Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Kognitif Sosial Pembelajaran ( Teori Kognitif Sosial Albert Bandura)


Teori kognitif-sosial Albert Bandura berusaha menjelaskan belajar dalam latar
naturalistik. Berbeda dengan latar laboratorium, lingkungan sosial memberi banyak
kesempatan bagi individu untuk mendapatkan keterampilan dan kemampuan yang
kompleks melalui observasi perilaku model dan konsekuensi behavioral.
1. Asumsi Dasar
Asumsi teori kognitif-sosial berkaitan dengan hakikat proses belajar dan
hasil belajar.
2. Karakteristik Alamiah Proses Pemelajaran
Definisi pemelajaran observasional dalam teori sosial kognitif didasarkan
kepada kelemahan yang teridentifikasikan dalam pandangan sebelumnya akan
pemelajaran imitatif.
3. Hasil Belajar
Teori lain biasanya menyamakan belajar dan kinerja atau menerima
kinerja sebagai indicator bahwa belajar sudah terjadi. Sebaliknya, Bandura
mencatat bahwa individu mendapatkan kode perilaku internal yang mungkin,
atau tidak mungkin tidak, dilakukan nanti. Dukungan untuk pendapat ini
adalah situasi dimana pengamat tidak mengamati adanya kinerja itu, tetapi
pengamat mampu mendeskripsikan perilaku itu. Selain itu, pengamat
kemudian melakukan perilaku karena adanya perangsang (Bandura, 1965,
1971a).
4. Komponen Belajar
Dalam latar naturalistik, individu mempelajari perilaku baru melalui
observasi atau model serta akibat dari tindakannya. Komponen belajar adalah:
(a) model behavioral; (b) konsekuensi dari perilaku yang dicontohkan; (c)
proses internal pemelajar; dan (d) keyakinan akan ketangguhan diri si
pemelajar.
5. Model Kelakuan
Isi utama dalam model kelakuan (behavioral) adalah macam dan
akibatnya, pemodelan dalam media masa dan lingkungan komputer,
karakteristik model, dan karakteristik pengamat.

6. Konsekuensi Perilaku
Teori kognitif-sosial mengidentifikasi tiga jenis konsekuensi yang
memengaruhi perilaku. Jenis pertama, konsekuensi yang mewakili (vicarious
reinforcement, seolah-olah dirasakan sendiri oleh pengamat), diasosiasikan
dengan perilaku yang diamati. Jenis kedua, konsekuensi langsung, adalah
hasil langsung yang dimunculkan oleh perilaku imitatif selanjutnya dari si
pengamat.
Teori ini mengidentifikasi peran model behavior dalam belajar perilaku
prososial dan antisosial, dan peran dari model dalam perilaku behavior
modification. Kemudian teori ini juga mengidentifikasi beberapa faktor sosial
dan kognitif yang mempengaruhi belajar. Termasuk didalamnya kapabilotas
penggunaan simbol dalam melakukan tindakan yang diniatkan dan bertujuan.
Termasuk juga pengaruh media terhadap nilai, sikap dan gaya perilaku yang
menyaksikan. “entah itu berupa pola pikiran, nilai, sikap, atau gaya perilaku,
kehidupan semakin meniru media”

a. Prinsip Belajar
Teori kognitif – sosial Albert Bandura lebih menekankan di mana
lingkungan sosial memberi banyak kesempatan bagi individu untuk
mendapatkan keterampilan dan kemampuan yang kompleks melalui
observasi perilaku model dan konsekuensi behavioral.
b. Asumsi Dasar
Asumsi dasar dari teori kognitif sosial Bandura berkaitan dengan
hakikat proses belajar dan hasil belajar.
c. Belajar Imitatif
Behavioris memandang belajar imitatif sebagai asosiasi antara tipe
stimulus tertentu dan sebuah response. Pembelajar atau mengimitasi
meniru perilaku atau respon yang diperkuat oleh model, sehingga
memungkinkan untuk mengulang respon atau perilaku yang diimitasi
tersebut.

Asumsi Tentang Belajar.

1. Pemelajar dapat mengabstraksi informasi dari pengamatan terhadap orang lain dan
membuat keputusan tentang perilaku yang akan dijalankan
2. Tiga bentuk relasi yang saling keterkaitan yaitu antara perilaku(B), lingkungan(E),
dan kejadian personal internal (P) yang akan menjelaskan proses belajar
3. Belajar merupakan akuisisi representasi simbolik dalam bentuk kode verbal atau
visual.

Komponen Belajar

Komponen belajar antara lain :

a. Model behavioral
b. Konsekuensi dari perilaku yang dicontohkan
c. Proses internal dari pemelajar
d. Keyakinan akan ketangguhan diri pemelajar

B. Teori Pembelajaran Observasional


Berawal dari teori belajar sosial Bandura yang merupakan perluasan dari teori
belajar perilaku tradisional (behavioristik) yang menekankan pada perilaku, lingkungan
dan faktor kognitif sebagai kunci dalam perkembangan individu. Behavioristik
merupakan teori perubahan tingkah laku yang diperoleh dari hasil pengalaman individu
sehingga jika terjadi perubahan tingkah laku yang diinginkan karena adanya respon dari
tingkah laku atau pengalaman orang lain (modeling), maka akan menjadi sesuatu yang
diharapkan (Anwar, 2017: 99).
Teori belajar sosial dari Albert Bandura menunjukkan pentingnya suatu proses
mengamati dan meniru perilaku dalam proses belajar, pembentukan sikap dan
mempengaruhi reaksi seseorang dalam proses belajar. Hal ini berarti proses belajar pada
seseorang akan lebih banyak. melalui proses pengamatan terhadap situasi dan kondisi
lingkungannya (Irham & Wiyani, 2014: 160). Bandura meyakini bahwa seorang anak
belajar tidak hanya melalui pengalaman tapi juga melalui mengamati apa yang dilakukan
orang lain. Bandura (1963) juga mengemukakan bahwa individu belajar banyak tentang
perilaku melalui peniruan (modeling) bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) yang
diterimanya dan proses belajar semacam ini disebut observational learning atau
pembelajaran melalui pengamatan. Davidoff (Purwanta, 2015: 28) juga menyebutkan
bahwa modeling disebut juga observation learning, imitation atau social learning. Jadi
pembelajaran observasional merupakan komponen utama dari pembelajaran sosial
Bandura, oleh karena itu teori belajar observasional berkaitan erat dengan teori belajar
sosial.Inti dari pembelajaran observasional adalah pemodelan (modeling). Melalui belajar
mengamati yang untuk selanjutnya disebut imitasi atau modeling, individu secara kognitif
menampilkan tingkah laku orang yang diamati dan mengadopsi tingkah laku tersebut
dalam dirinya sendiri (Desmita, 2015: 58). Teori belajar sosial yang menunjukkan
pentingnya proses mengamati/melakukan observasi dan meniru perilaku orang lain ini
tepat diterapkan untuk melatih anak yang masih membutuhkan dominansi orang dewasa,
suka meniru, senang dengan bentuk penghargaan misalnya pujian dan suka mengulangi
untuk dibiasakan (Sugihartono, Fathiyah, Harahap, Setiawati & Nurhayati, 2013: 101-
104). Hal ini sependapat dengan Syah (2014: 79) bahwa proses perkembangan sosial
anak ditekankan pada perlunya pembiasaan merespon dan peniruan ( imitasi ).
Berpegang pada prinsip utama dari teori pembelajaran observasional yaitu
pemodelan (modeling) maka teknik modeling yang diterapkan dalam pembelajaran dapat
dilakukan di dalam kelas maupun lingkungan keluarga dan dalam hal ini orang tua
maupun guru memiliki peran ganda sebagai model (contoh) sekaligus pembimbing
belajar. Modeling merupakan kegiatan belajar melalui observasi dengan menambahkan
atau mengurangi tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan
sekaligus dan melibatkan proses kognitif (Komalasari,Wahyuni & Karsih, 2011: 176).
Dalam pembelajaran dengan pemodelan, perpaduan antara perhatian,contoh yang
nyata dan penghargaan merupakan lingkungan yang tepat untuk mendorong munculnya
perilaku yang diharapkan, dalam artian proses pendidikan semacam ini akan membentuk
dan menanamkan perilaku positif yang diharapkan dalam pikiran anak (Anwar, 2017:
106-107). Bandura berpendapat bahwa sebagian besar perilaku manusia dipelajari dengan
pengamatan melalui pemodelan (Dunlap, 2009: 217).
Santrock (2012: 326-327) mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan empat
proses yang mempengaruhi proses modeling yaitu 1) proses perhatian, pada tahap ini
anak mengikuti apa yang dilakukan atau dikatakan oleh model, 2) tahap memori, pada
tahap ini anak harus dapat menerima informasi berupa apa yang dilakukan atau dikatakan
oleh model dan menyimpannya dalam memori, 3) proses produksi, pada tahap ini anak
mulai mengikuti model dan apabila anak mengalami kesulitan maka anak diberi bantuan,
4) proses motivasi, pada tahap ini anak mulai melakukan apa yang diajarkan oleh model
namun anak perlu diberi penguat agar anak termotivasi untuk melakukan yang diajarkan
model. Dengan demikian, proses belajar sosial dapat terjadi melalui aktivitas peniruan (
imitation ) dan penyajian contoh perilaku ( modeling ).
Menurut Anwar (2017: 102-105) prinsip-prinsip yang mendasari teori
pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Bandura adalah 1) prinsip faktor-faktor yang
saling menentukan, dijelaskan bahwa kondisi lingkungan sekitar sangat berpengaruh pada
perilaku seseorang dan lingkungan memberikan posisi yang besar dalam kehidupan sosial
sehari-hari jadi lingkungan dapat membentuk kepribadian seseorang. Antara behavioral,
environment dan perception memberi andil dalam proses pembelajaran sosial individu, 2)
kemampuan untuk membuat atau memahami simbol, orang memiliki kemampuan
berpikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berpikir maka hal yang telah lalu
dapat disimpan dalam ingatan sementara hal yang akan datang dapat dipahami secara
simbolis dalam pikiran, 3) kemampuan berpikir ke depan, orang dapat menduga
bagaimana orang lain akan bereaksi dan dapat menentukan tujuan serta merencanakan
tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan tersebut, 4) belajar dari pengalaman
orang lain, seseorang adakalanya belajar dengan cara memperhatikan orang lain
berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut, 5) kemampuan
mengatur diri sendiri, seseorang berperilaku / bekerja untuk dirinya sendiri berdasarkan
standar dan motivasi yang ditetapkan oleh diri sendiri, 6) kemampuan untuk berefleksi,
setiap individu akan memantau pikirannya sendiri dan menilai kepantasan pikirannya
sebelum melakukan suatu respon.
Teori ini dapat digunakan dalam pembentukan perilaku anak dan pemodelan bisa
dilakukan dalam lingkungan keluarga. Teori pembelajaran observasional baik untuk
diterapkan dalam keluarga karena teori ini memuat tentang pembelajaran yang
menekankan pentingnya lingkungan sosial di dalam membentuk perilaku dan karakter
individu sehingga individu dapat semakin berkembang melalui pengalaman belajar
mengamati dan meniru.
Pemodelan (modeling) adalah pembelajaran dengan metode percontohan atau
teladan. Purwanta (2015: 29) juga berpendapat bahwa modeling merupakan salah satu
pengaplikasian teori belajar sosial dalam pembentukan perilaku individu. Di dalam teori
belajar sosial dijelaskan bahwa individu dapat belajar dengan mengobservasi orang lain
dan proses pengamatan ini atau proses belajar observasional ini disebut modeling (Pervin,
Carvone & John, 2012: 457). Feist dan Feist (2011: 409) menuliskan bahwa Bandura
menjelaskan modeling juga melibatkan proses kognitif sehingga tidak hanya meniru dan
lebih dari sekedar menyesuaikan diri dengan tindakan orang lain karena sudah
melibatkan presentasi informasi secara simbolis dan menyimpannya untuk digunakan di
masa depan. Modeling merupakan kegiatan belajar melalui observasi dengan
menambahkan atau mengurangi tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai
pengamatan sekaligus dan melibatkan proses kognitif (Komalasari,Wahyuni & Karsih,
2011: 176). Bandura (1974) mengidentifikasi adanya tiga model dasar pembelajar
melalui pengamatan yaitu 1) melalui model hidup ( live model) yang memberi contoh
perilaku secara demonstratif, 2) melalui model instruksional verbal (verbal instructional
model) yang mendeskripsikan dan menjelaskan suatu perilaku, 3) melalui model simbolik
(symbolic model) yang menggunakan tokoh nyata atau fiktif yang menampilkan perilaku
tertentu dalam buku, film, program televisi.
Bandura (1986) menyebutkan empat proses yang mempengaruhi belajar
observasional yaitu proses atensi, retensi, reproduksi dan motivasi. Hergenhahn dan
Olson (2015: 363-366) menjelaskan empat tahapan yang mempengaruhi belajar
observasional tersebut adalah 1) proses atensional, pada tahap ini dalam mempelajari
sesuatu maka harus memperhatikan dengan seksama, 2) proses retensional, pada tahap ini
informasi yang diperoleh harus dimpan, 3) proses reproduksi, pada tahap ini
menunjukkan kemampuan menghasilkan sesuatu yang disimpan dalam bentuk tingkah
laku, 4) proses motivasi, pada tahap ini diperlukan motivasi untuk terus meniru perilaku
yang telah dimodelkan.

C. Pendekatan Perilaku Kognitif Dan Regulasi Diri


1. Definisi regulasi diri
Suatu kegiatan belajar membutuhkan strategi atau cara tertentu untuk dapat berjalan
dengan optimal. Teori pembelajaran sosial dan kognitif mulai menyadari bahwa agar
belajar benar-benar efektif maka pelajar harus dapat mengelola diri dalam kegiatan
belajar yang mereka jalani (Omrod, 2009). Kemampuan mengelola diri dalam kegiatan
belajar tersebut adalah self regulated learning. Dalam bahasa Indonesia self regulated
learning sering disamaartikan dengan istilah belajar dengan regulasi diri atau pengelolaan
diri dalam belajar. Istilah self regulated learning berkembang dari teori kognisi sosial
Bandura (1997).
Menurut Winne (1997) belajar dengan regulasi diri adalah kemampuan untuk
mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri di dalam berbagai cara sehingga
mencapai hasil belajar yang optimal. Menurut Zimmerman (2008)belajar dengan regulasi
diri merupakan kemampuan belajar siswa dalam memperoleh keterampilan akademis,
seperti menetapkan tujuan, mempunyai strategi dalam memilah dan menggerakkan
belajarnya, dan melakukan monitoring terhadap belajarnya
Belajar dengan regulasi diri merupakan strategi belajar siswa dalam merencanakan,
mengontrol, dan mengevaluasi kognitif, motivasi, perilaku, dan proses kontekstualnya
(Montalvo & Tores, 2004). Sedangkan Wolters, Pintrich, & Karabenick (2003)
mengatakan bahwa belajar dengan regulasi diri adalah cara siswa dalam menetapkan
tujuan untuk proses belajar mereka dan berusaha untuk memonitor, mengatur, dan
mengontrol kognisi, motivasi, dan tingkah laku.
Pintrich (2000) mendefinisikan belajar dengan regulasi diri adalah dimana
pembelajar menentukan tujuan pembelajarannya dan berusaha untuk memonitor,
mengatur, dan mengendalikan kognisi, motivasi, dan perilaku, dijaga dan dipertahankan
oleh tujuan dan fitur konstektual dari lingkungan. Santrock (2009) menjelaskan bahwa
belajar dengan regulasi diri terdiri atas pembangkitan diri dan pemantauan diri atas
pikiran, perasaan dan perilaku dengan tujuan untuk mencapai suatu sasaran.
Menurut definisi dari beberapa ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar
dengan regulasi diri adalah kemampuan yang dimiliki siswa dalam mengatur strategi
belajar seperti memonitor, mengatur, mengontrol kognisi, motivasi, dan tingkah laku
mereka dalam mencapai tujuan tertentu dalam proses pembelajaran.
2. Aspek-aspek belajar dengan regulasi diri
Pintrich & De Groot, (1990), terdapat tiga aspek belajar dengan regulasi
diri, yaitu:
1) kemampuan siswa menerapkan strategi metakognitif untuk :merencanakan,
memonitor, dan memodifikasi kognisinya.
2) Kemampuan siswa mengontrol upayanya untuk menyelesaikan berbagai
tugas di kelas, dalam hal ini termasuk menangkal gangguan lingkungan dan
mempertahankan kognisinya agar tetap fokus pada tugas
3) Strategi kognitif yang diterapkan siswa untuk belajar, mengingat dan
memahami materi pelajaran.

Menurut Zimmerman (1989) belajar dengan regulasi diri terdiri atas


pengaturan dari tiga aspek umum pembelajaran akademis, yaitu kognisi,
motivasi dan perilaku. Sesuai aspek di atas, selanjutnya Wolters, Pintrich, &
Karabenick (2003) menjelaskan secara rinci penerapan strategi dalam setiap
aspek belajar dengan regulasi diri sebagai berikut: Pertama, strategi untuk
mengontrol atau meregulasi kognisi meliputi macam-macam aktivitas
kognitif dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk
mengadaptasi dan mengubah kognisinya. Strategi pengulangan (rehearsal),
elaborasi (elaboration), dan organisasi (organization) dapat digunakan
individu untuk mengontrol kognisi dan proses belajarnya. Kedua, strategi
untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan dalam
memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai,
mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau
sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau
perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan
ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi meliputi mastery self-talk,
extrinsic self-talk, relative ability self-talk, relevance enhancement,
situasional interes enhancement, self-consequating, dan penyusunan
lingkungan (environment structuring).

Ketiga, strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk


mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Sesuai penjelasan Bandura
(Zimmerman, 1989) bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person)
walaupun bukan “self” internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi
dan afeksi. Meskipun begitu, individu dapat melakukan observasi,
memonitor, dan berusaha mengontrol dan meregulasinya dan seperti pada
umumnya aktivitas tersebut dapat dianggap sebagai self-regulatory bagi
individu. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation), waktu
dan lingkungan (time/ study environment), dan pencarian bantuan (help-
seeking).

Berdasarkan penjelasan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa


aspek-aspek belajar dengan regulasi diri meliputi aspek kognitif, motivasi, dan
perilaku.

3. Faktor-faktor belajar dengan regulasi diri


Boekaerts (1996) mengungkapkan bahwa banyak peneliti sepakat bahwa
faktor yang paling mendasar dari belajar dengan regulasi diri adalah keinginan
untuk mencapai tujuan. Atribut personal lain yang juga terlibat dalam
mempengaruhi belajar dengan regulasi diri antara lain kesadaran akan
penghargaan terhadap diri sendiri, keinginan untuk mencoba, komitmen,
manajemen waktu, kesadaran akan metakognitif, penggunaan strategi yang
efisien. Ada pula faktor-faktor yang memunculkan kemampuan belajar dengan
regulasi diri yang buruk antara lain impulsivitas, tujuan akademik yang rendah,
penghargaan diri yang rendah, kontrol yang buruk, serta perilaku menghindar.
Menurut Bandura (Alwisol, 2010) ada dua faktor yang mempengaruhi
kemampuan belajar dengan regulasi diri, yaitu

a. Faktor Eksternal
Faktor eksternal mempengaruhi belajar dengan regulasi diri dengan dua
cara, pertama, faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi
tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh
pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan
guru anak-anak belajar baik dan buruk, tingkah laku yang dikehendaki dan
tidak dihendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang
lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang akan dipakai
untuk menilai prestasi diri. Kedua, faktor eksternal mempengaruhi belajar
dengan regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah
intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan insentif yang
berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan
biasanya bekerja sama; ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku
tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan
untuk dilakukan lagi.

b. Faktor Internal
Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengauran
diri sendiri. Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal, yaitu:
1) Observasi diri (self observation)
Dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan, kuantitas penampilan,
orisinal tingkah laku diri, dan seterusnya. Orang harus mampu memonitor
performansinya, walaupun tidak sempurna karena orang cenderung memilih
beberapa aspek dari tingkah lakunya dan mengabaikan tingkah lakunya yang
lain. Apa yang diobservasi seseorang tergantung kepada minat dan konsep
dirinya.
2) Proses penilaian atau mengadili tingkah laku (judgemental process)
Melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi,

membandingkan tingkah laku dengan norma standar atau dengan tingkah


laku orang lain, menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas, dan
memberi atribusi performansi.

3)
Berdasarkan pengamatan dan judgement, orang mengevaluasi diri sendiri
positif atau negatif, dan kemudian menghadiahi atau menghukum dirinya sendiri. Bisa
terjadi tidak muncul reaksi afektif, karena fungsi kognitif membuat keseimbangan yang
mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna secara individual.
Menurut penjelasan beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa beberapa
faktor yang mempengaruhi kemampuan belajar dengan regulasi diri yaitu pribadi,
perilaku, lingkungan, keinginan untuk mencapai tujuan, kesadaran akan penghargaan
terhadap diri sendiri, keinginan untuk mencoba, komitmen, manajemen waktu, kesadaran
akan metakognitif, penggunaan strategi yang efisien, penguatan (reinforcement),
Observasi diri (self observation), proses penilaian atau mengadili tingkah laku
(judgemental process), dan reaksi diri afektif (self response)

4. Strategi belajar dengan regulasi diri


Zimmerman (1989) menekankan untuk dapat dianggap belajar dengan
regulasi diri, proses belajar siswa harus menggunakan strategi-strategi khusus
untuk mencapai tujuan akademis. Strategi dalam belajar dengan regulasi diri
mengarah pada tindakan dan proses yang diarahkan pada perolehan informasi
atau keterampilan yang melibatkan perngorganisasian (agency), tujuan (purpose)
dan persepsi instrumental seseorang. Agency adalah kemampuan individu untuk
memulai dan mengarahkan suatu tindakan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Purpose adalah tujuan yang diharapkan untuk tercapai dari
pelaksanaan setiap tindakan yang dapat membantu meraih tujuan. Belajar dengan
regulasi diri merupakan strategi yang harus dimiliki oleh siswa dalam melakukan
kegiatan belajar, sehingga diperoleh hasil belajar sesuai dengan keinginan dan
cita-citanya. Zimmerman dan Martinez-pons (1990) mengindentifikasi strategi-
strategi belajar dengan regulasi diri yang diperoleh dari teori kognitif sosial,

didalamnya melibatkan unsur-unsur metakognitif, lingkungan dan motivasi.


Setiap strategi bertujuan meningkatkan regulasi diri siswa pada fungsi personal,
behavioral, dan environmental.

- Strategi untuk optimalisasi fungsi personal (personal function), meliputi :


a. Organizing and transforming (pengorganisasian dan transformasi).
Siswa menelaah kembali materi-materi pembelajaran untuk meningkatkan
pembelajaran, misalnya siswa mempelajari materi pembelajaran dari awal sampai
akhir.
b. Goal setting and planning (penetapan tujuan dan perencanaan).
Siswa menetapkan tujuan belajar serta merencanakan urutan, waktu, dan
penyelesaian aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan tujuan, misalnya siswa
menentukan jadwal belajar.
c. Rehearsing and Memorizing (melatih dan menghafal).
Siswa berusaha untuk berlatih dan menghafalkan materi. Contohnya siswa
mengerjakan soal-soal latihan dan siswa membaca ulang materi pelajaran agar dapat
menghafalkannya.

- Strategi untuk optimalisasi fungsi tingkah laku (behavioral function), meliputi:


1. Self-evaluating (evaluasi diri).
Siswa melakukan evaluasi terhadap kualitas atau kemajuan dari
pekerjaannya. Contohnya siswa meneliti ulang tugas-tugas untuk
memastikan sudah dikerjakan dengan baik atau belum, siswa
mengevaluasi hasil ujian agar dapat menilai kemampuan belajarnya.
2. Self-consequenting (konsekuensi diri).
Siswa membayangkan reward atau punishment yang didapat
jika memperoleh kesuksesanatau kegagalan. Contohnya siswa merasa
malu apabila mendapatkan hasil ujian buruk, siswa menganggap
keberhasilan sebagai motivasi untuk dapat mempertahankan
keberhasilannya.

- Strategi untuk optimalisasi fungsi lingkungan (environmental function), meliputi :


1. Seeking information (pencarian informasi).
Siswa berusaha untuk mencari informasi lebih lengkap dari
sumber-sumber nonsosial. Contohnya siswa berusaha melengkapi materi
pelajaran dari sumber lain atau literature perpustakaan.
2. Keeping records and self monitoring (pembuatan catatan dan mengamati
diri).
Siswa berusaha untuk mencatat berbagai kejadian atau hasil yang
diperoleh dalam proses belajar. Contohnya siswa mencatat hal-hal penting
untuk dipelajari, siswa mencatat hal-hal yang tidak dipahami untuk
dipelajari ulang.
3. Enviromental structuring (penyusunan lingkungan).
Siswa berusaha untuk memilih atau mengatur lingkungan fisik
sehingga proses belajar menjadi lebih mudah. Contohnya siswa mematikan
televisi saat belajar untuk membantu konsentrasi.
4. Seeking social assistance (pencarian bantuan sosial).
Siswa berusaha mencari bantuan dari teman sebaya, guru, orang
dewasa lainnya yang dianggap bisa membantu. Contohnya siswa bertanya
kepada guru saat kesulitan mengerjakan tugas atau memahami pelajaran.
5. Reviewing Records (melihat kembali catatan).
Siswa berusaha melihat kembali catatan untuk menghadapi ujian.
Contohnya siswa membaca ulang catatan, melihat referensi tugas
sebelumnya, dan membaca buku-buku pedoman.

Zumbrunn, dkk (2011) menyatakan bahwa ada 8 strategi pembentukan


kemampuan belajar dengan regulasi diri siswa, yaitu :

a. Goal Setting
Tujuan dianggap sebagi standar yang mengatur tindakan individu.
Tujuan jangka pendek sering digunakan untuk mencapai aspirasi jangka
panjang, sebagai contoh jika seorang siswa menetapkan tujuan jangka panjang
untuk mengerjakan ujian dengan baik, maka dia menetapkan tujuan seperti
menetapkan waktu belajar dan menggunakan strategi khusus untuk
keberhasilan ujiannya.

b. Plannin
Planning mirip dengan goal setting, planning dapat membantu siswa
mengatur diri sebelum terlibat dalam tugas-tugas belajar.

c. Self-Motivation
Motivasi diri siswa self-regulated learner terjadi ketika mereka
menggunakan satu atau lebih strategi untuk pencapaian tujuannya. Siswa yang
termotivasi akan membuat kemajuan menuju tujuannya. Siswa lebih bertahan
melalui tugas yang sulit dan menemukan proses belajar yang memuaskan.

d. Attention Control
Siswa dapat mengendalikan perhatian mereka dengan cara menghindari
hal-hal yang mengganggu pikiran serta mengkondisikan lingkungan belajar
agar kondusif

e. Flexibel Use of Strategie


Siswa menggunakan strategi-strategi belajar untuk memfasilitasi
kemajuan mereka guna pencapaian tujuan yang meliputi: mencatat, menghafal,
berlatih, dan sebagainya.

f. Self-Monitoring
Siswa memantau sendiri kemajuan mereka menuju pada tujuan
pembelajarannya

g. Help-seeking
Siswa mencoba mencari bantuan bila diperlukan agar dapat memahami
pembelajaran untuk pencapaian tujuan.

h. Self-Evaluation
Siswa dapat mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri, terlepas dari
penilaian guru. Menurut Wolters, et. al (dalam Fasikhah dan Siti 2013) strategi
belajar dengan regulasi diri secara umum meliputi tiga macam strategi, yaitu :

a. Strategi regulasi kogniti

Strategi yang berhubungan dengan pemrosesan informasi yang berkaitan


dengan berbagai jenis kegiatan kognitif dan metakognitif yang digunakan individu
untuk menyesuaikan dan merubah kognisinya, mulai dari strategi memori yang
paling sederhana, hingga strategi lebih rumit. Strategi kognitif meliputi : rehersal,
elaborasi dan metakognisi.

b. Strategi regulasi motivasional.

Strategi yang digunakan individu untuk mengatasi stres dan emosi yang
dapat membangkitkan usaha mengatasi kegagalan dan untuk meraih kesuksesan
dalam belajar. Strategi motivasional meliputi

1) Konsekuensi diri
2) Kelola lingkungan (environmental structuring)
3) Mastery self-talk,
4) Meningkatkan motivasi ekstrinsik (extrinsicself-talk)
5) Orientasi kemampuan (relative ability self-talk),
6) Motivasi intrinsik, dan
7) Relevansi pribadi (relevance enchancement).

c. Strategi regulasi behavioral akademik


Aspek regulasi diri yang melibatkan usaha individu untuk mengontrol
tindakan dan perilakunya sendiri. Strategi regulasi behavioral yang dapat
dilakukan oleh individu dalam belajar meliputi: mengatur usaha

(effort regulation), mengatur waktu dan lingkungan belajar (regulating time


and study environment) serta mencari bantuan (help-seeking).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan ada 8 strategi dalam


belajar dengan regulasi diri meliputi rehearsing and memorizing, goal setting
andplanning, self-evaluating, self-consquenting, seeking information, keeping
recordsand self monitoring, seeking social assistance.

5. Karakteristik siswa yang memiliki kemampuan belajar dengan regulasi diri.


Zimmerman (dalam Montalvo dan Torres, 2004), telah memberikan
gambaran perbedaan karakteristik antara siswa yang menerapkan dan tidak
menerapkan kemampuan belajar dengan regulasi diri dalam proses belajarnya,
yaitu:
a. Mengetahui cara menggunakan serangkaian strategi kognitif yang membantu
dalam mentransformasi, mengorganisasi, mengelaborasi, dan
b. menemukan kembali informasi
c. Mengetahui bagaimana merencanakan, mengontrol, dan mengatur proses
mental menjadi prestasi dari tujuan individu (metakognisi)
d. Mampu menentukan keyakinan motivasi dan emosi yang tepat.
e. Merencanakan waktu dan usaha yang akan digunakan untuk mencapai tujuan.
f. Melakukan peningkatan yang menunjukkan usaha terbaik dalam proses
belajar.
f. Mampu menjalani kondisi bertujuan mempertahankan melakukan tugas akdemis.
D. Evaluasi pendekatan kognitif sosial
Pendekatan kognitif sosial memberikan kontribusi penting untuk mendidik anak.
Pembelajaran yang dilakukakan mengamati dan mendengarkan model yang kompeten dan
kemudian meniru apa yang mereka lakukan.
Kelemahan dalam menggunakan teori kognitif sosial dikelas kesulitan dalam
menerapkan porsi self efficacy dan komponen regulasi diri. Masalah lain adalah bahwa dalam
memilih model untuk perilaku, orang mungkin kehilangan bebrapa anggita belajar dengan alasan
bahwa salah memilih model.
kelebihan teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya,
karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem
kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks
atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi anatara
lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri. Pendekatan teori sisoal lebih ditekankan pada
konditioning (pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar
sosial menekankan pentingnya penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan
perkembangan anak, faktor sosial dan kognitif.

Anda mungkin juga menyukai