Anda di halaman 1dari 1

Sebelum mendengarkan karya Touched by Wonders, hal yang saya lakukan pertama kali adalah

membaca narasinya yang sepertinya menjadi bagian dari promosi karya ini. Karya ini adalah soundtrack
bagi game Ghost Parade yang diproduksi oleh Lentera Nusantara. Game Ghost Parade sendiri,
berdasarkan narasi tersebut, konsepnya dikreasi oleh Assattari, yang kemudian juga mengisi vokal dari
Touched by Wonders (bahkan kelihatannya, juga menulis liriknya, atau bahkan juga merancang
musiknya). Musik tersebut kelihatannya dikemas sepaket dengan videonya, karena selain berisi lirik,
juga berisi cuplikan dari game Ghost Parade, yang bercerita tentang hantu-hantu tradisional Indonesia.

Sehingga dengan demikian, menikmati karya ini bisa melalui dua jalan. Pertama, dengan mengetahui
konteksnya, yaitu dengan membaca narasinya terlebih dahulu, lengkap dengan segala profilnya, lalu
mendengarkan musik sambil menyimak videonya. Kedua, adalah dengan mengalami musiknya saja,
tanpa tahu narasinya (atau pura-pura tidak tahu) dan tidak sambil menyaksikan videonya.

Jalan pertama, saya mendengarkan sambil menyaksikan videonya, dan bermodalkan pengetahuan-
pengetahuan yang berasal dari narasi. Terasa sangat holistik dan juga komprehensif: Mata, telinga, dan
pikiran dimanjakan. Ujung-ujungnya, terbentuk asosiasi yang menarik, misalnya: Mendengarkan musik,
ingat visualnya; melihat visualnya, ingat musiknya; membaca narasinya, ingat visual dan musiknya;
aneka persepsi itu menjadi penting dalam menciptakan pengalaman bagi konsumen atau pengguna
permainan ini. Mereka tidak akan bertumpu pada permainannya saja, melainkan juga mengingat
keseluruhan yang masuk ke penginderaan, terutama telinga. Karya Touched by Wonders mencipta imaji
melampaui apa yang terlihat, sehingga konsep “hantu-hantu tradisional” menjadi kaya dalam khazanah
mental para gamer yang memainkan game ini.

Jalan kedua, adalah mendengarkan musiknya saja, tanpa menyaksikan video dan mengetahui narasinya
(sudah membaca, tapi bisa pura-pura tidak tahu). Di sini lah unsur musik terdengar lebih jernih dan
murni, tidak terdistraksi oleh visualisasi dan asumsi-asumsi yang muncul dari pikiran. Musiknya, meski
elektronis, tapi terasa sekali mengambil ritmik dan “cengkok” yang umumnya muncul dari musik tradisi,
yang diduga mengarahkan asosiasi kita pada hantu tradisional yang menjadi tema utama game Ghost
Parade. Suara Assattari juga menarik: tinggi, lembut, halus, dan kelihatannya sengaja dibuat samar,
untuk menciptakan kesan “mistik”.

Persoalan minor tentu ada, seperti misalnya beberapa kekurang-pas-an kecil terjadi pada vokal Assattari
ketika musik melakukan modulasi. Namun hal demikian dianggap tidak mengganggu, terutama ketika
kita menikmati karya ini dalam intensinya, yang sengaja dibuat sedemikian rupa agar terdengar seperti:
“hantu tradisional yang hadir tidak lagi di rumah kosong atau tempat angker, melainkan pada ruang
imaji digitalmu”.

Syarif Maulana

(Pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, penyuka musik)

Anda mungkin juga menyukai