TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Pasca Operasi
a. Pengertian Pasca Operasi
Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terencana pada tubuh dan
terdiri dari tiga fase yaitu praoperatif, intraoperatif, dan pasca operatif. Fase pasca
operatif dimulai saat klien masuk ke ruang pasca anastesi dan berakhir ketika luka
telah benar-benar sembuh. Selama fase pasca operatif, tindakan keperawatan yang
dilakukan antara lain mengkaji respons klien (fisiologik dan psikologik) terhadap
tindakan pembedahan, melakukan intervensi untuk memfasilitasi proses
penyembuhan dan mencegah komplikasi, memberi penyuluhan dan memberikan
dukungan kepada klien dan orang terdekat, dan merencanakan perawatan di
rumah. Tujuannya adalah membantu klien mencapai status kesehatan yang paling
optimal. Peran perawat selama fase pasca operatif sangat penting terutama untuk
pemulihan klien. Anastesi menghambat kemampuan klien untuk berespons
terhadap stimulus lingkungan dan untuk membantu mereka sendiri, meskipun
derajat kesadaran klien mungkin akan sangat beraneka ragam. Selain itu,
pembedahan dapat menyebabkan trauma pada tubuh dengan mengganggu
mekanisme protektif dan homeostatis (Kozier, 2011).
7
8
awal pasca operatif, pemberian analgesik yang terkontrol melalui kateter intravena
sering kali diprogramkan (Potter & Perry, 2006).
2. Laparatomi
a. Pengertian Laparatomi
Laparatomi merupakan suatu prosedur pembedahan mayor dengan melakukan
penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian
organ yang mengalami masalah (Sjamsuhidayat & Jong, 2005).
Laparatomi adalah pembedahan perut sampai membuka selaput perut
(Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010). Ada 4 cara, yaitu:
1) Midline incisi.
2) Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5
cm).
3) Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistomy dan splenektomy.
4) Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang di bagian bawah ± 4
cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya pada operasi appendiktomy.
9) Selfigo oofarektomi: operasi pengangkatan salah satu atau kedua tuba falopi
dan ovarium.
c. Indikasi Laparatomi
Menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2010) indikasi pembedahan laparatomi
antara lain sebagai berikut:
1) Trauma abdomen (tumpul atau tajam) atau ruptur hepar.
2) Peritonitis.
3) Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding).
4) Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5) Masa pada abdomen.
3. Konsep Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan yang Nyeri
adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
11
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama
seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama
banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik
atau pengobatan (Smeltzer & Bare, 2002).
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri.
Apabila seseorang merasakan nyeri, maka prilakunya akan cenderung berubah.
Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus
menjadi pertimbangan utama keperawatan saat mengkaji (Potter & Perry, 2006).
b. Fisiologi Nyeri
1) Transduksi
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga
menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Selama fase transduksi,
stimulus berbahaya seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, dan
substansi P. Neurotransmiter ini menstimulasi nosiseptor dan memulai
transmisi nosiseptif. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan
menghambat prostaglandin (Kozier, 2011).
2) Transmisi
Transmisi adalah suatu proses penyaluran impuls nyeri dari tempat
transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal medula spinalis dan
jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medula spinalis ke otak.
Teansmisi meliputi tiga segmen. Segmen pertama, substansi P bertindak
sebagai sebuah neurotransmiter yang meningkatkan pergerakan impuls
menyebrangi sinaps saraf dari neuron aferen prmer ke neuron ordo kedua di
kornu dorsalis medula spinalis. Serabut C yang mentransmisikan nyeri tumpul
yang berkepanjangan, dan serabut A-delta yang mentransmisikan nyeri tajam
dan lokal. Segmen kedua adalah transmisi dari medula spinalis dan asendens,
melalui traktus spinotalamus, ke batang otak dan talamus. Spinotalamus terbagi
menjadi dua jalur khusus, yaitu neospinothalamic (NS) dan jalur
paleospinothalamic (PS). Segmen ketiga melibatkan transmisi sinyal antara
12
3) Persepsi
Persepsi adalah pengalaman subjektif yang dihasilkan oleh aktivitas
transmisi nyeri. Impuls nyeri ditransmisikan melalui spinotalamus menuju ke
pusat otak dimana persepsi ini terjadi. Sensasi nyeri yang ditransmisikan
melalui neospinothalamic (NS) menuju talamus, dan sensasi nyeri yang
ditransmisikan melalui paleospinothalamic (PS) menuju batang otak,
hipotalamus, dan talamus. Bagian dari Central Nervous System (CNS) ini
berkontribusi terhadap persepsi awal nyeri. Proyeksi ke sistem limbik dan
korteks frontal memungkinkan ekspresi dari komponen afektif nyeri. Proyeksi
ke korteks sensorik yang terletak di lobus parietal memungkinkan pasien untuk
menggambarkan pengalaman sensorik dan karakteristik nyerinya, seperti
lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Komponen kognitif nyeri melibatkan
beberapa bagian korteks serebral. Ketiga komponen ini menggambarkan
interpretasi subjektif dari nyeri. Sama dengan proses subjektif tersebut,
ekspresi wajah dan gerakan tubuh tertentu merupakan indikator perilaku nyeri
yang terjadi sebagai akibat dari proyeksi serabut nyeri ke korteks motorik di
lobus frontal (Kozier, 2011).
4) Modulasi
Modulasi seringkali digambarkan sebagai sistem desendens, proses keempat
ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu
dorsalis medula spinalis. Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opoid
endogen, serotonin, dan norepinefrin yang dapat menghambat naiknya impuls
berbahaya di kornu dorsalis. Namun, neurotransmiter ini diambil kembali oleh
tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya (Kozier, 2011).
13
Gambar 1:
Fisiologi Nyeri
Stimulasi nosiseptor
Jalur Jalur
neospinothalamic paleospinothalamic
(NS) (PS)
Modulasi
Opoid endogen yang diproduksi oleh sistem saraf pusat dan medulla
spinalis
d. Klasifikasi Nyeri
1) Nyeri akut
Nyeri akut merupakan sensasi yang terjadi secara mendadak, paling sering
terjadi sebagai respons terhadap beberapa jenis trauma. Penyebab umum nyeri
akut adalah trauma akibat kecelakaan, infeksi, dan pembedahan. Nyeri akut
terjadi dalam periode waktu yang singkat, biasanya kurang dari 6 bulan,
bersifat intermiten, dan tidak konstan (Rosdahl & Kowalski, 2017).
Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, harus
menjadi prioritas perawatan. Misalnya, nyeri pasca operasi yang akut
menghambat kemampuan klien untuk terlibat aktif dan meningkatkan risiko
komplikasi akibat imobilisasi. Rehabilitasi dapat tertunda dan hospitalisasi
menjadi lama jika nyeri akut tidak dikontrol. Kemajuan fisik atau psikologis
tidak dapat terjadi selama nyeri akut masih dirasakan karena klien
memfokuskan semua perhatiannya pada upaya untuk mengatasi nyeri. Setelah
nyeri teratasi, maka klien dan tim perawatan kesehatan dapat memberikan
perhatian penuh pada upaya penyembuhan klien (Potter & Perry, 2006).
2) Nyeri kronis
Nyeri kronis merupakan ketidaknyamanan yang berlangsung dalam periode
waktu lama lebih dari 6 bulan. Penyebab umum nyeri kronis seperti tumor
invasif yang tidak dapat dioperasi (Rosdahl & Kowalski, 2017).
Klien yang mengalami nyeri kronis seringkali mengalami periode remisi
(gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat). Sifat nyeri kronis, yang tidak dapat diprediksi. Nyeri menjadi
bagian dari setiap aspek kehidupan. Nyeri kronis merupakan penyebab utama
ketidakmampuan fisik dan psikologis sehingga muncul masalah. Individu yang
mengalami nyeri kronis seringkali tidak beradaptasi terhadap nyeri, tetapi
tampaknya lebih menderita seiring berjalannya waktu karena kelelahan mental
16
dan fisik. Pada individu yang mengalami nyeri kronis timbul suatu perasaan
tidak aman karena pasien tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari
hari ke hari. Gejala nyeri kronis meliputi keletihan, insomnia, anoreksia,
penurunan berat badan, depresi, putus asa, dan kemarahan (Potter & Perry,
2006).
2) Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda dalam berespons terhadap
nyeri. Beberapa kebudayaan menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus
berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis
dalam situasi yang sama. Sehingga, kebutuhan nakotik pasca operasi pada
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa
individu berjenis kelamin perempuan lebih mengartikan negatif terhadap nyeri
(Potter & Perry, 2006).
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nila-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
17
4) Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan
secara dekat dengan latar belakang budaya individu. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Derajat
dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri
(Potter & Perry, 2006).
5) Perhatian
Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
respons nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun (Potter & Perry, 2006).
6) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu
perasaan ansietas. Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih
mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada individu yang
memiliki status emosional yang kurang stabil. Apabila rasa cemas tidak
mendapat perhatian di dalam suatu lingkungan, maka rasa cemas tersebut dapat
18
7) Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri dapat terasa lebih berat.
Nyeri seringkali berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur
yang lelap dibanding pada akhir hari yang melelahkan (Potter & Perry, 2006).
9) Gaya Koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun
keseluruhan/total. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk
mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Penting
untuk memahami sumber-sumber koping klien selama mengalami nyeri.
Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga, melakukan latihan,
atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam
upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai ke tingkat tertentu
(Potter & Perry, 2006).
19
Gambar 2:
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale, NRS)
(Sumber: Potter & Perry, 2006)
2) Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari
“tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri yang terasa paling tidak
menyakitkan.
Gambar 3:
Pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
(Sumber: Potter & Perry, 2006)
21
3) Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melalui subdivisi.
VAS merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. VAS
dapat mengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian.
Gambar 4:
Pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
(Sumber: Potter & Perry, 2006)
4) Skala faces, Wong dan Baker (1988) mengembangkan skala wajah untuk
mengkaji nyeri nyeri pada anak-anak. Skala tersebut terdiri dari enam wajah
dengan profil yang menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (wajah
tidak nyeri) kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah yang
ketakutan (nyeri yang sangat). Anak-anak berusia tiga tahun dapat
menggunakan skala tersebut. Para peneliti mulai meneliti penggunaan skala
wajah ini pada orang dewasa. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala
tersebut mudah digunakan dan tidak mengonsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya.
22
Gambar 5:
Skala wajah (Wong dan Baker)
(Sumber: Potter & Perry, 2006)
h. Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri adalah peredaan nyeri atau pengurangan nyeri sampai
pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima klien. Penatalaksanaan nyeri
tersebut meliputi dua tipe dasar intervensi keperawatan: farmakologi dan
nonfarmakologi.
1) Penatalaksanaan nyeri terapi farmakologis
Penatalaksanaan nyeri farmakologi mencakup penggunaan opoid (narkotik),
Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID), dan analgesik penyerta atau
koanalgesik. Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi
nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, perawat
dan dokter masih cenderung tidak melakukan upaya analgesik dalam penanganan
nyeri karena informasi obat yang tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien
akan mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan dalam
23
mengurangi rasa takut yang terkait dengan imobilisasi. Manajemen nyeri dengan
menggunakan terapi nonfarmakologis yang bisa digunakan, yaitu:
a) Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering digpusatkan pada
punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang
sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem
kontrol desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase
membuat relaksasi otot (Potter & Perry, 2006).
d) Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari
ketegangan dan stres sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi
lambat dan berirama (Potter & Perry, 2006).
25
e) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara
yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Dengan mata
terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa dengan setiap
nafas yang diekshalasi secara lambat ketegangan otot dan ketidaknyamanan
dikeluarkan, menyebabkan tubuh yang rileks dan nyaman (Potter & Perry, 2006).
f) Hipnosis
Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis diri menggunakan sugesti diri dan
kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Konsentrasi yang intensif
mengurangi ketakutan dan stres karena individu berkonsentrasi hanya pada satu
pikiran (Potter & Perry, 2006).
4. Terapi Musik
a. Pengertian Terapi Musik
Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “musik”. Kata “terapi”
berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau
menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah fisik
atau mental. Kata “musik” dalam “terapi musik” digunakan untuk menjelaskan
media yang digunakan secara khusus dalam rangkaian terapi. Terapi musik adalah
terapi yang bersifat nonverbal. Dangan bantuan musik, pikirann klien dibiarkan
untuk mengembara, baik untuk mengenang hal-hal yang membahagiakan,
membayangkan ketakutan-ketakutan yang dirasakan, mengangankan hal-hal yang
diimpikan dan dicita-citakan, atau langsung mencoba menguraikan permasalahan
yang ia hadapi.
Terapi musik mempunyai tujuan yaitu membantu mengekspresikan perasaan,
membantu rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi suasana
hati dan emosi, meningkatkan memori, serta menyediakan kesempatan yang unik
untuk berinteraksi dan membangun kedekatan emosional. Dengan demikian,
terapi musik juga diharapkan dapat membantu mengatasi stres, mencegah
penyakit dan meringankan rasa sakit (nyeri). Terapi musik merupakan sebuah
26
banyak yang melakukan terapi musik dalam proses penyembuhan pasien. Terapi
musik, umumnya menggunakan intervensi musik untuk memulihkan dan
meningkatkan kondisi fisik emosi, fisiologis, dan kesehatan jiwa pasien
(Dofi,2010).
Ketika pasien menghadapi masalah atau tekanan berat, musik membantu
mengalihkan perhatian dari rasa sakit. Penyembuhan melalui suara didasarkan
pada pengertian bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini adalah vibrasi.
Maka dengan musik dan suara, gangguan di dalam keseimbangan manusia dapat
diperbaiki. Karena itu, penyembuhan melalui suara adalah penggunaan vibrasi
frekuensi atau bentuk suara yang dikombinasikan dengan musik atau elemen
musikal untuk meningkatkan kesembuhan (Djohan, 2013). Musik dapat
merangsang pengeluaran endorphin dan serotonin, yaitu sejenis morfin alami
tubuh dan juga merangsang pengeluaran metanonin sehingga kita bisa merasa
lebih rileks (Primadita, 2011).
B. Penelitian Terkait
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Musik Untuk Mengurangi
Intensitas Nyeri Pada Saat Perawatan Luka Post Op Laparatomi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta” (Rahman & Widyastuti, 2014). Pada penelitian ini
dilakukan eksperimen semu dengan pemberian terapi musik saat perawatan luka
post op guna menurukan intensitas nyeri. Populasi dalam penelitian ini adalah
pasien yang dilakukan perawatan luka post operasi hari ke- 2 dengan jumlah
responden 25 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental
sampling. Analisa menggunakan willcoxon diperoleh nilai Z sebesar -4,123
dengan nilai p=0,000. Nilai p < 0,05 yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan intensitas nyeri pada kelompok sebelum dan sesudah
pasien post operasi laparatomi diberikan terapi musik.
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Intensitas
Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur di RSU PKU Muhammadiyah
30
C. Kerangka Teori
Gambar 6:
Kerangka Teori
Faktor-faktor yang
Laparatomi mempengaruhi
nyeri:
D. Kerangka Konsep
E. Hipotesis