Anda di halaman 1dari 38

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Plastik Polyethylen Terephtalate (PET)


Plastik jenis PET mulai dikembangkan pada pertengahan tahun 1940 oleh
Dupont Tim. Mereka sedang dalam usaha pencarian PET untuk bahan tekstil yang
berupa fiber dan akhirnya bahan itu diberi nama “dakron”. Kemudian, masih
merupakan kelompok Dupont tim, John Rex Whinfield Bersama timnya
mendapatkan hak paten “PET” pada tahun 1941. Setelah beselang beberapa tahun,
pada akhir tahun 1950-an, seorang ilmuan menemukan cara untuk membentuk
PET menjadi bentuk lembaran, dari sana PET mulai digunakan sebagai bahan
untuk kertas film di bidang fotografi dan kertas rontgen.
Barulah pada tahun 1970-an, teknologi stretch-blow moulding PET
ditemukan. Teknologi itu menghasilkan benda berongga, seperti botol yang
memiliki orientasi molecular biakial (dua sumbu). Orientasi biaksial
meningkatkan sifat fisik, kejernihan, dan sifat penghalang gas, yang semuanya
penting dalam produk seperti botol.
Teknologi tersebut juga membuat PET film berbentuk botol yang tahan pecah
dan mempunyai bentuk yang cukup kuat namun ringan. Sehingga pada tahun
1973 PET berbentuk botol dipatenkan dan pada tahun 1977 merupakan tahun
pertama PET berbentuk botol didaur ulang.

Gambar 2.1. proses Produksi Botol PET dengan Stretch Blow Moulding
Sumber: https://www.petallmfg.com/images/Pet-Stretch-Blow-Moulding-Machines.jpg

5
6

PET merupakan bahan yang 100% dapat didaur ulang. Selain kemasan botol,
PET resin hasil daur ulang dapat juga digunakan untuk memproduksi pakaian,
onderdil kendaraan, karpet dan lain-lain. Angka daur ulang PET di USA dan
eropa berturut-turut sekitar 31% dan 52% pada tahun 2012.
Untuk dapat mendaur ulang plastik PET, langkah awal yang harus dilakukan
adalah menghancurkan plastik ini terlebih dahulu. Dapat dilakukan dengan cara
dilelehkan ataupun dihancurkan menjadi cacahan-cacahan kecil. Tabel yang
menunjukkan sifat karakteristik mekanis dari plastik PET untuk dapat
dihancurkan dapat dilihat melalui tabel 2.1 dibawah ini:

Tabel 2.1. Sifat Mekanis Plastik PET


Sumber : http://www.matweb.com/reference/tensilestrength.aspx

B. Mesin Pencacah Plastik tipe Crusher


Secara umum, agar suatu limbah plastik dapat diproses oleh suatu industri,
limbah plastik harus dalam bentuk tertentu seperti butiran, biji/pellet, serbuk,
ataupun pecahan (Ichlas Nur, 2014). Untuk itu, diperlukan beberapa kombinasi
penggunaan mesin yang salling berhubungan, seperti mesin pencacah, mesin
pellet dan mesin injection moulding, namun ketiga mesin tersebut hanya mampu
dimiliki oleh industri kelas menengah keatas. Untuk industri kecil, umumnya
hanya menggunakan mesin pencacah untuk mendapatkan plastik dalam bentuk
serpihan/butiran. Hasil cacahan plastik tersebut dapat dijual ke industri pengolahan
plastik menengah dan besar, ataupun dapat diolah sendiri sebagai kerajinan tangan.
7

Teknologi pencacahan limbah plastik umumnya menggunakan mesin pencacah


yang terdiri dari silinder pemotong tunggal tipe reel dan bedknife. Namun,
pemotong tipe reel ini prosesnya kurang efisien karena proses pemotongan lama dan
membutuhkan tenaga yang besar. Masalah lain yang juga sering muncul adalah
pisau pemotong yang menjadi tumpul dan mesin yang sering tersendat.
Untuk meningkatkan efisiensi proses pencacahan tersebut, dapat dilakukan
suatu usaha yakni menggunakan sistem pemotong yang mampu melakukan
perusakan struktur bahan dengan meremukkan, menekan, menarik dan merobek-
robek bahan, dengan kondisi ini bahan dapat menjadi potongan-potongan yang
lebih kecil. Untuk itu, perlu proses pencacahan dengan menggunakan mesin
pencacah berbentuk crusher. Sistem pemotong crusher menggunakan dua buah
silinder pemotong yang masing-masing memiliki pisau yang disusun
berselangan dan berputar berlawanan arah, agar dapat bekerja dengan menjepit,
meremukkan, menekan, menarik, dan merobek-robek bahan limbah plastik.
Berbeda dengan sistem pemotong tipe reel yang hanya menggunakan satu
buah poros pisau pemotong tunggal disertai rumah pemotong (bedknife). Sistem
pemotong ini bekerja dengan menjepit dan menekan bahan limbah plastik
hingga hancur. Ilustrasi perbedaan sistem pemotong tipe reel dengan tipe
crusher dapat dilihat pada gambar 2.2. (a,b) berikut:

Gambar 2.2(a) Sistem Pemotong tipe Crusher


8

Gambar 2.2(b) Sistem Pemotong tipe Reel

C. Komponen Sistem Penggerak Mesin Crusher Pencacah Plastik


1. Motor Listrik 3 Fasa
Motor listrik 3 fasa adalah motor yang bekerja dengan memanfaatkan
perbedaan fasa pada sumber untuk menimbulkan gaya putar pada bagian
rotornya. Perbedaan fasa pada motor 3 fasa didapat langsung dari sumber. Hal
tersebut yang menjadi pembeda antara motor 1 fasa dengan motor 3 fasa.
Secara umum, motor 3 fasa memiliki dua bagian pokok, yakni stator dan
rotor. Bagian tersebut dipisahkan oleh celah udara yang sempit atau yang
biasa disebut dengan air gap. Jarak antara stator dan rotor yang terpisah oleh
air gap sekitar 0,4 milimeter sampai 4 milimeter.
Terdapat dua tipe motor 3 fasa jika dilihat dari lilitan pada rotornya, yakni
rotor belitan (wound rotor) dan rotor sangkar tupai (squirrel-cage rotor).
Motor 3 fasa rotor belitan (wound rotor) adalah tipe motor induksi yang
lilitan rotor dan statornya terbuat dari bahan yang sama.
9

Gambar 2.3. Komponen pada Motor Listrik 3 Fasa


Sumber : http://belajarelektronika.net/wp-content/uploads/2016/01/motor-3-fasa.jpg

2. Transmisi Roda Gigi


Roda gigi adalah bagian dari mesin yang berputar untuk
mentransmisikan daya. Roda gigi memiliki gigi-gigi yang saling
bersinggungan dengan gigi yang lain. Dua atau lebih roda gigi yang
bersinggungan dan bekerja Bersama-sama disebut sebagai transmisi roda
gigi, dan bisa menghasilkan keuntungan mekanis melalui rasio junlah
gigi. Roda gigi mampu mengubah kecepatan putar, torsi dan arah daya
terhadap sumber daya. Tidak semua roda gigi berhubungan dengan roda
gigi yang lain: salah satu kasusnya adalah pasangan roda gigi dan pinion
yang bersumber dari atau menghasilkan gaya translasi, bukan gaya rotasi.
Roda gigi dapat diklasifikasikan menurut letak poros dan bentuk jalur
gigi, yaitu:
a. Roda gigi dengan poros sejajar
roda gigi dimana giginya berjajar pada dua bidang silinder yang
disebut “bidang jarak bagi”. Kedua bidang silinder tersebut
bersinggungan dan yang satu menggelinding pada yang lain dengan
sumber tetap sejajar. Dan roda gigi ini merupakan roda gigi paling
dasar dengan jalur gigi yang sejajar poros.
10

b. Roda gigi miring


Mempunyai jalur gigi yang berbentuk ulir pada silinder jarak bagi.
Pada roda gigi miring ini, junlah pasangan gigi yang saling membuat
kontak serentak (perbandingan kontak) adalah lebih besar dari pada
roda gigi lurus, sehingga pemindahan momen atau putaran melalui
gigi-gigi tersebut dapat berlangsung. Sifat ini sangat baik untuk
mentransmisikan putaran tinggi dan beban besar. Namun roda gigi
miring memerlukan bantalan aksial dan kotak roda gigi yang lebih
kokoh, karena jalur gigi yang berbentuk ulir tersebut menimbulkan
gaya reaksi yang sejajar dengan poros.
c. Roda gigi miring ganda
Dalam hal ini, gaya aksial yang timbul pada gigi yang mempunyai
alur berbentuk V tersebut, akan saling meniadakan. Dengan roda gigi
ini, perbandingan reduksi, kecepatan keliling, dan daya yang
diteruskan dapat diperbesar.
d. Roda gigi dalam
Roda gigi ini dipakai jika diingini alat transmisi dengan ukuran
kecil dengan perbandingan reduksi besar, karena pinion terletak
didalam roda gigi.
e. Pinyon dan batang gigi
Pasangan ini digunakan untuk merubah gerakan putar menjadi
lurus atau sebaliknya. Batang gigi merupakan dasar profil pahat
pembuat gigi.
f. Roda gigi kerucut lurus dengan gigi lurus
Roda gigi yang paling mudah dibuat dan paling sering dipakai,
akan tetapi sangat berisik karena perbandingan kontaknya yang kecil
dan juga konstruksinya tidak memungkinkan pemasangan bantalan
pada kedua ujung porosnya.
11

g. Roda gigi kerucut spiral


Karena mempunyai perbandingan kontak yang lebih besar, dapat
meneruskan putaran tinggi dan beban besar. Sudut poros kedua roda
gigi kerucut ini biasanya dibuat 90o.
h. Roda gigi cacing silindris
Mempunyai cacing berbentuk silinder atau lebih umum dipakai
i. Roda gigi cacing globoid
Untuk beban besar dengan perbandingan kontak yang lebiih besar
roda gigi ini dapat dipergunakan.
j. Roda gigi hipoid
Mempunyai alur gigi berbentuk spiral dan bidang kerucut yang
sumbunya bersilang, dan pemindahan gaya pada permukaan gigi
berlangsung secara meluncur dan menggelinding.

Gambar 2.4. Klasifikasi Roda Gigi


Sumber : Sulastro Dan K.Suga, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin.
12

Letak poros Roda gigi Keterangan


13

Roda gigi lurus, (a)


(klasifikasi atas
Roda gigi miring, (b) dasar
bentuk alur gigi)
Roda gigi miring ganda,
Roda gigi dengan poros (c)
Arah putaran
sejajar Roda gigi luar berlawanan
Roda gigi dalam dan
pinyon, (d) Arah putaran sama
Gerakan lurus dan
Batang gigi dan pinyon,
berputar
(e)
Roda gigi kerucut lurus, (f)

Roda gigi kerucut spiral,


(g) (klasifikasi atas
Roda gigi kerucut ZEROL dasar
bentuk alur gigi)
Roda gigi dengan poros Roda gigi kerucut miring
berpotongan
Roda gigi kerucut miring
ganda
(roda gigi dengan
Roda gigi permukaan poros
berpotongan
dengan poros berbentuk
berpotongan, (h) istimewa)
Roda gigi miring silang, (i) Kontak titik
gerakan lrus
Batang gigi miring silang dan berputar.

Roda gigi cacing silindris,


(j)
Roda gigi dengan poros Roda gigi cacing selubung
silang ganda (globoid), (k)
Roda gigi cacing samping
Roda gigi hyperboloid
Roda gigi hipoid, (l)
Roda gigi permukaan
silang
Tabel 2.2. Klasifikasi Roda Gigi
a. Bagian-bagian Roda Gigi
14

Nama-nama bagian roda gigi ditunjukkan pada gambar 2. Dibawah ini

Gambar 2.5. Nama-nama Bagian Roda Gigi


Sumber : Sulastro Dan K.Suga, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin.

b. Perbandingan Putaran dan Perbandingan Roda Gigi


Jika putaran gigi yang berpasangan dinyatakan dengan n1 (rpm) pada
poros penggerak dan n2 (rpm) pada poros yang digerakkan, diameter
lingkaran jarak bagi d1 dan d2 (mm), jumlah gigi z1 dan z2 , maka
perbandingan u adalah:
Harga i, yaitu perbandingan antara jumlah gigi pada roda gigi dan
pada pinion, disebut perbandingan roda gigi atau perbandingan
transmisi.
3. Poros
a. Pengertian Poros
Poros merupakan salah satu bagian yang terpenting dari setiap mesin,
hamper semua mesin mesin meneruskan tenaga bersama-sama degan
putaran. Perana utama dalam transmisi ini di pegang oleh poros. Poros
pada umumnya berfungsi untuk memindahkan daya dan putaran. Bentuk
dari poros adalah silinder baik pejal maupun berongga. Namun ukuran
diemeternya tidak selalu sama. Biasanya dalam permesinan, poros dibuat
bertangga/ step agar bantalan, roda gigi maupun pulley mempunyai
dudukan dan penahan agar dapat diperoleh ketelitian mekanisme. (Stolk
dan Kross, 1993). Adapun menurut Ir. Sularso dan Kiyokatsu Suga
15

(1978) bahwa dalam perencanaan poros mempunyai alur perhitungan


seperti pada flowchart dibawah ini.

Gambar 2.6. Diagram alir untuk merencanakan poros dengan beban


puntir
(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 6)
16

b. Hal – hal penting dalam perencanaan poros


Untuk merencanakan poros hal – hal sebagai berikut perlu
diperhatikan:
1) Kekuatan poros
Suatu poros transmisi dapat mengalami beban puntir atau
lentur atau gabungan antara puntir dan lentur seperti telah diutarakan
di atas. Juaga ada poros yang mendapat beban tarik atau tekan
seperti poros roling-baling kapal atau turbin dan lain sebagainya.
2) Kekakuan poros
Poros mempunyai kekuatan poros yang cukup tetapi jika
lenturan atau defleksi puntirnya terlalu besar akan mengakibatkan
ketidak telitian (pada mesin perkakas) atau getaran dan suara
(misalnya pada turbin dan gear box)
3) Putaran kritis
Bila putaran mesin di naikan maka suatu harga putaran
tertentu dapat terjadi getaran yang luarbiasa besarnya.
4) Korosi
Bahan-bahan tahan korosi (termasuk plastik) harus dipilih
untuk poros propeller dan pompa bila terjadi kontak dengan benda
korosif. Demikian juga untuk poros-poros yang terancam kaviatasi,
dan poros-poros mesin yang berhenti lama. Sampai batas-batas
tertentu dapat pula dilakukan perlindungan terhadap korosi.
5) Bahan poros
Poros untuk mesin umum biasanya dibuat dari baja batang
yang ditarik dingin dan difinis, baja karbon konstruksi (disebut bahan
S-C) yang dihasilkan dari ingot atau kill. Meski pun demikian, bahan
ini kelurusannya kurang tetap dan dapat mengalami deformasi karena
tegangan sisa dalm terasnya.
Poros-poros yang dipakai untuk meneruskan putaran tinggi
dan beban berat umumnya dibuat mengunakan baja paduan dengan
pengerasan kulit yang sangat tahan terhadap keausan. Beberapa
17

diantaranya adalah baja khrom nikel, baja khrom nikel molibden,


baja khrom, baja khrom molibden, dll.

Tabel 2.3. baja karbon untuk konstruksi mesin dan baja batang
yang difinis dingin untuk poros.

Standar dan Lambang Perlakuan Kekuatan keterangan


macam panas tarik
(Kg/mm2)

Baja S30C penormalan 48


karbon S35C 52
konstruksi S40C 55
mesin (JIS S45C 58
G 4501) S50C 62
S55C 66
Bajang baja S35C-D 53 Ditarik
yang difinis S45C-D 60 dengan
dingin S55C-D 72 digerinda,
dibubut,
atau
gabungan
antara hal-
hal tersebut
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978, hlm.3
c. Perhitungan Poros
1) Daya Rencana
Jika P adalah daya nominal output dari motor penggerak, maka
factor keamanan biasanya dapat diambil dalam perencanaan, sehingga
factor koreksi pertama dapat diambil kecil. Perhitungan daya rencana
(Pd) adalah sebagai berikut:
Pd = fc.P ……………….. (Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 7)
Keterangan:
Pd : daya rencana (kW)
fc : factor koreksi
P : daya nominal dari output motor penggerak (kW)
Tabel 2.4. Faktor-faktor koreksi daya yang akan
18

ditransmisikan, fc

Daya yang akan ditransmisikan fc

Daya rata-rata yang diperlukan 1,2 – 2.0


Daya maksimum yang diperlukan 0,8 – 1,2
Daya normal 1,0 – 1,5

2) Momen Puntir Rencana


Jika momen punter (T) disebut juga sebagai momen rencana,
maka:
T n1
( )(2 π )
Pd = 1000 60 ……. (Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ;
102
7)
Pd
T = 9,74 x 105 ……... (Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 7)
n1
Keterangan :
T = momen punter rencana (kgmm)
n1 = putaran poros (rpm)

3) Tegangan Geser yang Diizinkan

Tegangan geser yang diizinkan (τa) dihitung atas dasar batas


kelelahan punter yang besarnya diambil 40% dari batas kelelehan tarik
yang besarnya kira – kira 45% dari kekuatan tarik (σ B). Jadi batas
kelelehan punter adalah 18% dari kekuatan tarik (σB), sesuai dengan
standar ASME. Untuk harga 18% ini factor keamanan diambil sebesar
1/0,18 = 5,6. Harga 3,6 diambil untuk bahan SF dengan kekuatan yang
dijamin, dan 6,0 untuk bahan SC dengan pengaruh massa dan baja
paduan. Faktor ini dinyatakan dengan Sf1.
Selanjutnya perlu ditinjau apakah poros tersebut akan diberi alur
pasak atau dibuat bertingkat, karena pengaruh konsentrasi tegangan
cukup besar. Pengaruh kekasaran permukaan juga harus diperhatikan.
19

Untuk memasukan pengaruh – pengaruh ini dalam perhitungan perlu


diambil factor yang dinyatakan sebagai Sf2. Dengan harga sebesar 1,3

sampai 3,0. Berdasarkan hal – hal diatas maka besarnya τa dapat


dihitung dengan:
σB
τa = Sf 1 x Sf 2 …………..… (Sularso dan Kiyokatsu Suga,

1978 ; 8)
Keterangan:

τa : tegangan geser yang diizinkan (kg/mm2)

σB : kekuatan tarik (kg/mm2)


Sf1 : safety factor 1
Sf2 : safety factor 2

Kemudian, keadaan momen puntir itu sendiri juga harus ditinjau.


Faktor koreksi yang dianjurkan oleh ASME juga dipakai disini. Faktor
ini dinyatakan dengan Kt , dipilih sebesar 1,0 jika beban dikenakan
secara halus, 1,0 – 1,5 jika terjadi sedikit kejutan atau tumbukan dan
1,5 – 3,0 jika beban dikenakan dengan kejutan atau tumbukan besar.
Meskipun dalam perkiraan sementara ditetapkan bahwa beban
hanya terdiri atas momen puntir saja, perlu ditinjau pula apakah ada
kemungkinan pemakaian dengan beban lentur di masa mendatang.
Jika memang diperkirakan akan terjadi pemakaian dengan bebab
lentur maka dapat dipertimbangkan pemakaian faktor Cb yang
harganya antara 1,2 sampai 2,3. (jika diperkirakan tidak akan terjadi
pembebanan lentur maka Cb diambil = 1,0).
Dari data diatas diperoleh rumus untuk menghitung diameter
poros Ds (mm) sebagai berikut:

4) Ukuran Diameter Poros


Menghitung diameter poros diperoleh rumus sebagai berikut:
20

5,1
Ds = [ τa
x Kt .Cb .T ] 1/3
... (Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 8)

Keterangan:
Ds : diameter poros yang direncanakan (mm)
T : momen punter rencana (kg.mm)

τa : tegangan geser bahan poros yang diizinkan (kg/mm2)


Kt : faktor koreksi untuk beban punter
Cb : faktor koreksi untuk beban lentur

4. Pasak
Pasak adalah suatu elemen mesin yang dipakai untuk menetapkan bagian
– bagian mesin seperti roda gigi, sproket, puli, kopling dan lainnya pada
poros. Pasak benam mempunyai bentuk penampang segi empat di mana
terdapat bentuk prismatis dan tirus yang kadang – kadang diberi kepala untuk
memudahkan pencabutanya. Untuk pasak, pada umumnya dipilih bahan yang
mempunyai kekuatan tarik lebih dari 60 (kg/mm2), lebih kuat dari pada
porosnya.
Kadang – kadang sengaja dipilih bahan yang lemah untuk pasak, sehingga
pasak akan lebih dahulu rusak dari pada poros atau nafnya. Ini disebabkan
harga pasak yang murah serta mudah menggantinya.
21

Gambar 2.7. Flowchart perencanaan pasak dan alur pasak


(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 26)
a. Gaya tangensial F (kg)
22

T
F =
Ds/2
Dimana:
T = momen rencana dari poros (kgmm)
Ds = diameter poros (mm)

Gambar 2.8. Gaya geser pada pasak


(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 25)

b. Tegangan geser izin (τka)


F
τka = b x l 1
Dimana:
F = gaya tangensial
b = lebar pasak
l = panjang pasak

Harga τka adalah harga yang diperoleh dengan membagi kekuatan


tarik τb dengan faktor keamanan Sfk1, Sfk2. Harga Sfk1 umumnya
diambil 6, dan Sfk2 dipilih antara 1 - 1,5 jika beban dikenakan secara
perlahan-lahan, antara 1,5 – 3 jika dikenakan dengan tumbukan ringan,
dan antara 2 – 5 jika dikenakan secara tiba-tiba dan dengan tumbukan
berat.
Selanjutnya, perhitungan untuk menghindari kerusakan permukaan
23

samping pasak karena tekanan bidang juga diperlukan.


Gaya keliling F (kg) yang sama seperti tersebut di atas dikenakan
pada luas permukaan samping pasak. Kedalaman alur pasak pada poros
dinyatakan dengan t1, dan kedalaman alur pasak pada naf dengan t2.
abaikan pengurangan luas permukaan oleh sudut suatu pasak. Dalam hal
ini tekanan permukaan P (kg/mm2) adalah

F
P=
l ×(t 1 atau t 2)
……(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 27)

Dari harga tekanan permukaan yang diizinkan Pa (kg), panjang pasak


yang diperlukan dapat dihitung dari

F
Pa ≥ ………….(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 27)
l×(t 1 atau t 2 )

Harga pa adalah sebesar 8 (kg/mm2) untuk poros dengan diameter


kecil, 10 (kg/mm2) untuk poros dengan diameter besar, dan setengah dari
harga-harga di atas untuk poros berputaran tinggi.
Perlu duperhatikan bahwa lebar pasak sebaiknya antara 25 – 35 % dari
diameter poros, dan panjang pasak jangan terlalu panjang dibandingkan
dengan diameter poros (antara 0,75 sampai 1,5 Ds). Karena lebar dan
tinggi pasak sudah distandarkan, maka beban yang ditimbulkan oleh gaya
(F) yang besar hendaknya diatasi dengan menyesuaikan panjang pasak.
Namun demikian, pasak yang terlalu panjang tidak dapat menahan
tekanan yang merata pada permukaannya. Jika terdapat pembatasan pada
ukuran naf atau poros, dapat dipakai ukuran yang tidak standar atau
diameter poros perlu dikoreksi.
24

Gambar 2.9. Ukuran pasak dan alur pasak

5. Sabuk – V (V-belt) dan Pulley


a. Pengertian Sabuk-V
Jarak yang cukup jauh yang memisahkan antara dua buah poros
mengakibatkan tidak memungkinkannya mengunakan transmisi langsung
dengan roda gigi. Sabuk-V merupakan sebuah solusi yang dapat
digunakan. Sabuk-V adalah salah satu transmisi penghubung yang
terbuat dari karet dan mempunyai penampang trapesium. Dalam
penggunaannya sabuk-V dibelitkan mengelilingi alur puli yang berbentuk
V pula. Bagian sabuk yang membelit pada puli akan mengalami
lengkungan sehingga lebar bagian dalamnya akan bertambah besar
(Sularso dan Suga, 2004 ; 163). Adapun flowchart pemilihan sabuk-V
dapat dilihat pada Gambar 2.9 di bawah ini.
25

Gambar 2.10. Flowchart pemilihan sabuk-V


(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 176)
26

b. Pemilihan Sabuk – V
Pemilihan penampang sabuk dapat ditentukan dengan cara melihat
daya rencana yang digunakkan (kW) dan putaran poros penggerak (rpm).
Atas dasar daya rencana dan putaran poros penggerak, penampang sabuk
– v yang sesuai dapat diperoleh dari diagram pemilihan sabuk – v
dibawah ini.
Ukuran dari tiap – tiap tipe sabuk – V dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :

Gambar 2.11. Konstruksi V-Belt


(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 164)

Gambar 2.12. Ukuran penampang V-Belt


(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 164)
27

Gambar 2.13. Diagram pemilihan V-Belt


(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 164)

c. Perhitungan Sabuk-V
1) Diameter lingkaran jarak bagi pulley (dp,Dp)

…… (Sularso dan K. Suga, 1978 ;


166)

Maka, Dp =
Dimana:

= diameter jarak puli kecil (mm)

= diameter jarak puli besar (mm)

= perbandingan
Untuk mendapatkan diameter puli yang diizinkan dan dianjurkan
dp (mm), maka dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 2.5. Diameter minimum puli
Penampang A B C D E
Diameter min. yang diizinkan 65 115 175 300 450
Diameter min. yang dianjurkan 95 145 225 350 550
(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 169)
28

Sedangkan untuk ukuran puli standar dapat dilihat pada tabel di


bawah ini.
Tabel 2.6. Ukuran Puli

2) Kecepatan sabuk (v)

…………… (Sularso dan K. Suga, 1978 ;


166)
Dimana:
= kecepatan puli (m/s)

= diameter puli kecil (mm)

= putaran poros penggerak (rpm)

3) Panjang keliling (L)

…………
(Sularso dan K. Suga, 1978 ; 170)
29

Tabel 2.7. Panjang sabuk – V standar

4) Jarak sumbu poros (C)

…. (Sularso dan K. Suga, 1978 ; 170)


Maka,
30

Gambar 2.14. Perhitungan panjang keliling sabuk


(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 168)

5) Sudut Kontak
Sudut kontak () dari sabuk dan puli penggerak harus diusahakan
sebesar mungkin untuk memperbesar panjang kontak antara sabuk
dan puli. Gaya gesekan berkurang dengan mengecilnya sudut kontak
akan menimbulkan selip.

Gambar 2.15. Sudut kontak puli dengan sabuk

 57 ( Dp−dp )
 180 -
0
C
………….(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 173)
31

6) Berat Sabuk
W=bxtxlxρ
Keterangan:
W = berat sabuk (kg)
b = lebar sabuk (mm)
t = tebal sabuk (mm)
ρ = massa jenis sabuk (1,25 gr/mm3)

7) Koefisien Gesek
Koefisien gesek pada sistem transmisi ini tergantung dari material
sabuk, material puli, slip pada sabuk, dan kecepatan pada sabuk.
42,6
µ = 0,54 - ………………….(Khurmi & Gupta, 1982 ;
152,6+v
651)
Keterangan:
µ = koefisien gesek
v = kecepatan linier sabuk (m/menit)

8) Gaya Tarik Sabuk (Tension of Belt)


Gaya tegang sabuk sebagai fungsi massa dan kecepatan sabuk
dinyatakan dengan rumus:
W
Tc = x v2 ……..………………….(Khurmi & Gupta, 1982 ;
g
669)
Keterangan:
Tc = centrifugal tension (kg)
W = berat sabuk (kg/m)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
v = kecepatan linier sabuk (m/s2)

9) Gaya Tarik Maksimum Sabuk


32

T = f x A…..……..………………….(Khurmi & Gupta, 1982 ;


673)
Keterangan:
T = gaya tarik maksimum (kg)
f = tegangan tarik sabuk yang diijinkan (kg/mm2)
A = luas penampang sabuk (mm2)

10) Gaya Sisi Kencang


T1 = T + Tc…..……..……………….(Khurmi & Gupta, 1982 ;
670)
Keterangan:
T1 = gaya sisi kencang (kg)
T = gaya tarik maksimum sabuk (kg)
Tc = gaya sentrifugal (kg)

11) Gaya Sisi Kendor


T1
2,3log( ) = µ. …..……..……….(Khurmi & Gupta, 1982 ;
T2
666)

12) Daya yang dapat ditransmisikan oleh tiap sabuk


T 1−T 2
Po = x v …..……..……….….(Khurmi & Gupta, 1982 ;
75
673)

13) Jumlah Sabuk yang Digunakan (Z)


Untuk menghitung jumlah sabuk yang dibutuhkan dapat
menggunakan rumus:
Ps
Z = .. …..………….....……….….(Khurmi & Gupta, 1982 ;
Po
664)
Keterangan:
33

Z = jumlah sabuk
Ps = daya mekanik yang akan ditransmisikan (kW)
Po = daya yang dapat ditransmisikan oleh tiap sabuk (kW)

Tabel 2.8. Faktor Koreksi Transmisi Sabuk – V

Mesin yang di gerakan Penggerak

Momen puntir Momen puntir puncak >


puncak 200% 200%

Momen arus bolak


Motor arus bolak - balik
- balik (momen
(momen tinggi, fasa
normal sangkar
tunggal lilitan seri),
bajing singkron)
motor searah (lilitan
motor searah
komponen, lilitan seri)
(lilitan shunt).
mesin torak, kopling tak
tetap.

Jumlah jam kerja Jumlah Jam Kerja tiap hari


34

tiap hari

3- 16 -
8 - 10 3-5 8 - 10 16 - 24
5 24
jam jam jam jam
jam jam

Pengaduk zat cair,


Variasi
kipas angin, blower
beban
(sdampai 7,5 Kw) 1,0 1,1 1,2 1,2 1,3 1,4
sangat
pompa sentrifugal,
kecil
konveyor tugas ringan.

Konveyor sabuk,
(pasir, batu bara),
Variasi pengaduk kipas angin
beban (lebih dari 7,5 Kw) 1,2 1,3 1,4 1,4 1,5 1,6
kecil Mesin torak peluncur,
mesin perkakas, mesin
pencetak.

Konveyor (ember
sekrup), pompa torak,
Variasi
beban 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8
kompresor, gilingan
palu, pengocok, roots
35

sedang
blower, mesin tekstil,
mesin kayu.

Penghancur gilingan
Variasi bola atau batang,
beban pengangkat, mesin 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2,0
besar pabrik karet, ( rol
kalender).

6. Bearing (Bantalan)
Bantalan adalah tempat poros bertumpu. Bantalan ini dapat dipasang di
dalam mesin, dimana poros bertumpu pada bagian yang terpisah. Bantalan
dipasang pada bagian mesin yang dinamakan blok bantalan. Dalam bantalan
biasanya terjadi gaya reaksi. Apabila gaya reaksi ini jauh lebih banyak
mengarah tegak pada garis sumbu poros, bantalan dinamakan bantalan radial,
kalau gaya reaksi itu jauh lebih banyak mengarah sepanjang garis sumbu,
namanya adalah bantalan aksial (Daryanto, 2007).
Pada rancang bangun mesin crusher pakan ternak sapi ini penulis
merecanakan akan menggunakan bantalan dengan jenis bantalan luncur.
Dalam teknik otomobil bantalan luncur dapat berupa bus, bantalan logam
sinter dan bantalan plastik.
36

Gambar 2.16. Macam – macam bantalan luncur


(Sularso dan Kiyokatsu Suga 1978 ; 104)

Ditambahkan oleh Sularso bahwa dalam perencanaan pemilihan bantalan


dapat disederhanakan dengan flowchart di bawah ini.
37

Gambar 2.17. Flowchart pemilihan bantalan


(Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1978 ; 120)
38

a. Berdasarkan gerakan bantalan terhadap poros


1) Bantalan luncur
Pada bantalan ini terjadi gesekan luncur antara poros dan
bantalan karena permukaan poros ditumpu oleh permukaan
bantalan dengan perantaraan lapisan pelumas.
2) Bantalan gelinding
Pada bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara bagian yang
berputar dengan yang diam melalui elemen gelinding seperti
bola, rol, dan rol bulat.
b. Berdasarkan arah beban terhadap poros
1) Bantalan radial
Arah beban yang ditumpu bantalan ini adalah tegak lurus
sumbu.
2) Bantalan aksial
Arah beban bantalan ini sejajar dengan sumbu poros.
3) Bantalan gelinding khusus
Bantalan ini dapat menumpu beban yang arahnya sejajar dan
tegak lurus sumbu poros.
Meskipun bantalan gelinding menguntungkan, Banyak konsumen
memilih bantalan luncur dalam hal tertentu, contohnya bila kebisingan
bantalan menggangu, pada kejutan yang kuat dalam putaran bebas.
c. Perbandingan antara bantalan luncur dan bantalan gelinding
Menurut Elemen Mesin (Sularso dan Suga, 2004, hlm. 103)
perbandingan antara bantalan luncur dan bantalan gelinding yaitu sebagai
berikut.
1) Bantalan luncur
i) Mampu menumpu poros berputaran tinggi dengan besar.
ii) Konstruksinya sederhana dan dapat dibuat serta dipasang
dengan mudah
iii) Bantalan luncur memerlukan momen awal yang besar
39

iv) Bantalan ini dapat meredam tumbukan dan getaran sehingga


hampir tidak bersuara dikarenakan adanya lapisan pelumas.
v) Pelumasan bantalan ini tidak begitu sederhana.
2) Bantalan gelinding
i) Lebih cocok untuk beban kecil dari pada bantalan luncur.
ii) Bantalan gelinding hanya dapat dibuat oleh pabrik – pabrik
tertentu saja dikarenakan konstruksinya sukar dan
ketelitiannya yang tinggi.
iii) Harganya lebih mahal dibandingkan dengan bantalan luncur
Keunggulan bantalan ini adalah pada gesekannya yang
sangat rendah. Pelumasannya sangat sederhana, cukup
dengan gemuk.
3) Bantalan dengan beban campuran (radial-aksial).

d. Perhitungan Bearing
1) Beban ekuivalen dinamis ( Pe ).

Pe = V  X  Fr  Y  Fa  Ks ….
(Sularso dan K. Suga, 1978 ; 135)
Dimana :
Pe = beban ekuivalen dinamis ( Kg )
X = faktor untuk beban radial
Y = faktor untuk beban aksial
Fa = beban aksial ( Kg )

Fr = beban radial ( Kg )

K s = faktor koreksi

Untuk tekanan stabil dan merata = 1


Untuk tekanan beban ringan = 1,5
Untuk tekanan beban sedang = 2
Untuk tekanan beban berat = 2,5
40

V = faktor pembebanan
Jika cincin dalam yang berputar = 1,2
Jika cincin luar yang berputar = 1

2) Faktor kecepatan Fn .

Untuk elemen gelinding bola (ball bearing)

…………...……. (Sularso dan K. Suga, 1978 ;


136)
Dimana :
Fn = faktor kecepatan

n = putaran Rpm

Untuk elemen gelinding roll (roller bearing)

……………….…(Sularso dan K. Suga, 1978 ;


136)
Dimana :
Fn = faktor kecepatan

n = putaran Rpm

3) Faktor umur bantalan ( Fh ).

…………….…… (Sularso dan K. Suga, 1978 ;


136)
Dimana :
Fh = faktor umur bantalan
Fn = faktor kecepatan
41

Pe = beban ekuivalen dinamis ( Kg )


C = beban nominal dinamis spesifik ( Kg )

4) Umur nominal bantalan ( Lh )

………………. (Sularso dan K. Suga, 1978 ;


136)
Dimana :
Lh = umur nominal bantalan
Fh = faktor umur bantalan

D. Perhitungan Biaya Produksi


Ongkos suatu produk ditentukan oleh ongkos material dan ongkos produksi
yang mungkin terdiri atas gabungan beberapa langkah proses pembuatan
sebagaimana rumus berikut.
Cu = CM + Cp ……………………………………. (Rochim, Taufiq, 1993:250)
Keterangan:
Cu = Ongkos total (Rp./Produk)
CM = Ongkos material (Rp./Produk)
Cp = Ongkos produksi (Rp./Produksi)

Ongkos material terdiri atas harga pembelian dan ongkos tak langsung
(indirect/ overhead cost of material) yang merupakan ongkos khusus yang
dibebankan bagi material yang berkaitan dengan penyimpanan (sewaktu masih
berupa bahan maupun setelah menjadi produk) dan gedung, mesin-mesin
pemotong (precutting), pengangkutan (material handling) dengan perhitungan
atas bunga, pajak dan asuransi, pemeliharaan serta karyawan yang menangani
bagian pergudangan. Kesemuanya itu dibagi (dengan faktor pemberat) dan
dibebankan bagi masing-masing material yang ada di gudang sesuai dengan luas
lantai yang diperlukan dan lama penyimpanan.
42

CM = CMo + CMi …………………….……………(Rochim, Taufiq, 1993:250)


Keterangan:
CM = Ongkos material (Rp./Produk)
CMi = Ongkos tak langsung (Rp./Produk)
CMo = Harga pembelian (Rp./Produk)
Ongkos proses produksi dapat dirinci menjadi ongkos penyiapan dan
peralatan (special tooling, fixture), ongkos pemesinan (machining cost), dan
ongkos pahat (tool cost), yaitu:
Cp = Cr + Cm + Ce ………………………………..(Rochim, Taufiq, 1993:250)
Keterangan:
Cp` = Ongkos produksi (Rp./Produksi)
Cr = Ongkos penyiapan dan peralatan (Rp./Produksi)
Cm = Ongkos pemesinan (Rp./Produksi)
Ce = Ongkos pahat (Rp./Produksi)

Ongkos pemesinan dihitung berdasarkan waktu pemesinan rata-rata


perproduk dan ongkos operasi (persatuan waktu; menit) dengan demikian
dipengaruhi oleh laju kecepatan produksi. Ongkos pahat perlu ditetapkan sebagai
komponen ongkos yang terpisah karena mempunyai kaitan langsung dengan umur
pahat yang merupakan variabel utama dalam proses pemesinan.
Cm = cm + tm ………………………………..…….(Rochim, Taufiq, 1993:251)
Keterangan:
Cm = Ongkos pemesinan (Rp./Produksi)
cm = Ongkos operasi mesin (Rp./Produksi)
tm = Waktu pemesinan (s)

Anda mungkin juga menyukai