, dan lain-lain.
Berdasarkan data Depkes RI (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 5 juta
anak (27,5%) kurang gizi, 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan
1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999), mengelompokkan wilayah
berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok adalah : rendah (di
bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%). Gizi buruk
merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan
protein (KEP) dalam makanan sehari-hari.
Anak dalam golongan umur 1-3 tahun sangat rentan terhadap penyakit gizi.
Angka tertinggi untuk morbiditas KEP terdapat dalam golongan umur ini. Gigi
susu telah lengkap pada usia 2-2 ½ tahun, akan tetapi belum dapat digunakan
untuk mengerat dan mengunyah makanan yang keras. Ketersediaan nutrien secara
relatif telah berkurang. Makanan yang tidak disukai tidak perlu dipaksakan karena
akibatnya anak akan menjadi antipati dan mungkin akan terus menolaknya
(Rusepno, 1985).
Gangguan gizi pada anak usia balita merupakan dampak kumulatif dari
berbagai faktor baik yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap
gizi anak (Sjahmin, 2003). Salah satu makanan yang paling sering dikonsumsi
balita adalah susu formula. Balita yang mendapatkan susu formula lebih dari
takaran normal, akan lebih merasa kenyang dibandingkan dengan makan. Dengan
demikian balita akan mengingat susu formula adalah makanan utamanya jika
merasa lapar. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya hubungan pemberian
susu formula non-legeartis dengan kejadian KEP pada anak usia 1-3 tahun.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian KEP?
2. Prevalensi dan metode pengukuran KEP?
3. Hasil penelitian gizi tentang KEP?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian KEP.
2. Untuk menjelaskan prevalensi dan metode pengukuran KEP.
3. Untuk menjelaskan hasil penelitian gizi tentang KEP.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian KEP
KEP (Kurang Energi Protein) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi
yang penting di Indonesia maupun di negara yang sedang berkembang lainnya.
Prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak balita, ibu yang sedang mengandung
dan menyusui. Penderita KEP memiliki berbagai macam keadaan patologis yang
disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang
bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat
yang ringan sampai yang berat.
Penyakit KEP diberi nama seara internasional yaitu Calory Protein
Malnutrition (CPM), kemudian diubah menjadi Protein Energy Malnutrition
(PEM). Penyakit ini mulai banyak diselidiki di Afrika, dan di benua tersebut KEP
dikenal dengan nama lokal kwashiorkhor yang berarti penyakit rambut merah.
Masyarakat ditempat tersebut menganggap kwashiorkhor sebagai kondisi yang
biasa terdapat pada anak kecil yang sudah mendapat adik.
Menurut Arisman (2004) Kurang Energi Protein (KEP) akan terjadi disaat
kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet.
Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu
lebih dominan dari pada yang lain. Sedangkan menurut Merryana Adriani dan
Bambang Wijatmadi (2012) KEP merupakan keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi kecukupan yang dianjurkan.
Berdasarkan gejalanya, KEP dibagi menjadi dua jenis, yaitu KEP ringan dan
KEP berat. Kejadian KEP ringan lebih banyak terjadi di masyarakat, KEP ringan
sering terjadi pada anak-anak pada masa pertumbuhan. Gejala klinis yang muncul
diantaranya adalah pertumbuhan linier terganggu atau terhenti, kenaikan berat
badan berkurang atau terhenti, ukuran lingkar lengan atas (LILA) menurun, dan
maturasi tulang terhambat.
KEP berat terdiri dari tiga tipe, yaitu kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-
kwashiorkor. Kwashiorkor adalah keadaan yang diakibatkan oleh kekurangan
makanan sumber protein. Tipe ini banyak dijumpai pada anak usia 1 sampai 3
tahun. Gejala utama kwashiorkora dalah pertumbuhan terhalang dan badan
bengkak, tangan, kaki. Wajah tampak bengong dan pandangan kosong, tidak aktif
dan sering menangis. Rambut menjadi berwarna lebih terang atau coklat tembaga.
Perut buncit, serta kaki kurus dan bengkok. Karena adanya pembengkakan, maka
tidak terjadi penurunan berat badan, tetapi pertambahan tinggi terhambat. Lingkar
kepala mengalami penurunan. Serum albumin selalu rendah, bila turun sampai 2,5
ml atau lebih rendah, mulai terjadi pembengkakan.
Marasmus adalah gejala kelaparan yang hebat karena makanan yang
dikonsumsi tidak menyediakan energi yang cukup untuk mempertahankan
hidupnya sehingga badan menjadi sangat kecil dan tinggal kulit pembalut tulang.
Marasmus biasanya terjadi pada bayi berusia setahun pertama. Hal ini terjadi apa
bila ibu tidak dapat menyusui karena produksi ASI sangat rendah atau ibu
memutuskan untuk tidak menyusui bayinya. Tanda-tanda marasmus yaitu:
1. Berat badan sangat rendah,
2. Kemunduran pertumbuhan otot (atrophi),
3. Wajah anak seperti orang tua (old face),
4. Ukuran kepala tidak sebanding dengan ukuran tubuh,
5. Cengeng dan apatis (kesadaran menurun),
6. Mudah terkena penyakit infeksi,
7. Kulit kering dan berlipat-lipat karena tidak ada jaringan lemak di bawah kulit,
8. Sering diare,
9. Rambut tipis dan mudah rontok.
Marasmik-kwashiorkor disebabkan karena makanan sehari-hari kekurangan
energi dan juga protein. Berat badan anak sampai dibawa sehingga telihat kurus,
tetapi ada gejala edema, kelainan rambut, kulit mengering dan kusam, otot
menjadi lemah, menurunnya kadar protein (albumin) dalam darah.
B. Prevalensi dan Metode Pengukuran KEP
Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa sekitar
54% angka kematian pada balita disebabkan oleh kurang energi protein. The
United Nations Childrens Found (UNICEF) memperkirakan sekitar 27% atau
sekitar 146 juta anak dibawah usia lima tahun di dunia menderita KEP
berdasarkan pengukuran berat badan terhadap usia. Kejadian KEP di Amerika
Latin dilaporkan sebanyak empat juta balita. Penderita KEP di Asia Timur
sebanyak 22 juta balita dan di Afrika sebanyak 35 juta balita. Penderita KEP
sebagian besar terdapat di Asia Selatan yaitu sebanyak 78 juta balita. Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010 melaporkan prevalensi KEP di Indonesia
berdasarkan pengukuran berat badan terhadap usia sebesar 17,9 dengan persentase
kategori gizi kurang sebesar 13% dan kategori gizi buruk sebesar 4,9%.
Menurut Kemenkes RI, klasifikasi KEP didasarkan pada indeks berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB), dan indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U).
Kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagaimana yang terdapat
pada tabel di bawah ini:
Ambang Batas
Indeks Kategori Status Gizi
(z-score)
Gizi Buruk < -3 SD
Berat Badan menurut Gizi Kurang 3 SD s/d < -2 SD
Umur (BB/U)
Anak Umur 0–60 Bulan Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD
Gizi Lebih > 2 SD

Panjang Badan menurut Sangat Pendek < -3 SD


Umur (PB/U) atau Pendek - 3 SD s/d < -2 SD
Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) Normal -2 SD s/d 2 SD
Umur 0 – 60 Bulan Tinggi > 2 SD
Berat Badan menurut Sangat Kurus < -3 SD
Panjang Badan (BB/PB)
atau Kurus - 3 SD s/d < -2 SD
Berat Badan menurut Normal -2 SD s/d 2 SD
Tinggi Badan (BB/TB)
Anak Umur 0–60 Bulan Gemuk > 2 SD
Sangat Kurus < -3 SD
Indeks Massa Tubuh
menurut Umur (IMT/U) Kurus - 3 SD s/d < -2 SD
Anak Umur 0 – 60 Normal -2 SD s/d 2 SD
Bulan
Gemuk > 2 SD
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:1995/MENKES/SK/XII/2010
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RITahun
1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I (ringan), KEP II
(sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS,
dengan indeks berat badan menurut umur. Klasifikasi KEP menurut Depkes RI
(1999) :
BB/U
Kategori Status
(%Baku WHO-NCHS, 1983)
KEP I (KEP Ringan) Gizi Sedang 70 % – 79,9 % Median BB/U
KEP II (KEP Sedang) Gizi Kurang 60 % – 69,9 % Median BB/U
KEP III (KEP Berat) Gizi Buruk < 60 % Median BB/U
Sumber: Depkes RI (1999)
Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:
Klasifikasi
Malnutrisi sedang Malnutrisi Berat
Edema Tanpa edema Dengan edema
BB/TB -3SD s/d -2 SD < -3 SD
TB/U -3SD s/d -2 SD < -3 SD

C. Hasil Penelitian Gizi Tentang KEP


Berdasarkan penelitian Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP) di
Puskesmas Saigon Kecamatan Pontianak Timur Tahun 2010-2011, maka di
dapatkan hasil sebagai berikut :
1. Balita KEP pada penelitian ini lebih banyak ditemukan pada rentang usia 12-23
bulan yaitu sebanyak 31 balita (30,10%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Theshome di Ethiopia, Hasnain di Pakistan, Zhang di Cina dan Janevic di
Roma juga didapatkan hasil yang sama bahwa kejadian KEP lebih banyak pada
rentang usia antara 12-23 bulan secara berturut-turut sebesar 39,11%,29,7%,
25,1% dan 22,8%.
2. Data distribusi balita KEP berdasarkan jenis kelamin ditemukan lebih banyak
pada balita dengan jenis kelamin perempuan yaitu 64 balita (62,14%)
denganperbandingan balita KEP perempuan dan laki-laki adalah 1,6:1.
3. Tipe KEP derajat berat dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 28 balita
(27,18%) dengan tipe marasmus yang terbanyak yaitu 25 balita (89,29%). Tipe
marasmus-kwasiorkor didapatkan sebanyak tiga balita (2,91%) dan tidak
didapatkan balita KEP derajat berat tipe kwasiorkor. Hasil yang sama juga
didapatkan oleh Ahmed dkk di Mesir dan Ikwan di Medan yang menunjukkan
tipe marasmus lebihbanyak diderita balita KEP derajat berat secara berturut-
turut sebesar 92% dan72,9%.
4. Penyakit penyerta terbanyak yang diderita balita KEP pada penelitian ini
adalah ISPA yaitu sebanyak 54 balita (52,42%), diare sebanyak 18 balita
(17,48%), tuberkulosis sebanyak lima balita (4,85%) dan sebanyak 11 balita
(10,68%) disertai penyakit penyerta lainnya seperti konjungtivitis, palsi
serebral, asma, infeksi kulit,campak, limfadenitis, gastroenteritis, demam tifoid
dan urtikaria. Penelitian ini juga didapatkan empat balita (3,88%) dengan lebih
dari satu penyakit penyerta.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
KEP (Kurang Energi Protein) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi
yang penting di Indonesia maupun di negara yang sedang berkembang lainnya.
Prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak balita, ibu yang sedang mengandung
dan menyusui. Penderita KEP memiliki berbagai macam keadaan patologis yang
disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang
bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat
yang ringan sampai yang berat.
Menurut Kemenkes RI, klasifikasi KEP didasarkan pada indeks berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB), dan indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U).
B. Saran
1. Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu pembaca dalam
memahami kekurangan energi protein.
2. Perlu diadakan kajian, penulisan, dan penelitian lebih lanjut mengenai
kekurangan energi protein.
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Merryana dan Bambang Wirjatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat.


Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Arisman, M, B. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Cetakan 1, EGC.
Departemen Kesehatan RI, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004, tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit, Jakarta.
Depkes RI. 1999. Pedoman dan Tata Laksana Kurang Energi Protein Pada Anak
di Puskesmas dan Rumah Tangga. Jakarta
Hika. 2019. Kurang Energi Protein. Yogyakarta : Poltekkes jogja.
Pudjiadi, S. 1990. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.
Rusepno. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid III. Jakarta: FKUI
Safuar. 2014. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (Kep) Di Puskesmas
Saigon Kecamatan Pontianak Timur Tahun 2010-2011. Pontianak :
Universitas Tanjungpura.
Sjahmien, Moehji.2003. Ilmu Gizi 2 Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : Papas
Sinar Sinanti.
Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Anda mungkin juga menyukai