Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka
1. Pasca Operasi
a. Pengertian Pasca Operasi
Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terencana pada tubuh dan
terdiri dari tiga fase yaitu praoperatif, intraoperatif, dan pasca operatif. Fase pasca
operatif dimulai saat klien masuk ke ruang pasca anastesi dan berakhir ketika luka
telah benar-benar sembuh. Selama fase pasca operatif, tindakan keperawatan yang
dilakukan antara lain mengkaji respons klien (fisiologik dan psikologik) terhadap
tindakan pembedahan, melakukan intervensi untuk memfasilitasi proses
penyembuhan dan mencegah komplikasi, memberi penyuluhan dan memberikan
dukungan kepada klien dan orang terdekat, dan merencanakan perawatan di
rumah. Tujuannya adalah membantu klien mencapai status kesehatan yang paling
optimal. Peran perawat selama fase pasca operatif sangat penting terutama untuk
pemulihan klien. Anastesi menghambat kemampuan klien untuk berespons
terhadap stimulus lingkungan dan untuk membantu mereka sendiri, meskipun
derajat kesadaran klien mungkin akan sangat beraneka ragam. Selain itu,
pembedahan dapat menyebabkan trauma pada tubuh dengan mengganggu
mekanisme protektif dan homeostatis (Kozier, 2011).

b. Masalah Pasca Operasi


Pembedahan dapat melibatkan beberapa sistem tubuh secara langsung maupun
tidak langsung, dan merupakan pengalaman yang rumit bagi klien, diagnosis
keperawatan berfokus pada luasnya variasi masalah aktual, potensial, dan
kolaboratif. Masalah yang sering ditemukan pada pasca operatif adalah masalah
sirkulasi, masalah urinarius, masalah luka, masalah gastrointestinal, dan masalah
rasa aman nyaman (Kozier, 2011).
Tindakan pembedahan dapat menimbulkan nyeri pasca operatif pada klien.
Nyeri biasanya dirasakan 12 sampai 36 jam pasca pembedahan. Selama periode

7
8

awal pasca operatif, pemberian analgesik yang terkontrol melalui kateter intravena
sering kali diprogramkan (Potter & Perry, 2006).

2. Laparatomi
a. Pengertian Laparatomi
Laparatomi merupakan suatu prosedur pembedahan mayor dengan melakukan
penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian
organ yang mengalami masalah (Sjamsuhidayat & Jong, 2005).
Laparatomi adalah pembedahan perut sampai membuka selaput perut
(Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010). Ada 4 cara, yaitu:
1) Midline incisi.
2) Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5
cm).
3) Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistomy dan splenektomy.
4) Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang di bagian bawah ± 4
cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya pada operasi appendiktomy.

b. Jenis Laparatomi Menurut Indikasi


Menurut Sjamsuhidayat & Jong (2005) jenis-jenis laparatomi adalah sebagai
berikut:
1) Adrenektomi: pengangkatan salah satu atau kedua kelenjar adrenalin.
2) Apendiktomi: operasi pengangkatan apendiks.
3) Gastrektomi: pengangkatan sepertiga distal lambung (duodenum/jejenum,
mengangkat sel-sel penghasil gastrin dalam bagian sel parital).
4) Histerektomi: pengangkatan bagian uterus.
5) Kolektomi: seksisi bagian kolon atau seluruh kolon.
6) Pankreatomi: pengangkatan pankreas.
7) Sectio caesarea: pengangkatan jenis dengan membuka dinding ovarium
melalui abdomen.
8) Siksetomi: operasi pengangkatan kandung kemih.
9

9) Selfigo oofarektomi: operasi pengangkatan salah satu atau kedua tuba falopi
dan ovarium.

c. Indikasi Laparatomi
Menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2010) indikasi pembedahan laparatomi
antara lain sebagai berikut:
1) Trauma abdomen (tumpul atau tajam) atau ruptur hepar.
2) Peritonitis.
3) Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding).
4) Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5) Masa pada abdomen.

d. Perawatan Pasca Laparatomi


Menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2010) perawatan pasca laparatomi
adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang
telah menjalani pembedahan abdomen. Tujuan perawatan pasca laparatomi:
1) Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
2) Mempercepat penyembuhan.
3) Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4) Mempertahankan konsep diri pasien.
5) Mempersiapkan pasien pulang.

e. Nyeri Pembedahan Laparatomi


Saat klien sadar dari anastesi umum maka rasa nyeri menjadi sangat terasa.
Area insisi mungkin menjadi satu-satunya sumber nyeri. Secara signifikan, nyeri
dapat memperlambat pemulihan. Nyeri akut akibat insisi menyebabkan klien
gelisah dan mungkin nyeri ini yang menyebabkan tanda-tanda vital berubah.
Klien yang mendapat anastesi regional dan lokal biasanya tidak mengalami nyeri
karena area insisi masih berada di bawah pengaruh anastesi. Klien menjadi ragu-
ragu untuk melakukan batuk, nafas dalam, mengganti posisi, ambulasi, atau
melakukan latihan-latihan yang diperlukan (Potter & Perry, 2006).
10

Pasca pembedahan pasien merasakan nyeri hebat. Nyeri akut setelah


pembedahan mayor setidak-tidaknya mempunyai fungsi positif, berperan sebagai
peringatan bahwa perawatan khusus harus dilakukan untuk mencegah trauma
lebih lanjut pada daerah tersebut. Nyeri setelah pembedahan normalnya dapat
diramalkan hanya terjadi dalam durasi yang terbatas, lebih singkat dari waktu
yang diperlukan untuk perbaikan alamiah jaringan-jaringan yang rusak
(Purwandari, 2014).

g. Komplikasi Pasca Laparatomi


1) Gangguan perfusi perifer jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya
besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah
vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, dan ambulatif dini.
2) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi.
Infeksi luka yang sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram
positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka
yang paling penting adalah perawatan luka yang paling penting adalah perawatan
luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
3) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau
eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan
yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah
(Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010).

3. Konsep Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan yang Nyeri
adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
11

kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama
seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama
banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik
atau pengobatan (Smeltzer & Bare, 2002).
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri.
Apabila seseorang merasakan nyeri, maka prilakunya akan cenderung berubah.
Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus
menjadi pertimbangan utama keperawatan saat mengkaji (Potter & Perry, 2006).

b. Fisiologi Nyeri
1) Transduksi
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga
menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Selama fase transduksi,
stimulus berbahaya seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, dan
substansi P. Neurotransmiter ini menstimulasi nosiseptor dan memulai
transmisi nosiseptif. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan
menghambat prostaglandin (Kozier, 2011).

2) Transmisi
Transmisi adalah suatu proses penyaluran impuls nyeri dari tempat
transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal medula spinalis dan
jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medula spinalis ke otak.
Teansmisi meliputi tiga segmen. Segmen pertama, substansi P bertindak
sebagai sebuah neurotransmiter yang meningkatkan pergerakan impuls
menyebrangi sinaps saraf dari neuron aferen prmer ke neuron ordo kedua di
kornu dorsalis medula spinalis. Serabut C yang mentransmisikan nyeri tumpul
yang berkepanjangan, dan serabut A-delta yang mentransmisikan nyeri tajam
dan lokal. Segmen kedua adalah transmisi dari medula spinalis dan asendens,
melalui traktus spinotalamus, ke batang otak dan talamus. Spinotalamus terbagi
menjadi dua jalur khusus, yaitu neospinothalamic (NS) dan jalur
paleospinothalamic (PS). Segmen ketiga melibatkan transmisi sinyal antara
12

talamus ke korteks sensorik somatik tempat terjadinya persepsi nyeri (Kozier,


2011).

3) Persepsi
Persepsi adalah pengalaman subjektif yang dihasilkan oleh aktivitas
transmisi nyeri. Impuls nyeri ditransmisikan melalui spinotalamus menuju ke
pusat otak dimana persepsi ini terjadi. Sensasi nyeri yang ditransmisikan
melalui neospinothalamic (NS) menuju talamus, dan sensasi nyeri yang
ditransmisikan melalui paleospinothalamic (PS) menuju batang otak,
hipotalamus, dan talamus. Bagian dari Central Nervous System (CNS) ini
berkontribusi terhadap persepsi awal nyeri. Proyeksi ke sistem limbik dan
korteks frontal memungkinkan ekspresi dari komponen afektif nyeri. Proyeksi
ke korteks sensorik yang terletak di lobus parietal memungkinkan pasien untuk
menggambarkan pengalaman sensorik dan karakteristik nyerinya, seperti
lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Komponen kognitif nyeri melibatkan
beberapa bagian korteks serebral. Ketiga komponen ini menggambarkan
interpretasi subjektif dari nyeri. Sama dengan proses subjektif tersebut,
ekspresi wajah dan gerakan tubuh tertentu merupakan indikator perilaku nyeri
yang terjadi sebagai akibat dari proyeksi serabut nyeri ke korteks motorik di
lobus frontal (Kozier, 2011).

4) Modulasi
Modulasi seringkali digambarkan sebagai sistem desendens, proses keempat
ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu
dorsalis medula spinalis. Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opoid
endogen, serotonin, dan norepinefrin yang dapat menghambat naiknya impuls
berbahaya di kornu dorsalis. Namun, neurotransmiter ini diambil kembali oleh
tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya (Kozier, 2011).
13

Gambar 1:
Fisiologi Nyeri

Stimulus Nyeri (indikator fisiologis


Transduksi nyeri)
Kerusakan jaringan

Stimulasi nosiseptor

Serabut A-delta Serabut C

Transmisi Medulla Spinalis


Substansi P

Jalur Jalur
neospinothalamic paleospinothalamic
(NS) (PS)

Talamus Batang otak,


Persepsi hipotalamus,
talamus

Sistem limbik (komponen afektif)


Lobus parietal dari korteks serebri (Komponen sensori)
Lobus frontal (komponen perilaku)
Bagian lain dari korteks serebri (komponen kognitif)

Modulasi
Opoid endogen yang diproduksi oleh sistem saraf pusat dan medulla
spinalis

(Sumber Kozier, 2011)


14

c. Gate Control Theory


Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri, namun teori gerbang kendali
(Gate Control Theory) yang dikembangkan oleh Melzack dan Wall (1974)
dianggap paling relevan. Teori gate control menyatakan bahwa impuls nyeri dapat
diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat.
Teori ini menyimpulkan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup. Upaya menutup
pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri (Smeltzer &
Bare, 2002).
Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan
yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Neuron delta-A dan
C melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal
dan cepat, yang melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan
(Potter & Perry, 2006). Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat
pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.
Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin,
suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Endorfin sebagai agonis
sistem penghambat nyeri tubuh sendiri telah diidentifikasi sebagai polipeptida dan
oligopeptida. Sementara dinorfin dengan 17 atau 18 asam amino, pentapeptida
metionin enkapalin. Opoid endogen terdiri atas 5 asam amino ujung dari endorfin
serta 5 asam amino ujung dari dinorfin. Endorfin dan dinorfin berkerja pada
reseptor yang sama, disebut reseptor opiat, sehingga menunjukkan kerja
farmakodinamika yang sama seperti opiat (Novita, 2012).
Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat
pelepasan substansi P. Teknik distraksi (misalnya, hipnosis, masase, musik, dan
guided imagery), konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
15

melepaskan endorfin sehingga pesan yang sampai di korteks adalah stimulasi


modulasi dan bukan nyeri (Potter & Perry, 2006).

d. Klasifikasi Nyeri
1) Nyeri akut
Nyeri akut merupakan sensasi yang terjadi secara mendadak, paling sering
terjadi sebagai respons terhadap beberapa jenis trauma. Penyebab umum nyeri
akut adalah trauma akibat kecelakaan, infeksi, dan pembedahan. Nyeri akut
terjadi dalam periode waktu yang singkat, biasanya kurang dari 6 bulan,
bersifat intermiten, dan tidak konstan (Rosdahl & Kowalski, 2017).
Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, harus
menjadi prioritas perawatan. Misalnya, nyeri pasca operasi yang akut
menghambat kemampuan klien untuk terlibat aktif dan meningkatkan risiko
komplikasi akibat imobilisasi. Rehabilitasi dapat tertunda dan hospitalisasi
menjadi lama jika nyeri akut tidak dikontrol. Kemajuan fisik atau psikologis
tidak dapat terjadi selama nyeri akut masih dirasakan karena klien
memfokuskan semua perhatiannya pada upaya untuk mengatasi nyeri. Setelah
nyeri teratasi, maka klien dan tim perawatan kesehatan dapat memberikan
perhatian penuh pada upaya penyembuhan klien (Potter & Perry, 2006).

2) Nyeri kronis
Nyeri kronis merupakan ketidaknyamanan yang berlangsung dalam periode
waktu lama lebih dari 6 bulan. Penyebab umum nyeri kronis seperti tumor
invasif yang tidak dapat dioperasi (Rosdahl & Kowalski, 2017).
Klien yang mengalami nyeri kronis seringkali mengalami periode remisi
(gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat). Sifat nyeri kronis, yang tidak dapat diprediksi. Nyeri menjadi
bagian dari setiap aspek kehidupan. Nyeri kronis merupakan penyebab utama
ketidakmampuan fisik dan psikologis sehingga muncul masalah. Individu yang
mengalami nyeri kronis seringkali tidak beradaptasi terhadap nyeri, tetapi
tampaknya lebih menderita seiring berjalannya waktu karena kelelahan mental
16

dan fisik. Pada individu yang mengalami nyeri kronis timbul suatu perasaan
tidak aman karena pasien tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari
hari ke hari. Gejala nyeri kronis meliputi keletihan, insomnia, anoreksia,
penurunan berat badan, depresi, putus asa, dan kemarahan (Potter & Perry,
2006).

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri


1) Usia
Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara
luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena perubahan fisiologis
dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Persepsi nyeri pada lansia
mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan
beberapa penyakit, tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri
mungkin tidak berubah. Lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan
menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya
atau mencari perawatan kesehatan. Lansia mengatasi nyeri sesuai dengan gaya
hidup, kepribadian, dan latar belakang budaya mereka (Smeltzer & Bare,
2002).

2) Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda dalam berespons terhadap
nyeri. Beberapa kebudayaan menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus
berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis
dalam situasi yang sama. Sehingga, kebutuhan nakotik pasca operasi pada
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa
individu berjenis kelamin perempuan lebih mengartikan negatif terhadap nyeri
(Potter & Perry, 2006).

3) Kebudayaan
Keyakinan dan nila-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
17

kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana mereka bereaksi terhadap


nyeri (Potter & Perry, 2006).
Perilaku yang berhubungan dengan nyeri adalah sebuah bagian dari proses
sosialisasi. Misalnya, individu dalam sebuah budaya mungkin belajar untuk
ekspresif terhadap nyeri, sementara individu dari budaya lain mungkin belajar
untuk menyimpan perasaan nyeri yang dialaminya dan tidak mengganggu
orang lain (Kozier, 2011).

4) Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan
secara dekat dengan latar belakang budaya individu. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Derajat
dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri
(Potter & Perry, 2006).

5) Perhatian
Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
respons nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun (Potter & Perry, 2006).

6) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu
perasaan ansietas. Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih
mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada individu yang
memiliki status emosional yang kurang stabil. Apabila rasa cemas tidak
mendapat perhatian di dalam suatu lingkungan, maka rasa cemas tersebut dapat
18

menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan nyeri yang serius (Potter &


Perry, 2006).

7) Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri dapat terasa lebih berat.
Nyeri seringkali berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur
yang lelap dibanding pada akhir hari yang melelahkan (Potter & Perry, 2006).

8) Pengalaman Nyeri Sebelumnya


Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut
akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian masalah nyeri
tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang hebat, maka ansietas sembuh
atau bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami
nyeri dengan jenis yang sama dan berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri
tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut
untuk menginterpretasikan sensasi nyeri (Potter & Perry, 2006).

9) Gaya Koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun
keseluruhan/total. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk
mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Penting
untuk memahami sumber-sumber koping klien selama mengalami nyeri.
Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga, melakukan latihan,
atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam
upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai ke tingkat tertentu
(Potter & Perry, 2006).
19

10) Dukungan Keluarga dan Sosial


Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respons nyeri yaitu kehadiran
orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien.
Individu dari kelompok sosiobudaya yang memiliki harapan yang berbeda
tentang orang tempat mereka menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri.
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan.
Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry, 2006).

f. Penilaian Respons Terhadap Nyeri


Indikator tunggal terpenting keberadaan dan intensitas nyeri adalah laporan
klien mengenai nyeri. Penggunaan skala nyeri adalah metode yang mudah dan
reliabel dalam menentukan intensitas nyeri klien. Skala tersebut memberikan
konsistensi kepada perawat untuk berkomunikasi dengan klien dan pemberi
perawatan kesehatan lain. Untuk efektifitas penggunaan skala peringkat nyeri,
klien tidak hanya perlu memahami penggunaan skala tetapi juga harus diajarkan
tentang bagaimana informasi tersebut akan digunakan untuk menentukan
perubahan kondisi mereka dan efektifitas intervensi penatalaksanaan nyeri. Klien
juga harus diminta untuk menunjukkan tingkat kenyamanan yang dapat diterima
sehingga mereka dapat melakukan aktivitas yang spesifik (Kozier, 2011).
Ada 4 metode penilaian dapat dilakukan skala sebagai berikut:
1) Skala numerik (Numerik Descriptor Scale, NDS), lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik (Potter & Perry,
2006).
20

Gambar 2:
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale, NRS)
(Sumber: Potter & Perry, 2006)

2) Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari
“tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri yang terasa paling tidak
menyakitkan.

Gambar 3:
Pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
(Sumber: Potter & Perry, 2006)
21

3) Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melalui subdivisi.
VAS merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. VAS
dapat mengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian.

Gambar 4:
Pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
(Sumber: Potter & Perry, 2006)

4) Skala faces, Wong dan Baker (1988) mengembangkan skala wajah untuk
mengkaji nyeri nyeri pada anak-anak. Skala tersebut terdiri dari enam wajah
dengan profil yang menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (wajah
tidak nyeri) kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah yang
ketakutan (nyeri yang sangat). Anak-anak berusia tiga tahun dapat
menggunakan skala tersebut. Para peneliti mulai meneliti penggunaan skala
wajah ini pada orang dewasa. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala
tersebut mudah digunakan dan tidak mengonsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya.
22

Gambar 5:
Skala wajah (Wong dan Baker)
(Sumber: Potter & Perry, 2006)

g. Penilaian Skala Nyeri


Menurut Potter & Perry (2006) penilaian skala nyeri dengan skala 0-10
(Comparative Pain Scale).
1) Skala 0 tidak ada rasa sakit, merasa normal.
2) Skala 1-3 berarti nyeri ringan, masih bisa ditahan, aktifitas tidak terganggu.
3) Skala 4-6 berarti nyeri sedang, mengganggu aktifitas fisik.
4) Skala 7-10 berarti nyeri berat, tidak dapat melakukan aktifitas secara mandiri.

h. Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri adalah peredaan nyeri atau pengurangan nyeri sampai
pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima klien. Penatalaksanaan nyeri
tersebut meliputi dua tipe dasar intervensi keperawatan: farmakologi dan
nonfarmakologi.
1) Penatalaksanaan nyeri terapi farmakologis
Penatalaksanaan nyeri farmakologi mencakup penggunaan opoid (narkotik),
Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID), dan analgesik penyerta atau
koanalgesik. Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi
nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, perawat
dan dokter masih cenderung tidak melakukan upaya analgesik dalam penanganan
nyeri karena informasi obat yang tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien
akan mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan dalam
23

menggunakan analgesik narkotik, dan pemberian obat yang kurang diresepkan.


Perawat harus mengetahui obat-obatan yang tersedia untuk menghilangkan nyeri
dan efek-efek farmakologi obat-obatan tersebut.
Ada tiga jenis analgesik, yaitu 1) Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs
(NSAID), 2) analgesik narkotik atau opiate, dan 3) obat tambahan (adjuvan) atau
koanalgesik. NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan
nyeri sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis reumatoid, prosedur
pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomi, dan masalah pada
punggung bagian bawah. Satu pengecualian, yaitu ketorolak (Toradol),
merupakan agen analgesik pertama yang dapat diinjeksikan yang kemanjurannya
dapat dibandingkan dengan morfin (Potter & Perry, 2006).
Analgesik opiate atau narkotik umumnya diresepkan untuk nyeri yang sedang
sampai berat, seperti nyeri pasca operasi dan nyeri maligna. Analgesik ini bekerja
pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan
menstimulasi.
Ada 4 jenis analgesik yang digunakan untuk mengatasi nyeri, yaitu:
a) Analgesik non-narkotik: asetaminofen (tylenol) dan asam asetilsalisilat
(aspirin).
b) NSAID: ibuprofen, naproksen, indometasin, tolmetin, piroksikam, dan
ketorolak.
c) Analgesik narkotik: meperidin, metilmorfin, morfin sulfat, fentanil, butofanol,
dan hidromorfon HCL.
d) Adjuvan: amitriptilin, hidroksin, klorpromazin, dan diazepam.

2) Penatalaksanaan nyeri terapi nonfarmakologi


Penatalaksanaan nyeri nonfarmakologi mencakup intervensi perilaku-kognitif
dan penggunaan agen-agen fisik. Tujuan intervensi perilaku-kognitif adalah
mengubah persepsi klien tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi
klien rasa pengendalian yang lebih besar. Agen-agen fisik bertujuan memberi rasa
nyaman, memperbaiki disfungsi fisik, mengubah respons fisiologis, dan
24

mengurangi rasa takut yang terkait dengan imobilisasi. Manajemen nyeri dengan
menggunakan terapi nonfarmakologis yang bisa digunakan, yaitu:
a) Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering digpusatkan pada
punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang
sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem
kontrol desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase
membuat relaksasi otot (Potter & Perry, 2006).

b) Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)


Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah sebuah metode
pemberian stimulasi elektrik bervoltase rendah secara langsung ke area nyeri yang
telah teridentifikasi, ke titik akupresur, di sepanjang area saraf tepi yang
mempersarafi area nyeri, atau di sepanjang kolumna spinalis. TENS terdiri dari
alat portabel yang dioperasikan dengan baterai dengan kawat utama dan bantalan
elektroda yang ditempelkan pada area kulit yang dipilih (Potter & Perry, 2006).

c) Distraksi (terapi musik)


Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri.
Distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sitem kontrol
desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisi ke
otak. Salah satu distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri
fisiologis,stres, dan kecemasan (Potter & Perry, 2006).

d) Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari
ketegangan dan stres sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi
lambat dan berirama (Potter & Perry, 2006).
25

e) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara
yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Dengan mata
terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa dengan setiap
nafas yang diekshalasi secara lambat ketegangan otot dan ketidaknyamanan
dikeluarkan, menyebabkan tubuh yang rileks dan nyaman (Potter & Perry, 2006).

f) Hipnosis
Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis diri menggunakan sugesti diri dan
kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Konsentrasi yang intensif
mengurangi ketakutan dan stres karena individu berkonsentrasi hanya pada satu
pikiran (Potter & Perry, 2006).

4. Terapi Musik
a. Pengertian Terapi Musik
Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “musik”. Kata “terapi”
berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau
menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah fisik
atau mental. Kata “musik” dalam “terapi musik” digunakan untuk menjelaskan
media yang digunakan secara khusus dalam rangkaian terapi. Terapi musik adalah
terapi yang bersifat nonverbal. Dangan bantuan musik, pikirann klien dibiarkan
untuk mengembara, baik untuk mengenang hal-hal yang membahagiakan,
membayangkan ketakutan-ketakutan yang dirasakan, mengangankan hal-hal yang
diimpikan dan dicita-citakan, atau langsung mencoba menguraikan permasalahan
yang ia hadapi.
Terapi musik mempunyai tujuan yaitu membantu mengekspresikan perasaan,
membantu rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi suasana
hati dan emosi, meningkatkan memori, serta menyediakan kesempatan yang unik
untuk berinteraksi dan membangun kedekatan emosional. Dengan demikian,
terapi musik juga diharapkan dapat membantu mengatasi stres, mencegah
penyakit dan meringankan rasa sakit (nyeri). Terapi musik merupakan sebuah
26

pekerjaan yang menggunakan musik dan aktivitas musik untuk mengatasi


kekurangan dalam aspek fisik, emosi, kognitif, dan sosial pada anak-anak serta
orang dewasa yang mengalami gangguan atau penyakit tertentu (Djohan, 2013).
Terapi musik adalah suatu profesi di bidang kesehatan yang menggunakan
musik dan aktivitas musik untuk mengatasi berbagai masalah dalam aspek fisik,
psikologis, kognitif, dan kebutuhan sosial individu yang mengalami cacat fisik
(AMTA, 1997 dalam Djohan, 2013). Terapi musik adalah penggunaan musik
dalam lingkup klinis, pendidikan, dan sosial bagi klien atau pasien yang
membutuhkan pengobatan, pendidikan atau intervensi pada aspek sosial dan
psikologis (Wigram, 2000 dalam Djohan, 2013).

b. Manfaat Terapi Musik


Menurut Tasari (2017) Manfaat musik adalah sebagai berikut:
1) Musik menutupi perasaan yang tidak menyenangkan.
2) Musik dapat memperlambat dan menyeimbangkan gelombang otak.
3) Musik mempengaruhi pernapasan.
4) Musik mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi, dan tekanan darah.
5) Musik mengurangi ketegangan otot dan memperbaiki gerak serta koordinasi
tubuh.
6) Musik berpengaruh terhadap suhu tubuh.
7) Musik dapat mengatur hormon-hormon yang berkaitan dengan stres.
8) Musik dapat memperkuat ingatan.
9) Musik mampu menciptakan rasa nyaman.
10) Musik mampu meningkatkan daya tahan.
11) Musik mampu meringankan rasa sakit.

c. Terapi Musik Untuk Proses Penyembuhan


Musik instrumental adalah musik yang melantun tanpa vokal, dan hanya
instrument atau alat musik saja yang melantun. Manfaat musik instrumental
adalah musik instrumental menjadikan badan, pikiran, dan mental menjadi lebih
sehat dan rileks (Faridah, 2016). Kini di beberapa rumah sakit di luar negeri, telah
27

banyak yang melakukan terapi musik dalam proses penyembuhan pasien. Terapi
musik, umumnya menggunakan intervensi musik untuk memulihkan dan
meningkatkan kondisi fisik emosi, fisiologis, dan kesehatan jiwa pasien
(Dofi,2010).
Ketika pasien menghadapi masalah atau tekanan berat, musik membantu
mengalihkan perhatian dari rasa sakit. Penyembuhan melalui suara didasarkan
pada pengertian bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini adalah vibrasi.
Maka dengan musik dan suara, gangguan di dalam keseimbangan manusia dapat
diperbaiki. Karena itu, penyembuhan melalui suara adalah penggunaan vibrasi
frekuensi atau bentuk suara yang dikombinasikan dengan musik atau elemen
musikal untuk meningkatkan kesembuhan (Djohan, 2013). Musik dapat
merangsang pengeluaran endorphin dan serotonin, yaitu sejenis morfin alami
tubuh dan juga merangsang pengeluaran metanonin sehingga kita bisa merasa
lebih rileks (Primadita, 2011).

d. Terapi Musik Terhadap Nyeri


Salah satu teknik nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri yaitu distraksi dengan
menggunakan terapi musik. Terapi musik sendiri dapat menurunkan nyeri
fisiologis dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri yang dirasakan.
Terapi musik dilakukan minimal 15 menit supaya memberikan efek terapeutik.
Mendengarkan musik dapat memberikan hasil yang efektif dalam upaya
mengurangi nyeri pasca operasi (Potter & Perry, 2006). Saat seseorang
mendengarkan musik, gelombangnya ditransmisikan melalui ossicles di telinga
tengah dan melalui cairan cochlear berjalan menuju telinga dalam. Membran
basilaris cochlea merupakan area resonansi dan berespon terhadap frekuensi
getaran yang bervariasi. Rambut silia sebagai sensori reseptor yang mengubah
frekuensi getaran menjadi getaran elektrik dan langsung terhubung dengan ujung
nervus pendengaran. Nervus auditori primer menerima input dan mempersepsikan
getaran dan melodi yang rumit, dan dipengaruhi oleh pengalaman seseorang.
Korteks auditori sekunder lebih lanjut memproses interpretasi musik sebagai
gabungan harmoni, melodi, dan ritme (Wilgram, 2002 dalam Novita, 2012).
28

Mekanisme musik dalam memberikan efek menurunkan nyeri telah dijelaskan


dalam teori Gate Control, dimana kesan yang muncul bahwa transmisi dari hal
yang berpotensi sebagai impuls nyeri bisa dimodulasikan oleh bagian dari spinal
cord. Gate Control Theory menyatakan bahwa sinyal nyeri yang ditransmisikan
dari bagian yang mengalami cidera melalui reseptor-reseptor nervus di spinal, lalu
sinaps-sinaps menyampaikan informasi ke otak. Saat gerbang (gate) tertutup,
sinyal nyeri akan dicegah mencapai otak. Namun saat gerbang terbuka, impuls-
impuls tersebut akan mampu mencapai otak dan menginformasikan pesan sebagai
nyeri. Saat impuls sensori lain yang dikirim (musik) bersamaan dengan
berjalannya impuls nyeri, maka ipuls-impuls ini akan berkompetisi untuk
mencapai otak. Pada keadaan gerbang baik terbuka maupun tertutup, musik
dipercaya dapat mengurangi persepsi nyeri pasien (Novita, 2012). Alunan musik
lembut yang menenangkan dan stimulasi gelombang otak dengan frekuensi
deepdelta untuk merangsang kondisi relaksasi. Pada kondisi deepdelta, akan
terjadi pelepasan endorfin (Tasari, 2017). Menurut para pakar terapi musik, tubuh
manusia memiliki pola getar dasar. Kemudian vibrasi musik terkait erat dengan
frekuensi dasar tubuh, pikiran, dan jiwa manusia yang menimbulkan perubahan
emosi, organ, hormon,enzim, sel-sel dan atom (Kozier, 2010).
Musik dipercaya dapat meningkatkan pengeluaran hormon endorfin. Endorfin
merupakan ejektor dari rasa rileks dan ketenangan, midbrain mengeluarkan Gama
Amino Butyric Acid (GABA) yang berfungsi menghambat hantaran impuls listrik
dari satu neuron ke neuron lainnya oleh neurontransmiter didalam sinaps.
Midbrain mengeluarkan enkepalin dan beta endorfin dan zat tersebut dapat
menimbulkan efek analgesik yang akhirnya mengeliminasi neurontransmiter rasa
nyeri pada pusat persepsi dan interpretasi sensorik otak sehingga efek yang bisa
muncul adalah nyeri berkurang (Tasari, 2017).
Secara fisiologis didalam tubuh, suara alam dan kombinasi keduanya juga
dapat menstimulus akson-akson serabut saraf ascendens ke neuron-neuron RAS
(Reticular Activating System). Stimulus ditransmisikan ke area korteks serebral,
sistem limbik dan korpus kalosum melalui area saraf otonom dan sistem
29

neuroendokrin. Ketika musik-musik tersebut diputar, sistem limbik akan


terstimulus menghasilkan sekresi feniletilamin,yang merupakan suatu neuroamin
yang bertanggungjawab pada mood seseorang. Pada saraf otonom, stimulus suara
musik tersebut menyebabkan sistem saraf parasimpatis berada diatas sistem
simpatis sehingga merangsang gelombang otak alfa yang menghasilkan kondisi
nyaman. Suara musik tersebut selain menstimulus munculnya gelombang alfa (7-
13 Hz), juga menstimulus munculnya gelombang delta (0,5-4 Hz) dan teta (4-8
Hz). Gelombang delta mengindikasikan bahwa kondisi pasien berada dalam
keadaan sangat nyaman karena dalam keadaan ini gelombang otak semakin
melambat sehingga terjadi kondisi tidur yang sangat dalam pada pasien.
Sedangkan gelombang alfa merupakan pintu masuk ke dalam pikiran bawah sadar
dimana informasi akan masuk ke dalam pikiran bawah sadar. Pada kondisi ini,
otak memproduksi hormon serotonin dan endorfin yang menyebabkan seseorang
merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Gelombang teta juga berperan dalam
pelepasan stres karena otak mengeluarkan melatonin,catecholamine dan AVP
(Arginin-Vasopressin) yang memberi rasa nyaman pada seluruh tubuh.

B. Penelitian Terkait
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Musik Untuk Mengurangi
Intensitas Nyeri Pada Saat Perawatan Luka Post Op Laparatomi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta” (Rahman & Widyastuti, 2014). Pada penelitian ini
dilakukan eksperimen semu dengan pemberian terapi musik saat perawatan luka
post op guna menurukan intensitas nyeri. Populasi dalam penelitian ini adalah
pasien yang dilakukan perawatan luka post operasi hari ke- 2 dengan jumlah
responden 25 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental
sampling. Analisa menggunakan willcoxon diperoleh nilai Z sebesar -4,123
dengan nilai p=0,000. Nilai p < 0,05 yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan intensitas nyeri pada kelompok sebelum dan sesudah
pasien post operasi laparatomi diberikan terapi musik.
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Intensitas
Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur di RSU PKU Muhammadiyah
30

Yogyakarta” (Yanuar & Wantoro, 2015). Pada penelitian ini dilakukan


eksperimen semu dengan pemberian terapi musik untuk menurunkan intensitas
nyeri. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dengann usia dewasa dan baru
pertama kali mengalami tindakan pembedahan dengan jumlah responden 20
orang, 10 untuk kelompok eksperimen dan 10 untuk kelompok kontrol. Teknik
pengambilan sampel dengan menggunakan accidental sampling. Analisa
menggunakan willcoxon diperoleh nilai P sebesar 0,007. Nilai p< 0,05 yang
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terapi musik klasik terhadap intensitas
nyeri pada pasien post operasi fraktur di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan
Tingkat Skala Nyeri Pasien Post Operasi di RSUD H. Abdoel Madjid Batoe
Muara Jambi” (Astuti & Merdekawati, 2016). Pada penelitian ini dilakukan
eksperimen semu dengan tindakan pemberian terapi musik klasik. Populasi dalam
penelitian ini adalah pasien post operasi hari pertama dalam kondisi sadar penuh
dengan jumlah responden 36 responden. Teknik pengambilan sampel dengan
menggunakan purposive sampling. Adanya selisih nilai mean skala nyeri 1,72 dan
standar deviasi 0,149. Hasil uji statistik didapatkan nilai P-value 0,002 (P value
<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi musik klasik terhadap
penurunan tingkat skala nyeri.
31

C. Kerangka Teori

Gambar 6:
Kerangka Teori

Faktor-faktor yang
Laparatomi mempengaruhi
nyeri:

Post Laparatomi 1. Usia


2. Jenis kelamin
3. Kebudayaan
4. Makna nyeri
Tidak Nyeri Nyeri 5. Perhatian
6. Ansietas
7. Keletihan
8. Pengalaman
nyeri
sebelumnya
Farmakologi 9. Gaya koping
Non-
10. Dukungan
farmakologi:
1. Non Steroidal keluarga dan
1. Masase Anti sosial
2. TENS Inflammatory
3. Distraksi Drugs
- Terapi musik (NSAID)
4. Relaksasi 2. Analgesik
5. Imajinasi narkotik atau
terbimbing opiate
6. Hipnosis 3. Obat
tambahan
(adjuvan)

(Sumber Potter & Perry, 2006)


32

D. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara


konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep adalah model konseptual yang
berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau
menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk
masalah (Hidayat, 2011).
Berdasarkan hal tersebut peneliti mengambil variabel yang diteliti adalah
intensitas nyeri pada tindakan pemberian terapi musik instrumental. Kemudian
dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Gambar 7:
Kerangka Konsep
Nyeri pada pasien
pasca operasi
Pemberian terapi laparatomi sesudah
Kelompok eksperimen musik instrumental pemberian terapi
musik

Pasien yang dirawat Nyeri pada pasien


Kelompok kontrol sesuai prosedur RS pasca operasi
laparatomi

E. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan


pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau
harus ditolak, berdasarkan fakta atau data empiris yang telah dikumpulkan dalam
penelitian (Hidayat, 2011).
Adapun hipotesis yang peneliti susun sebagai berikut:
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada pengaruh pemberian terapi musik instrumental terhadap penurunan
intensitas nyeri pada pasien pasca operasi laparatomi di RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung.
33

2. Hipotesis Null (Ho)


Tidak ada pengaruh pemberian terapi musik instrumental terhadap penurunan
intensitas nyeri pada pasien pasca operasi laparatomi di RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung.

Anda mungkin juga menyukai