Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sekarang ini pengelolaan keuangan syariah sudah tumbuh lumayan pesat di
Indonesia, terlihat dari banyaknya lembaga keuangan yang mengaplikasikan
prinsip-prinsip syariah pada perusahaanya. Contoh lembaga keuangan syariah
seperti, Bank BNI Syariah, BRI Syariah, Mandiri Syariah, Bank Muamalat, dan
sebagainya. Bahkan seiring perkembangannya, konsep keuangan syariah ini juga
sudah mulai bertumbuh dalam kalangan non-muslim, negara non-muslim seperti
Eropa dan Amerika sudah mulai mengembangkan Bank Syariah. Pengelolaan
yang diterapkan oleh keuangan syariah harus berdasarkan pada prinsip-prinsip
syariah Islam.
Prinsip dasar syariah yang digunakan oleh sistem keuangan ini berasal dari
aturan yang sudah ditetapkan pada Al Qur’an dan juga sunah yang dipercaya oleh
agama Islam.Larangan yang dilakukan pada sistem keuangan syariah yaitu
melarang adanya riba, perjudian, monopoli, penipuan, gharar, penimbunan barang
dll.Oleh karena itu, segala aktifitas keuangan pada sistem ini harus sesuai dengan
prinsip syariah sebagaimana sudah diatur melalui Al Qur’an dan sunah.
Sistem keuangan syariah merupakan salah satu sistem yang digunakan dengan
menggunakan metode prinsip Islami dasar syariah sebagai acuannya, juga
menggunakan dasar hukum Islam sebagai pedoman. Guna sistem ini dapat
dilakukan untuk aktifitas pada lembaga keuangan syariah. Intinya, sistem
keuangan memiliki tugas utama yaitu mengalihkan dana (loanable funds) yang
berasal dari nasabah ke pengguna dana.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan sistem keuangan syariah?
2. Apa yang dimaksud konsep memelihara harta kekayaan?
3. Apa yang dimaksud akad / kontrak / transaksi?
4. Apa yang dimaksud transaksi yang dilarang?
5. Apa yang dimaksud prinsip sistem keuangan syariah?
6. Apa yang dimaksud instrumen keuangan syariah?
1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sistem keuangan Syariah.


2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud konsep memelihara harta kekayaan.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud akad/kontrak/transaksi.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud transaksi yang dilarang.
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud prinsip sistem keuangan Syariah.
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud instrument keuangan Syariah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SISTEM KEUANGAN SYARIAH

Sistem keuangan syariah merupakan salah satu sistem yang digunakan dengan
menggunakan metode prinsip Islami dasar syariah sebagai acuannya, juga
menggunakan dasar hukum Islam sebagai pedoman.Guna sistem ini dapat
dilakukan untuk aktifitas.
pada lembaga keuangan syariah. Intinya, sistem keuangan memiliki tugas utama
yaitu mengalihkan dana (loanable funds) yang berasal dari nasabah ke pengguna
dana (Mengenal Sistem Akuntansi Syariah, n.d.).

2.2 KONSEP MEMELIHARA HARTA

Menurut (Nurhayati & Wasilah, 2015) Dalam Islam memang ada konsep
untuk memelihara kekayaan agar bisa dimiliki manusia dengan baik dan juga bisa
digunakan secara bermanfaat, tentunya banyak orang yang memang
memanfaatkan uang untuk hal yang tidak baik..

2.2.1 Anjuran Bekerja atau Berniaga

Islam menganjuran manusia untuk bekerja dan juga melakukan hal


yang memang dianggap baik, seperti berniaga dan juga bekerja. Menurut
Rasulullah SAW, bagi mereka yang lebih baik adalah yang memperoleh
hasil uang dari bekerja. Selain itu, mereka juga yang tidak malas dan juga
tidak meminta pada orang lain. Manusia memerlukan harta kekayaan
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk untuk
memenuhi sebagian perintah Allah seperti infak, zakat, pergi haji, perang
(jihad) dan sebagainya.

2.2.2 Konsep Pemilikan

Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria, yaitu diperoleh dengan
cara yang sah dan benar (legal and fair), serta dipergunakan untuk hal yang
baik-baik dijalan Allah. Allah SWT adalah pemilik mutlak segala sesuatu
yang ada didunia ini (QS 57:2), sedangkan manusia adalah wakil (khalifah)
Allah dimuka bumi ini yang diberi kekuasaan dan mengelolanya. Sudah
seharusnya, sebagaipihak yang diberi amanah (titipan), pengelolaan harta
titipan tersebut disesuiakan dengan keinginan dari pemilik mutlak atas harta
kekayaan yaitu Allah SWT. Untuk itu, Allah telah menetapkan ketentuan
syariah sebagai pedoman bagi manusia dalam memperoleh dan
membelanjakan/menggunakan harta kekayaan tersebut, dan di hari akhir
nanti manusia akan diminta pertanggungjawabannya.

Jadi menurut islam, kepemilikan harta kekayaaan pada manusia terbata


pada kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup didunia, dan bukan
kepemilikan secara mutlak. Disaat meninggal kepemilikan tersebut
berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan
syariah

2.2.3 Penggunaan dan Pendistribusian Harta

Dalam penggunaan harta, manusia tidak boleh mengabaikan


kebutuhan didunia, namun disisi lain juga harus cerdas dalam menggunkan
hartanya untuk mencari pahala akhirat

Ketentuan syariah berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain :

a. Tidak boros dan tidak kikir.

b. Memberi Infak dan shadaqah.

c. Membayar zakat sesuai dengan ketentuan.

d. Memberi pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan).

e. Meringankan kesulitan orang yang berutang.

2.2.4 Perolehan Harta

Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam


kategori ibadah muamalah (mengatur hubungan manusia dengab manusia).
Kaidah fiqih dari muamalah adalah semua halal dan boleh dilakukan
kecuali yang diharamkan / dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunah. Harta
dikatakan halal dan baik apabila niatnya benar, tujuannya benar dan cara
atau sarana untuk memperolehnya juga benar, sesuai dengan rambu-rambu
yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an a-sunah.

2.3 AKAD / KONTRAK / TRANSAKSI

Menurut (Nurhayati & Wasilah, 2015) Dalam hukum syariah ada yang
disebut akad. Akad adalah pertalian antara penyerahan atau ijab dan
penemrimaan atau qabul yang dibenarkan menurut Islam. Menurut Abdul Razak
Al Sanhuri dalam Nadhariyatul aqdi, akad adalah kesepakatan dua belah pihak
atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum yaitu konsekuensi hak dan
kewajiban yang mengikat pihak tertentu.

2.3.1 Jenis Akad

2.3.1.1 Akad Tabarru

Akad Tabarru adalah perjanjian yang merupakan transaksi


yang tidak ditujukan untuk laba, atau bisa disebut transaksi
nirlaba. Dimana tujuan ini memang untuk tolong menolong
karena ingin berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru siapa yang
berbuat kebaikan tersebut tidak berhak memberikan imbalan akan
mengharapkan imbalan dari Allah SWT.

Bentuk akad tabarru terbagi menjadi tiga, yakni :

 Meminjamkan uang : ketika meminjamkan uang anda


tidak boleh melebihkan pembayaran atas pinjaman
yang diberikan karena kelebihan itu masuknya menjadi
riba.
 Meminjamkan jasa merupakan memberikan keahlian
atau keterampilan.
 Memberikan sesuatu, sedangkan ada juga akad yang
bisa dimanfaatkan dengan memberikan sesuatu
misalnya ilmu baik umum maupun agama, dan juga
memberikan sesuatu secara sukarela.

2.3.1.2 Akad Tijarah


Akad tijarah adalah akad yang dilakukan dengan tujuan
memperoleh keuntungan, dimana keuntungan ini memang harus
ada rukun dan syaratnya. Dalam transaksi untuk mendapat
keuntungan ada aturan tertentu yang dimiliki, seperti adanya ijab
qabul atau kesepakatan antara dua pihak baik transaksi maupun
keuntungannya, melakukan transaksi yang menguntungkan namun
tidak memaksa pihak lain atau membohongi pihal lainnya.

2.3.2 Rukun dan Syarat Akad

Rukun dan syarat sahnya suatu akad ada 3 (tiga), yaitu:

a. Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad harus memenuhi


syarat yaitu orang-orang yang merdeka, mukalaf dan orang yang
sehat akalnya

b. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan


dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah
barang dagangan, objek mudharabah dan musyarakah adalah
modal dan kerja, objek sewa-menyewa adalah manfaat atas barang
yang disewakan dan seterusnya

c. Ijab Kabul merupakan kesepakatan dari pelaku dan menunjukkan


mereka saling rida. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah satu
pihak yang terpaksa melakukannya (QS 4:29), dan oleh karenanya
akad dapat menjadi halal. Dengan demikian bila terdapat penipuan
(tadlis), paksaan (ikhrah) atau terjadi kesesuaian objek akad karena
kesemuanya ini dapat menimbulakan ketidakselaan salah satu
pihak maka akad dapat menjadi batal walaupun ijab kabul telah
dilaksanakan.

2.4 TRANSAKSI YANG DILARANG

2.4.1 Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa


yang diharamkan

Menurut (Rizal, Martawireja, & Abdurahim, 2014) Larangan


terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang
diharamkan diantarannya adalah meminum khamar dan menggunakan
bangkai atau hewan yang dilarang seperti babi, binatang bertaring
untuk dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Alquran dan Sunah Nabi
SAW juga secara eksplisit dilarang dilakukannya berbagai jenis jasa
atau tindakan, antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan aurat,
merusak akidah, menganiaya orang lain, dan sebagainya.

Bagi industry perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi


yang haram zatnya diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan
pembiayaan yang terkait dengan aktivitas pengadaan jasa, produksi
makanan, minuman dan bahan konsumsi lain yang diharamkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pemberian pembiayaan, bank
syariah dituntut untuk selalu mamastikan kehalalan jenis usaha yang
dibantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan demikian, pada
suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha
yang bergerak di peternakan babi, minuman keras, ataupun bisnis
pornografi dan lainnya yang diharamkan.

2.4.2 Larangan terhadap transaksi yang diharamkan system dan


prosedur perolehan keuntungannya.

Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama Islam


juga melarang transaksi yang diharamkan system dan prosedur
perolehan keuntungan. Beberapa hal yang masuk kategori transaksi
yang diharamkan karena system dan prosedur perolehan keuntungan
tersebut adalah :

1. Tadlis (ketidaktahuan satu pihak).


2. Gharar (ketidaktahuan kedua pihak).
3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam pasokan).
4. Bai’najasy (rekayasa pasar dalam pasokan).
5. Maysir (judi)
6. Riba.

2.4.2.1 Tadlis
Tadlis adalah transaksi yang mengandung suatu hal
pokok yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (unknown to
one party). Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari 4 hal pokok
dalam jual beli berikut :
a. Kuantitas.
Salah satu pihak (penjual) misalnya mengurangi takaran
barang yang telah disepakati antara penjual dan pembeli.
Pengurangan takaran dalam hal ini hanya diketahui oleh
si penjual. Sekiranya pembeli mengetahui adanya
pengurangan tersebut, dapat dipastikan pembeli tidak
akan rela dengan jual beli yang telah dilakukan.
b. Kualitas.
Dalam hal kualitas, misalnya salah satu pihak (penjual)
mengetahui bahwa barang yang dijual memiliki cacat
yang sekiranya diketahui oleh pembeli, maka harga jual
barang akan berkurang sesuai dengan nilai barang
sebenarnya. Dalam hal ini, penjual sengaja tidak
memberitahu cacat barang tersebut agar dapat menjual
dengan harga tinggi atau lebih tinggi dari sebenarnya.
Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu,
maka ia tidak akan rela terhadap transaksi tersebut.
c. Harga.
Praktek tadlis pada harga dilakukan penjual dengan
memanfaatkan ketidaktahuan pembeli tentang harga
pasar, sehingga dapat menjual produknya denga harga
tinggi. Sekiranya pembeli mengetahui bahwa harga
tinggi tersebut hanya berlaku pada dirinya sedang orang
lain tidak, hal ini dapat mengakibatkan rusaknya
kerelaan pembeli atas transaksi yang sudah dilakukan.
d. Waktu penyerahan.
Praktik tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual
dengan menutupi kemampuan ia dalam menyerahkan
barang yang sebenarnya lebih lambat dari yang ia
janjikan. Contohnya, janji penjual bisa menyelesaikan
proyek dalam waktu 1 bulan, padahal penjual tersebut
memahami bahwa pada waktu yang disepakati tersebut
apa yang dijanjikan tidak akan dapat dipenuhi. Kondisi
ini juga bertentangan dengan prinsip kerelaan dalam
muamalah, maka disini pembeli tidak akan mau
bertransaksi dengan penjual tersebut.

2.4.2.2 Gharar.
Transaksi gharar memiliki kemiripan denga tadlis.
Dalam tadlis, ketiadaan informasi terjadi pada salah satu pihak,
sedangkan dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua
belah pihak yang bertransaksi jual beli. Gharar dapat terjadi
pada salah satu dari empat hal pokok dalam jual beli berikut :
a. Kuantitas.
Misalnya adalah pembelian seluruh hasil panen ketika
pohon atau tanaman belum menunjukkan hasilnya.
Dalam hal ini, saat jual beli baik penjual atau pembeli
tidak tahu berapa kuantitas hasil panen yang akan
diperjual – belikan. Nilai jual hasil panen bisa lebih
tinggi dan bisa lebih rendah dibanding nilai yang
diserahterimakan. Sekiranya hasil panen lebih tinggi dari
nilai uang yang diberikan pembeli, maka pembeli kan
menjadi pihak yang di untugkan, sedangkan penjual
tidak dapat menikmati keberhasilan panennya. Dan
begitu sebaliknya.
b. Kualitas.
Misalnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut
induknya. Kedua belah pihak baik pembeli maupun
penjual tidak mengetahui bagaimana kualitas sapi itu
nantinya ketika lahir. Dalam hal ini, sekiranya sapi yang
dilahirkan berkualitas baik, maka pembeli akan
diuntungkan, dan sebaliknya akan menjadi pihak yang
dirugikan apabila sapi yang dilahirkan nantinya adalah
sapi dengan kualitas buruk.
c. Harga.
Dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti
mengenai harga yang dipakai dalam jual beli yang
disepakati.
d. Waktu penyerahan.
Waktu penyerahan dapat tejadi jika kedua belah pihak
tidak tahu kapan barang akan diserah terimakan.
2.4.2.3 Ikhtikar
Ikhtikar merupakan bentuk lain dari transaksi jyal beli yang
dilarang oleh syariah Islam. Ikhtikar adalah mengupayakan
adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun. Pelarangan
tindakan ini, selain memiliki dalil naqli, juga didasarkan atas
kaidah fiqih terkait dengan keharusan memelihara nilai
keadilan serta menghindari unsur – unsur penganiayaan dan
unsur – unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
2.4.2.4 Najasy
Najasy adalah tindakan menciptakan permintaan palsu,
seolah – olah banyak permintaan terhadap suatu produk,
sehingga harga jual produk akan naik. Upaya menciptakan
permintaan palsu antara lain dengan :

a. Penyebaran isu yang dapat menarik orang lain untuk


membeli barang.
b. Melakukan order pembelian semu untuk memunculkan
efek psikologis orang lain untuk membeli dan bersaing
dalam harga.
c. Melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta
sentiment pasar. Bila harga sudah naik sampai level yang
diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi
ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah
dibeli.
2.4.2.5 Maysir.
Ulama dan fuqaha mendifinisikan maysir (judi atau
gambling) sebagai sebuah permainan dimana satu pihak akan
memperoleh keuntungan, sementara pihak lainnya akan
menderita kerugian (Ibnu Qudama : Al Mughni, 13/408).
Contoh penerapan larangan maysir pada keuangan syariah
adalah larangan untuk memberikan pembiayaan pada bisnis
yang mengandung unsur judi.

2.4.2.6 Riba
Menurut (Aminah, 2018) Secara bahasa, riba bermakna
tambahan, tumbuh, atau membesar. Bahasa riba yang banyak
digunakan dalam literature ekonomi syariah adalah definisi
yang dirumuskan oleh Imam Sarakhsi dalam Mabsut juz XII,
hlm. 109 sebagai berikut :
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi
bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah
atas penambahan tersebut.”
Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam dan
bersinggunggan langsung dengan praktik perbankan
konvensional. Pada akhir tahun 2003, MUI secara resmi
menfatwakan haramnya bunga bank konvensional. Hal ini
karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas
pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi
pinjam – meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan
menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia
(Ja’far Ash – Shadiq dari kalangan Syiah).
Sumber hukum tentang riba didasari pada Q.S. Al-Baqarah
278-279 dengan terjemahan sebagai berikut :
“Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang – orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi 2, yaitu :
1. Riba fadhl
Yaitu riba yang timbul karena pertukaran antar barang ribawi
yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda.
2. Riba nasi’ah
Yaitu riba yang timbul karena penangguhan penyerahan atau
penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang
lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa hukum riba berlaku pada transaksi


antar barang ribawi dengan jenis yang sama. Barang ribawi
dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu :

1. Kelompok mata uang.


2. Kelompok makanan pokok.

Perbedaan Riba dan jual beli

no Jual beli Riba


1 Dihalalkan Allah SWT Diharamkan Allah SWT
2 Harus ada pertukaran barang Tidak ada pertukaran
atau manfaat yang diberikan barang dan kentungan /
sehingga ada keuntungan / manfaat hanya diperoleh
manfaat yang diperoleh oleh penjual
pembeli atau penjua.
3 Karena ada yang ditukarkan, Tidak ada beban yang
harus ada beban yang ditanggung oleh penjual
ditanggung oleh penjual
4 Memiliki risiko untung rugi,Tidak memiliki risiko
sehingga diperlukan kerja / sehingga tidak
usaha, kesungguhan dan diperlukan kerja / usaha,
keahlian kesungguhan dan
keahlian
Berdasarkan perbedaan tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa jual beli diperbolehkan karena ada ‘iwad
(pengganti / penyeimbang) yang menyebabkan penjual boleh
mengambil tambahan sebagai keuntungan. ‘Iwad tersebut dapat
berupa :
a. Usaha yang harus dilakukan dalam rangka menambah nilai
dari barang / jasa
b. Risiko dalam menjalankan usaha
c. Beban yang harus ditanggung terkait dengan peengadaan
barang atau jasa

Tanpa adanya iwad tersebut, maka jika ada tambahan


yang diterima maka hal tersebut adalah ilat riba. Ilat riba
termasuk factor waktu dimana jika waktu dianggap satu -
satunya factor yang dijadikan dasar untuk menerima tambahan
keuntungan. Padahal dengan adanya waktu saja, tanpa adanya
orang-orang yang menjalankan usaha yang bisa saja untung
atau rugi, maka tidak mungkin dapat menerima tambahan
keuntungan.

2.4.3 Larangan terhadap transaksi yang tidak sah akadnya.


Akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan
keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen
tertentu yang disyariatkan. Hukum fikih menyatakan bahwa akad yang
sah harus dipenuhi, sedang akad yang tidak sah tidak boleh dipenuhi.
Q.S Al-Maidah (5):2
“Hai orang yang beriman. Penuhilah akad – akad itu…”
Dari penjelan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keabsahan suatu
transaksi haruslah memenuhi rukun – rukun akad. Adapun rukun –
rukun akad adalah :
1. Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad.
2. Adanya sesuatu yang diikat dengan akad, yakni barang yang
dijual dalam akad jual beli atau sesuatu yang disewakan dalam
akad sewa dan sejenisnya.
3. Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah terima (ijab
kabul).

Akad tidak boleh mengandung unsure ta’alluq dan unsure


dua akad untuk satu transaksi (two in one). Ta’alluq adalah dua
akad yang saling berkaitan, dimana berlakunya akad 1 bergantung
pada akad 2. Transaki dua akad untuk satu transaksi juga tidak
dibenarkan. Hal ini disebabkan karena dapat menimbulkan
ketidakpastian terhadap konsekuensi dari akad.(Sistem Keuangan
Syariah, n.d.)

2.5 PRINSIP SISTEM KEUANGAN SYARIAH

Praktik sistem keuangan syariah telah dilakukan sejak kejayaan


Islam.Akan tetapi, dikarenakan semakin melemahnya sistem kekhalifahan maka
praktik sistem keuangan syariah tersebut digantikan oleh sistem perbankan barat.
Sistem tersebut mendapat kritikan dari para ahli fiqh bahwa sistem tersebut
menyalahi aturan syariah mengenai riba dan berujung pada keruntuhan kekhalifan
Islam. Pada tahun 1970-an, konsep sistem keuangan syariah dimulai dengan
pengembangan konsep ekonomi Islam. Berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunnah,
prinsip sistem keuangan Islam adalah sebagai berikut :

2.5.1 Larangan Riba

Riba didefinisikan sebagai “kelebihan” atas sesuatu akibat penjualan


atau pinjaman. Riba merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial,
persamaan, dan hak atas barang. Sistem riba hanya menguntungkan para
pemberi pinjaman dengan membebani penetapan keuntungan yang diperoleh
pemberi pinjaman di awal perjanjian. Padahal “untung” dapat diketahui
setelah berlalunya waktu bukan hasil penetapan di muka.

2.5.2 Pembagian Risiko

Risiko merupakan konsekuensi dari adanya larangan riba dalam suatu


sistem kerja sama antara pihak yang terlibat. Risiko yang timbul dari aktivitas
keuangan tidak hanya ditanggung oleh penerima modal tetapi juga pemberi
modal. Pihak yang terlibat tersebut harus saling berbagi risiko sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati.

2.5.3 Uang sebagai Modal Potensial

Dalam Islam, uang tidak diperbolehkan apabila dianggap sebagai


komoditas yaitu uang dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan
barang yang dijadikan sebagai objek transaksi untuk memperoleh keuntungan.
Sistem keuangan Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal yaitu
uang bersifat produktif, dapat menghasilkan barang atau jasa bersamaan
dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh keuntungan.

2.5.4 Larangan Spekulatif

Hal ini selaras dengan larangan transaksi yang memiliki tingkat


ketidakpastian yang sangat tinggi, misalnya seperti judi.

2.5.5 Kontrak / Perjanjian

Dengan adanya perjanjian yang disepakati di awal oleh pihka - pihak


yang terlibat dapat mengurangi risiko atas informasi yang asimetri atau
timbulnya moral hazard.

2.5.6 Aktivitas Usaha harus Sesuai Syariah

Usaha yang dilakukan merupakan kegiatan yang diperbolehkan


menurut syariah, seperti tidak melakukan jual-beli minuman keras atau
mendirikan usaha peternakan babi.

Oleh karena itu, prinsip sistem keuangan syariah berdasarkan prinsip


sebagai berikut :
1. Rela sama rela (antaraddim minkum).
2. Tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhlimuna wa la
tuzhlamun).
3. Hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi al dhaman).
4. Untung muncul bersama risiko (al ghunmu bi al ghurmi).

Dari prinsip sistem keuangan tersebut, maka muncul dan berkembang


instrumen-Instrumen keuangan syariah terkait dengan kegiatan investasi
maupun jual - beli sesuai dengan ketentuan syariah. Hal ini membantu pelaku
ekonomi dalam memahami berbagai produk keuangan syariah dan ketentuan-
ketentuan syariah dari setiap produk keuangan tersebut.

2.6 INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH

Menurut (Nurhayati & Wasilah, 2015) Instrumen keuangan syariah dapat


dikelompokkan sebagai berikut :

2.6.1 Akad Investasi. Kelompok akad ini adalah sebagai berikut :

a. Mudharabah, yaitu bentuk kerjasama anatar dua pihak atau


lebih, dimana pemilik modal mempercayakan sejumlah modal
kepada pengelola untuk melakukan kegiatan usaha dengan
nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut
kesepakatan dimuka, sedangkan apabila terjadi kerugian hanya
ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsur
kesengajaan atau kelelaian oleh mudharib. (Dr.Kasmir, 2012)

b. Musyarakah adalah akad kerja sama yang terjadi anatara


pemilik modal untuk menggabungkan modal dan melakukan
usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah
bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi
modal (Dr.Kasmir, 2012).

c. Sukuk (obligasi syariah), merupakan surat utang sesuai dengan


prinsip Syariah.

d. Saham syariah produknya harus sesuai Syariah.


2.6.2 Akad jual beli / sewa - menyewa. Kelompok akad ini adalah
sebagai berikut :

a. Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan


menyatakan biaya perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati antara penjual dan pembeli.

b. Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang akan


diperjualbelikan belum ada.

c. Istishna’ memiliki sistem yang mirip dengan salam, namun


dalam istishna’ pembayaran dapat dilakukan dimuka.

d. Ijarah adalah akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa


dan penyewa untuk mendapatkan manfaat atas objek sewa
yang disewakan.

2.6.3 Akad lainnya

a. Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta


lainnya.

b. Wadiah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai


uang / barang kepada pihak yang menerima titipan dengan
catatan kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib
menyerahkan kembalin uang/barang titipan tersebut.

c. Qardhul Hasan adalah pinjaman yang tidak mempersyaratkan


adanya imbalan, waktu pengembalian pinjaman ditetapkan
bersama antara pemberi dan penerima pinjaman.

d. Al-wakalah adalah jasa pemberian kuasa dari satu pihak ke


pihak lain.

e. Kafalah adalah perjanjian pemberian jaminan atau


penganggungan atas pembayaran utang satu pihak pada pihak
lain.

f. Hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak


pertama kepda pihak lain atas dasar saling mempercayai.
g. Rahn merupakan sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan
asset.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Sistem keuangan Islam dilakukan untuk memenuhi maqashidus syariah bagian


memelihara harta. Dalam menjalankan sistem keuangan islam, factor yang paling
utama adalah adanya akad / kontrak / transaksi yang sesuai dengan syariat Islam.
Agar akad tersebut sesuai syariah maka akad harus memenuhi prinsip keuangan
syariah, yang berarti tidak mengandung hal - hal yang dilarang oleh syariah. Prinsip
keuangan syariah sendiri secara ringkas harus mengacu pada prinsip rela sama rela,
tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi, hasil usaha muncul bersama biaya, dan
untung muncul bersama risiko . dari prinsip ini, berkembanglah berbagai instrumen
keuangan Syariah.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, S. (2018). Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.


Dr.Kasmir. (2012). Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: pt Rajagrafindo
Persada.
Mengenal Sistem Akuntansi Syariah. (n.d.). Retrieved from
https://www.tokopedia.com/blog/mengenal-sistem-keuangan-syariah/
Nurhayati, S., & Wasilah. (2015). Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba
Empat.
Rizal, Y., Martawireja, A. E., & Abdurahim, A. (2014). Akuntansi Perbankan
Syariah. Jakarta: Salemba Empat.
Sistem Keuangan Syariah. (n.d.). Retrieved from https://dosenakuntansi.com/sistem-
keuangan-syariah

Anda mungkin juga menyukai