Anda di halaman 1dari 3

BAYANG-BAYANG KEKERASAN

Tidak terlupakan, 26 September 2019 masyarakat sipil dan mahasiswa bertumpah ruah
dijalan raya. Hampir diseluruh daerah, aksi reformasi dikorupsi menolak beberapa RUU
Kontroversial digelar. Malam setelah aksi, nama Kota kendari bertengger dipoisis pertama
trending via twitter dengan hastag Kendari Berduka (#Kendariberduka). Randi dan Yusuf,
dua orang mahasiswa Universitas Halu Oleo menjadi korban, ditembak serta dianiaya hingga
tewas.

Pasca kejadian, proses pengungkapan kasus kematian dilakukan. Bukan menjadi rahasia
umum, kasus ini belum sampai ke meja hijau. Terakhir proses sidang pengungkapan
kematian Randi akan dipindahkan. Sedang kasus kematian Yusuf, tak ada lagi suguhan
informasi perkembangan kasusnya.

Berlarutnya proses pengungkapan kasus (hampir satu tahun) rentan waktu 26 September
2019 sampai 8 Juli 2020 memantik tanya, sesulit apakah mengungkap kasus kematian
Yusuf? Emosi publik sedang diaduk, amarah dan kesabaran sedang di uji. Bagaiaman dengan
perasaan Keluarga Korban?

Semakin Meluas
Tersebar beberapa video aksi kekerasan yang sangat beringas. Kurun waktu bulan Juli,
terhitung telah terjadi 3 (tiga) kali aksi demonstrasi yang mendapatkan tindakan represif.
Lokasinyapun terpusat pada Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Muna, Kabupaten
Muna Barat, dan Kabupaten Wakatobi, menjadi tempat kejadian.

Tuntutan massa aksi ditiap Kabupaten tersebut berbeda-beda. Kabupaten Muna, massa aksi
menuntut agar Bupati Muna mencopot Kepala Desa Korihi. Kabupaten Muna Barat, terkait
pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa yang tidak sesuai dengan mekanisme
perundang-undangan yang berlaku. Terakhir beberapa hari lalu, massa aksi di Kabupaten
Wakatobi yang menggelar demonstrasi menuntut penyaluran bantuan sosial tunai tahap
dua.

Namun dalam prosesnya, massa aksi dibuat kucar-kacir. Arogansi Aparat Satuan Polisi
Pamong Praja serta Kepolisian daerah setempat terlihat jelas dalam vidio ketika mengejar
bahkan memukuli masyarakat sipil. Beberapa orang terjatuh dan dipukuli walaupun telah
berlumuran darah. Dikermuni, bak penjahat yang telah lama ditarget.

Ironi
Jaminan hak sipil dan politik yang termuat dalam UU 12/2015, idealnya negara memiliki
kewajiban untuk melindungi kebebasan hak sipil dan politik warga negaranya lebih
utamanya hak dan kebebasan yang mendasar seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa dan hak atas keadilan.

Namun dalam kenyataannya, alih-alih terlindungi yang terjadi justru kekerasan dan
melanggar kebebasan sipil dan politik warga negara. Kekerasan oknum aparat akhir-
akhir ini semakin marak bahkan semakin meluas. Dalih menegakan hukum dan
menjalankam amanah konstitusi, beberapa oknum secara bebas menterjemahkan tugas dan
fungsi dengan tindakan-tindakan yang justru mencederai nilai-nilai hak asasi manusia.
Persoalan hukum baru yang muncul terlihat jelas, korban yang terluka bahkan meninggal
dunia akibat tindakan kekerasan dan tembakan senjata api.

Pembenaran tindakan kekerasan dibatasi dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun
2009 tentang Penggunaan Kekuatan Kepolisian, secara eksplisit disebutkan bahwa
aparat tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan kekerasan.

Namun, telah terterima oleh publik ketika aparat diperhadapkan pada suatu kejadian
pidana, maka aparat dapat melakukan tindakan kekerasan untuk mencegah atau
menghentikan seseorang yang akan melakukan tindak pidana. Selanjutnya untuk
mencegah pelaku kejahatan melarikan diri, atau melakukan tindakan yang
membahayakan aparat dan masyarakat. Kekerasan juga dibenarkan jika untuk
melindungi diri atau masyarakat dari ancaman pelaku kejahatan.

Menyaksikan vidio pembubaran paksa aksi 26 september 2019, terdengar jelas suara
tembakan senjata api, terlihat oleh mata todongan senjata yang diarahkan ke massa aksi
dan kekerasan-kekerasan yang terjadi. Semakin meluas, beredarnya video kekerasan yang
dilakukan aparat pada tanggal 2-6 Juli 2020 pada beberapa daerah, rasanya tidak mungkin
untuk menapik terjadinya dugaan tindak kekerasan secara brutal.

Jaminan hak untuk hidup dirampas dengan senjata api yang menembus dada. Jaminan hak
untuk tidak dianiyaya terberenggus oleh tindakan kekerasan yang tidak menaati Peraturan
Kapolri No. 1 tahun 2009. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat didepan
umum ditindaki secara represif yang berujung penganiaya dan kematian adalah praktik
pengabaian aparat atas jaminan perlindungan hak-hak sipil politik warga.

•••
Berlarut terlalu lama tidak menghapus harapan dan tuntutan. Meninggalnya Randi dan
Yusuf menyisahkan proses panjang yang belum tuntas. Tanggung jawab negara yang belum
terselaikan, penghilangan nyawa dengan tindak kekerasan aparat negara harus dibalas
setimpal dengan hukum yang berlaku.

Penanganan unjuk rasa secara profesional dan tidak boleh berulang dengan pola-pola
kekerasan yang akhirnya melukai dan menghilangkan nyawa, juga berbagai intimidasi yang
dilontarkan kepada masyarakat sipil dan jurnalis. Betapa otoriternya nan buasnya hal itu.

Sebagai bangsa yang beradab, secara berjamaah tindakan kekerasan terhadap manusia
lainnya tidaklah dibenarkan. Sehingga praktik tindakan kekerasan aparat saat berdahadapan
dengan masyarakat sipil saat menggunakan hak kebebasan berpendapat di depan umum
sama sekali tidak bisa dibenarkan pula.

Posisi negara harus lebih kuat, dalam artian menekan aparat untuk mengungkap kasus-
kasus tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi. Selebihnya,
profesi ini harus bersifat profesional dengan mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi
manusia ketika berhadapan dengan masyarakat sipil.
La Ode Muhammad Dzul Fijar,
Kamis 9 Juli 2020.
Penulis merupakan masyarakat sipil pemerhati Hak Asasi Manusia.

Anda mungkin juga menyukai