Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI I


SEDIAAN EMULSI
Dosen Pengampu :
Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt.
Sabrina, Ph.D., Apt.
Estu Maharani, M.Si., Apt.
Andi Sri Suriati Amal, M.Sc., Apt.

Disusun Oleh :
Kelompok 6B
Achmad Majid Muslich
(11181020000055)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MEI/2020
Emulsi adalah sistem dispersi kasar dari dua atau lebih cairan yang tidak saling larut satu
sama lain. Penandaan emulsi berasal daribahasa latin Emulgere artinya memerah dan
berpedoman pada susu sebagai jenis suatu emulsi alam. Sistem emulsi dijumpai banyak
penggunanya dalam farmasi (Voight, 1995)
Emulsi farmasi biasanya terdiri dari a campuran fase berair dengan berbagai minyak atau
lilin. Pada sedian emulsi memiliki dua tipe yaitu emulsi minyak dalam air (o/w) dan emulsi
air dalam minyak (w/o). Jika tetesan minyak tersebar di seluruh fase berair emulsi disebut
minyak dalam air (o/w). Suatu sistem di mana air tersebar pada seluruh minyak adalah
emulsi air dalam minyak (w/o). (Aulton, 2002)
Pada formulasi sediaan emulsi dibutuhkan bahan-bahan: Fase Minyak (Non-polar), Fase Air
(Polar), emulgator, pengawet, antioksidant, pewarna perasa (sediaan oral) dan/atau parfum
(sediaan topikal). Fase minyak dan fase air yang tidak dapat bercampur dapat disatukan
menjadi bentuk globul-globul kecil dengan pengunaan emulgator. Emulgator yang digunakan
pada formula 1 minyak jarak adalah gom arab dan pada formula 2 minyak jarak digunakan
tragakan. Kedua bahan ini merupakan emulgator jenis koloid hidrofilik. Emulgator jenis ini
membentuk film multimolekular yang kuat pada sekitar globul-globul fase terdispersi.
Lapisan ini mencegah bersatunya globul-globul menjadi satu globul yang lebih besar atau
yang biasa disebut dengan koalesen.
Pada proses pembuatan emulsi bahan-bahan dilarutkan pada fase yang bahan tersebut
memiliki kelarutan yang paling tinggi. Bahan yang mudah larut dalam fase minyak
dilarutkan terlebih dahulu ke dalam fase minyak dan bahan yang mudah larut dalam fase air
dilarutkan terlebih dahulu ke dalam fase air. Pada emulsi minyak jarak yang perlu dilarutkan
secara terpisah terlebih dahulu adalah nipagin yang harus dilarutkan terlebih dahulu ke dalam
propilen glikol kemudian dicampurkan dengan fase air.
Pembuatan emulsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara gum basah dan gum
kering. Perbedaan pada kedua teknik ini terletak pada fase mana yang terlebih dahulu
dimasukkan. Teknik gum basah dilakukan dengan cara mecampurkan terlebih dahulu fase air
dengan emulgator atau dapat dikatakan membasahi emulgator. Sedangkan teknik gum kering
dilakukan dengan cara mencampurkan fase minyak terlebih dahulu. Namun, kontak antara
emulgator dan minyak tidak boleh terlalu lama karena bila terlalu lama dapat membuat
emulgator tidak dapat dibasahi oleh air.
Deskripsi Bahan Emulsi Minyak Jarak
Oleum Ricini zat aktif; fase minyak
Gom arab emulgator
Tragakan emulgator
Syrupus simplex Sweetening agent
Propilen glikol Pelarut nipagin
Oleum Citrus Flavoring agent
Yellow color Coloring Agent
Nipagin Pengawet
Aquadest Fase Air

Perbedaan antara formula 1 minyak jarak dan formula 2 minyak jarak terletak pada
penggunaan emulgator. Emulgator yang digunakan pada formula 1 adalah gom arab.
Sedangkan pada formula 2 digunakan emulgator tragakan. Dua bahan yang berbeda ini
menyebabkan banyaknya bahan yang diperlukan pun menjadi berbeda. Untuk gom arab, harus
memiliki perbandingan kosentrasi minyak : air : emulgator yaitu 4 : 2 : 1. Sedangkan untuk
tragakan harus memiliki perbandingan minyak : air : emulgator yaitu 40 : 20 : 1.
Pada pembuatan emulsi topikal ini digunakan teknik pembuatan sediaan emulsi dengan
pemanasan. Bahan-bahan padat seperti asam stearat dan setil alcohol perlu dilelehkan
terlebih dahulu sehingga penggunaan panas pada pembuatan emulsi topical diperlukan.
Seperti pada pembuatan emulsi umumnya, bahan dilarutkan terlebih dahulu pada fase yang
dapat melarutkan bahan tersebut. Pada formula emulsi topical ini yang masuk ke dalam fase
minyak adalah asam stearat, setil alkohol, span 80, vitamin E, dan paraffin cair. Bahan ini
dipanaskan tidak pada suhu yang terlalu tinggi karena dapat menyebabkan berkurangnya
jumlah bahan yang nantinya akan mengubah konsentrasi bahan pada sediaan akhir. Namun
perlu diperhatikan pula bahwa semua bahan harus meleleh sempurna oleh karena itu harus
disesuaikan dengan bahan yang memiliki titik leleh paling tinggi.
Dari bahan-bahan yang masuk ke dalam fase minyak, yang memiliki titik leleh paling tinggi
adalah asam stearat, yaitu 69-70oC. Oleh karena itu, fase minyak perlu dipanaskan hingga 69-
70oC agar semua bahan menjadi berbentuk cairan. Fase air pun perlu dipanaskan dengan suhu
yang sama untuk menghindari pemadatan saat pencampuran dengan fase minyak. Apabila
fase air lebih dingin pada saat pencampuran kedua fase akan terbentuk padatan dan
menyebabkan pemisahan fase. Padatan terbentuk karena bahan yang dilelehkan tadi
mengalami penurunan suhu sehingga kembali ke bentuk padatannya.
Deskripsi Bahan Suspensi Parasetamol
Parafin cair Zat Aktif; Fase Minyak
Tween 80 Emulgator
Span 80 Emulgator
Cetil alkohol Emulsifying agent
Asam stearat Emulsifying agent
Propilen glikol Pelarut nipagin
Nipagin pengawet
TEA zat pembasa
Vitamin E antioksidan
Parfum Meningkat wangi sediaan
Aquadest Fase air

Fase minyak dan air dilakukan pemanasan agar mempermudah peleburan bahan sebelum
pencampuran. Fase minyak pada formula ini terdiri atas Paraffin cair, tween 80, span 80,
asam stearat, setil alkohol dan vitamin E. Pada fase minyak dipanaskan pada sesuai dengan
bahan yang memiliki titik leleh tertinggi,yaitu asam stearat dengan titik leleh 69-70oC
sehingga fase minyak dipanaskan pada suhu 60-70oC. Serta fase air dipanaskan dengan suhu
yang sama untuk menghindari pemadatan saat pencampuran dengan fase minyak. Karena
jika terjadi pemadatan akan menyebabkan pemisahan fase karena fase air yang lebih dingin
(jika tidak dilakukan pemanasan). Parfum ditambahkan saat kondisi suhu emulsi setelah
pencampuran telah menurun. Hal ini dilakukan untuk menghindari menguapnya parfum
sebelum proses selesai dikarenakan parfum mudah menguap.
Untuk menentukan kategori emulgator, berdasarkan struktur kimianya emulgator
diklasifikasikan menjadi dua (Liebermen, 1988)
1. Emulgator alam
a. Emulgator alam yang membentuk film multimolekuler, misalnya akasia dan
gelatin.
b. Emulgator alam yang membentuk film monomolekuler misalnya lesitin dan
kolesterol.
c. Emulgator yang membentuk film berupa partikel padat misalnya bentonit dan
vegum.
2. Emulgator sintetik atau surfaktan yang membentuk film monomolekuler. Kelompok
bahan aktif permukaan ini dibagi menjadi anionik, kationik, dan nonionik.
Tergantung dari muatan yang dimiliki oleh surfaktan.
a. Anionik

Surfaktan ini memiliki muatan negatif. Contoh bahannya yaitu kalium, natrium,
dan garam ammonium dari asam laurat dan asam oleat yang larut dalam air dan
merupakan bahan pengemulsi M/A yang baik. Bahan ini mempunyai rasa yang
kurang menyenangkan dan mengiritasi saluran cerna sehingga dibatasi
penggunaannya hanya untuk bagian luar.
b. Kationik

Kationik permukaan bahan kelompok ini terletak pada kation yang bermuatan
positif. pH dari sediaan emulsi dengan pengemulsi kationik yaitu anatara 4-8.
Rentang pH ini juga menguntungkan karena masuk kedalam pH normal kulit.
Contohnya yaitu senyawa ammonium kuartener.

c. Nonionik

Surfaktan yang luas penggunaannya sebagai bahan pengemulsi karena memiliki


keseimbangan hidrofilik dan lipofilik dalam molekulnya. Tidak seperti tipe anionik
dan kationik, emulgator nonionik tidak dipengaruhi perubahan pH dan penambahan
elektrolit. Contoh yang paling banyak digunakan yaitu ester gliseril, ester asam lemak
sorbitan (span) dan turunan polioksietilennya (tween).
Tween dan Span termasuk kategori emulgator surfaktan nonionik. Mekanisme kerjanya
dengan membentuk lapisan antarmuka dari droplet-droplet, namun tidak memiliki muatan
untuk untuk menstabilkan emulsi . Cara menstabilkan emulsi adalah dengan adanya gugus
polar dari surfaktan yang terhidrasi dan bulky, yang menyebabkan halangan sterik antar
droplet dan mencegah koalesen.
Surfaktan nonionik sendiri dapat digunakan sebagai senyawa larut dalam minyak
penstabil emulsi w/o maupun sebagai senyawa larut air pada produk o/w. Toksisitas dan
tingkat iritasi yang rendah menyebabkan surfaktan jenis ini dapat digunakan pada sediaan
oral dan parenteral. Memiliki tingkat kesesuaian yang lebih baik terhadap material lain
dibandingkan dengan emulgator anioik atau ionik, namun juga lebih mahal. Untuk
mengurangi kecenderungan membentu koalesen pada emulsi o/w, penting agar fase polar
terhidrasi.
Adapun beberapa peristiwa ketidakstabilan emulsi yang tidak diharapkan terjadi, yaitu:
● Flokulasi
Flokulasi merupakan penggabungan globul-globul yang dipengaruhi oleh muatan
pada permukaan globul yang teremulsi (Juwita, 2011). Ketidakstabilan seperti ini dapat
diperbaiki dengan pengocokan karena masih terdapatnya film antar permukaan globul
(Rieger, 2000). Meskipun dapat diperbaiki, terjadinya flokulasi dapat menyebabkan
peningkatan terjadinya creaming (Madaan dkk, 2014).
● Creaming
Creaming adalah terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda
pada emulsi. Karena dipengaruhi gaya gravitasi, partikel yang memiliki kerapatan lebih
rendah akan naik ke permukaan dan sebaliknya (Ansel, 1989) (Madaan dkk, 2014). Pada
krim tipe minyak dalam air, fase dalamnya merupakan minyak yang memiliki keraptan
partikel yang lebih rendah dibandingkan fase luarnya yang berupa air. Terjadinya
creaming dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu viskositas medium, diameter globul, dan
perbedaan kerapatan partikel antara fase dispersi dan pendispersi (Madaan dkk, 2014).
Krim yang mengalami creaming dapat didispersikan kembali dengan mudah, dan dapat
membentuk suatu campuran yang homogen dengan pengocokan, karena globul minyak
masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari emulgator (Ansel, 1989). Akan tetapi
terjadinya creaming harus tetap dihindari karena dapat meningkatkan potensi terjadinya
cracking (Madaan dkk, 2014).

● Cracking
Cracking merupakan pemisahan fase dispersi dan fase terdispersi dari suatu emulsi
yang berhubungan dengan terjadinya coalescence (Madaan dkk, 2014). Coalescence
sendiri merupakan penggabungan antar fase terdispersi atau globul disebabkan oleh
rusaknya lapisan pelindung emulgator (Madaan dkk, 2014). Hal ini menyebabkan sulit
untuk didispersikan kembali dengan pengocokan, bahkan jika jumlah terjadinya
coalescence melebihi batas tertentu maka pendispersian kembali tidak dapat dilakukan
(Madaan dkk, 2014). Cracking dapat terjadi dikarenakan oleh creaming, temperatur
ekstrim, adanya mikroorganisme, penambahan emulgator yang berlawanan, dan
penguraian atau pengendapan emulgator (Madaan dkk, 2014).
● Inversi
Fenomena ini terjadi saat fase dalam menjadi fase luar atau sebaliknya. Pada krim
minyak dalam air, fase inversi menyebabkan krim berubah menjadi fase sebaliknya yaitu
air dalam minyak (Madaan dkk, 2014). Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan
temperatur, penambahan elektrolit, perubahan rasio volume fase dispersi atau terdispersi,
dan dengan mengubah emulgator (Madaan dkk, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

● Ansel, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Terjemahan: Farida Ibrahim, Edisi 4,UI
Press: Jakarta.
● Aulton, M. E. 2003. Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design, Second
Edition, ELBS Fonded by British Goverment.
● Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan; 1993.
● Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Farmakope Indonesia. EdisiV. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan; 2014.
● Kim, Cheng-ju, 2005, Advanced Pharmaceutics : Physicochemical Principles, 214-235,
CRC Press LLC, Florida.
● Liebermen, HA., Lachman L., Schwariz., 1998, Pharmaceutical Dosage Forms: Dispersi
Systems.Volume 1. Marcel Dekker, Inc. New York, 1024.
● Marriot, John F, dkk. 2010. Pharmaceutical Compounding and Dispensing. London:
Pharmaceutical Press.
● Rieger, M.M. 2000. Harry’s Cosmeticologi Eight Edition. New York : Chemical
Publishing Co. Inc.
● Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, M.E.; (Eds.), Handbook of Pharmaceutical Excipients
6th edition Pharmaceutical Press, London, England 2009.
● The United States Pharmacopeia. The Nasional Formulari 32. Volume I. United States
Pharmacopeia Convention Inc.: Washington, D.C.
● Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi V. Yogyakarta: Gadjah
MadaUniversiti Press.

Anda mungkin juga menyukai