Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BIOFARMASETIKA
“FASE FARMAKOKINETIK”
Disusun Oleh :
GANJAR TAUFIK. F
(311100 )
PRODI S1 FARMASI
STIKes BAKTI TUNAS HUSADA
TASIKMALAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan
perubahan zat aktif didalam tubuh (Aiache, 1993). Menurut Shargel (1988),
bahwa intensitas efek farmakologik atau efek toksik suatu obat seringkali
dikaitkan dengan konsentrasi obat pada reseptor, yang biasanya terdapat dalam
sel-sel jaringan. Oleh karena sebagian besar sel-sel jaringan diperfusi oleh cairan
jaringan atau plasma, maka pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan
suatu metode yang sesuai untuk pemantauan pengobatan.
Saat ini telah tersedia data farmakokinetik obat, yang meliputi berbagai
parameter farmakokinetik, yaitu bioavailabilitas oral, volume distribusi, waktu
paruh dan bersihan (clearance) dalam keadaan fisiologik maupun patologik.
Dimana kondisi fisiologik dan kondisi patologik ini dapat menimbulkan
perubahan pada parameter farmakokinetik obat (Setiawati, 2007).
Data farmakokinetik ini sangat penting untuk semua jenis obat terutama
untuk obat yang lazim dikonsumsi masyarakat. Karena kemungkinan besar
konsumsi obat yang terlalu sering akan menimbulkan toksisitas serta efek
samping yang beresiko terhadap kelanjutan penyakit. Menurut Setiawati (2007),
prinsip dan data farmakokinetik sangatlah penting diketahui oleh seorang dokter
agar dapat menetapkan regimen dosis yang optimal bagi masing-masing
pasiendengan berpedoman pada kadar
kadar obat dalam plasma atau serum.
Berdasarkan uraian diatas, dari berbagai penelitian dan data tersebut, maka
penulis merasa tertarik untuk menentukan profil farmakokinetika deksametason
pada kelinci dengan menggunakan
menggunakan baku murni deksametason BPFI.
1.3. Tujuan
Mengetahui sifat kerja obat beserta komponen-komponennya.
BAB II
PEMBAHASAN
Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel
atau dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat
mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar
asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan
membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya.
Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada tempat reseptor sel.
Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat karena
memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan seperti
gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek terapeutik
dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok reseptor yang
yang
unik. Misalnya, reseptor pada sel jantung berespons pada preparat digitalis.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik
(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi.
Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus
membrane biologis. Jika obat diberikan melaluirute subkutan, intramuscular, atau
intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik,
terdiri dari empat proses (subfase):absorpsi, distribusi, metabolisme (atau
biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga,
terjadi respons biologis atau fisiologis.
1. Absorpsi
Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung
pada bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia
dalam bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau
kapsul. Bentuk dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan
zat kimia pada sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati
mukosa lambung dengan cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi
sebelum mencapai usus halus.
Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan.
Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke
duodenum, sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida
membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati
lapisan saluran cerna. Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan
tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung
dan pencernaan protein selama makan. Selubung enterik pada tablet tertentu
tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam
saluran cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan lambung dari
iritasi obat.
a. Dinamika Sirkulasi
c. Ikatan Protein