Masalah Khalqul Qur’an, pada waktu khalifah ma’mun menganjur kan kepada para
ulama’ untuk mengikuti pendapat kaum Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an itu adalah maklhuq,
bukan qadim.[3] Untuk menyabarkan Al-Qura’an adalah makhluk khalifah ini mengirim
surat edaran kepada setiap penguasa daerah untuk menyebarkan sehingga menjadi faham
resmi bagi rakyat. Surat edaran yang dikirimkan ke Mesir sampai jumad al-tsani tahun 218 H.
Menanggapi surat ini, penguasa Mesir melakukan mihnah (inquisi/pengadilan faham yang
dianut seseorang) sehingga menagkui faham kemahkhlukan Al-Qur’an[4].
Pendapat di atas cukup menimbulkan keresahan umat dan bahkan beberapa ulama
menjadi korban fitnah tersebut, terutama pada khalifah Al-Makmun. Pendapat ini timbul pada
akhir pemerintahan Bani Umayah, oleh Ja’ad bin Dirham, guru dari Marwan bin Muhammad,
khalifah terakhir Bani Umayah. Ja’ad bin Dirham adalah orang yang pertama kali
mengemukakan masalah Khalqul Qur’an di Damaskus. Kemudian dia pindah ke Kufah. Di
sini Jaham bin Sofwan berguru kepadanya.
Pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya pendapat Ja’ad bin Dirham itu bersal
dari pendapat Aban bin Sam’an. Dan Aban bin Sam’an mengambil dari Thalut bin A’sham
sorang yahudi. Ada pula yang berpendapat bahwa tentang khalqul Qur’an itu bukan pengaruh
dari yahudi, tetapi dari kristen yang beranggapan bahwa Isa ibnu Maryam itu bukan makhluk
tetapi kalam Allah swt.[5]
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu baru (diciptakan); Al-Qur’an adalah
manifestasi kalam tuhan ; Al-Qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang
satunya mendahului yang lainya.[6]
Setidaknya ada tiga point pembahasan yang dijadikan dasar pijakan merek tentang
“Al-Qur’an merupakan makhluk”, yaitu tentang Kholqu, ja’lu, dan huduts. Ada lima tempat
dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar tendensi mereka tentang kholqu: al-An’am: 101, Ar-
Ra’d: 16, al-furqon: 2, az-Zumar: 62 dan al-Mu’minun: 62.
Kemudian tentang ja’lu ada dua tempat yang menjadi dasar mereka: Fus Shilat: 44
dan Az-Zukhruf: 3.
Sedangkan ayat-ayat tentang huduts, sebagai berikut: al-Kahfi: 6, az-Zumar: 23, at-
Taqlid: 01, al-Anbiya’: 2, as-Syuaro’: 5 dan Hud: 01
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kalam Allah berupa suara dan huruf (menurut
Mu’tazilah) ada sepuluh tempat, yaitu: al-A’raf: 22 ,Maryam: 52, an-Naml: 8-9, al-Qashas:
30 ,Thaha: 11, as-Syuara’: 10 ,al-Qashas: 46, an-Naziat: 16, Saba’: 23, dan Yasin: 58.[7]
Berkaitan erat dengan sifat nafy sifat ini adalah masalah Al-Qur’an sebagai
Kalamullah.pertanyaan yang mereka ajukan adalah apakah Al-Qur’an yang kalamullah itu
azali atau baharu. Dalam pandangan mereka orang yang meyakini bahwa Qur’anitu azali atau
qadim, sama dengan pendapat orang Nasraniyang mengatakan bahwa Isa al-Masih, Kalaimat
Allah ,oknum kedua dari trinitas yang kedua itu, juga azali atau qadim. Itulah sebabnya
mereka sangat ekstrem menentang paham Qur’an ghair makhluk (Qur’an bukan makhluk).[8]
Merebaknya aliran Mu’tazilah pada abad ketiga Hijriah, secara alami menimbulkan
benturan pemikiran yang sangat keras antara dua pemikiran yang berbeda secara diametral.
Yaitu pemikiran yang dikawal oleh kaum fuqaha dan ahli hadits yang perhatiannya
dicurahkan untuk menekuni ilmu agama dengan dalil-dalil dan argumentasi yang didasarkan
pada tafsir al-Qur’an, hadits, ijma’ dan analogi (qiyas), semntara di kutub lain yang
berlawanan secara ekstrem, ada kaum teolog (mutakallimin), yang perhatiannya di curahkan
untuk ‘membela agama’ menghadapi serangan lawan-lawannya dengan menggunakan senjata
pihak lawan seperti ilmu dialektika (jadal), logika dan rasio serta mengesampingkan teks-teks
al-Qura’an dan sunnah[9].
Salah satu dari dialog yang terjadi antara Ishaq Ibn Ibrahim, Gubernur Irak dengan
Ahmad Ibn Hanbal berjalan sebagai berikut:
Ishaq : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan.
Ishaq : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tak dapat mengatakan lebih dari itu.
Ishaq : Apa arti ayat: Maha Mendengar (sami’) dan Maha Melihat (Basir) ?
(Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang paham anthropomorphisme).
Ibn Hanbal : Tuhan mensifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu)
Ishaq : Apa artinya?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan diri-Nya[10].
Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah. Ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya
kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukumi berbagai hal. Mereka
merupakan kelompok yang paling mirip dengan Descrates dari kalangan kaum Rasionalis
modern. Mereka tidak mengingkari naql(teks Al-Qur’an dan Hadits), tetapi tanpa ragu
mereka menundukkan naql kepada hukum akal[11].
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dipakai berdalil dapat diketahui kebenarannya lewat akal,
sehingga menurut Ibn Taimiyah meskipun dalil tersebut secara implisit disebut dengan dalil
naqli tetapi secara explisit adalah dalil aqli, karena informasi yang disampaikan Al-Qur’an
dapat dibuktikan dengan pembenaran akal yang sehat, bahkan beberapa analogi yang
disampaikan Al-Qur’an merupakan bukti nyata diperlukannya akal dalam beragama.[12]
Meskipun metode rasional sangat dominan di kalangan Mu’tazilah, namun sebagai
teolog Islam, para tokoh-tokohnya juga tidak melupakan teks-teks wahyu (Al-Qur’an dan
Hadits) dalam memformulasikan pendapat-pendapatnya. Al-Qur’an dan hadits adalah sumber
pokok kepercayaan yang mereka yakini kebenarannya. Hanya saja, sesuai dengan metode
rasional yang mereka pegang teguh, yang sangat menjunjung tinggi akal, ayat-ayat Al-Qur’an
yang diterima akal, mereka jadikan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka;
sedangkan yang tidak demikian, mereka takwilkan secara rasional atau dilewatkan begitu
saja.[13] Begitu pula terhadap. Hadis yang sesuai dengan akal diterima, tetapi yang dianggap
tidak sesuai maka ditakwilkan, malah ditolak sebagai hadis meskipun dianggap hadits shahih
oleh ahli hadits.[14]
2. Pemikiran Al-Qur’an menurut pandangan Ahlus Sunah (salaf)
B. AL-USHUL AL-KHAMSAH
Al-Ushul Al-Khamsah adalah lima dasar ajaran pokok Mu’tazilah, kelima ajaran pokok
ini adalah merupakan dasar-dasar yang yang sangat prinsipil dari ajaran Mu’tazilah antara
lain adalah :
1. Tauhid ( Pengesaan Tuhan )
Bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang sangat spesifik, Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemaha esaanNya. Tuhanlah satu-satunya yang
Esa, yang unik dan tak ada satupun yang menyamainya. oleh karena itu hanya dialah yang
qodim, Bila ada yang qodim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-Qudama
(berbilangnya zat yang tak berpermulaan).
Mu’tazilah tidak mengakui akan adanya sifat-sifat Tuhan, mereka menolak konsep
bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat, Tuhan adalah zat yang tunggal tampa sifat. Tuhan
mendengar dengan zatnya, Tuhan berkata dengan zatNya. Sifat Tuhan tidak ada. Mereka
berpendapat bahwa Tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyerupaiNya, Dia maha
melihat, maha mendengar, maha kuasa, maha mengetahui, dan
sebagainya. Namun mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat
melainkan zatnya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat, bila sifat Tuhan yang
qodim, berarti ada dua yang qodim yaitu zat dan sifatnya.
Washil bin Atho’ dikutik oleh Asy-Syahrastani mengatakan, sifat-sifat yang
mengatakan sifat yang qodim berarti telah menduakan Tuhan[3]. Ini tidak dapat diterima
karena merupakan perbuatan syirik.
Dokrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang yang
menyamai Tuhan, Begitu pula sebaliknya Tuhan tidak serupa dengan makhluknya. Tuhan
adalah esa oleh karena itu, tidaklah layak baginya diserupakan dengan makhluk. Segala yang
mengesankan adanya sifat-sifat Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu
adalah mustahil. Tegasnya Mu’tazilah menolak akan adanaya penyamaan Tuhan dengan
makhluk, penolakan terhadap paham ini, bukan semata-mata atas pertimbangan akal
melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan
pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-
pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
yang maha mendengar danmelihat.[4]
2. al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah Al-adl yang berarti Tuhan maha adil. Adil ini
merupakan sifat yang paling mudah untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan maha
sempurna, dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar
adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan
untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak yang baik, dan terbaik
dan bukan yang tidak baik, begitu pula Tuhan itu adil apabila tidak melanggar janjinya.
[5] Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya.
Adapun dasar yang digunakan oleh Mu’tazilah yaitu Al-qur’an surat an-nisa ayat 111
Dan Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[6]
Menurut Mu’tazilah manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan diberi
pahala olehnya kalau ia membuat amal ibadat yang baik. Oleh karena itu sekalian perbuatan
manusia di atas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia itu sendiri, baik perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan
dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh manusia.
3. al-Wa’d wa al-Wa’id
al-wa’ad wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha
bijaksana tidak akan melanggar janjinya, Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya
sendiri, yaitu memberi pahala sorga bagi yang berbuat baik, dan mengancam dengan siksa
neraka atas orang yang durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada
orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya, ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya
siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapapun yang berbuat jahat
akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
54. Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi,
kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan (Qs. Yasin : 54) [7]
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan selain menunaikan
janjinya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat,
kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka kecuali bila
dia tobat, kejahatan yang menyebabkan masuk neraka adalah dosa besar sedangkan terhadap
dosa kecil Tuhan mungkin mengampuninya.
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Ajaran ini yang mula-mula menjadi penyebab lahirnya mazhab Mu’tazilah, pokok
dari ajaran ini adalah bahwa orang mukmin yang melakukan dosa-dosa besar, dan belum
bertobat bukan lagi mukmin ataupun kapir tetapi menurut Mu’tazilah mereka itu adalah
orang yang fasik.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai
orang yang mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut akan adanya
kepatuhan kepada Tuhan, kepatuhan kepada Tuhan tidaklah cukup hanya melalui pengakuan
dan pembenaran saja. Berdosa besar bukanlah merupakan kepatuhan terhadap Tuhan
melainkan kedurhakaan pelakunya dan tidak dapat dikatakan kapir secara mutlak, karena ia
masih percaya kepada Tuhan dan Rasul dan mengerjakan pekerjaan yang baik, hanya saja
kalau mereka meninggal sebelum bertobat dia masukkan ke dalam neraka disuatu tempat
yang lain yang bukan di neraka tempatnya orang kapir, tetapi mereka tinggal diantara dua
tempat di yakni antara sorga dan neraka, tempat diantara dua tempat.
Menurut Mu’tazilah mereka ini tidak layak berada dineraka sebab mereka masih
percaya kepada Tuhan dan rasulNya, dan tidak juga layak masuk sorga karena mereka
berbuat dosa besar. Jadi mereka menempati (berada) di antara dua tempat yakni antara sorga
dan neraka.
5. al-amr bi al-ma’ruf wa an-naha anil mungkar
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang akan
kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan.
Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik diantaranya menyuruh orang
lain berbut ma’ruf dan mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mukmin dalam beramar ma’ruf
nahi mungkar, seperti yang dijelaskan oleh seorang tokoh Mu’tazilah, Abd Al-Jabbar yaitu
berikut ini :
a. Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang
mungkar
b. Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
c. Ia mengtahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi mungkar tidak akan membawa
mudarat yang lebih besar
d. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya[8]
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini
terletak pada tatanan pelaksanaaannya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan, maka
kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut, asalkan tugas amar ma’ruf
nahi mungkar tersebut dapat terlaksana . Adapaun dalil yang digunakan adalah Qur’an
surat ayat 104
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ]; merekalah orang-orang yang
beruntung.[9]