Anda di halaman 1dari 13

MELIHAT LEBIH JAUH PENERAPAN EKSEKUSI DALAM PERADILAN

TATA USAHA NEGARA : ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Eksekusi Tata Usaha Negara

Oleh :

ADILVI BUDI PRADOTO (11000117120091)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Salah satu implementasi dari negara hukum adalah menempatkan
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yang melakukan pengawasan
terhadap tindakan hukum pemerintahan. Tidak hanya itu, adanya Peradilan
Tata Usaha Negara juga bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi
warganya yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya suatu tindakan hukum
pemerintahan berupa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh
Pejabat Tata Usaha Negara. Pelaksanaan terhadap putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara (selanjutnya akan disebut dengan PTUN) yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap oleh Pejabat Tata Usaha Negara
merupakan bentuk upaya dan perwujudan dalam rangka perlindungan kepada
warga masyarakat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara lahir sebagai dasar hukum berlakunya Peradilan Tata
Usaha Negara yang kemudian diamendemen menjadi Undang-Undang Nomor
9 tahun 2004 dan mengalami amendemen kedua menjadi Undang-Undang
Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan
sengketa antara Pemerintah dengan warganya, yaitu sengketa yang timbul
akibat diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan
masyarakat. Masyarakat yang merasa dirugikan diberikan kesempatann untuk
menyelesaikan sengketa melalui upaya administratif dan/atau jalur
pengadilan. Sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 48 ayat (2), Pengadilan
di lingkungan PTUN baru mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa TUN, jika seluruh upaya administratif yang
tersedia dalam peraturan perundangundangan yang bersangkutan telah
dipergunakan dan mendapat keputusan1 Apabila segala proses telah dilalui
oleh pihak yang bersangkutan mulai dari pengajuan gugatan hingga putusan,
maka hal yang paling penting adalah pelaksanaan dari putusan tersebut. hanya
putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat
dilaksanakan (in kracht van gewijsde)2 Suatu putusan dikatakan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap apabila pihak Penggugat dan Tergugat
telah menyatakan menerima putusan tersebut dan tidak mengajukan
permohonan pemeriksaan banding maupun kasasi. Namun hingga saat ini
masih banyak putusan yang tidak dapat dilaksanakan oleh tergugat secara
sukarela. Hal itu menyebabkan pihak yang menang tidak dapat memperoleh
hak-haknya. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin membahas
mengenai antara harapan dan kenyataan penerapan pelaksanaan putusan
hakim di Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang No. 5
tahun 1986 jo Undang-undang No. 9 tahun 2004 jo Undang-undang No. 51
tahun 2009.
2. Rumusan Masalah
A. Bagaimanakah pelaksanaan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap di Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang No. 5
tahun 1986 jo Undang-undang No. 9 tahun 2004 jo Undang-undang No.
51 tahun 2009 ?
B. Mengapa masih banyak terdapat putusan hakim dalam Peradilan Tata
Usaha Negara yang tidak dilaksanakan secara sukarela ?
C. Bagaimanakah sanksi administratif terhadap tergugat yang tidak
melaksanakan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dikaitkan
dengan Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan ?

1
R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara(Edisi Ketiga), (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
hlm 109
2
Ibid, hlm 233
BAB II

PENDAHULUAN

A. Pelaksanaan Putusan Hakim Yang Telah Berkekuatan Hukum


Tetap Di Peradilan Tata Usaha Negara
Suatu putusan pengadilan dikatakan mempunyai kekuatan
hukum tetap manakala putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap atau suatu putusan akhir (eind vonnis) yang terhadapnya
tidak diajukan upaya hukum oleh pihak yang merasa keberatan
dan/atau putusan kasasi di Mahkamah Agung sebagai lembaga
peradilantertinggi (supreme court) yang bertugas untuk
mengoreksi/mengevaluasi pertimbangan hukum (judex juris) putusan
pengadilan di bawahnya. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, putusan
yang telah memperoleh kekuatan mutlak itu mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Hal yang demikian, lebih dikenal dengan sebutan
dalam Bahasa latin resjudicata pro veritate habetur yang artinya
putusan yang pasti dengan sendirinya mempunyai kekuatan mengikat.3
Prosedur Pelaksanaan Putusan Hakim yang telah Berkekuatan
Hukum Tetap Pelaksanaan Putusan Hakim PTUN diatur dalam pasal
116 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51
Tahun 2009. Undang-undang Peradilan TUN yang pertama yaitu UU
No. 5 Tahun 1986. Awal munculnya undang-undang tersebut dalam
hal pelaksanaan putusan pada Pasal 116 mengutamakan kesadaran
pada diri pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan
pengadilan secara sukarela. Apabila pejabat yang bersangkutan tidak
mau melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela tidak ada
upaya lain yang dapat mengikat pejabat tersebut selain teguran dari
3
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004, Ghalia
Indonesia (Anggota IKAPI), Jakarta 2005, hlm. 99.
atasan pejabat dan Presiden RI sebagai pemegang jabatan tertinggi
(sistem hirarkis) untuk melaksanakan putusan Pengadilan TUN.
Perubahan pertama pada Pasal 116 dengan diterbitkannya UU No. 9
Tahun 2004. Undang-undang ini menghilangkan sistem hirarkis yang
ada dan menggantinya dengan sanksi upaya paksa dan/atau sanksi
administratif serta menambahkan media massa untuk mengumumkan
pejabat yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan. Undang-
undang No. 51 tahun 2009 merupakan perubahan kedua dari
Undangundang No. 5 tahun 1986. Dalam ketentuan Pasal 116 undang-
undang ini jika dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya
merupakan penggabungan antara dua undang-undang sebelumnya,
sehingga pada Pasal 116 terdapat pemberian sanksi upaya paksa,
sanksi administrative, pengumuman di media massa dan juga bantuan
dari presiden untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk
melaksanakan putusan pengadilan. Kemajuan yang ditunjukan oleh
undang-undang ini yaitu dengan adanya pengawasan dari lembaga
perwakilan rakyat.4
Mengenai praktik pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha
negara masih banyak Pejabat Pemerintah yang tidak melaksanakan
putusan tersebut secara sempurna dengan berbagai alasan. Namun
tidak semata-mata karena kurangnya kesadaran dari pejabat yang
bersangkutan namun karena telah berubahnya peraturan yang
mendasari sengketa tersebut dan juga bergantinya orang yang
menduduki jabatan itu.

4
M. Anjani, Lapon Tukan, A. Putriyanti. 2016. “Pelaksanaan Eksekusi Putusan Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Di Kota Semarang”.
Diponegoro Law Review Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 hlm 4
B. Sebab Dari Putusan Hakim Dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Tidak Dilaksanakan Secara Sukarela
Suatu putusan dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap apabila pihak Penggugat dan Tergugat telah menyatakan
menerima putusan tersebut dan tidak mengajukan permohonan
pemeriksaan banding maupun kasasi. Namun hingga saat ini masih
banyak putusan yang tidak dapat dilaksanakan oleh tergugat secara
sukarela. Hal itu menyebabkan pihak yang menang tidak dapat
memperoleh hak-haknya. Hal ini dikarenakan dalam pola pelaksanaan
putusan di PTUN, lebih menekankan kepada moral responsibility
(pertanggungjawaban moral) dan bukan kepada yudicial
responsibility). Pernyataan ini didasarkan kepada fakta bahwa
pelaksanaan Putusan PTUN, tidak diletakkan kepada sistem yang
berujung atau didukung dengan suatu penetrasi sebagaimana layaknya
pada peradilan perdata maupun pidana. Penegakan putusan PTUN
diletakkan kepada law awareness (kesadaran hukum) dari pejabat Tata
Usaha Negara
Mengenai praktik pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha
negara masih banyak Pejabat Pemerintah yang tidak melaksanakan
putusan tersebut secara sempurna dengan berbagai alasan. Namun
tidak semata-mata karena kurangnya kesadaran dari pejabat yang
bersangkutan namun karena telah berubahnya peraturan yang
mendasari sengketa tersebut dan juga bergantinya orang yang
menduduki jabatan itu.
Walaupun hal ini sudah diperbaharui sesuai dalam Undang-
undang No. 51 tahun 2009 Pasal 116 terdapat pemberian sanksi upaya
paksa, sanksi administrative, pengumuman di media massa dan juga
bantuan dari presiden untuk memerintahkan pejabat yang
bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan. Kemajuan
yang ditunjukan oleh undang-undang ini yaitu dengan adanya
pengawasan dari lembaga perwakilan rakyat. Dalam ketentuan Pasal
116 undang-undang ini jika dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya merupakan penggabungan antara dua undang-undang
sebelumnya, sehingga pada Pasal 116 terdapat pemberian sanksi upaya
paksa, sanksi administrative, pengumuman di media massa dan juga
bantuan dari presiden untuk memerintahkan pejabat yang
bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan. Kemajuan
yang ditunjukan oleh undang-undang ini yaitu dengan adanya
pengawasan dari lembaga perwakilan rakyat.
Namun alangkah lebih baik agar ada mekanisme sanksi yang
dibebankan kepada pejabat secara pribadi dan bukan secara institusi.
Seperti, pembebanan pembayaran uang paksa (dwangsom) kepada
pejabat secara pribadi melalui mekanisme pelaksanaan yang berlaku
dalam hukum acara perdata secara mutatis mutandis agar apabila
upaya paksa berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) tidak
dilaksanakan, maka dapat dilakukan penyitaan terhadap aset pribadi
pejabat dan/atau penjatuhan sanksi pidana bagi pejabat yang tidak
melaksanakan perintah hakim dengan menerapkan pasal mengenai
penghinaan terhadap badan peradilan (contemp of court) sehingga,
dengan demikianlah para pejabat akan berpikir ulang untuk melakukan
pengabaian terhadap putusan pengadilan, karena dirinya terancam
dipenjara
Munculnya Undang-undang Administrasi Pemerintahan
banyak mengatur mengenai segala hal yang berkaitan dengan tindakan
pejabat pemerintahan, terutama upaya paksa dan sanksi administratif
yang ada di UU PTUN. Namun yang disayangkan bahwa Peraturan
Pemerintah mengenai tata cara pelaksanaan untuk sanksi administratif
tersebut belum ada. Sehingga walaupun hakim PTUN mencantumkan
sanksi upaya paksa dan sanksi administratif dalam putusannya tetapi
tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada peraturan pelaksanaannya
C. Sanksi Administratif Terhadap Tergugat Yang Tidak
Melaksanakan Putusan Hakim Yang Berkekuatan Hukum Tetap
Terkait Dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan
Seperti diuraikan sebelumnya, masih banyak pejabat
pemerintahan yang tidak menjalankan putusan secara sukarela.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan mengatur tentang segala hal yang berkaitan dengan
tindakan pejabat pemerintahan. Undang-undang ini dibuat ditujukan
bagi pejabat pemerintah yang tidak patuh terhadap putusan pengadilan
TUN. Sehingga dalam undangundang ini diatur mengenai upaya paksa
dan sanksi administratif seperti yang tertera dalam pasal 116 UU No.
51 Tahun 2009. Namun dalam pelaksanaannya undnag-undang ini
belum dapat diterapkan secara sempurna dalam hal pemberian sanksi
kepada pejabat pemerintah yang bersalah karena belum ada peraturan
pemerintah yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan undang-
undang Administrasi Pemerintahan ini. Sehingga undang-undang ini
belum memiliki dampak efektif bagi Undang-undang PTUN dalam hal
pelaksanaan putusan pengadilan.
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua
UU PTUN ini pada Pasal 116, menggabungkan dua sistem
pelaksanaan putusan pengadilan dari undang-undang yang
sebelumnya. Sistem yang digunakan,pertama yaitu penggunaan unsur
paksaan berupa uang paksa, sanksi administratif dan diumumkan di
media massa, dan yang kedua yaitu dengan sistem hirarkis dimana
Ketua Pengadilan meminta atasan pejabat hingga Presiden untuk
memerintahkan pejabat yang bersangkutan melaksanakan putusan
pengadilan. Mengenai praktik pelaksanaan eksekusi dapat disimpulkan
bahwa memang masih ada tergugat yang tidak mau melaksanakan
putusan pengadilan. Ada faktor yang menjadi penghambat dalam
pelaksanaan, seperti telah bergantinya pejabat yang mengisi jabatan
yang sedang digugat, telah berubahnya peraturan yang mendasari
diterbitkannya obyek sengketa yang apabila tergugat tetap
memaksakan untuk melaksanakan putusan pengadilan maka akan
menimbulkan akibat hukum lain
Munculnya Undang-undang Administrasi Pemerintahan
mengatur mengenai segala hal yang berkaitan dengan tindakan pejabat
pemerintahan, terutama upaya paksa dan sanksi administratif yang ada
di UU PTUN. Namun yang disayangkan bahwa Peraturan Pemerintah
mengenai tata cara pelaksanaan untuk sanksi administratif tersebut
belum ada. Sehingga walaupun hakim PTUN mencantumkan sanksi
upaya paksa dan sanksi administratif dalam putusannya tetapi tidak
dapat dilaksanakan karena tidak ada peraturan pelaksanaannya.
Dalam Undang-undang administrasi pemerintahan yang akan
datang, perlu dicantumkan ketentuan pidana bagi pejabat yang tidak
menjalankan kewajiban hukumnya. Karena, yang berlaku saat ini,
tidak dapat diterima jika diatur mengenai kewajiban pejabat
pemerintahan, sedangkan tidak diatur lebih lanjut mengenai sanksi
yang akan dikenakan manakala mengabaikan kewajiban tersebut.
Padahal, pada setiap norma melekat unsur perintah (gebod), larangan
(verbod) dan kewajiban (mogen). Sehingga, pengenaan sanksi
terhadap setiap pengabaian pada norma-norma hukum tersebut
merupakan konsekuensi logis. Dengan demikian, suatu norma hukum
dapat ditaati dan mempunyai daya paksa sebagaimana dikatakan oleh
Utrecht bahwa, salah satu dasar ditaatinya suatu kaidah-kaidah hukum
adalah karena adanya paksaan/sanksi5
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Putusan pengadilan tata usaha negara bersifat mengikat umum
(orga omnes), maka kekuatan putusan pengadilan tata usaha negara
tersebut sama dengan kekuatan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, suatu putusan pengadilan tata usaha negara yang
berkekuatan hukum tetap mempunyai kekuatan sebagai berikut: 1)
kekuatan mengikat; 2) kekuatan pembuktian; dan 3) kekuatan
eksekutorial. Bagi pejabat pemerintahan yang tidak melaksanakan
putusan tata usaha negara yang berkekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde) menurut Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dapat dikenai sanksi: 1)
Membayar uang paksa (dwangsom) yang besarannya ditentukan dalam
putusan dan pembayarannya dibebankan kepada keuangan pemerintah
secara institusional, bukan keuangan pribadi pejabat yang
bersangkutan; 2) Dikenai sanksi administratif sedang berupa
pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi, pemberhentian sementara
dengan memperoleh hak-hak jabatan atau pemberhentian sementara
tanpa memperoleh hak-hak jabatan yang dijatuhkan oleh pejabat
atasan; dan/atau 3) Nama pejabat pemerintahan yang bersangkutan
diumumkan oleh panitera pengadilan tata usaha negara di media massa
(publikasi) tempat kedudukan tergugat atau di wilayah hukum
(yurisdiksi) pengadilan tata usaha negara yang mengadili perkara para

5
Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia-Cetakan Ke 11, Sinar
Harapan, Jakarta, 1989. hlm. 64.
pihak. Pengumuman tersebut dilaksanakan manakala pejabat tata
usaha negara yang dikenai kewajiban dalam putusan, tetap tidak
mengindahkan perintah ketua pengadilan tata usaha negara untuk
melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde) sebelum dijatuhkannya upaya paksa berupa pembayaran
uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif.
2. Saran
Untuk menjaga wibawa pengadilan tata usaha negara agar
putusan pengadilan tata usaha negara yang bersifat condemnatoir dan
mengikat umum (erga omnes) dipatuhi dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya oleh pejabat tata usaha maka harus ada mekanisme
sanksi yang dibebankan kepada pejabat secara pribadi dan bukan
secara institusi. Seperti, pembebanan pembayaran uang paksa kepada
pejabat secara pribadi melalui mekanisme pelaksanaan yang berlaku
dalam hukum acara perdata secara mutatis mutandis agar apabila
upaya paksa berupa pembayaran uang paksa tidak dilaksanakan, maka
dapat dilakukan penyitaan terhadap aset pribadi pejabat dan/atau
penjatuhan sanksi pidana bagi pejabat yang tidak melaksanakan
perintah hakim dengan menerapkan pasal mengenai penghinaan
terhadap badan peradilan Sehingga, dengan demikianlah para pejabat
akan berpikir ulang untuk melakukan pengabaian terhadap putusan
pengadilan, karena dirinya terancam dipenjara.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI)
bersama-sama dengan Presiden, perlu melakukan perubahan terhadap
Undang-undang Administrasi Pemerintahan dengan mencantumkan
sanksi pidana bagi pejabat pemerintahan yang mengabaikan atau
melalaikan kewajiban hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal Ilmiah


 Azhary, Muhammad Tahir. 1995 . Negara Hukum Indonesia. Jakarta : UI
Press
 Margaretha Rosa Anjani, Lapon Tukan Leonard, Ayu Putriyanti. 2016.
“Pelaksanaan Eksekusi Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Yang
Telah Berkekuatan Hukum Tetap Di Kota Semarang”. Diponegoro Law
Review Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
 Prodjohamidjojo, Martiman. 2005. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha
Negara dan UU PTUN 2004. Jakarta : Ghalia Indonesia.
 Utrecht dan Djindang, Moh. Saleh. 1989. Pengantar Dalam Hukum
Indonesia-Cetakan Ke 11. Jakarta : Sinar Harapan.
 Wiyono,R. 2014. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara (Edisi
Ketiga). Jakarta: Sinar Grafika.

Perundang-undangan

 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara


 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986
 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004
 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
 Undang-Undang Nomor 43 tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara
Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara

Anda mungkin juga menyukai