Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Tinjauan Medis


1.1.1 Pengertian Terapi Kejang Listrik/ Elektro Convulsive Therapy (ECT)
Elektro Convulsive Therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada klien
dengan menimbulkan kejang (Grandmal) dengan mengalirkan arus listrik
kekuatan rendah 2-3 joule) melalui elektrode yang ditempelkan beberapa
detik pada pelipis kiri/kanan (lobus frontalis) klien (Farida,Yudi, 2012).
Elektro Convulsive Therapyatau yang lebih populer dengan ECT
adalah prosedur kesehatan dimana arus listrik tertentu dialirkan ke otak, untuk
tujuan memicu kejang singkat. ECT dapat menyebabkan perubahan kimia
otak yang dapat dengan cepat mengembalikan gejala penyakit mental
tertentu. ECT biasanya menjadi pilihan terakhir apabila metode pengobatan
lain tidak berhasil.
Elektro Convulsive Therapy(ECT) adalah suatu terapi berupa aliran
listrik ringan yang dialirkan ke dalam otak untuk menghasilkan suatu
serangan yang serupa dengan serangan epilepsi.
Elektro Convulsive Therapy(ECT) adalah suatu teknik terapi dengan
menggunakan gelombang listrik yang dapat membantu kesembuhan klien
dengan depresi.
Elektro Convulsive Therapy(ECT) merupakan pengobatan somatik
untuk menginduksi kejang grandmal secara buatan dengan mengalirkan arus
listrik ke dalam otak melalui elektroda yang dipasang pada suatu atau kedua
pelipis.
1.1.2 Macam-Macam ECT
Menurut (Frida, Yudi, 2012)
1. ECT Konvensional
a. Timbul kejang (kejang dapat dilihat dengan nyata)
b. Menimbulkan perasaan takut pada penderita
c. Penderita kehilangan disiksa dan manusiawi
2. ECT dengan Premedikasi dan Anastesi
a. Timbul tidak kejang
b. Penderita tidak takut bila diberi ECT ulang
c. Lebih manusiawi
d. Mengurangi resiko akibat kejang misalnya fraktur
e. Memerlukan banyak tenaga medis
f. Lebih mahal

1
1.1.3 Indikasi dan Frekuensi Pemberian ECT
Menurut, Farida, Yudi, 2012.
1. Depresi berat (6-10 x)
2. Skizofrenia katatonik (20-30 x)
3. Skizofrenia episode akut (30 x)
4. Penderita gangguan jiwa yang resisten terhadap obat psikofarma (12 x)
5. Masing-masing diberikan 2-3 hari sekali (seminggu 2 x)
Reaksi penderita dengan ECT adalah terjadi konvulsi mirip grandmal
epilepsi. Fase tonik 10 detik fase klonik 30-40 detik  fase relaksasi
dengan pernafasan dalam dan keras, kepala di miringkan  penderita tidak
sadar kurang lebih 5 menit  kesadran pulih 5-10 menit terjadi amnesia
ada yang langsung tidur ada yang bingung.
1.1.4 Kontaindikasi ECT
Kontraindikasi pada penggunaan ECT adalah sebagai berikut:
(Farida, Yudi, 2012).
1. Pasien gangguan jiwa disertai dengan adanya system kardiovaskuler dan
peningkatan tekanan intracranial akibat tumor/infeksi otak.
2. Penyakit ginjal akut dapat memperparah gangguan ginjalnya.
3. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran.
4. Penyakit tulang dapat mengakibatkan cedera.
1.1.5 Efek Samping Tindakan ECT
Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan ECT antara lain fraktur
vertebrata dan ekstremitas, gigi patah, kehilangan daya ingat terhadap
kejadian yang baru saja terjadi dan menimbulkan kebingungan bagi
penderita (hal ini karena terjadi vasodilatasi/pelebaran pembuluh darah
pada mata sehingga mata penderita jadi merah dan kabur, tetapi penderita
masih dapat mendengar). Adapun efek samping lain dari tindakan ECT,
yaitu :
1. Luksasi mandibula
2. Nyeri otot
3. Apnea memanjang
4. Aspirasi pneumonia
5. Hilang ingatan sementara
6. Aritmia
7. Kematian

2
1.1.6 Keuntungan dan Kerugian ECT
1.1.6.1 Keuntungan
Efektivitas ECT dalam mengobati pasien dengan gangguan jiwa karena
adanya peningkatan sensitivitas reseptor terhadap neurotransmiter. ECT
meningkatkan penggantian dopamin, serotonin dan meningkatkan pelepasan
norepineprin dari neuron-neuron ke reseptor. ECT juga akan menstimulasi
pelepasan serotonin.
Pada depresi terjadi gangguan neurotransmiter otak yaitu penurunan dopamin,
serotonin dan norepineprin. Dengan ECT penurunan tersebut dapat
ditingkatkan, sehingga pasien depresi dapat disembuhkan dengan pemberian
ECT. ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. zMetode
terapi semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat atau
mempunyai resiko bunuh diri yang besar dan respon terapi dengan obat
antidepresan kurang baik. Pada penderita dengan resiko bunuh diri, ECT
menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan resiko bunuh diri dan
dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek.
1.1.6.2 Kerugian
ECT sebagai alat terapi orang yang mengalami gangguan jiwa karena banyak
efek samping yang ditimbulkan seperti patah tulang vertebra, kehilangan
memori dan kekacauan mental sementara, dislokasi rahang sendi, Amnesia,
nyeri kepala, bahkan sampai kematian. Resiko yang ditimbulkan juga cukup
berbahay seperti kerusakan otak, kematian, dan kehilangan memori
permanen.
1.1.7 Mekanisme Kerja ECT
Terapi elektrokonvulsi dilakukan dengan cara mengalirkan listrik sinusoid ke
tubuh sehingga penderita menerima aliran listrik yang terputus-putus. Alat
yang digunakan dalam terapi ini dinamakan konvulsator di dalamnya terdapat
pengatur waktu voltase yang merupakan pengatur waktu otomatis memutuskan
aliran listrik yang keluar sesudah waktu yang ditetapkan.
Prinsip kerja dari terapi elektrokonvulsi ialah aliran listrik dimasukkan ke
dalam kepala orang yang mengalami gangguan jiwa, setelah itu orang yang
menjalaninya menjadi tidak sadar seketika dan konvulsi yang terjadi mirip
epilepsi, diikuti fase klonik, kemudian rasa relaksasi otot dengan pernapasan
dalam dan keras. Orang menjadi tidak sadar kurang lebih 5 menit dan biasanya
setelah bangun dan sadar, kemudian timbul rasa kantuk, kemudian orang
tersebut tertidur.

3
1.1.8 Persiapan ECT
Beberapa persiapan ECT adalah sebagai berikut:
(Farida, Yudi, 2012).
1. Pemeriksaan fisik terutama kardio,paru, dan laboratorium untuk mengetahui
kontraindikasi.
2. Cek kembali catatan medik klien dan catatan perkembangan
3. CekInformed Concent.
4. Puasa (6 jam sebelum ECT) untuk mencegah muntah atau aspirasi.
5. Penghentian obat.
6. Saat akan dilakukan ECT kandung kemih dan rectum dikosongkan.
7. Bila terdapat gigi palsu harap dilepas.
1.1.9 Pelaksanaan ECT:
1. Beri salam
2. Identifikasi klien
3. Jaga privasi klien
4. Jelaskan tujuan terapi ECT
5. Tidurkan terlentang dengan pakaian dilonggarkan.
6. Antara os frontalis dan os temporalis dibersihkan dengan alcohol dan dibasahi
dengan bahan penghantar listrik untuk tempat elektroda ditempel.
7. Antara rahang atas dan bawah diberi ganjal yang lunak.
8. Dagu ditahan untuk mencegah luxation rahang.
9. Lengan dan kaki dipegangi.
10. Elektroda ditempatkan dengan tekanan sedang.
11. Setelah selesai pelaksanaan ECT, observasi tanda tanda vital klien sampai
kondisi stabil. Jaga keamanan klien. Bila sudah sadar bantu orientasi dan
menjelaskan yang sedang terjadi.
12. Bersihkan dan rapikan peralatan
1.1.10 Induksi Kenjang
1. Penempatan elektroda :
a) Bilateral bifrontotemporal (2 inci diatas titik tengah garis yang ditarik
dari meatus akustikus eksternal ke sudut lateral mata)
b) Unilateral hemisfer non dominan, satu di frontotemporal dan yang lain
centroparietal.
2 Intensitas Perangsangan
Alat terbaru mengantarkan rangsangan listrik singkat yang tetap
3 Sifat Kejang

4
a) Induksi kejang harus bersifat umum. Optimal lamanya lebih dari 25
detik.
b) Monitoring EEG digunakan untuk menetapkan induksi kejang.

2.1 Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Dilakukan ECT


Peran Perawat dalam Pelaksanaan ECT
Peran perawat dalam pelaksanaan ECT adalah sebagai berikut (Farida, Yudi, 2012) :
2.1.1 Pengkajian
1 Kelengkapan data pasien yang ada kaitannya dengan terapi ini.
Elektrokardiogram, foto toraks, pemerikasaan laboratorium yang
diperlukan.
2 Surat kesepakatan pelaksanaan tindakan ECT (Informed concent) yang
telah ditandatangani keluarga.
3 Pemeriksaan TTV.
4 Temperature.
5 Nadi
2.1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas
Intervensi :
a. Observasi tanda verbal dan non verbal dari kecemasan klien.
b. Anjurkan keluarga atau perawat untuk tetap mendampingi klien.
c. Kurangi atau menghilangkan rangsangan yang menyebabkan
kecemasan pada klien.
d. Jelaskan pada klien mengenai tindakan ECT.
2. Resiko Cedera
Intervensi :
a. Atur posisi pasien dengan nyaman dan ekstensikan kepala dengan
bantalan selimut.
b. Amankan pasien dari lingkungan yang menimbulkan cedera.
c. Amankan area gigi dan mulut dari cedera fisik yang menimbulkan
resiko perdarahan.
d. Observasi adanya cedera fisik pada setiap ekstremitas atas dan bawah
atau seluruh tubuh.
e. Fiksasi pasien dengan tali atau kain untu menghindari pasien jatuh
dari tempat tidur saat kondisi tidak sadar.
3. Resiko Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
Intervensi :

5
a. Atur posisi pasien dengan kepala ekstensi untuk membuka jalan napas
pasien.
b. Miringkan kepala pasien setelah tindakan untuk mencegah aspirasi
sekret atau saliva ke jalan napas.
c. Cek saturasi oksigen setelah tindakan ECT.
d. Pastikan jalan napas pasien terbuka.
e. Beri bantuan oksigen jika saturasi oksigen < 95% dan terdapat tanda-
tanda sianosis.
2.1.3 Perencanaan
1. Penjelasan tentang pemberian ECT kepada penderita dan keluarga, serta
tentang pentingnya tindakan tersebut sebatas tingakat pengetahuan pasien
dan keluarga.
2. Penderita diharuskan puasa/mengosongkan perut 4 jam sebelum tindakan
dilakuakan untuk menghindari aspirasi karena muntah.
2.1.4 Penatalaksanaan
1. Penderita dibaringkan di tempat tidur dengan posisi terlentang/
hiperekstensi, dibawah leher diganjal selimut, pada lobus frontalis kanan
dan kiri dibersihkan dengan alkohol lalu diberi jeli.
2. Biasamya diberikan obat premedikasi:obat penenang, penurun sekresi
saliva, dan obat relaksasi dari otot-otot.
3. Observasi kembali tanda tanda vital.
4. Tong spatel yang telah dibungkus kain kasa/karey dimasukkan kemulut
menekan lidah penderita untuk mencegah terjadinya lidah digigit. Akibat
kejejang-kejang atau lidah yang menghalangi jalan pernafasan.
5. Tubuh pasien dipegang pada daerah pertemuan sendi untuk mencegah
dislokasi.
6. Elektroda dipasang pada lobus frontalis dan pemberian ECT dilakukan
oleh dokter.
7. Setelah pemberian tindakan, pasien tidak sadar, lalu dipindahkan ke
tempat tidur yang aman.
8. Observasi TTV dan perilaku-perilaku yang muncul dan dilakukan
penderita,dicatat kapan penderita mulai sadar dan dijaga apabila terjadi
agitasi sebelum mencapai kesadaran penuh.
2.1.5 Evaluasi Keperawatan
1. Penilaian tingkat kesadaran pasien.
2. Setelah pulih, penderita diistirahatkan untuk memulihkan kondisinya
kemudian diberikan makanan dan minuman sesuai dengan kebutuhan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati, Farida, Hartono, Yudi. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika
Riyadi, Sujono dan Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1.
Yogyakarta : Graha Ilmu
Taufik. 2012. Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai