Anda di halaman 1dari 10

D.

HUKUM DAN SISTEM SOSIAL

Dalam tingkatan permulaan manusia hidup bergaul,segala perselisihan yang timbul karena
pertentangan kepentingan,diselesaikan dengan mengambil tindakan sendiri. Manusia bertindak
sebagai hakim sendiri terhadap perlakuan-perlakuan yang diderita dari pihak sesamanya,yang
dianggap merugikan kepentingannya atau yang menodai rasa kehormatannya. Di dalam
tingkatan kehidupan demikian kebenaran selalu berada di pihak yang terkuat.
Setelah lingkungan pergaulan hidup semakin teratur dan manusia sudah membiasakan diri hidup
dalam batas-batas tempat kediaman tertentu serta berpedoman pada tata cara yang dianggap baik
menurut keyakinan bersama,maka nafsu untuk bertindak menjadi hakim sendiri dipandang tidak
sesuai dengan kepentingan masyarakat. Tata cara pergaulan hidup memberikan petunjuk siapa
yang berhak memberikan keputusan apabila terjadi perselisihan atau bentrokan kepentingan
diantara anggota masyarakat itu atau menjatuhkan hukuman terhadap barang siapa yang
melanggar adat istiadat.
Kehidupan sosial adalah model kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup
bersama dalam suatu tatanan pergaulan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang
hidup bersama dengan manusia lainnya. Analisis mengenai manusia sebagai makhluk social
telah banyak dilakukan oleh para ahli. Aristoteles,misalnya mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk social zoon politicoon atau man is social animal manusia adalah manusia karena
keterkaitannya dalam suatu lingkungan sosial. Senada juga yang dikemukakan oleh Vigradoff.
Menurutnya, manusia melakukan hubungan sosial sudah merupakan semacam perintah alam. Hal
ini disebabkan manusia itu tidak bisa memenuhi kehidupan hidupnya dalam keadaan yang
terisolasi. Ia selalu membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Dengan
memperistri seorang wanita,seorang laki-laki membentuk keluarga,dengan menggabungkan
dirinya dengan teman-teman sekampung ia membentuk suatu kerja sama ekonomi dan
sebagainya.
Unsur pergaulan dalam kehidupan sosial manusia bersifat mutlak,sebab manusia tidak mungkin
dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya apabila dia hidup dalam kesendiriannya. Oleh
karena itu,fenomena kehidupan sosial memiliki indikasi yang berkaitan dengan:
1. Adanya sejumlah manusia yang hidup dalam suatu kelompok.
2. Manusia dalam kelompok itu haruslah bergaul atau saling berinteraksi dan dalam rentang
waktu yang relative cukup lama.
3. Adanya suatu kesadaran bersama bahwa mereka merupakan suatu kelompok kesatuan.
4. Terdapat suatu kesatuan kehidupan bersama (sistem sosial).

Apabila hendak dibicarakan gejala hukum dengan segala aspeknya,mau tidak mau harus juga
menyinggung perihal masyarakat yang menjadi wadah dari hukum tersebut. Hukum
sebagaimana diungkap oleh berbagai sarjana,merupakan masyarakat juga. Telaah terhadap
hukum juga harus dilakukan terhadap berbagai aspek,seperti aspek ekonomi,politik, dan
sebagainya. Prinsip ini tampaknya merupakan perluasan dari sebagian pengkaji
hukum,khususnya aliran Eropaa Kontinental yang secara tegas membersihkan hukum dari faktor
lain. Sekadar sebagai patokan,pendekatan hukum secara interdisipliner dapat berwujud sebagai
(Jean Piaget;dalam Soleman B.Toneko; 1981):

“…two sorts of inquiry, one relating to common structure of mechanisme and the other
to common methods, although both sorts may of course be involved equally.”

MenurutSoerjono Soekanto dan Soleman B.Taneko (1981) jika suatu kebiasaan (yang pada
hakikatnya merupakan keteraturan) diterima sebagai kaidah,kebiaasaan tersebut memiliki daya
mengikat,menjadi tata kelakuan yang ciri-ciri pokoknya:

1. Merupakan sarana untuk mengawasi peri kelakuan warga masyarakat.


2. Tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau sebagai patokan yang
membatasi aspek-aspek terjang warga masyarakat.
3. Tata kelakuan mengidentifikasi pribadi dengan kelompok.
4. Tata kelakuan merupakan salah satu sarana mempertahankan solidaritas masyarakat.

Pemaparan Soerjono di atas dikomentari H.R Otje Salman Soemadiningrat (2002) dengan
menyatakan sekurang-kurangnya terdapat 3(tiga) prasyarat menjadikan kebiasaan itu sebagai
hukum:

1. Masyarakat meyakini adanya suatu keharusan yang harus dilaksanakan (beseef van
behoren).
2. Pengakuan atau keyakinan bahwa kebiasaan tersebut bersifat mengikat (kewajiban
yang harus ditaati) atau dikenal dengan prinsip opinion necessitas.
3. Adanya pengukuhan yang dapat berupa pengakuan (erkenning) dan/atau penguatan
(bekrachtiging) dari keputusan yang berwibawa (atau pendapat umum,yurisprudensi,dan
doktrin) sehingga timbul harapan agar dapat dilekatkan sanksi terhadap pelanggaran-
pelanggaran atas kebiasaan tersebut.

Penjelasan diatas tampak masih abstrak, sehingga memerlukan contoh agar menjadi lebih
konkret. Sesungguhnya yang lebih penting adalah pengertian sistem sosial sebagai kerangka
pangkal tolak membahas adat dan hukum adat Indonesia,mengingat ragam suku bangsa dan
sifatnya pluralistic,terutama sistem sosialnya berupa:

1. Keluarga;
2. Ekonomi;
3. Pemerintahan;
4. Agama dan norma-norma;
5. Pendidikan dan penerangan umum;dan
6. Kelas masyarakat.

Soerjono soekarto (1985) memberikan gambaran yang lebih rinci berkaitan dengan unsur-unsur
sistem sosial yang meliputi:

1. Kepercayaan
Merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta,dianggap sebagai yang
kebenaran mutlak.
2. Perasaan dan Pikiran
Suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya,baik yang
bersifat alamiah maupun sosial.
3. Tujuan
Merupakan cita-cita yang harus dicapai dengan mengubah sesuatu atau
mempertahankannya.
4. Kaidah atau Norma
Merupakan pedoman untuk bersikap atau berperilaku secara pantas
5. Kedudukan dan peranan
Kedudukan merupakan psosisi-posisi tertentu secara vertical,sedangkan peranan adalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban,baik secara structural maupun prosessual.
6. Pengawasan
Merupakan proses yang bertujuan untuk mengajak,mendidik atau bahkan memaksa
warga masyarakat untuk menaati kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku didalam
masyarakat.
7. Sanksi
Yakni persetujuan atau penolakan terhadap perilaku tertentu. Persetujuan terhadap
perilaku tertentu dinamakan sanksi positif,sdangkan penolakan dinamakan sanksi
negative. Sanksi negatif tersebut mencakup:
a. Pemulihan keadaan
b. Pemenuhan keadaan
c. Hukuman, yang terdiri dari:hukuman perdata,huykuman administrative,dan
hukuman pidana(mencakup hukuman riel dan hukuman idiel)
8. Fasilitas
Merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dan telah ditentukan
terlebih dahulu.
9. Keserasian dan Kelangsungan Hidup
10. Keserasian antara Kualitas Hidup dan Lingkungan.

Kerangka diatas merupakan dasar struktural mempelajari setiap sistem sosial yang dihadapi
karena masing-masing unsur mempunyai peranan fungsional dalam keseluruhan sistem sosial.
Secara fungsional,setiap sistem sosial akan dapat dianalisis sebagai sistem gerak sosial,dengan
mempergunakan patokan-patokan fungsional untuk:

a. Menetapkan pola hubungan antara anggota masyarakat dengan cara menunjukkan jenis-
jenis tingkah laku yang diperbolehkan dan dilarang.
b. Menentukan alokasi wewenang memerinci siapa yang boleh melakukan paksaan,siapa
yang harus menaatinya,serta siapa yang memilih sanksi yang tepat dan efektif;
c. Menyelesaikan sengketa/konflik.
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi
kehidupan yang berubah,yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan
esensial antara anggota-anggota masyarakat.

Dengan demikian,masyarakat merupakan suatu fakta pada tataran psikologis sosial. Hal ini
muncul berkat adanya kesadaran setiap individu akan pentingnya orang lain yang hidup
bersamanya. Ketika hadir manusia lain dalam kesatuan dan kelompok,maka kesadaran pribadi
manusia menuntut dirinya untuk memperhitungkan dan menyesuaikan kehadiran orang lain itu.
Berkaitan dengan nilai,maka nilai-nilai itu ada yang berlaku melawan dirinya sendiri dan
menuntut penghormatan dari padanya. Oleh karena itu,di dalam kehidupan bersama manusia
terdapat sejumlah nilai yang merupakan pedoman atau patokan untuk bertingkah laku,dimana
wujud pertama dari ragam nilai itu adalah pada sikap anggota atau warga masyarakatnya.

E. HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Di dalam proses perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat,maka merupakan suatu


gejala yang umum bahwa perubahan-perubahan tersebut terutama akan mengenai gejala sosial
yang dinamakan hukum. Tidak jarang tanpa disadari perubahan-perubahan yang terjadi dalam
berbagai bidang kehidupan lainnya akan berpengaruh terhadap nilai-nilai yang berkaitan dengan
hukum. Sebaliknya, hukum sebagai kaidah maupun sebagai perilaku,memberi bentuk dan tata
tertib pada bidang-bidang lain,seperti politik,sosial,ekonomi,pendidikan,dan bidang lainnya.
Oleh karena itu,tidak mengherankan kalau ragam keluhan yang berkaitan dengan ttatanan
kehidupan selalu dikaitkan dengan lemahnya kemampuan hukum untuk memfasilitasinya. Seolah
perubahan sosial dan hukum serta akibat yang ditimbulkannya terpisah secara total dari realitas
sosial padahal hukum pada hakikatnya adalah sebuah realitas sosial. Sebagai suatu realitas sosial,
(Soerjono Soekanto;2001),maka hukum harus dapat dikembalikan pada 3(tiga) tatanan yang
bersifat mendasar sebagai karakteristik hukum itu sendiri:

1. Stabilitas
Hukum menghendaki adanya stabilitas dalam masyarakat. Tuntutan terhadap stabilitas
tersebut sering kali menutup mata kalangan hukum (yang formil-dogmatis-legistis)
terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Akibatnya,hukum dilihat sebagai
unsur yang konservatif belaka,yang ingin mempertahankan status quo.
2. Formalisme
Terutama untuk melihat hukum sebagai kaidah-kaidah yang mengatur hubungan-
hubungan antara manusia.
3. Tertib
Hukum cenderung untuk meningkatkan ketertiban.

Pendekatan terhadap hukum dalam 3(tiga) dimensi di atas adalah pendekatan secara yuridis
belaka. Semua ada benarnya dan dipastikan adalah benar. Padahal, pendekatan masyarakat
secara behavioral dalam memandaang hukum harus dilihat secara karakteristik masyarakatnya.
Dengan demikian,menganalisis perubahan sosial harus melihat aspek filsafati,analitis,sekaligus
sosiologis. Salah satu teori yang umum dipergunakan sebagai landasan melihat eksistensi hukum
didalam masyarakat adalah teori Talcott Parsons. Dalam menjalankan nilai fungsi,uraiannya
memuat sekurang-kurangnya 4 (empat) fungsi harus diupayakan manusia ddalam rangka hidup
bersama dengan anggota struktur lainnya dalam masyarakat,yaitu meliputi fungsi:

1. Mempertahankan Pola
Fungsi ini menghubungkan subsistem sosial tindakan dengan subsistem budayanya.
Melalui fungsi dari aktivitas demikian ini,maka setiap hubungan yang dilakukan
didalam masyarakat akan menjadi bermakna.
2. Mencapai tujuan
Fungsi ini berhubungan dengan subsistem kepribadian yang merupakan perantara
dalam melakukan berbagai unsur tindakan.
3. Melakukan Integrasi
Fungsi ini erat hubungannya dengan perlakuan dalam melakukan hubungan
komunikasi dan koordinasi antara manusia 1 (satu) dan manusia lain.
4. Adaptasi
Fungsi ini mempunyai hubungan erat dalam hal melakukan hubungan secara fisik
dengan lingkungan sekitar secara umum. Peningkatan fungsi ini akan memunculkan
harmonisasi dalam kerangka pemeliharaan lingkungan sosial secara umum.
Agar hukum dapat ditegakkan,menurut Soerjono Soekanto (1987) hukum terlebih dahulu
haruslah berfungsi dalam masyarakat. Secara teori terdapat 3(tiga) anggapan harus ada manakala
hukum diharapkan benar-benar memenuhi fungsinya:

1. Kaidah Hukum Berlaku Secara Yuridis


Penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen),
terbentuk melalui suatu cara yang ditetapkan (W.Zevenbergen), serta menunjukkan
hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (S.H.A Logemann).
2. Kaidah Hukum Berlaku Secara Sosiologis
Dapat dipaksakan keberlakuannya oleh penguasa masyarakat
(teori kekuasaan) atau kaidah hukum itu dapat diterima dan diakui oleh masyarakat
pendukung hukumnya (teori pengakuan).
3. Kaidah Hukum Berlaku Secara Filosofis
Sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Unsur-unsur yang menjadi dasar dari suatu sistem hukum yang juga berlaku bagi sistem hukum
adat biasanya dinamakan Gegevens van het Recht sebagaimana dikatakan Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979) meliputi:

1. Unsur Idiil
Unsur ini terdiri dari rasa susila,rasa keadilan,dan rasio manusia,yang diuraikan sebagai
berikut:
a. Rasa susila
Supaya dapat ke luar dari kesangsian atau kebingungan,sehingga hidupnya pantas
atau sayogya ….,maka dalam keadaan demikian biasanya seseorang mencari
pedoman(steunpilaren,”arahan” atau “patokan”), yaitu kaidah-kaidah yang dapat
melenyapkan ketidakseimbangan hidup pribadi,mencegah kegelisahan diri
sendiri,dan seterusnya. Pedoman itulah disebut kaidah kesusilaan.
b. Rasa keadilan
Rasa keadilan ini dapat dikaitkan dengan konsep kesamarataan, kesebandingan,
kualifikasi, objektivitas, dan subjektivitas. Apabila konsep ini dapat dipegang
teguh, ketentramanlah yang akan tercipta,sehingga tujuan hukum,yaitu
ketentraman senantiasa akan dapat bertahan.
c. Rasio manusia
Rasio ini harus senantiasa serasi dengan emosi dan perasaan, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kehendak manusia untuk berbuat atau tidak berbuat.
2. Unsur Riil
Unsur ini berpengaruh terhadap segenap mentalitas,lingkungan sosial, dan budaya. Hal
ini muncul dalam kaitan kehidupan manusia satu dengan manusia lainnya dalam konsep
hubungan sosial kelompok, baik aspek mental maupun aspek fisik. Manusia didalam
kehidupannya senantiasa dipengaruhi oleh unsur pribadi maupun lingkungan sosialnya.
Mana yang lebih dominan berpengaruh hingga saat ini belum dapat dipastikan.

Berikut diuraikan beberapa teori tentang hukum dan perubahan sosial oleh beberapa sarjana.

1. Sir Henry Maine

Menurut Maine secara umum masyarakat itu melewati beberapa tahapan perkembangan. Tahap-
tahap perkembangan masyarakat sebagai suatu perkembangan dari ikatan kerabat yang primitif
menuju Negara modern yang bersifat teritorial. Kepemimpinan didasarkan atas susunan
patriarkal. Persoalan-persoalan yang muncul adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara
para kepala patriarkal yang masing-masing mempunyai kekuasaan sendiri-sendiri. Penyesuaian
kearah keseimbangan dilakukan berdasarkan aturan tradisional,dimana hukum, kebiasaan, dan
agama jalin-menjalin menjadi 1 (satu). Masalah-masalah yang diselesaikan lebih terbatas dan
diserahkan kepada masing-masing pihak yang dirugikan.

Perubahan kearah masyarakat teritorial ditandai oleh munculnya kekuasaan politik atau
pemerintahan. Perubahan ini menjadikan peralihan status penyerahan peranan kepada pejabat
yang menjalankan pekerjaannya secara duniawi. Hal demikian ini dirumuskan oleh Henry
Maine sebagai perubahan “status ke kontrak”, yang mencerminkan perubahan dari ikatan
tradisional kea rah kebebasan perorangan.

2. Emile Durkheim

Untuk mengatasi perubahan sosial yang cepat dan menelan banyak korban, maka Emile
Durkheim menawarkan kajian sosiologi perubahan sosial yang stabil dengan tetap berafiliasi
pada status quo. Model ini lebih dikenal dengan pendekatan sistem yang pada pokoknya
mencakup konsep berkaitan dengan:

a. The wole structure


Suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagiannya secara totalitas yang
menggambarkan suatu sistem yang utuh.
b. Consist of part
Terdiri dari bagian-bagian yang memiliki fungsinya tersendiri.
c. Interrelation
Saling berhubungan antara subsistem sehingga merupakan mekanisme kerja.
d. Integrative
Keterpaduan hubungan antara subsistem atau organisme yang ada secara baik dan lengket
atau kokoh.
e. Higly interdependent
Saling bergantung antara hubungan berbagai subsistem atau organisme sosial;
f. As a whole producing certain unique product
Masing-masing subsistem memiliki kontribusi tugas tersendiri sehingga membentuk
jalinan fungsi tersendiri.

Pendekatan yang dipergunakan dalam mengaplikasikan konsep diatas dapat meliputi:

a. Balanced and equilibrium


Suatu keadaan di mana diutamakan terjadinya keseimbangan kekuatan sehingga tidak
terjadi perubahan sosial yang mengarah pada penghancuran sistem yang ada.
b. External factor
Faktor-faktor di luar sistem yang diproyeksikan sselalu menjadi faktor penyebab utama
proses perubahan sosial.
c. Concensus
Suatu proses pencapaian kesepakatan sosial dari orang-orang atau lembaga yangterlibat
dalam konflik sosial.
3. Marx Weber
Weber mengombinasikan kajiannnya mengenai ekonomi dengan sosiologi melalui studi
historis. Analisisnya tentang hukum dan perubahan sosial senantiasa dikuasai oleh
rasionalisme dalam kebudayaan Barat. Ia sangat memperhatikan hubungan antara sifat
kekuasaan politik dalam suatu negara dan sistem hukumnya. Penyelenggaraan hukum dan
peradilan pada masa lalu bersumber pada perukunan (conciliatory) kelompok yang
bersengketa melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Penampilan hukum
Hukum ditampilkan secara karismatis (melalui nabi-nabi hukum, law prophets).
b. Penemuan hukum
Hukum ditemukan oleh legal honoratiores dalam lembaga peradilan secara preseden.
c. Penegakkan hukum
Hukum ditegakkan oleh kekuasaan kerohanian dan keduniawian.
d. Penetapan hukum
Hukum ditetapkan oleh mereka yang benar-benar memiliki pendidikan yang
profesional.

Mengikuti perkembangan diatas, maka bentuk formal hukum melalui suatu proses pertumbuhan.
Di dalam masyarakat primitif/sederhana,hukum merupakan gabungan dari formalisme yang
bersifat magis dan penyelesaian secara irasional. Selanjutnya, meningkat menjadi cara
menangani hukum secara khusus, yaitu logis rasional dan sistematis melalui tahapan dimana
hukum material ditentukan secara teokratis/patrimonial beserta penyelenggarannya yang
informal. Tidak kalah penting adalah struktur masyarakat pendukung di mana subsistem hukum
itu terbentuk. Oleh karena itu, berbeda struktur masyarakat pendukungnya, sudah dapat
dipastikan berbeda hasil akhir pengembangan sistem hukumnya.

Anda mungkin juga menyukai