Sistem Akuntansi Syariah (Benar)
Sistem Akuntansi Syariah (Benar)
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Sistem keuangan syariah merupakan salah satu sistem yang digunakan dengan
menggunakan metode prinsip Islami dasar syariah sebagai acuannya, juga
menggunakan dasar hukum Islam sebagai pedoman.Guna sistem ini dapat
dilakukan untuk aktifitas.
pada lembaga keuangan syariah. Intinya, sistem keuangan memiliki tugas utama
yaitu mengalihkan dana (loanable funds) yang berasal dari nasabah ke pengguna
dana (Mengenal Sistem Akuntansi Syariah, n.d.).
Menurut (Nurhayati & Wasilah, 2015) Dalam Islam memang ada konsep
untuk memelihara kekayaan agar bisa dimiliki manusia dengan baik dan juga bisa
digunakan secara bermanfaat, tentunya banyak orang yang memang
memanfaatkan uang untuk hal yang tidak baik..
Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria, yaitu diperoleh dengan
cara yang sah dan benar (legal and fair), serta dipergunakan untuk hal yang
baik-baik dijalan Allah. Allah SWT adalah pemilik mutlak segala sesuatu
yang ada didunia ini (QS 57:2), sedangkan manusia adalah wakil (khalifah)
Allah dimuka bumi ini yang diberi kekuasaan dan mengelolanya. Sudah
seharusnya, sebagaipihak yang diberi amanah (titipan), pengelolaan harta
titipan tersebut disesuiakan dengan keinginan dari pemilik mutlak atas harta
kekayaan yaitu Allah SWT. Untuk itu, Allah telah menetapkan ketentuan
syariah sebagai pedoman bagi manusia dalam memperoleh dan
membelanjakan/menggunakan harta kekayaan tersebut, dan di hari akhir
nanti manusia akan diminta pertanggungjawabannya.
Menurut (Nurhayati & Wasilah, 2015) Dalam hukum syariah ada yang
disebut akad. Akad adalah pertalian antara penyerahan atau ijab dan
penemrimaan atau qabul yang dibenarkan menurut Islam. Menurut Abdul Razak
Al Sanhuri dalam Nadhariyatul aqdi, akad adalah kesepakatan dua belah pihak
atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum yaitu konsekuensi hak dan
kewajiban yang mengikat pihak tertentu.
2.4.2.1 Tadlis
Tadlis adalah transaksi yang mengandung suatu hal
pokok yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (unknown to
one party). Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari 4 hal pokok
dalam jual beli berikut :
a. Kuantitas.
Salah satu pihak (penjual) misalnya mengurangi takaran
barang yang telah disepakati antara penjual dan pembeli.
Pengurangan takaran dalam hal ini hanya diketahui oleh
si penjual. Sekiranya pembeli mengetahui adanya
pengurangan tersebut, dapat dipastikan pembeli tidak
akan rela dengan jual beli yang telah dilakukan.
b. Kualitas.
Dalam hal kualitas, misalnya salah satu pihak (penjual)
mengetahui bahwa barang yang dijual memiliki cacat
yang sekiranya diketahui oleh pembeli, maka harga jual
barang akan berkurang sesuai dengan nilai barang
sebenarnya. Dalam hal ini, penjual sengaja tidak
memberitahu cacat barang tersebut agar dapat menjual
dengan harga tinggi atau lebih tinggi dari sebenarnya.
Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu,
maka ia tidak akan rela terhadap transaksi tersebut.
c. Harga.
Praktek tadlis pada harga dilakukan penjual dengan
memanfaatkan ketidaktahuan pembeli tentang harga
pasar, sehingga dapat menjual produknya denga harga
tinggi. Sekiranya pembeli mengetahui bahwa harga
tinggi tersebut hanya berlaku pada dirinya sedang orang
lain tidak, hal ini dapat mengakibatkan rusaknya
kerelaan pembeli atas transaksi yang sudah dilakukan.
d. Waktu penyerahan.
Praktik tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual
dengan menutupi kemampuan ia dalam menyerahkan
barang yang sebenarnya lebih lambat dari yang ia
janjikan. Contohnya, janji penjual bisa menyelesaikan
proyek dalam waktu 1 bulan, padahal penjual tersebut
memahami bahwa pada waktu yang disepakati tersebut
apa yang dijanjikan tidak akan dapat dipenuhi. Kondisi
ini juga bertentangan dengan prinsip kerelaan dalam
muamalah, maka disini pembeli tidak akan mau
bertransaksi dengan penjual tersebut.
2.4.2.2 Gharar.
Transaksi gharar memiliki kemiripan denga tadlis.
Dalam tadlis, ketiadaan informasi terjadi pada salah satu pihak,
sedangkan dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua
belah pihak yang bertransaksi jual beli. Gharar dapat terjadi
pada salah satu dari empat hal pokok dalam jual beli berikut :
a. Kuantitas.
Misalnya adalah pembelian seluruh hasil panen ketika
pohon atau tanaman belum menunjukkan hasilnya.
Dalam hal ini, saat jual beli baik penjual atau pembeli
tidak tahu berapa kuantitas hasil panen yang akan
diperjual – belikan. Nilai jual hasil panen bisa lebih
tinggi dan bisa lebih rendah dibanding nilai yang
diserahterimakan. Sekiranya hasil panen lebih tinggi dari
nilai uang yang diberikan pembeli, maka pembeli kan
menjadi pihak yang di untugkan, sedangkan penjual
tidak dapat menikmati keberhasilan panennya. Dan
begitu sebaliknya.
b. Kualitas.
Misalnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut
induknya. Kedua belah pihak baik pembeli maupun
penjual tidak mengetahui bagaimana kualitas sapi itu
nantinya ketika lahir. Dalam hal ini, sekiranya sapi yang
dilahirkan berkualitas baik, maka pembeli akan
diuntungkan, dan sebaliknya akan menjadi pihak yang
dirugikan apabila sapi yang dilahirkan nantinya adalah
sapi dengan kualitas buruk.
c. Harga.
Dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti
mengenai harga yang dipakai dalam jual beli yang
disepakati.
d. Waktu penyerahan.
Waktu penyerahan dapat tejadi jika kedua belah pihak
tidak tahu kapan barang akan diserah terimakan.
2.4.2.3 Ikhtikar
Ikhtikar merupakan bentuk lain dari transaksi jyal beli yang
dilarang oleh syariah Islam. Ikhtikar adalah mengupayakan
adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun. Pelarangan
tindakan ini, selain memiliki dalil naqli, juga didasarkan atas
kaidah fiqih terkait dengan keharusan memelihara nilai
keadilan serta menghindari unsur – unsur penganiayaan dan
unsur – unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
2.4.2.4 Najasy
Najasy adalah tindakan menciptakan permintaan palsu,
seolah – olah banyak permintaan terhadap suatu produk,
sehingga harga jual produk akan naik. Upaya menciptakan
permintaan palsu antara lain dengan :
2.4.2.6 Riba
Menurut (Aminah, 2018) Secara bahasa, riba bermakna
tambahan, tumbuh, atau membesar. Bahasa riba yang banyak
digunakan dalam literature ekonomi syariah adalah definisi
yang dirumuskan oleh Imam Sarakhsi dalam Mabsut juz XII,
hlm. 109 sebagai berikut :
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi
bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah
atas penambahan tersebut.”
Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam dan
bersinggunggan langsung dengan praktik perbankan
konvensional. Pada akhir tahun 2003, MUI secara resmi
menfatwakan haramnya bunga bank konvensional. Hal ini
karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas
pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi
pinjam – meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan
menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia
(Ja’far Ash – Shadiq dari kalangan Syiah).
Sumber hukum tentang riba didasari pada Q.S. Al-Baqarah
278-279 dengan terjemahan sebagai berikut :
“Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang – orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi 2, yaitu :
1. Riba fadhl
Yaitu riba yang timbul karena pertukaran antar barang ribawi
yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda.
2. Riba nasi’ah
Yaitu riba yang timbul karena penangguhan penyerahan atau
penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang
lainnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA