Anda di halaman 1dari 13

IMPLIKASI HUKUM KAMPANYE HITAM MELALUI MEDIA SOSIAL PADA

PELAKSANAAN PEMILUKADA

Nyndya Fatmawati Octarina


Faculty of Law, Universitas Narotama Surabaya, Indonesia
Email: Ninda.fatmawati@narotama.ac.id
and
Hardianto Djanggih
Faculty of Law, Universitas Tompotika Luwuk, Indonesia
Email: hardianto_djanggih@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengkaji permasalahan kampanye hitam melalui media sosial
pada pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang
menganalisis fenomena objek kajian dengan pendekatan konseptual (conceptual
approach) dan pendekatan kasus (case approcah). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Implikasi hukum kampanye hitam pada pelaksanaan pemilihan umum kepala
daerah bahwa kampanye hitam bukanlah sebuah pilihan dalam berpolitik. Selain
mengandung unsur jahat dan melanggar norma, kampanye hitam juga memberikan
pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat dan dapat merugikan pihak yang
dijatuhkan dan juga merugikan pelaku kampanye hitam, karena perbuatan tersebut
dapat dikenakan sanksi pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang Pemilukada
dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Rekomendasi penelitian,
bahwa perlu adanya penanggulangan serius melalui sarana hukum pidana maupun
sarana lain, sehingga pelaksanaan pemilihan umum kepada daerah sebagai
perwujudan demokrasi di Indonesia makin baik dan berkualitas sehingga
menghasilkan pemimpin daerah yang amanah.
Kata Kunci: Pemilukada; Kampanye Hitam; Media Sosial.

Abstact
This study aims to examine the problem of campaigns black through social media in
the implementation of regional head elections. The method used is a normative legal
research method with a qualitative approach to analyze the phenomena object of
study with a conceptual approach (conceptual approach) and the approach of the case
(case approach). The results showed that the legal implications of the black campaign
on the conduct of regional head elections were that black campaigns were not an
option in politics. In addition to containing evil elements and violating the norm,
black campaigns also provide political education that is bad for the community and
can harm the parties that are imposed and also harm the black campaigners, because
these actions can be subject to criminal sanctions as stipulated in the Election Law
and Law Electronic Information and Transactions. Recommendations for research,
that there is a need for serious handling through criminal law facilities and other
facilities so that the implementation of elections to the regions as the embodiment of
democracy in Indonesia is better and better quality so as to produce trustworthy
regional leaders.
Keywords: Regional Head Election; Black Campaign; Social Media.

Pendahuluan
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut
menentukan figur dalam suatu periode tertentu (Rohim, 2016). Kontribusi warga
negara dalam memilih dan ikut dipilih merupakan bagian dari hak politik (Budijanto,
2016). Hal tersebut merupakan bagian dari ide demokrasi yang dimaknai suatu
kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka
penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pengelolaan
suatu negara (Respationo, 2013).
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih belum sesuai dengan standar dan
prinsip-prinsip pemilu universal. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati pembaharuan dari 5 (lima) peraturan
yang kemudian diterapkan ke dalam Pemilihan Kepala Daerah 2018 pasca rapat
konsultasi antara KPU dengan DPR. Kelima peraturan KPU (PKPU) ini adalah
peraturan tentang tahapan, pemutakhiran data pemilih, pencalonan kepala daerah,
kampanye, dan dana kampanye. Hal pertama yang diatur di dalam peraturan-
peraturan ini adalah perkara usia minimal untuk cagub dan cawagub yaitu 30 (tiga
puluh) tahun sedangkan usia untuk Cabup atau calon Walikota beserta wakilnya
adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Hal kedua yang diatur yaitu pakem peraturan
kampanye di media sosial. Hal ini dipertanyakan oleh Komisi II DPR atas sikap KPU
yang tidak mengatur mengenai hal ini dengan alasan kampanye di media sosial
bukanlah ranah pakem peraturan KPU karena keterbatasan wewenang lembaganya.
KPU tidak dapat menindak langsung pelanggaran kampanye di media sosial
(Rahardian, 2017).
Pelaksanaan Pemilukada diawali dengan masa kampanye. Kampanye
dilangsungkan selama 120 (seratus dua puluh) hari. Hal-hal yang berhubungan dengan
kampanye diatur dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kampanye
termasuk mengenai daftar relawan pendukung pasangan calon. KPU mewajibkan tim
kampanye untuk mencatat dan mendaftar sekelompok relawan pendukung pasangan
calon serta mewajibkan tim kampanye pasangan calon untuk mematuhi segala aturan
yang mengikat pasangan calon maupun tim kampanye agar pelaksanaan kampanye
bisa berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan hakiki kampanye yaitu pendidikan
politik kepada masyarakat (Herdiana, 2018).
Perkembangan Demokrasi yang semula secara konvensional perlahan berubah
dengan memanfaatkan perkembangan globalisasi dengan pemanfaatan media sosial
(Putri & Adiputra, 2017). Penggunaan media sosial selama kampanye meningkatkan
ketidakpastian tentang pilihan suara seseorang dan, pada akhirnya, meningkatkan
peluang untuk mengubah niat memilih seseorang (Galais & Cardenal, 2017).
Seperti halnya di Norwegia sebagaimana penelitian (Karlsen, 2009)
mengemukakan bahwa Internet sebagai alat untuk memenangkan pemilih dan
digunakan dalam perluasan dalam interaksi dengan praktik kampanye yang ada.
Dalam pemanfaatan kampanye melalui media sosial, ditemukan adanya etika
berdemokrasi yang tidak sehat (Fatimah, 2018). Salah satunya seperti melakukan
kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam (black campaign) adalah
kampanye yang bersumber pada rumor, gossip, bahkan menjurus ke implementasi
sejumlah teknik propaganda (Ramadhani, 2018). Kampanye hitam dapat timbul
karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat sehingga dapat
dimanfaatkan oleh pihak lawan untuk menyebarkan informasi yang tidak benar atau
fitnah yang dapat merusak integritas calon kepala daerah tersebut (Febriyan, 2017).
Masalah yang sering kali ditemui dalam masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) adalah black campaign dengan memanfaatkan ruang media (Antar, 2014).
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi pelaksanaan Pemilukada belum
berjalan dengan baik (Djanggih, Hipan & Hambali, 2018). Praktik kampanye hitam,
pada pelaksanaan kampanye di Jawa Timur di 18 (Delapan Belas) Kabupaten/Kota dan
1 (Satu) Provinsi, dengan model penyebaran hoax dan isu yang mengangkat Suku,
Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) ditemukan 1.452 akun media sosial yang
berpotensi mengacaukan Pemilukada Jawa Timur (Beritagar.id, 2019). Akun media
sosial yang sering dikunjungi masyarakat adalah Facebook (FB), sehingga dengan
kondisi tersebut para kontestan Pemilukada memanfaatkannya dalam berkampanye
(Junaidi, et.al, 2015).
Demokrasi dan media memiliki hubungan yang resiprokal. Di satu sisi demokrasi
membutuhkan media sebagai alat komunikasi politik, baik oleh pemerintah maupun
oleh masyarakat, di sisi lain media hanya dapat berfungsi bagi kepentingan
masyarakat luas dalam sistem politik yang demokratis (Simarmata, 2014). Secara
normatif, kampanye hitam atau black campaign tidak dikenal dalam peraturan
perundangan terkait dengan kampanye pada pemilihan. Kampanye hitam merupakan
model kampanye dengan menggunakan rayuan yang merusak, sindiran atau rumor
yang tersebar mengenai sasaran kepada para kandidat atau calon kepada masyarakat
agar menimbulkan persepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam hal kebijakan
publik (Riswandi, 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis hendak menjabarkan mengenai hal-
hal di bawah ini, yaitu Bagaimana Implikasi Hukum Kampanye Hitam Melalui Media
Sosial Pada Pelaksanaan Pemilukada?

Pembahasan
Implikasi Hukum Kampanye Hitam Melalui Media Sosial Pada Pelaksanaan
Pemilukada
Landasan konstitusional pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada)
tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang mengatur bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota,
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota
dipilh secara demokratis (Saraswati, 2014). Jimly Asshididiqie mengatakan bahwa
ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut terdapat tiga macam organ sebagai subyek
hukum pemerintahan daerah yaitu : 1. Pemerintahan Daerah, 2. Kepala Pemerintah
Daerah yang dapat disebut gubernur, bupati, ataupun walikota, 3. DPR Daerah
(Budiyono, 2015). Lain halnya dikatakan Ibnu Tricahyo bahwa Ketentuan Pasal 18
ayat (4) UUD NRI 1945 tidak mengamanatkan Pemilukada dilakukan secara langsung,
karena hal tersebut hanya sekedar sebuah tafsir saja terhadap rumusan “dipilih secara
demokratis” yang dilakukan oleh pembentuk Undang-undang, menjadi “dipilih secara
langsung" (Prihatin, 2015).
Frase demokratis dari ketentuan pasal tersebut patut dipahami sebagai
penguatan atas pemahaman bahwa Indonesia adalah negara demokrasi
(berkedaulatan rakyat) bukan negara monarki dan bukan pula negara yang
diselenggarakan dengan pendekatan otoritarian (otoriter) dari rezim pemerintahan
yang berkuasa secara otoriter (Melva, 2013). Pemaknaan arti kata arti kata demokratis
dalam ketentuan tersebut dengan memilih mekanisme pemilihan secara langsung
ditindaklanjuti dalam dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pengaturan Pemilukada diatur di dalam Pasal 24 ayat (5),
bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Rumusan tersebut secara substansi
tak berubah dan penyelenggara negara tetap menghendaki hal tersebut dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Kristiyanto, 2017).
Pemilukada serentak sebuah fenomena perkembangan demokrasi lokal di
Indonesia yang bertujuan sebagai pengisian jabatan politik (Mulyadi, 2018). Tahun
2015 bulan Desember merupakan gelombang pertama Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) secara langsung dan serentak di Indonesia. Semenjak Pilkada pertama pada
2005, telah terdapat berbagai evaluasi dan kritik yang pada akhirnya melahirkan
Pilkada serempak tahun 2015 ini. Hal ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
menghemat anggaran negara (Kumolo, 2015). Pemilu ataupun Pilkada di Indonesia
merupakan sarana demokrasi bagi setiap warga negara untuk memilih kandidat yang
mereka percaya mampu untuk menjalankan roda pemerintahan baik di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan
setiap 5 (lima) tahun sekali dan berlaku baik untuk Pilkada ataupun pemilu. Dalam
pemilihan Kepala Daerah yag dilakukan secara serentak terdapat 2 (dua) perubahan
UU Pilkada, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota; dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah. Pada pasal 3 UU No. 8/2015 disebutkan bahwa: “Pemilihan dilaksanakan setiap
5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” Pada pasal 5 ayat 1 UU No.8/2015 disebutkan bahwa “Pemilihan
diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu tahapan persiapan dan tahapan
penyelenggaraan.”
Tahapan persiapan seperti yang diatur pada UU No. 8/2015 meliputi perencanaan
program dan anggaran; penyusunan peraturan penyelenggaraan pemilihan;
perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan
pelaksanaan pemilihan; pembentukan PPK, PPS, dan KPPS; pembentukan Panwas
Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS; pemberitahuan dan
pendaftaran pemantau pemilihan; penyerahan daftar penduduk potensial pemilih; dan
pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Sementara itu tahapan
penyelenggaraan pemilihan, sesuai dengan pasal 5 ayat 3 UU No. 8/2015, meliputi
pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota; pendaftaran pasangan Calon-calon tersebut di atas; penelitian
persyaratan para pasangan calon; penetapan pasangan calon, pelaksana kampanye;
pelaksanaan pemungutan suara; penghitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara; penetapan calon terpilih; penyelesaian pelanggaran dan sengketa
hasil pemilihan; dan pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.
Berdasarkan pasal 51 ayat 2 dan pasal 52 ayat 2 UU No.8/2015 terdapat ketentuan
terkait dengan pemilihan kepala daerah dan hal-hal yang melatarbelakangi
pelaksanaan dan mekanisme yang berlaku pada tahun 2015 yang berbeda dengan
ketentuan-ketentuan yang mengatur periode-periode sebelumnya. Seperti
permasalahan terkait pencalonan tunggal di mana hanya ada satu kandidat calon
kepala daerah, yang ikut meramaikan kompetisi Pilkada. Praktik kampanye hitam
dalam Pemilukada sulit dihindari di mana kebanyakan kampanye hitam dilakukan
oleh tim sukses atau simpatisan. Hal ini dikarenakan para kandidat sulit untuk
melakukan kontrol dengan para pendukungnya. Tujuan utama melakukan kampanye
hitam ataupun kampanye negatif adalah untuk menimbulkan keraguan, kebencian,
maupun ketakutan agar dukungan kepada target yang disasar menjadi lemah tetapi
belum tentu cara ini akan efektif. Kampanye hitam akan semakin mudah diingat dan
dilakukan daripada memperkuat visi misi para kandidat. Kampanye hitam digunakan
oleh kandidat yang potensi menangnya lemah.
Berdasarkan pasal 1 angka 21 UU No. 8/2015, yang dimaksud dengan kampanye
adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan
program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Berdasarkan pasal 65 ayat 1
UU No. 8/2015 menyatakan bahwa kampanye dapat dilaksanakan melalui pertemuan
terbatas; pertemuan tatap muka dan dialog; debat publik/debat terbuka antar
pasangan calon; penyebaran bahan kampanye kepada umum; pemasangan alat peraga;
iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau kegiatan lain yang
tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian pada pasal 66 ayat 2 UU No. 8/2015 disebutkan bahwa Pemerintah Daerah
dapat memberikan kesempatan penggunaan fasilitas umum untuk kegiatan kampanye
pada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 63 ayat 1 UU No.8/2015 diatur bahwa kampanye merupakan wujud dari
pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggungjawab. Dalam
kampanyenya, setiap pasangan calon diwajibkan untuk menyampaikan visi dan misi
yang disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi
atau Rencana Jangka Panjang Daerah Kabupaten/Kota secara lisan dan tertulis kepada
masyarakat dengan disertai tata cara penyampaian materi kampanye yang sopan,
tertib dan edukatif seperti yang diatur dalam pasal 64 UU No. 8/2015. Pada pasal 69
UU No. 8/2015 dinyatakan bahwa,
“Dalam kampanye dilarang:
a. Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil
Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil
Walikota, dan/atau Partai Politik;
c. Melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai
Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
d. Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau menganjurkan pengunaan
kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau Partai Politik;
e. Mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum;
f. Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih
kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
g. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye;
h. Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah;
i. Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan;
j. Melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan
di jalan raya; dan/atau
k. Melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.”
Black campaign menurut Wirdyaningsih merupakan suatu frasa yang tidak
terdefinisikan secara rinci. Istilah ini dipergunakan di Indonesia untuk menyebutkan
kegiatan-kegiatan yang dikenal juga dengan negative campaign dalam usaha
menjatuhkan lawan politik (Hukum, 2014). Berdasarkan ketentuan pasal 69 huruf c
UU No. 8/2015, dijelaskan bahwa tindakan semacam kampanye hitam berupa hasutan,
fitnah, dan adu domba adalah dilarang dan dapat dikenakan pidana. Pasal 187 ayat 2
Perppu No. 1/2014 jo. Pasal 69 huruf c UU No. 8/2015 diatur bahwa ancaman sanksi
bagi pelaku kampanye hitam pada saat kampanye Pilkada dapat dikenakan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Negative campaign yang dimaksud dalam
UU Pemilu berkaitan dengan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,
pelanggaran administrasi pemilu, sengketa pemilu, dan tindak pidana pemilu
(Hukum.UI, 2016). Black campaign dapat dilakukan melalui pembagian atau
penyebaran informasi melalui media cetak seperti pamflet, salinan artikel, dan
lainnya, yang berisikan mengenai informasi-informasi negatif pihak lawan yang
dibagikan kepada masyarakat. Penyebaran dapat dilakukan oleh tim sukses maupun
simpatisan dari salah satu calon pasangan (Hukum, 2014). Mengikuti perkembangan
dewasa ini, Promosi akan gagasan, ide, program kerja sudah menjalar ke dunia maya.
Diskusi, debat frontal bahkan black campaign sudah begitu bebas dan sering terjadi di
berbagai media sosial (Saleh, 2018). Media sosial merupakan hasil dari
pengembangan media komunikasi melalui jaringan internet. Internet singkatan dari
interconnected network, membawa perubahan dalam berkomunikasi (Budiyono,
2015). Jadi, internet memiliki kemampuan yang luar biasa dalam membawa perubahan
politik di suatu negara dan mampu merevolusi sistem politik, dari otoriter
menjadi demokratis (Holik, 2010).
Kampanye hitam pada umumnya berdampak negatif. Hal ini dapat ditemukan
pada konten Propaganda yang menjadi salah satu topik yang menarik, karena sampai
saat ini. Para politikus dan pemimpin opini memahami media sebagai salah satu aspek
yang kuat dalam mempengaruhi pemilih (Sutanto, 2014). Proses kampanye bukanlah
tidak mungkin bagi para simpatisan untuk mendukung calon pasangan yang
diunggulkannya termasuk melakukan kampanye hitam yang bertujuan untuk
menjatuhkan citra pesaingnya. Kampanye hitam merupakan salah satu pencetus
adanya konflik dalam sebuah penyelenggaraan pemilu. Hal ini tentu saja dinilai dapat
merugikan masyarakat terutama bagi calon pasangan yang akan dijatuhkan citranya.
Dalam berpolitik, setiap pihak yang terlibat harus berdasarkan pada etika, moral
yang baik, dan juga menghindari penggunaan kampanye hitam. Publikasi untuk
melakukan kampanye hitam di tengah era globalisasi ini tidak hanya dapat dilakukan
dengan media cetak ataupun media elektronik tetapi juga melalui media sosial.
Perkembangan media sosial yang pesat dan jumlah penggunanya yang cukup besar
menjadi salah satu sarana agar berita hoax sebagai bentuk kampanye hitam
berkembang dengan cepat dan luas. Sehingga penggunaan gaya Bahasa yang baik
menjadi penting untuk menghindari adanya kampanye hitam (Subahnan, 2016).
Pemilu melalui pemilihan langsung telah "dirampok" rakyat karena politik uang
dan kampanye hitam (Munaf, Chaidir, Syed Zakaria & Arifin, 2016). Kampanye
hitam sudah lazim terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia pada setiap pemilu
(Yusri & Adlin, 2012). Praktik kampanye hitam dilakukan oleh Para kontestan dengan
menyerang lawan mereka menggunakan kata-kata tendensius, mulai dari kebijakan
partai politik, dan konsep-konsep yang ditawarkan (Ida, 2014). Pada dasarnya
kampanye tujuannya untuk menjatuhkan lawan politik dengan hal-hal yang absurd
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Inti dari kampanye hitam
sesungguhnya adalah membangun persepsi buruk pada masyarakat akan calon yang
menjadi lawan politik sehingga akibat dari persepsi yang dimunculkan itu membuat
masyarakat menerima secara “bulat” isi kampanye ini, tanpa memproses isi kampanye
hitam ini. Tujuan akhirnya sudah tentu berimbas pada perolehan suara dalam
pemilihan (Dodu, 2017). Kampanye hitam merupakan kampanye yang berisikan
tuduhan tanpa berdasarkan fakta dan merupakan fitnah atau yang biasa kita sebut
dengan hoax atau berita bohong. Sedangkan kampanye negatif merupakan kampanye
yang berisikan pengungkapan fakta kekurangan mengenai suatu calon atau partai
yang disampaikan secara jujur dan relevan. Mayoritas pihak-pihak yang menggunakan
kampanye hitam merupakan pihak-pihak yang tidak memiliki dasar dan fakta, fitnah
dan tidak relevan diungkapkan terkait partai politik maupun tokohnya (Budiman,
2014).
Penggunaan kampanye hitam bukanlah sebuah implementasi penggunaan
komunikasi yang efektif sebagai dasar bagi pelaksanaan kampanye yang efektif. Hal
pertama yang harus dipahami dalam sebuah kampanye bahwa kampanye harus selalu
berpegang pada peraturan normatif yang mengatur pelaksanaan kampanye. Dalam
Pilkada, kampanye diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Kampanye
hitam sudah diatur dalam pasal 187 ayat 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang; dan pasal 70 ayat 1
Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 7 Tahun 2015 Tentang Kampanye Pemilihan
Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati Dan/Atau Walikota Dan
Wakil Walikota.
Setiap pelanggaran yang terjadi pada masa kampanye dapat ditindak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga turut menjadi regulasi
untuk kemudian memuat mengenai ancaman sanksi bagi pelaku kampanye hitam. UU
ITE sebagai antisipasi atas pengaruh buruk dari pemanfaatan kemajuan teknologi.
Perbuatan-perbuatan yang menyerang kepentingan hukum orang pribadi, masyarakat
atau kepentingan hukum Negara (cybercrime) dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi ITE adalah merupakan sisi buruk dari kemajuan teknologi (Djanggih &
Hipan, 2018).
Kampanye hitam sebagai salah satu usaha untuk menjatuhkan lawan politik
melalui isu-isu yang tidak diketahui pasti kebenarannya. Media sosial seperti Twitter,
Facebook, Path dan lain sebagainya apabila terbukti mengandung muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik terhadap seseorang maka dapat dikenakan
ketentuan pasal 27 ayat 3 UU ITE, yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.”
Jo. ketentuan pasal 45 ayat 1 UU ITE mengatur mengenai,
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Menurut pasal 249 ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum diatur bahwa setiap pelanggaran kampanye baru bisa ditindak
apabila terdapat pengaduan atau pelaporan terlebih dahulu kepada Badan Pengawas
Pemilihan Umum mengenai adanya dugaan pelanggaran atau kelalaian dalam
melaksanakan pemilu dengan batas daluwarsa hanya 7 (tujuh) hari sejak diketahui.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa apabila seorang
simpatisan melakukan sebuah tindakan yang termasuk ke dalam kampanye hitam
dapat dikenakan sanksi berdasarkan atas delik aduan dan merupakan sebuah bentuk
pertanggungjawaban pribadi.
Sehingga, kampanye hitam bukanlah sebuah pilihan dalam berpolitik. Kampanye
hitam mengandung unsur jahat dan melanggar norma, baik norma masyarakat atau
pun norma agama. kampanye hitam juga memberikan pendidikan politik yang buruk
bagi masyarakat. Upaya Menghalalkan segala cara yang melandasi dipilihnya bentuk
kampanye hitam menunjukkan masih buruknya moral dan keimanan seorang politisi
yang melakukan hal tersebut. Dengan adanya kampanye hitam dapat mempengaruhi
pencitraan terhadap kandidat calon dari partai politik tertentu (Turistiati, 2016).
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran kampanye hitam diperlukan peran dari
pelaksana kampanye, petugas kampanye, dan peserta kampanye yang tidak lain
merupakan embrio terjadinya pelanggaran dalam berkampanye (Ramadhani, 2015).
Tujuan kampanye hitam yang dilakukan melalui media sosial dengan bentuk
menjelek-jelekkan pasangan calon (paslon) lainnya adalah untuk mencegah atau
menghilangkan dukungan masyarakat terhadap paslon lainnya sehingga tidak menjadi
pemenang dalam Pemilukada dan mengharapkan paslon yang didukunglah yang akan
menjadi pemenang. kampanye hitam sering tidak nampak di permukaan dalam
bentuk ucapan-ucapan juru kampanye di mimbar melainkan melalui media sosial,
atau penyebaran desas-desus dari mulut ke mulut. Oleh sebab itu beritanya sangat
cepat menyebar di kalangan calon pemilih dan mungkin tanpa diketahui oleh paslon
tersebut ataupun oleh para simpatisan.
Fenomena kampanye hitam melalui media sosial merupakan efek dari
pertumbuhan internet di Indonesia yang telah berkembang dengan pesat (Jati, 2016).
Dengan perkembangan tersebut, banyak pihak memperkirakan bahwa media sosial
akan bermanfaat bagi hajatan politik dan sosial (Lim, 2014). Sehingga, Pencegahan
fenomena kampanye hitam melalui media sosial tersebut, diharapkan pemanfaatan
media sosial dengan baik sebagai sarana dalam kampanye dalam pelaksanaan
Pemilukada menjadi alat untuk memelihara konstituennya dan menjaga hubungan
dengan konstituen. Dengan menjalankan berbagai fungsi tersebut maka diharapkan
penggunaan media sosial dapat berkorelasi terhadap peningkatan partisipasi pemilih.
Meski dalam konteks Indonesia, banyak faktor lain yang mempengaruhi tingkat
partisipasi politik masyarakat, media sosial sebagai bentuk kemajuan dalam
komunikasi politik dan kuantitas penggunaannya yang tinggi di Indonesia diharapkan
dapat menjadi salah satu variabel yang berkontribusi dalam mendongkrak partisipasi
pemilih (Alami, 2013).
Pelaksanaan kampanye di media sosial lebih mudah dipantau dari sisi
pengawasan, dibandingkan dengan pelaksanaan kampanye tatap muka. Namun, pihak
Bawaslu harus memiliki cara tersendiri untuk mengatasi pelanggaran kampanye di
media sosial. Adapun pelanggaran yang berkaitan dengan kampanye hitam di media
sosial, maka penanganannya menggunakan penindakan pidana dengan melibatkan
kepolisian. Sebagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi
kampanye hitam pada pelaksanaan Pemilukada, semua pihak harus mengambil peran,
baik KPU, Bawaslu, Pemerintah Daerah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Perguruan
Tinggi, dan penegak hukum (Polri) sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pihak
penyelenggara Pemilukada (KPU dan Bawaslu) perlu melakukan penyuluhan secara
intensif, sehingga masyarakat menjadi paham apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Demikian juga Pemerintah Daerah untuk menjaga kondusifitas daerah,
perlu melakukan penyuluhan ke tengah-tengah masyarakat di daerah masing-masing,
baik dilakukan secara mandiri atau menggandeng pihak lainya, yakni tokoh agama,
tokoh masyarakat dan Perguruan Tinggi dan lembaga lainnya.
Solusi permasalahan kampanye hitam melalui media sosial pada pelaksanaan
Pemilukada dapat ditanggulangi dengan baik, perlu adanya penanggulangan melalui
sarana hukum (hukum pidana) maupun sarana lain sehingga pelaksanaan Pemilukada
di Indonesia makin baik dan berkualitas sehingga menghasilkan pemimpin daerah
yang amanah (Endri, 2014). Penggunaan media sosial untuk melakukan kampanye
dapat dilakukan dengan memperhatikan kepatutan terhadap konten kampanye,
sehingga dapat menghindarkan dari kampanye hitam yang dapat menimbulkan
konflik di antara pasangan calon Pemilukada dan simpatisan.

Kesimpulan
Bentuk Kampanye Hitam melalui media sosial pada pelaksanaan Pemilukada
adalah dengan bentuk menjelek-jelekkan pasangan calon (paslon) lainnya yang
berimplikasi pada mencegah atau menghilangkan dukungan masyarakat terhadap
paslon lainnya. Kampanye hitam juga memberikan pendidikan politik yang buruk bagi
masyarakat dan dapat merugikan pihak yang dijatuhkan dan juga merugikan pelaku
kampanye hitam, karena perbuatan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana yang telah
diatur dalam Undang-Undang Pemilukada dan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Penggunaan media sosial untuk melakukan kampanye dapat
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan terhadap konten kampanye, sehingga
dapat menghindarkan dari kampanye hitam yang dapat menimbulkan konflik diantara
pasangan calon Pemilukada dan simpatisan.

Saran
Adanya fenomena tersebut perlu adanya penanggulangan serius melalui sarana
hukum (pidana) maupun sarana lain. Hal penting juga untuk pencegahan kampanye
hitam diperlukan peran dari Tim Kampanye masing-masing Pasangan calon dalam hal
himbauan yang tersetruktur untuk tidak melakukan praktik kampanye hitam tersebut.
Sehingga pelaksanaan Pemilukada sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia makin
baik dan berkualitas dan menghasilkan pemimpin daerah yang amanah. Selain itu,
diharapkan kepada Pihak penyelenggara Pemilukada (KPU dan Bawaslu) perlu
melakukan penyuluhan secara intensif, sehingga masyarakat menjadi paham apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan dalam penggunaan media sosial dalam pelaksanaan
Pemilukada.

Daftar Pustaka
Alami, A.N. (2013). Menakar Kekuatan Media Sosial Menjelang Pemilu 2014. Jurnal
Penelitian Politik, 10(1). 85-99;
Antar, V. (2014). Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis Dalam
Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media;
Beritagar.id., (2018). Ribuan akun di media sosial berpotensi kacaukan Pilkada, diakses
15 Januari 2019, dari https://beritagar.id/artikel/berita/ribuan-akun-di-media-
sosial-berpotensi-kacaukan-Pilkada;
Budiman, A. Kampanye Hitam Pemilu Presiden 2014, Info Singkat Pemerintahan
Dalam Negeri, 6(11). 17-20;
Budijanto, O.W. (2016). Pemenuhan Hak Politik Warga Negara Dalam Proses
Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 16(3). 291-
307;
Budiyono. (2015). Pengaturan Ulang Pengisian Jabatan Kepala Daerah Berdasarkan
Prinsip Kedaulatan Rakyat. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 7(2).135-148;
Budiyono. (2015). Fenomena Komunikasi Politik dalam Media Sosial, Jurnal IPTEK-
KOM, 17(2). 43-60.
Djanggih, H., & Hipan, N. (2018). Pertimbangan Hakim dalam Perkarapencemaran
Nama Baik Melalui Media Sosial (Kajian Putusan Nomor: 324/Pid./2014/PN.
SGM). Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 18(1). 93-102;
Djanggih, H., Hipan, N., & Hambali, A. R. (2018). Re-Evaluating The Law Enforcement
To Money Political Crime In Pemilukada In Banggai Regency. Arena
Hukum, 11(2). 209-225.
Dodu, A. B. D. (2017). Regulasi Pemilu Terkait Dengan Black Campaign Dan
Efektifitasnya Dalam Penindakan (Studi Kasus Pilkada Kabupaten Banggai
Tahun 2015). Jurnal Wacana Politik, 2(1). 52-60.
Endri. (2014). Penanggulangan Kejahatan Pidana Politik Dalam Undang-Undang
Pemilihan Umum (Pemilu). Jurnal Selat, 1(2). 110-119.
Hukum, F. UI. (2014). Permasalahan Black Campaign dalam Pemilihan Umum:
Wawancara dengan Wirdyaningsih, S.H., M.H., diakses 22 Pebruari 2018, dari
http://law.ui.ac.id/v3/permasalahan-black-campaign-dalam-pemilihan-umum-
wawancara-dengan-wirdyaningsih-s-h-m-h;
Fatimah, S. (2018). Kampanye sebagai Komunikasi Politik: Esensi dan Strategi dalam
Pemilu, Jurnal Resolusi, 1(1). 5-16;
Febriyan, B. (2017). Tindak Pidana Kampanye Hitam (Black Campaign) Dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Walikota Banda Aceh Tahun 2017.
Jurnal Ilmu Mahasiswa Bidang Hukum Pidana, 1(1). 54-62;
Galais, C., & Cardenal, A.S. (2017). When David And Goliath Campaign Online: The
Effects Of Digital Media Use During Electoral Campaigns On Vote For Small
Parties, Journal of Information Technology & Politics,14(4). 372-386;
Herdiana, Ganjar. 2018. KPU Ingatkan Aturan Soal Kampanye Pilgub Jabar, diunduh
dari http://jabar.kpu.go.id/2018/01/kpu-ingatkan-aturan-soal-kampanye-pilgub-
jabar/
Jati, W. R., (2016). Aktivisme Kelas Menengah Berbasis Media Sosial: Munculnya
Relawan dalam Pemilu 2014. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 20(2). 147-162;
Junaidi, et.al, (2015). Manfaat Menganalisis Pengaruh Sosial Media Facebook Terhadap
Kampanye Partai Politik Di Indonesia, SEMNASTEKNOMEDIA, 3(1). 23-28;
Holik, I. (2010). Teknologi Baru Media Dan Demokratisasi Di Indonesia, Jurnal Makna,
1(2). 41-57;
Ida, L. (2014). Election And Political Evil Ambition In Indonesia’s Reformasi Era.
International Journal of Politics and Good Governance, 5(5.4). 1-24;
Karlsen, R. (2009). Campaign Communication and the Internet: Party Strategy in the
2005 Norwegian Election Campaign, Journal of Elections, Public Opinion and
Parties, 19(2). 183-202;
Kristiyanto, E.N. (2017). Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di Indonesia:
Studi Di Batam". Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 17(1). 48-56;
Lim, M. (2014). Klik yang Tak Memantik: Aktivisme Media Sosial di Indonesia, Jurnal
Komunikasi Indonesia, 3(1). 35-49;
Ramadhani, F.M. (2018). Pelanggaran Kampanye Pemilihan Umum Perspektif Fikih
Jinâyah, Jurnal Al-Daulah, 5(1). 63-94;
Melva, W. (2013). Menggagas Amandemen UUD 1945 Dari Pemilukada. Jurnal
Dinamika Hukum, 13(1). 171-178;
Mulyadi, D. ((2018). Concurrent Regional Elections Phenomenon As a Political
Recruitment in Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 18(1). 87-92;
Munaf, Y., Chaidir, E., Syed Zakaria, S. Z., & Arifin, K. (2016). Implementation of direct
election: Regional head against legitimacy of the people's
sovereignty. Information (Japan), 19(6A). 1737-1743;
Prihatin, E.S. P. (2014). Politik Hukum Otonomi Daerah Tentang Pemilukada". Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, 43(1). 49-56;
Putri, N.A.D., & Adiputra, Y. S. (2017). Sosialisasi Kampanye Politik Melalui Media
Sosial Di Kota Tanjungpinang, DINAMISIA Jurnal Pengabdian Masyasarakat,
2(2). 90-97;
Rahardian, L. (2017). DPR dan KPU Sepakati Lima Aturan Jelang Pilkada 2018. diakses
10 Pebruari 2018 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170609141720-
32-220615/dpr-dan-kpu-sepakati-lima-aturan-jelang-Pilkada-2018;
Ramadhani, F.M. (2015). Pelanggaran Kampanye Pemilihan Umum Perspektif Fikih
Jinâyah". Jurnal Al-Daulah, 5(1). 64-94;
Respationo, H.M.S. (2013). Pemilihan Kepala Daerah Dalam Demokrasi Electoral".
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, 42(3). 355-361;
Riswandi. (2009). Komunikasi Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu;
Rohim, N. (2014). Gagasan Pemilukada Serentak dan Implikasinya Terhadap Pesta
Demokrasi Yang Efektif dan Efisen. Jurnal Naggroe, 3(3). 1-24;
Saleh, G. (2018). Kampanye Hitam Pilgub DKI 2017: Analisis Wacana Van Dijk pada
Meme di Media Sosial, Jurnal Studi Komunikasi, 2(2). 322-339;
Saraswati, R. (2014). Reorientasi Hukum Pemilukada Yang Mensejahterakan
Rakyatnya". Jurnal Dinamika Hukum, 14(2). 359-367;
Simarmata, S. (2014). Media Baru, Ruang Publik Baru, Dan Transformasi Komunikasi
Politik Di Indonesia, Jurnal Interact, 3(2). 18-36.
Subahnan. (2016). Penggunaan Gaya Bahasa Dalam Wacana Kampanye. WACANA:
Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran, 1(1). 82-94;
Sutanto, M. H. (2014). Propaganda Politik Calon Presiden Republik Indonesia 2014
-2019 (Analisis Isi Berita Kampanye Pemilihan Presiden Tahun 2014 Pada Harian
Kompas Edisi 4 Juni Sampai 5 Juli 2014)". Jurnal Humanity, 9(2). 38-46;
Turistiati, A.T. (2016). Fenomena Black Campaign Dalam Pemilihan Kepala Daerah
2015. Transparansi Jurnal Ilmu Adminstrasi, 8(2). 208-215;
Yusri, A.Y., & Aldin. Pengaruh Kampanye Negatif Dan Kampanye Hitam Terhadap
Pilihan Pemilih Pada Pemungutan Suara Ulang (Psu) Pemilihan Walikota Dan
Wakil Walikota Pekanbaru Tahun 2011. Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda,
11(17). 10-19;

Anda mungkin juga menyukai