Anda di halaman 1dari 19

Agama Kristen orang-orang Barat

Dalam pasal ini kita berbicara mengenai bangsa-bangsa Barat yang datang ke Indonesia pada abad
ke-16 dan ke-17, yaitu orang-orang Portugis dan orang-orang Belanda. Selain daripada mereka itu, di
Indonesia Utara untuk sementara waktu terasa juga pengaruh orang-orang Spanyol yang menetap di
Filipina.

Agama Katolik ± tahun 1500

Orang-orang Portugis dan Spanyol menganut agama Kristen Katolik. Di sini, kita tidak perlu memberi
keterangan terperinci mengenaj agama itu. Cukup kalau disebut beberapa cirinya yang menentukan
bentuk misi di Indonesia.

Bersifat Hirarkis dan menuntut keseragaman

Agama Katolik dalam Abad Pertengahan bersifat hirarkis. Kaum awam kurang mempunyai suara
dalam gereja; mereka berada di bawah imam, dan para imam pula membawahi uskup serta pans.
Tetapi susunan hirarkis berarti juga bahwa gereja mempunyai organisasi yang rapih, sehingga
sanggup menyelenggarakan usaha mini yang sangat luas. Berhubung dengan susunan hirarkis itu,
gereja mengusahakan keseragaman yang sebesar mungkin, antara lain dalam hal ibadah. Bahasa
ibadah pun harus sama di mana-mana (yaitu bahasa Latin).

Tekanan atas Sakramen dan iman

Selanjutnya dalam gereja zaman itu, pelayanan sakramen dianggap lebih panting daripada
pelayanan Firman. Sakramen khususnya baptisan, perlu mutlak demi keselamatan. Pada anggota
gereja biasa, tekanan atas sakramen ini bisa membawa kepada keyakinan bahwa unsur-unsur
sakramen (air, roti, anggur) mempakan benda-benda sakti (bnd § 1). Pentingnya sakramen
membawa juga kepada anggapan yang tertentu tentang apa itu iman. Beriman tidak pertama-tama
berarti memahami dan menyambut apa yang dikatakan dalam Firman Tuhan, tetapi terutama :
takluk pada kekuasaan gereja. Agar orang bisa menerima sakramen-sakramen, cukuplah kalau
mereka mengenal rumusan-rumusan pokok agama Kristen dan mengakui bahwa gereja memiliki
ajaran yang benar. Katekisasi dan pembinaan jemaat agak diabaikan. Secara khusus orang-orang
awam tidak didorong untuk membaca dan memahami isi Alkitab; dari sebab itu terjemahan Alkitab
ke dalam bahasa-bahasa daerah di Eropa tidak diusahakan dengan rajin. Perjanjian Baru untuk
pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis menjelang akhir abad ke-18.

Perlu diperhatikan juga hubungan antara gereja dan negara. Masyarakat Eropa dalam Abad
Pertengahan masih mengakui kesatuan azasi seluruh kehidupan. Tidak ada bidang yang tidak diatur
oleh agama. Dalam hal ini corak berpikir yang terdapat dalam agama suku masih hidup terus di
Eropa (sampai zaman Pencerahan). Tetapi, berlainan dengan agama suku, agama diatur oleh suatu
lembaga khusus, yaitu gereja. Dengan demikian, gereja menguasai seluruh kehidupan masyarakat.
Negara pun dianggap berada di bawah gereja. Tugas negara ialah melayani gereja, melindungi iman
Kristen dari serangan musuh-musuhnya dan mendukung penyiarannya ke luar.
Akhirnya masih mau disebut ordo-ordo kebiaraan. Dalam gereja Abad Pertengahan, pertarakan
dipandang sebagai bentuk kehidupan Kristen yang paling tinggi. Orang-orang yang menuntut
kehidupan yang demikian berkumpul membentuk ordo-ordo, misalnya ordo Fransiskan, ordo
Dominikan, di kemudian hari juga Serikat Yesus. Mereka itu tidak terikat oleh harta-benda atau
keluarga dan sering mereka adalah orang-orang Kristen yang bersemangat. Oleh karena itu anggota-
anggota ordo cocok sekali untuk dipakai sebagai tenaga misionaris. Dari ordo-ordo itu berasal
hampir semua misionaris di Indonesia.

Itulah agama orang-orang Barat yang pertama datang ke Indonesia, yaitu orang-orang Portugis dan
Spanyol. Akan tetapi mengetahui agama mereka belum cukup. Kalau kita mau memahami tindakan
mereka, kita harus mengenal juga pandangan dunia mereka, ideologi mereka. Agama Kristen Abad
Pertengahan hanya mengenal dua jenis agama yang lain, yaitu agama suku (yang di Eropa) dan
agama Islam. Agama Islam sedikit-banyak dihormati: theologia Katolik mengakui bahwa orang-orang
Islam menyembah Allah yang sama seperti orang-orang Kristen. Alum tetapi penilaian terhadap
agama suku sama sekali bersifat negatif. Dalam agama suku, demikian orang-orang Kristen zaman
itu, yang disembah ialah iblis. Pun kurang sekali minat atau pengertian bagi kebudayaan-kebudayaan
lain. Satu-satunya kebudayaan yang sesuai dengan agama Kris ialah kebudayaan orang-orang
Kristen, berarti kebudayaan Eropa Barat. Kalau orang dari luar mau menerima iman Kristen maka
serentak dengan itu ia harus menerima kebudayaan Eropa khususnya kebudayaan bangsa yang
membawa Injil kepadanya.

Ideologi ini kuat sekali di tengah bangsa-bangsa Portugal dan Spanyol. Orang-orang Spanyol dan
Portugis telah dijajah berabad-abad lamanya oleh orang-orang Islam, dan mereka baru memperoleh
kemerdekaan setelah perang yang panjang. Pengalaman sejarah itu membuat mereka yakin bahwa
mereka adalah bangsa yang paling setia kepada agama Kristen Katolik. Mereka merasa superior,
bukan berdasarkan ras melainkan berdasarkan agama mereka. Dan mereka merasa terpanggil untuk
mempertahankan agama Kristen terhadap musuh-musuhnya, dan menyiapkan iman ke mana-mana.
Untuk itu, perang mempakan alat yang wajar. Menurut pandangan mereka, musuh utma ialah Islam,
tetapi orang-orang kafir perlu dihadapi pula. Dalam pada itu, tidak ada bagi mereka perbedaan azasi
antara penyiaran iman dan perluasan wilayah pengaruh Spanyol/Portugis. Mengkristenkan sama
dengan men-spanyolkan atau men-portugiskan. Dalam ideologi ini, gereja tidak berada di atas
negara, tetapi keduanya mempakan kesatuan yang tak terpisahkan tak ubahnya seperti dalam corak
berpikir agama suku.

Namun demikian, kita tidak boleh berpendapat seakarr akan dalam abad ke-16 di mana-mana serta
terus-menerus gereja dan negara bergandengan tangan. Dalam praktek sehari-hari, kepentingan
negara tidak bertindih tepat dengan kepentingan gereja. Dan tentu saja selalu ada pejabat-pejabat
yang lebih memperhatikan kepentingan negara. Di daerah-daerah jajahan selalu juga ada banyak
oknum-oknum, pedagang-pedagang atau lain, yang bersikap acuh tak acuh terhadap iman Kristen
dan yang dengan perbuatan mereka menghalangi penyiarannya. Dari pihak gereja, ideologi
imperialisme didobrak oleh Kontra-Reformasi (± 1540) yang menegaskan kembali bahwa gereja
beraqa di atas negara dan bahwa misionaris mempunyai tugas dan tujuan

lain daripada penjajah (bnd § 6, 7).


Satu abad setelah orang-orang Portugis, orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Mereka adalah
orang-orang Kristen juga, tetapi dengan cara percaya yang lain, karena mereka telah menjadi
pengikut Reformasi, khususnya Reformasi Calvin. Orang-orang Protestan itu mempunyai organisasi
gereja, ibadah dan ajaran yang jauh berbeda dari yang terdapat dalam Gereja Katolik Roma. Tidak
ada lagi hirarki dalam gereja. Alkitab harus disebarkan seluas mungkin dalam bahasa yang bisa
dimengerti orang, dan penafsirannya dalam khotbah mempakan salah satu bagian ibadah yang
terpenting. Ibadah tak usah seragam di mana-mana. Negara tidak berada di bawah gereja, tidak juga
di atasnya, tetapi di sampingnya, dan keduanya harus bekerjasama demi kemajuan kerajaan Allah.

Namun demikian, dalam kehidupan bangsa-bangsa Protestan cara-cara lama masih berpengaruh.
Kecenderungan untuk berpikir menurut kerangka hirarkis tidak begitu mudah hilang dari gereja. Lagi
pula orang-orang Belanda pun berpendapat bahwa gereja mereka mempunyai bentuk yang paling
baik, sehingga lebih aman kalau diikuti saja oleh orang-orang lain. Sikapsikap ini akan paling
menonjol di daerah-daerah jajahan.

Dalam dua hal perbedaan dengan Gereja Katolik mula-mula menghalangi usaha pekabaran Injil oleh
kaum Protestan. Pertama-tama, Reformasi telah menghapuskan ordo-ordo kebiaraan. Akibatnya,
tidak ada dalam Gereja Protestan suatu cadangan tetap orang-orang yang tidak terikat dan yang rela
pergi ke mana-mana. Selanjutnya, kedudukan gereja terhadap negara telah menjadi lebih lemah.
Theologia tidak memandang lagi negara sebagai pelayan gereja, dan Gereja Protestan tidak
mempunyai organisasi internasional yang lebih luas daripada wilayah satu negara saja. Sebaliknya,
negara-negara Protestan berusaha Untuk menguasai gereja di daerahnya masing-masing. Setidak-
tidaknya bagi negara-negara itu kepentingan sendiri mendahului kepentingan gereja dan agama.
Sikap ini juga paling menonjol di daerah-daerah jajahan.

Terhadap agama dan kebudayaan lain, orang-orang Belanda Protestan tidak mempunyai pandangan
yang lebih positif daripada orang-orang Barat lainnya pada zaman itu. Khususnya agama suku bagi
mereke adalah takhyul belaka, atau malahan penyembahan iblis. Namun demikian, mereka tidak
mempunyai ideologi seperti Portugal dan Spanyol, yaitu rasa superioritas yang didukung oleh agama.
Ajaran Calvinis mewajibkan negara untuk membantu gereja dalam mempertahankan iman yang
murni dan dalam mengabarkan Injil. Dan secara resmi negara Belanda bersedia melaksanakan tugas
itu. Akan tetapi orang-orang Belanda adalah pedagang, dengan mental pedagang. Fanatisme
agamani dapat merusakkan kemakmuran dan oleh karena itu mereka bersikap toleran, Pekabaran
Injil pun boleh, asal tidak merugikan perdagangan. Selain daripada itu, orang-orang Belanda
mempunyai sejarah yang lain daripada bangsa-bangsa Eropa Selatan. Mereka belum pernah
berurusan langsung dengan Islam. Tetapi mereka harus mengadakan perang kemerdekaan melawan
Spanyol yang Katolik. Maka dari itu yang mereka pandang sebagai musuh utama bukan agama Islam,
melainkan Gereja Katolik. Hal ini alum mempengaruhi politik mereka di Indonesia.

Orang-orang Barat datang ke Indonesia

Pada permulaan abad ke-16 masuklah faktor baru dalam permainan kekuatan-kekuatan ekonomis,
politis dan religius di kepulauan Nusantara. Tiba-tiba pada tahun 1511 kota Malaka direbut oleh
orang-orang Portugis, dan kapal-kapal mereka muncul di perairan Jawa dan Maluku.
Portugal merupakan negara kecil di Eropa Baratdaya. Pada tahun 1500 jumlah penduduknya tidak
lebih dari satu atau satu seperempat juta orang. Daerah Portugal selama lima abad (700-1200)
dijajah oleh orang-orang Arab dan Berber dari Afrika Utara, yang beragama Islam. Mereka berhasil
diusir dalam perang kemerdekaan yang berlangsung selama satu setengah abad. Tetapi bagi orang-
orang Portugis, sama seperti bagi tetangga mereka orang-orang Spanyol, bangsa-bangsa Islam tetap
merupakan musuh bebuyutan.

Pada abad ke-15, orang-orang Portugis mulai menjelajah pantai Barat Afrika. Mereka mencari jalan
laut ke ”India”, betarti ke Asia Selatan dan Tenggara. Mereka didorong oleh keinginan untuk
menemukan jalan sendiri menuju kekayaan benua ”India”. Tetapi ada juga alasan yang lebih jauh.
Kalau mereka berhasil memperoleh jalan langsung ke Asia, maka mereka dapat mengalihkan
lalulintas perdagangan melalui jalan itu. Hal itu akan merugikan bangsa-bangsa yang sampai saat itu
menguasai rantai perdagangan Asia-Eropa (bnd § 2). Salah satu dari bangsa itu ialah bangsa Turki,
yang justru pada zaman itu sedang melancarkan serangan yang dahsyat terhadap negara-negara
Eropa. Serangan mereka mungkin dapat dilumpuhkan kalau pendapatan yang diperoleh negara Turki
dari perdagangan dapat dihancurkan.

Akhirnya, orang-orang Portugis mempunyai alasan lain lagi yang mendorong mereka untuk
mengarungi Iautan dan mencari jalan menuju ke negeri-negeri yang jauh. Alasan itu ialah bahwa
mereka merasa bertanggung-jawab atas penyiaran agama Kristen di seberang laut. Selama abad ke-
15, pimpinan Gereja melihat dengan senang hati bagaimana orang-orang Portugis semakin maju ke
dalam wilayah di luar dunia Kristen. Berkali-kali paus mendorong mereka agar menyebarkan iman di
situ. Sebagai rangsangan, sri paus (bukankah ia wakil Kristus di bumi?) menghadiahkan kepada raja-
raja Portugal seluruh daerah yang akan ditemukan oleh rakyatnya. Raja-raja itu malahan diberi hak
untuk mengurus sendiri segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan gereja dan misi di sana.
Raja boleh memilih dan mengangkat uskup di daerah seberang laut; hanya dialah yang berhak
mengirim misionaris, dan seterusnya. Tentu saja raja akan membiayai seluruh pekerjaan gerejani.
Sistim ini dengan istilah bahasa Portugis disebut ”Padroado” (Padrao = tuan, majikan; raja sebagai
majikan, pelindung gereja di wilayahnya; lihat juga § 15).

Jadi, kita melihat bahwa ada beberapa alasan yang mendorong orang-orang Portugis untuk mencari
jalan laut ke Asia. Ada alasan ekonomi (mencari kekayaan melalui perdagangan), ada yang politis
(melemahkan serangan Turki) dan ada alasan agama. Campuran ini akan menentukan pula tindakan
mereka setelah mereka sampai di Asia dan di Indonesia. Bagi kita, orang-orang Kristen abad ke-20,
terdapat tegangan dan malahan pertentangan antara ketiga alasan tersebut. Lain kepentingan
negara dan perdagangan, lain kepentingan gereja dan pekabaran Injil. Tetapi pada abad ke-15 dan
ke-16, hanya sedikit orang-orang Kristen yang menyadari pertentangan itu, dan mereka ini
dipandang sebagai penyesat. Pada zaman itu, masyarakat Eropa masih memahami agamanya
melalui ideologi yang telah digambarkan dalam pasal yang terdahulu. Maka dari itu orang-orang
Portugis dan Spanyol tidak menganggap aneh kalau jalan untuk misi dibuka melalui perang, atau
kalau pengkristenan dipakai sebagai alat untuk menjamin monopoli perdagangan, juga tidak kalau
rajalah yang mengepalai usaha pekabaran Injil.
Pada tahun 1498, kapal-kapal Portugis, di bawah pimpinan Vasco da Gama, akhirnya berhasil
melewati ujung Selatan benua Afrika dan berlayar ke India. Beberapa tahun sebelumnya (1492),
kapal-kapal Spanyol, yang sedang dalam perjalanan ke Asia melalui lautan Atlantik, telah
menemukan rintangan berupa suatu benua yang tak dikenal oleh orang-orang Eropa, yaitu benua
Amerika. Mulailah perlombaan antara kedua negeri itu, yang tak bisa tidak merugikan perkara
mereka bersama. Oleh karena itu sri paus, pada tahun 1494, membagi dua dunia. Amerika akan
merupakan wilayah kekuasaan Spanyol, Asia akan menjadi wilayah Portugis. Di kemudian hari,
masing-masing bangsa itu melanggar perbatasan itu, sehingga Brasilia menjadi jajahan Portugis dan
Filipina diduduki orang-orang Spanyol.

Antara penjajahan Spanyol dengan penjajahan Portugis ada dua perbedaan, yang menjadi penting
untuk hasil-hasil usaha pekabaran Injil di daerahnya masing-masing. Orang-orang Spanyol: a.
menjajah seluruh daerah yang ditemukannya (Amerika Selatan/Tengah dan Filipina); b. Agama-
agama yang berdapat di wilayah jajahan mereka itu ialah ”agama-agama-suku”, yang ternyata tidak
sanggup mempertahankan diri terhadap serangan rangkap pasukan tentara dan misionaris-
misionaris. Sebaliknya, kaum Portugis: a. hanya mendirikan beberapa benteng dengan daerah
jajahan yang kecil di sekitarnya; b. mereka pada umumnya menetap di daerah-daerah yang
termasuk wilayah negara-negara yang kuat dan yang sudah memeluk ”agama-agama tinggi”, yaitu
Islam, Hindu, Budha.

Kedua faktor itulah yang mengakibatkan wilayah jajahan Spanyol hampir seluruhnya berhasil
dimasehikan, sedangkan di wilayah Portugis (Asia Tenggara, pantai Afrika) hanya sedikit orang yang
masuk Kristen, walaupun semangat para misionaris adalah sama, dan metode-metode yang mereka
pakai lebih matang. Iman Kristen tetap nampak di sini sebagai barang impor dari Eropa. Orang-orang
Kristen pribumi dicurigai seakan-akan mereka, dengan menerima baptisan, telah melepaskan
kebangsaan dan kebudayaan meneka sendiri. Perasaan itu tak bisa tidak hams mengurangi daya
tarik kekristenan bagi teman-teman sebangsa mereka.

Tujuan jangka panjang orang-orang Portugis ialah: berusaha memperoleh monopoli atas
perdagangan Asia-Eropa. Tujuan itu hanya bisa dicapai kalau mereka menguasai lautan. Agar
mencapainya, selama abad ke-16 mereka melancarkan perang yang sengit melawan pedagang-
pedagang Asia yang kebanyakan adalah orang-orang Islam. Segera satelah mereka tiba di perairan
Indonesia, orang-orang Portugis mulai mengejar dan merompak semua kapal dagang yang mereka
temui. Dan pada tahun 1511 mereka sudah berhasil menaklukkan Malaka, pusat perdagangan yang
utama antara Maluku dan India. Beberapa tahun kemudian, mereka mendirikan benteng di Ternate
(1522). Dengan demikian, ada tiga pusat kekuasaan Portugis di Asia Selatan: Goa di India Barat,
Malaka, dan Ternate. Ternate menjadi pangkalan tentara dan misi Portugis di Indonesia Timur, dan
nasib misi akan tergantung dari hubungan orang-orang Portugis dengan penguasa-penguasa
setempat, khususnya sultan Ternate.

Dalam usaha perang mereka, orang-orang Portugis sering bergabung dengan penguasa yang satu
untuk melawan penguasa yang lain. Mereka didukung dan diminta pertolongannya oleh sisa-sisa
kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa dan oleh desa-desa yang masih menganut agama suku di Maluku
dan di daerah-daerah Indonesia Timur lainnya. Tetapi ada juga kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi
sekutu mereka terhadap saudara-saudara seiman sendiri. Di Jawa, orang-orang Portugis tidak
berhasil memperoleh tempat berpijak. Kerajaan Pajajaran dengan pelabuhan Sunda Kelapa
dihancurkan sebelum orang-orang Portugis sempat memberi pertolongan. Di Maluku, orang-orang
Portugis mendapat sekutu terutama di Halmahera, dan berganti-ganti di Ternate atau Tidore. Dan
karena baik orang-orang Indonesia maupun orang-orang Portugis tidak menganggap agama dan
politik sebagai dua bidang yang tersendiri, maka persekutuan politis sering disertai dan diperkokoh
oleh beralihnya pihak Indonesia yang beragama Islam pun ke agama Kristen.

Perang tersebut berlangsung selama abad ke-16. Orang-orang Portugis berhasil menaklukkan lawan
mereka yang paling kuat, yaitu Malaka. Tetapi beberapa negara lain mengambil tempat Malaka:
Aceh, Demak dan Ternate. Antara tahun 1570-1600, kekuasaan Ternate semakin besar, dan orang-
orang Portugis semakin terdesak. Dan karena nasib Misi sama sekali terikat pada nasib negara, maka
Misi itu ikut menderita. Akhimya mereka dapat lolos dari serangan-sernngan Ternate karena
mendapat bantuan orang-orang Spanyol yang telah menetap di Filipina. Tetapi pada saat itu juga,
orang-orang Portugis mulai diusir dari Nusantara (kecuali NTT) oleh orang-orang Eropa lain, yaitu
orang-orang Belanda.

Misi di Maluku sampai tahun-tahun 1540-an

Sekitar tahun 1500, daerah Maluku mengalami perubahan. perubahan besar di bidang politis dan
agamani. Sebelumnya, seluruh daerah itu menganut agama nenek-moyang. Tetapi pada akhir abad
ke-15, beberapa raja di pulau-pulau kecil lepas pantai Halmahera memeluk agama baru, yang telah
dibawa oleh pedagang-pedagang dari Indonesia Barat, yakni agama Islam. Dengan demikian terjadi
empat kerajaan Islam, yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Di Maluku Selatan juga sejumlah
kampung masuk Islam pada zaman itu. Dari segi politis, masuknya agama Islam berarti masuknya
faktor baru dalam pertikaian antara kampung dan suku. Secara khusus, sultan-sultan Ternate
berusaha menaklukkan daerah-daerah lain di Maluku Utara dan di luarnya, sekaligus menyebarkan
agama Islam.

Beberapa puluh tahun setelah kedatangan Islam, masuklah golongan lain lagi ke Maluku. Mereka ini
pedagang juga, dan mereka membawa serta agama baru pula. Setelah merebut kota Malaka, pusat
perdagangan di Asia Tenggara, orang-orang Portugis segera berlayar terus ke daerah penghasil
rempah-rempah yang diperdagangkan di kota tersebut, yaitu ke Maluku. Di sana mereka disambut
dengan baik oleh sultan Ternate. Sultan ini memberi mereka kesempatan membangun benteng di
Ternate. Pulau ini menjadi pangkalan tentara dan saudagar-saudagar Portugis di Indonesia Timur,
dan dengan sendirinya menjadi juga pusat Misi. Selanjutnya, nasib agama Kristen di Indonesia Timur
akan tergantung dari hubungan orang-orang Portugis dengan sultan Ternate.

Hubungan ini ditentukan oleh tiga faktor. Dari segi ekonomi dan politis, sultan ini mempunyai
kepentingan bersama dengan orang-orang Portugis. Mereka dapat membantu dia terhadap raja-raja
lain dalam memperoleh monopoli penjualan rempah-rempah dan dalam memperluas wilayah
kekuasaannya. Sebaliknya, dari segi agama, sultan tidak senang melihat kemajuan Misi di daerah-
daerah sekitar Ternate. Lebih-lebih karena orang-orang yang masuk Kristen dengan cara itu menjadi
sekutu atau rakyat Portugal. Kedua faktor ini saling mengimbangi. Faktor yang menentukan dan yang
akhirnya membuat Ternate menjadi musuh yang sengit untuk orang-orang Portugis ialah kelakuan
mereka ini yang buruk. Orang-orang Portugis (dan orang-orang Eropa lainnya) yang pada zaman itu
datang ke daerah-daerah di seberang lautan, kebanyakan merupakan orang-orang buangan, sampah
masyarakat. Bagi mereka, berzinah, mabuk-mabukan, berkelahi, menipu, memeras adalah
perbuatan biasa saja. Perbuatan-perbuatan itu memuncak dalam pembunuhan atas diri sultan
Hairun dari Ternate ( § 8). Kelakuan mereka itu membuat nama orang-orang Eropa di sini berbau
busuk, dan mempersulit, akhirnya malah memaksakan usaha-usaha kaum rohaniawan untuk
membangun jemaat Kristen pribumi.

Dalam benteng Portugis di Ternate pasti hadir satu atau lebih imam untuk mengasuh tentara dan
pedagang-pedagang Portugis yang tinggal di sana. Tampaknya mereka tidak memandang penyiaran
agama Kristen kepada orang-orang bukan-Portugis sebagai tugas mereka yang utama. Sebab orang-
orang pertama yang masuk Kristen ditarik oleh seorang awam. Hal ini terjadi di pulau Halmahera. Di
bagian Utara pulau ini, Islam sudah mulai masuk sekitar tahun 1530. Beberapa kampung sudah
menerima agama yang baru itu. Tetapi kampung Mamuya tetap berpegang pada agama nenek-
moyang. Penduduk Mamuya terus-menerus diganggu tetangganya. Mungkin sekali dalam hal ini
agama hanya merupakan pokok pertikaian baru antara kampung-kampung yang sudah lama sekali
berkelahi (bnd § 9, 12).

Pada tahun 1533/4 datanglah seorang asing menetap di daerah Mamuya dengan maksud hendak
berdagang. Ia termasuk orang-orang kulit putih yang katanya sudah mendirikan suatu benteng di
Ternate. Agamanya bukan agama nenek-moyang dan bukan Islam pula. Tampaknya malah in tidak
begitu suka akan agama Islam. Hal ini memberi harapan kepada orang-orang Mamuya: mungkin
orang ini dapat menjadi sekutu mereka dalam pertikaian dengan tetangganya. Mereka membawa
keluhan-keluhannya kepadanya, dan saudagar itu memang bersikap simpatik. Ia memberi nasehat,
agar Mamuya mencari perlindungan pada orang-orang Portugis di Ternate. Dan supaya perlindungan
itu se-efektif mungkin, maka sebaiknya orang-orang Mamuya menerima pula agama orang-orang
Portugis, yaitu agama Kristen. Dengan demikian tanah maupun jiwa mereka akan selamat. Saudagar
itu masih menambahkan keterangan mengenai kuasa raja Portugal yang jaya itu, mengenai kepala
orang-orang Kristen di Roma, dan mengenai pokok-pokok utama agama itu.

Kepala Mamuya, yang memakai gelar kolano, menyambut baik nasehat orang asing itu. Ia mengirim
perutusan ke Temate agar mengadakan hubungan dengan panglima Portugis di sana, dan memohon
bantuannya terhadap tetangga yang menyusahkan mereka itu. Utusan-utusan akan mengungkapkan
pula keinginan orang-orang Mamuya untuk masuk Kristen. Mereka berangkat ke Ternate dan di sana
mereka disambut dengan gembira. Mereka dibawa kepada seorang imam yang adalah pendeta
orang-orang Portugis di Ternate. Selama beberapa hari mereka diberi pengajaran agama Kristen, lalu
mereka dibaptis. Setelah itu mereka pulang ke kampungnya.

Ketika kolano Mamuya menerima laporan utusan-utusannya, ia sangat bergembira. Segera juga ia
berangkat ke Ternate. Panglima Portugis sendiri datang menjemput dia dan ia disambut dengan
sangat meriah. Iapun selama beberapa hari diberi tahu mengenai isi agama Kristen, lalu
dipermandikan. Pada kesempatan itu ia mendapat nama raja Portugal serta gelar bangsawan
Portugis: Don Joao (uc.: Yoang). Dalam perjalanan pulang, ia disertai seorang imam yang namanya
Simon Vaz. Don Joao bersama rakyatnya sudah dimasukkan ke dalam ”Corpus Christianum”, ke
dalam ”umat” Kristen-Portugis. Pelajaran agama yang panjang tidak perlu untuk itu.

Kita melihat bahwa metode yang dipakai orang-orang Portugis dalam pengkristenan tidak berbeda
dari metode yang dipakai oleh penguasa-penguasa Islam dalam pengislaman. Seorang saudagar
memperkenalkan agamanya kepada orang-orang setempat, kekuasaan politis merupakan faktor
yang mendorong mereka untuk menerima agama baru. Lalu azas-azas agama itu diperkenalkan
kepada mereka, mereka diberi tandanya dan mendapat nama baru. Pada zaman ini, metode
menyebarkan Corpus Christianum belum berbeda secara azasi dari metode menyiarkan Islam. Kita
harus menarik kesimpulan bahwa paham orang-orang Kristen tentang hakekat Gereja dan
hubungannya dengan masyarakat pun tidak berbeda secara azasi daripada paham orang-orang Islam
tentang agamanya.

Kita tidak mempunyai berita-berita yang langsung tentang kehidupan jemaat Kristen yang pertama
di Indonesia itu. Tetapi kita mendengar bahwa Simon Vaz (yang adalah seorang rahib Fransiskan),
karena kegiatannya yang besar dan karena teladan hidupnya, berhasil menarik sejumlah besar orang
di Mamuya dan di kampung-kampung lain menjadi Kristen. Pekerjaan begitu meluas, sehingga
seorang imam lain lagi harus didatangkan. Juga pedagang-pedagang Portugis lebih banyak lagi
berdatangan. Perluasan perdagangan dan perluasan iman bergandengan tangan. Di setiap kampung
yang telah masuk Kristen didirikan sebuah salib yang besar. Dan kita boleh menduga bahwa orang
membangun juga suatu gedung gereja yang sederhana. Di sana dilayankan Misa, tetapi untuk
sementara waktu yang berkomuni (menerima roti dan anggur) hanya imam. Untuk orang-orang
Kristen yang baru itu masih dianggap perlu pendidikan lebih lanjut. Pendidikan itu tentu saja tidak
diberikan dalam bahasa daerah, yang tidak mungkin dipelajari dalam waktu yang begitu singkat,
tetapi dalam semacam bahasa campuran Melayu Portugis, yang kemudian diterjemahkan oleh
seorang juru bahasa ke dalam bahasa daerah. Mungkin juga orang harus menghafal rumusan-
rumusan-pokok iman Kristen, seperti Doa Bapa Kami. Keduabelas Pasal Iman, Salam Maria, dan lain-
lain, entah dalam bahasa Portugis entah dalam bahasa Melayu.

Sampai berapa jauh isi agama mereka yang baru itu meniadi jelas bagi penduduk kampung-kampung
Kristen tersebut? Mereka tidak dapat berbicara langsung dengan guru mereka dan sebaliknya. Itu
berarti bahwa ia ini tidak mengenal latarbelakang kekafiran mereka dan tidak dapat mengarahkan
pemberitaannya ke situ. Kita boleh menyangka bahwa kepercayaan kepada nenek-moyang hidup
terus. Hanya, sudah ada lapis baru ditambahkan kepada kepercayaan yang lama itu. Orang mulai
mengerti, meskipun masih samar-samar, tentang suatu Allah yang Esa, mengenai Kristus yang
menderita di atas salib, dan mengenai penghukuman yang terakhir dan tentang neraka yang
mengancam orang-orang berdosa. Juga tentang suatu persekutuan gereja yang lebih luas daripada
persekutuan kampung atau suku, dan yang dikepalai seorang raja rohani yang diberi gelar paus dan
yang tinggal di kota yang gemilang. Semua hal ini masih kurang dipahami. Untuk meresap ke dalam
otak dan hati orang, agama yang baru itu perlu diajarkan terus-menerus selama puluhan tahun lagi.
Akan tetapi ”bulan madu” Misi di Halmahera tidak berlangsung lama. Panglima-panglima Portugis di
Ternate tidak berhasil membina persahabatan dengan penduduk Maluku. Dan persaingan antara
raja Ternate dengan raja-raja Maluku lainnya ikut berperanan, sama seperti persaingan antara
Portugis dan Spanyol. Orang-orang Portugis membantu Temate, sedangkan orang-orang Spanyol
menjadi sekutu sultan Jailolo. Jemaat-jemaat Kristen, karena berada di pihak Portugal-Ternate,
banyak menderita, dan Simon Vaz terbunuh (1535/6). Don Joao, meskipun dipaksa dan diancam,
tidak mau mengingkari imannya dan masuk Islam. Tetapi sejumlah orang Kristen lain murtad dan
menjadi musuh orang-orang Portugis.

Pada waktu itu juga datanglah seorang panglima lain, Antonio Galvao (1536-1540). Galvao adalah
seorang yang bijaksana dan selama masa pemerintahannya Misi mendapat angin kembali. Keadaan
di Halmahera Utara dipulihkan. Bahkan beberapa tokoh masyarakat Ternate sendiri masuk Kristen
karena tertarik oleh pribadi panglima ini. Ada juga permintaan dari Sulawesi Selatan untuk mengirim
imam-imam ke sana (bnd § 13). Untuk sementara waktu di Ternate dibuka suatu sekolah, di mana
anak-anak Indo-Portugis dan anak-anak Kristen pribumi belajar membaca dan menulis, dan
menghafal Katekismus Katolik-Roma (sama seperti di daerah-daerah yang baru masuk Islam dibuka
madrasah-madrasah). Tetapi beberapa tahun kemudian, sekolah ini harus ditutup lagi, karena baik
panglima yang mengganti Galvao maupun pastor di Ternate terlalu sibuk dengan urusan-urusan
dagang. Pekerjaan Misi di Maluku Utara merosot lagi. Hal ini untuk sebagian disebabkan tindakan
penguasa-penguasa Portugis yang sewenang-wenang terhadap orang-orang Kristen sendiri.

Pada masa pemerintahan Galvao, mulai juga pekerjaan Misi di Ambon. Di situ agama Islam sudah
masuk dari Jawa. Dan di situ pula Misi segera terlibat dalam pertikaian antara kampung-kampung.
Pada tahun 1538, orang-orang Portugis mengalahkan suatu armada besar dari Jawa yang akan
membawa bantuan senjata kepada kampung-kampung Islam di Hitu. Sukses itu membawa beberapa
kampung yang masih menganut agama nenek moyang kepada keputusan untuk menerima agama
Kristen.

Prajurit-prajurit Paus

Dalam tahun-tahun 1540-an, suasana Misi di Maluku mengalami perubahan. Masuklah suatu unsur
baru, yaitu pater-pater Serikat Yesus (orang-orang Yesuit), yang membawa-serta suasana Kontra-
Reformasi dari Eropa.

Kontra-Reformasi adalah suatu pembaharuan dalam tubuh Gereja Katolik-Roma, yang berlangsung
sejak ± th 1540. Gerakan ini ditimbulkan oleh ”pemberontakan” Protestan terhadap kuasa Roma.
Tetapi bukan hanya Protestantisme yang ditentang olehnya. Kontra-Reformasi melawan juga
pandangan yang telah muncul pada zaman Konstantinus Agung, dan yang juga terdapat dalam
ideologi negara Spanyol dan Portugis, yaitu bahwa gereja adalah alat negara untuk bidang
kerohanian. Ambrosius, Augustinus dan paus-paus Abad Pertengahan telah berjuang menentang
pandangan itu. Hanya, paus-paus ini memutar-balikkan ideologi-negara dan menyatakan bahwa
negara adalah pelayan gereja. Dengan demikian mereka telah menciptakan suatu ideologi-gereja
sebagai tandingan ideologi-negara. Kontra-Reformasi menegaskan sekali lagi bahwa gereja bukan
suatu lembaga negara, bahwa gereja mempunyai metode-metode dan tujuan tersendiri
Berkat gerakan pembaharuan itu muncullah suatu angkatan misionaris yang bersemangat. Mereka
ini tidak merasa terikat pertama-tama kepada negara Portugal atau Spanyol, tetapi kepada Gereja,
kepada paus dan Kristus. Bagi mereka, perluasan agama Kristen wajib dilaksanakan terlepas dari
pertanyaan apakah hal itu adalah menguntungkan bagi perluasan wilayah pengaruh negaranya. Dari
sebab itu, para misionaris gaya barn itu merasa terdorong untuk bekerja juga di luar lingkungan
penguruh negara-negara Kristen. Demikianlah Xaverius, setelah meninggalkan Maluku, pergi ke
Jepang dan Tiongkok; de Nobili menetap di ibukota sebuah kerajaan India yang merdeka. Dan
apabila mereka bekerja di daerah jajahan, mereka akan bersifat lebih kritis terhadap tingkah-laku
orang-orang Eropa daripada imam-imam-negara. Kritik ini tidak hanya diarahkan kepada kelakuan
orang-orang Eropa secara pribadi, tetapi juga kepada tindakan penguasa yang resmi. Xaverius
pernah mengajak para imam lainnya untuk selalu membela hak-hak orang-orang pribumi dan untuk
sekali-kali tidak memfitnah mereka di hadapan orang-orang Portugis.

Para misionaris baru, khususnya orang-orang Yesuit yang bekerja di Maluku, membawa juga
metode-kerja yang baru. Mereka tidak mau lagi membaptis orang apabila sudah dapat dipastikan
bahwa baptisan itu tidak bisa dilanjutkan dengan pendidikan agama yang memadai. Mereka tak puas
kalau orang yang dibaptis diberi nama yang ”Kristen” dan menjadi warga negara ”Kristen”. Perlu ada
pendidikan agama yang lebih mendalam supaya orang menjadi sadar akan arti perpindahan agama.
Secara khusus, mereka berusaha membimbing orang supaya dapat ikut-serta dalam Komuni
(perayaan Misa).

Namun demikian, Xaverius dan teman-temannya tidak benar-benar berhasil mendobrak corak Misi
yang lama. Perbedaan antara gaya lama dan gaya baru tidak bersifat mutlak. Di satu pihak, di bawah
sistim lama pun ada orang-orang yang rajin dan yang adil. Di lain pihak, ”ragi lama” belum juga
hilang. Para misionaris sampai akhir abad ke-18 terpaksa tetap bekerja dalam rangka sistim
Padroado yang mempersempit kebebasan berge~ rak mereka. Selanjutnya, mereka sendiri pun tidak
selalu menghindari metode-metode yang lama. Baptisan massal berjalan terus, begitu juga
pemisahan sakramen-sakramen. Karena kekurangan tenaga, pendidikan lanjutan sering tidak sempat
diberikan. Dan orang-orang Yesuit juga mengharapkan, kalau perlu bantuan bersenjata dari pihak
negara untuk menunjang pekerjaan misi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa negara adalah
pelayan gereja. Xaverius dan kawan-kawan mengingatkan kita kepada seorang ”rasul Maluku” yang
lain, dan yang juga membawa semangat baru di dalam rangka sistim yang lama, yaitu Joseph Kam. (§
20).

Orang-orang Yesuit tidak segan menggunakan tangan kuat negara untuk membantu Misi. Tetapi hal
itu tidak berarti bahwa mereka tidak rela berkorban demi penyiaran iman. Apabila mereka disuruh
berangkat ke Asia, mereka tidak bisa mengharapkan akan melihat kembali kampung-halaman dan
keluarga mereka, atau teman-teman seordo mereka. Maluku malah terletak di ujung dunia, sebagai
daerah jajahan yang paling jauh dari Eropa. Pada zaman itu seorang Eropa sulit tetap sehat dalam
iklim dan dengan makanan yang terdapat di sana. Terutama apabila peperangan sedang melanda
daerah Maluku dan hal itu sering terjadi kehidupan misionaris cukup sulit. Salah seorang Yesuit
pernah mencatat bahwa makanan misionaris-misionaris di Maluku sepanjang tahun lebih sederhana
daripada yang dinikmati pater-pater di Goa pada waktu puasa. Selama abad ke-16, ada 50 lebih
pater Yesuit dikirim ke Maluku. Mereka diharapkan akan bekerja di sana untuk seumur hidup. Tetapi
rata-rata mereka tidak bertahan lebih dari tujuh tahun. Lalu meninggallah mereka, mati dibunuh
atau diracuni orang, tenggelam atau dihabisi oleh penyakit. Atau mereka terpaksa dipanggil pulang
karena kesehatan mereka rusak. Mereka mengalami segala jenis penderitaan yang dicatat oleh rasul
Paulus dalam II Kor. 11:23-28. Tidaklah mengherankan bahwa sesekali seorang Yesuit menolak
perintah untuk pergi ke Maluku, atau meninggalkan posnya di situ. Tetapi kebanyakan mereka
pantang mundur, sesuai dengan sumpah mereka sebagai anggota Serikat Yesus, yaitu untuk taat
kepada pimpinan Serikat dan mengorbankan segala sesuatu demi kebesaran Gereja.

Pekerjaan Fransiskus Xaverius di Maluku (1546-47)

Fransiskus Xaverius lahir pada tahun 1506 dari keluarga bangsawan di Spanyol. Ia mempersiapkan
diri untuk menjadi seorang imam, tanpa merasa panggilan yang khusus. Tetapi sewaktu belajar ilmu
theologia di Paris, ia bertemu dengan Ignatius dari Loyola, pelopor Kontra-Reformasi itu. Ia menjadi
salah seorang anggota pertama Serikat Yesus (1534/1540). Hanya kebetulan saja ia menjadi seorang
misionaris ke Asia. Seorang anggota Serikat Yesus yang lain akan pergi ke Goa, di mana Serikat mau
mendirikan suatu cabang. Tetapi dua hari sebelum kapal berangkat, orang ini jatuh sakit. Lalu
pimpinan Serikat menunjuk Xaverius sebagai penggantinya. Xaveriuspun segera berangkat (1542). Ia
tidak akan melihat Eropa kembali.

Xaverius bekerja dulu di Goa di tengah-tengah orang-orang Portugis dan Indo-Portugis yang
kehidupannya bobrok betul. Tetapi ia ingin melayani orang-orang pribumi dan berangkat ke daerah
pantai di sebelah Utara Goa untuk membina jemaat yang terlantar di sana. Setelah dua tahun di
India, ia mendengar kabar tentang kesempatan yang baik di Sulawesi Selatan (bnd § 13). Iapun
berangkat ke Malaka. Di sana ia belajar bahasa Melayu sedikit, kemudian ia berlayar ke Maluku, di
mana ia bekerja kira-kira 15 bulan lamanya (1546-47), mula-mula di Ambon, kemudian di Ternate
dan Halmahera, kembali di Ternate dan akhirnya di Ambon lagi. Setelah itu ia berangkat ke Jepang.
Ia meninggal di suatu pulau kecil lepas pantai Tiongkok, setelah usaha untuk memasuki negeri itu
gagal (1552). Pada tahun 1622, Xaverius dinyatakan sebagai ”orang kudus” (Santo) oleh Gereja
Katolik-Roma.

Xaverius menjadi perintis Misi gaya baru clan merupakan salah seorang tokoh yang paling menarik di
antara para misionaris abad ke-16. Dalam pekerjaannya di Indonesia, menjadi nyata pendekatan
yang baru.

Di Ternate, orang-orang Kristen Portugis dan Indo-Portugis hidup dengan seenaknya, dan sama
sekali bodoh dalam hal agama. Oleh karena itu Xaverius setiap hari dua kali satu jam
menyelenggarakan pelajaran agama Kristen untuk anak-anak dan orang-orang dewasa. Untuk itu ia
mempunyai metode yang berikut. Rumusan-rumusan pokok iman Kristen, seperti Pengakuan Iman
Rasuli, Doa Bapa Kami, Salam Maria, Kesepuluh Perintah dan lain-lain dikaji di depan orang yang
telah berkumpul itu. Kalau pendengarnya adalah orang-orang Indonesia, Xaverius memakai
terjemahan rumusan-rumusan tersebut, ke dalam bahasa Melayu, yang sudah dipersiapkannya di
Malaka. Para pendengar mengulangi naskah-naskah itu sampai hafal. Kita malah mendengar bahwa
teks-teks tersebut diberi lagu-lagu, dan bahwa orang menyanyikannya di jalan umum maupun di
ladang dan dalam rumah-rumah mereka. Pada malam hari, Fransiskus keliling kota sambil
memegang sebuah lonceng kecil, dan ia pergi dari rumah ke rumah untuk mengajak orang
mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian dan sekalian orang yang hidup dalam dosa berat dan yang
tidak mau bertobat sehingga akan binasa kelak.

Di Ternate, Fransiskus menyusun pula semacam katekismus, dalam bentuk suatu syair yang
mengandung penjelasan tentang Pengakuan Iman Rasuli. Bahasanya ialah bahasa Portugis, tetapi
ada pula salinan dalam bahasa Melayu, yang kemudian dipakai di seluruh Maluku. Syair ini mulai
dengan kata-kata: ”Bersukacitalah kalian umat Kristen, mendengar dan mengetahui bahwa Allah
membuat segala barang ciptaannya untuk kepentingan manusia”. Isinya terdiri dari 39 pasal, yang
susunannya sedikit banyak mengikuti urutan Keduabelas Pasal Iman. Maksud Xaverius ialah supaya
setiap hari diajarkan beberapa kalimat, sehingga sehabis waktu satu tahun, mereka sudah menghafal
isinya. Dengan demikian, kata Xaverius, ”di dalam mereka diletakkan dasar yang kokoh, sehingga
mereka benar-benar dan sungguh-sungguh percaya kepada Yesus Kristus dan tidak percaya lagi
kepada berhala yang sia-sia”.

Sewaktu di Ternate, Xaverius tidak hanya memperhatikan orang-orang yang sudah Kristen. Ia
bergaul juga dengan orang-orang Islam. Dengan sultan Hairun yang muda yang dikemudian hari akan
menjadi musuh yang dahsyat untuk orang-orang Portugis ia menjalin persahabatan yang akrab. Dan
ia mengunjungi jemaat-jemaat Kristen di Halmahera yang berada dalam keadaan berantakan dan
yang sudah beberapa tahun lamanya ti. dak melihat seorang imam.

Di Ambon, pada saat kedatangan Xaverius ada 7 kampung yang telah masuk Kristen. Di sini ia
memakai cara bekerja yang kira-kira sama seperti di Ternate. Bersama seorang anak laki-laki yang
membawa salib di depannya dan sekaligus menjadi juru bahasa, serta rombongan anak-anak lain
sebagai penghantar, ia mengunjungi orang dari rumah ke rumah dan menanyakan, adakah kiranya
dalam rumah itu orang yang sakit, atau anak-anak yang mau dipermandikan. Dan kalau pertanyaan
diiakan orang, dia masuk rumah, mengangkat tangan dan berdoa; lalu anak-anak yang menghantar
dia mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli dan Kesepuluh Perintah dalam bahasa Melayu, dan
Fransiskus sendiri membacakan kutipan dari Injil untuk orang sakit atau membaptis anak-anak yang
lahir sesudah imam yang terakhir meninggalkan pulau itu. Dan dengan bantuan jurubahasa, ia
mengumpulkan orang-orang dewasa maupun anak-anak dan mengajarkan kepada mereka doa-doa
dan pokok-pokok imam yang sudah diterjemahkannya ke dalam bahasa Melayu.

Fransiskus berusaha juga menyebarkan Injil kepada orangorang yang masih menganut agama nenek-
moyang. Ia berkeliling di seluruh Leitimor (bagian Selatan pulau Ambon) dan mengunjungi pulau
Seram, Saparua dan Nusa Laut di manabelum terdapat orang-orang Kristen. Tetapi hasilnya tidak
sebera' pa. Hanya di Nusa Laut ia berhasil membaptis satu orang. Karena itu, ketika berangkat dari
pulau itu, ia membuka sepatu dan mengebaskan debu daripadanya.

Dari berita-berita yang di atas ini ternyata bahwa Fransiskus tetap membaptis orang dengan cepat
sekali, setelah persiapan beberapa hari saja. Memang, ia menyadari bahwa perlu diadakan
bimbingan lebih lanjut terhadap orang-orang Kristen yang baru itu. Sebelum meninggalkan Ambon,
di setiap kampung Kristen ia mengangkat beberapa orang, yaitu mereka yang paling maju dalam
pengetahuan tentang iman Kristen, menjadi pengajar bagi teman-teman sekampungnya (tetapi bnd
§ 9)’ Dan ketika hendak kembali ke Majaka, ia menulis surat-surat kepada atasannya meminta agar
imam-imam lain dikirim ke Maluku. Kebijaksanaan ini sudah lebih baik daripada sikap misi negara,
yang membiarkan saja jemaat-jemaat yang baru tanpa penggembalaan bertahun-tahun lamanya.
Akan tetapi jumlah imam yang dapat dikirim ke Maluku terlalu kecil untuk melayani beribu-ribu
orang Kristen yang hidup terpencar itu. Selain daripada itu, kalaupun pelajaran lanjutan itu sempat
diberikan, hasilnya tidak selalu efektif. Bahasa Melayu pada zaman itu belum dimengerti umum di
Maluku dan bahasa daerah begitu banyak sehingga tidak mungkin memakainya sebagai bahasa
penghantar dalam pekerjaan Misi. Xaverius sendiri mengeluh bahwa rakyat dan juru bahasa
seringkali tidak mengerti perkataannya. Oleh sebab itu, hasil pelayanannya harus terbatas saja.

Xaverius tidak dapat tinggal lebih lama di Ambon dan di Maluku. Ia merasakan diri sebagai seorang
perintis, tidak mau menetap di satu tempat. Telah ia mendengar mengenai kesempatan indah yang
ada di negeri Jepang dan ia ingin pergi ke sana. Penduduk Maluku, baik yang Kristen maupun yang
Islam dan penganut agama suku, sangat menyayangi keberangkatannya. Tokoh Xaverius telah
berhasil menimbulkan rasa cinta-kasih pada mereka semua karena keramahannya yang luar biasa.
Orangorang di Ambon dan di Ternate menangis ketika ia pergi. Dan muncullah banyak ceritera ajaib
mengenai dia. Misalnya bahwa pemah salibnya hilang dalam laut dalam usaha menenangkan ombak
yang bergelora. Tetapi bahwa pada hari berikutnya, di pantai Seram, seekor kepiting besar datang
meletakkannya di kakinya. Atau bahwa pemah di suatu kampung di Saparua yang menderita karena
kekurangan air ia berdoa minta hujan, dan hujanpun segera datang sehingga seluruh penduduk
kampung itu masuk Kristen.

Agama Kristen di Maluku Utara (1547-akhir abad ke-18)

Dalam tahun-tahun sesudah 1547, usaha Misi berkembang terus sampai meliputi wilayah yang
semakin luas di Indonesia Timur. Maluku dijadikan daerah kerja Serikat Yesus, dan Xaverius sebagaj
pembesar orang-orang Yesuit di Asia mengirimi sejumlah tenaga ke situ. Tetapi selama abad ke-16
Gereja Kristen di Maluku banyak menderita karena pergolakan politis yang terus-menerus.

Di Maluku Utara, tahun 1570 mempakan titik-balik dalam perkembangan gereja. Pada masa
sebelumnya juga, jemaat-jemaat beberapa kali mengalami penganiayaan yang berat. Tetapi
perkembangan gereja pada tahun-tahun itu adalah bagaikan majunya laut di pantai waktu air
pasang: ada ombak yang maju jauh ke depan, lalu air mundur lagi, tetapi salah satu ombak
berikutnya akan maju lebih jauh lagi. Sebaliknya, sesudah tahun 1570 riwayatnya laksana
mundurnya laut di waktu air surut: masih ada ombak-ombak maju ke depan, tetapi setiap ombak
maju kurang jauh daripada yang sebelumnya. Beberapa kali gereja mendapat pukulan hebat, lalu
keadaan dipulihkan lagi. tetapi setiap kali jumlah jemaat-jemaat dan orang-orang Kristen berkurang
dibandingkan dengan yang tercatat dalam gerakan maju sebelumnya.

Selama tahun-tahun 1547-1570, Ternate tetap merupakan pusat kegiatan Misi. Di situ menetap juga
kepala orang-orang Yesuit yang bekerja di Maluku. Penduduk Ternate sendiri kebanyakan beragama
Islam. Tetapi pulau itu merupakan pula pangkalan orang-orang Portugis di Maluku dan Misi tetap
terikat kepada kekuasaan negara Portugis; itu berarti bahwa tetap juga mereka terlibat dalam
persaingan kuasa-kuasa politis.

Sultan yang pada zaman itu berkuasa atas Temate ialah sultan Hairun (1535-1570). Ia ingin
mendirikan suatu kerajaan besar, yang akan meliputi seluruh Maluku dan daerah-daerah sekitarnya,
termasuk ketiga kerajaan Islam yang lain. Dalam mewujudkan rencana itu, kehadiran orang-orang
Portugis tak bisa tidak merupakan rintangan. Dari itu, Hairun tidak begitu suka kalau ada daerah
yang menerima agama Kristen dan dengan demikian menjadi sekutu Portugis. Secara pribadi juga,
Hairun tidak dapat menyukai orang-orang Portugis. Dua kali ia ditangkap oleh seorang panglima
tanpa alasan yang sah. Di lain pihak, untuk sementara waktu ia hams bekerja-sama dengan orang-
orang Portugis, supaya mereka ini tidak memindahkan pangkalan mereka ke pulau yang lain (bnd §
5).

Pada saat-saat Portugis dan Ternate sedang rujuk, ketiga penguasa Islam yang lain ( § 5) memusuhi
orang-orang Portugis dan menghambat Misi serta anak-buahnya. Tetapi apabila sultan Ternate dan
tamunya saling menghantam, raja-raja Islam itu bersikap ramah terhadap orang-orang kulit putih
termasuk Misi mereka. Akibatnya, Misi mendapat pukulan terus-menerus, dari Ternate ataupun
daripada musuh-musuhnya. Namun demikian, jemaat-jemaat pada zaman itu masih dapat maju.
Apabila merasa terancam oleh Ternate, daerah-daerah yang lain, baik yang beragama Islam maupun
yang menganut agama suku, mencari persahabatan orang-orang Portugis untuk mengimbangi kuasa
Hairun. Dan sesuai dengan suasana zaman itu ( § 1, 3), cara yang terbaik untuk menjalin
persahabatan dengan orang-orang Portugis ialah dengan menerima agama mereka. Berhubung
dengan itu, para misionaris di Ternate terus-menerus mendapat pennintaan-permintaan agar datang
melayankan Baptisan di daerah lain (bnd juga § 11).

Perkembangan Misi yang paling menonjol dan memberi harapan terjadi di Halmahera. Orang-orang
Kristen dikumpulkan kembali dan jumlah kampung-kampung Kristen di Halmahera Utara dan di
Morotai bertambah terus. Pada tahun 1557 terjadilah suatu krisis. Panglima Portugis di Ternate
merampas cengkeh yang merupakan milik sultan Hairun dan ketika sultan melawan, ia ini ditahan.
Hairun kemudian dibebaskan oleh orang-orang Portugis yang tidak setuju dengan tindakan
sewenang-sewenang panglimanya. Tetapi ia tidak dapat melupakan penghinaan yang pemah
dialaminya. Di mana-mana di seluruh kepulauan Maluku orang-orang Portugis dan jemaat-jemaat
Kristen dipersulit kehidupannya. Orang-orang Kristen di Halmahera dipaksa masuk Islam. Mungkin
kepala suku Joao dari Mamuya ( § 5) tewas dalam penghambatan itu. Namun krisis inipun tidak
dapat menahan perkembangan Misi di Maluku Utara. Para misionaris yang telah dibunuh atau diusir
diganti dan jemaatjemaat yang belah dirusak itu dibangun kembali. Sekitar tahun 1565, jumlah
kampung-kampung Kristen ialah 47 buah dengan (katanya) 80.000 jiwa.

Misi dapat menetap juga di pulau-pulau yang dikuasai raja-raja Islam. Penguasa-penguasa di situ
mula-mula ikut menghambat orang-orang Kristen. Tetapi ketika hubungan antara orangorang
Portugis dengan Ternate menjadi semakin tegang dan kedudukan Sultan semakin kuat, maka sikap
mereka berubah. Raja Bacan dibaptis; begitu pula beberapa orang keluarga raja Tidore. Mereka
semua diberi nama-nama Portugis (bnd § 4, 5). Kejadian-kejadian ini tak boleh tidak memperuncing
lagi rasa pahit sultan Temate terhadap orang-orang Portugis. Mereka telah menghina dirinya;
sekarang mereka mau juga merugikan dia dengan jalan bergabung dengan raja-raja saingannya.

Di tahun 1569, Gereja Kristen di Maluku Utara boleh dikatakan telah mencapaj puncak
perkembangannya. Akan tetapi segera juga jemaat-jemaat dilanda krisis baru, yang lebih hebat
daripada yang dialami sebelumnya. Menurut berita-berita para misionaris, krisis ini mulai dengan
penghambatan yang oleh sultan Hairun dilancarkan terhadap orang-orang Kristen di Halmahera
Utara (1568/1569). Orang-orang Portugis di Ternate tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu tak terduga-
duga panglima mereka bertindak sangat kurang bijaksana. Ia mengadakan perjanjian damai dengan
sultan dan pada esoknya Hairun dibunuh atas perintah panglima (1570). Akibatnya seluruh daerah
Maluku dilanda perang. Anak sultan yang dibunuh itu bersumpah akan membalas kematian ayahnya
dengan banjir darah. Benteng Portugis di Ternate diputuskan hubungannya dengan dunia luar dan
akhimya terpaksa menyerah. Orang-orang Portugis yang tersisa menyingkir ke Ambon dan ke Tidore.
Tidore menjadi pusat barn kekuasaan Portugis di Maluku Utara dan dengan demikian juga menjadi
pusat kegiatan Misi di sana.

Misi di Maluku Utara hampir dilumpuhkan oleh kejadian kejadian ini. Para pekerja dari Eropa tinggal
beberapa orang saja. Halmahera terpaksa ditinggalkan. Orang-orang Kristen di sana. dengan sukarela
atau karena terpaksa, mengingkari imannya. Gereja di Halmahera hancur. Di Bacan dan di Tidore
masih terdapat jemaat-jemaat kecil selama beberapa puluh tahun. Sejak tahun 1580, negara Spanyol
menjadi sekutu Portugal dan bersama-sama mereka akhirnya berhasil mengalahkan Ternate (1606).
Berkat kemenangan ini maka selama beberapa tahun misi dapat dijalankan kembali di Halmahera
(1606-1613). Tetapi sekarang orang-orang yang dibaptis berjumlah ratusan, bukan ribuan seperti
lima puluh tahun sebelumnya. Dan pada tabun 1613, misionaris-misionaris di Halmahera terpaksa
mengungsi lagi. Kekristenan di pulau itu hilang dan pekabaran Injil barulah dimulai kembali dalam
abad ke-19.

Yang memaksa para misionaris untuk meninggalkan Halmahera bukanlah sultan Ternate. Telah
muncul suatu kekuasaan baru di kepulauan Maluku, yaitu orang-orang Belanda. Mereka merebut
Ambon (1605) dan semakin mendesak orang. orang Spanyol dan Portugis ke Utara. Merekapun
membangun benteng-benteng di Ternate, di sebelah benteng Spanyol-Portugis di sana. Sultan
Ternate menjadi sekutu mereka sebagaimana sultan Tidore adalah sekutu orang-orang Portugis.

Akan tetapi orang-orang Belanda tidak menggunakan kehadiran mereka di Maluku Utara untuk
mengabarkan Injil. Orang-orang Kristen di Halmahera mereka biarkan saja. Dan di Ternate mereka
malah mengadakan perjanjian dengan Sultan: orang-orang Belanda yang akan membelot ke pihak
Ternate akan diserahkan lagi kepada pemerintahan Belanda di Ternate, dan pembelot dari pihak
Temate akan dikembalikan kepada Sultan. Dalam suasana zaman itu, penetapan semacam itu berarti
bahwa seorang Islam yang masuk Kristen hams diserahkan kepada sultan Ternate. Pemerintah VOC
tidak merasa terpanggil mengabarkan Injil kepada orang yang bukan-Kristen kalau hal itu tidak cocok
dengan kepentingan dagangnya (bnd § 4)!
Akibat sikap ini, jemaat Kristen Protestan di Ternate dan di tempat-tempat lain di Maluku Utara
hanya merupakan ”jemaat benteng” saja. Anggotanya terdiri dari orang-orang Belanda-totok
pegawai dan serdadu Kompeni, dan dari orang-orang Kristen warisan zaman Portugis: orang-orang
Maluku asli dan orang-orang ”Mardeka”. Orang-orang Mardeka (Mardijkers) ini adalah orang-orang
Asia dan Indonesia yang berasal dari erah lain, yang beragama Kristen. Sering mereka bekas budak.
Kelompok-kelompok ini seluruhnya berjumlah beberapa ratus saja, Dan jumlah orang-orang Kristen
pribumi malah berkurang terns, karena kurang berhasil ditarik oleh pendeta-pendeta dan guru-guru
Protestan.

Sejarah jemaat-jemaat ini berlangsung terus sampai abad ke-18, bahkan sampai kepada zaman kita.
Dan ada beberapa peristiwa yang menarik dapat dicatat dalam sejarahnya itu. Begitu misalnya
bahwa pemah pendeta Belanda di Ternate berani mengecam dosa-dosa pembesar VOC di sana, dan
oleh karena itu ditahan dan dikirim ke Batavia (kemudian pendeta ini menjadi seorang pekabar Injil
di Taiwan). Akan tetapi kejadian-kejadian seperti itu sebenarnya merupakan urusan antara orang-
orang Belanda, dan tidak langsung menyangkut orang-orang pribumi. Hanya, oleh pendeta-pendeta
di Ternate sesekali diadakan perjalanan kunjungan ke Sulawesi Utara dan Sangir-Talaud.

(§ 11).

Jemaat-jemaat Protestan ini berdiri di samping jemaat Katolik Spanyol/Portugis di Ternate dan
Tidore. Di kalangan mereka ini kesadaran tentang, tugas penyiaran agama Kristen adalah lebih
hidup. Sejumlah orang Ternate dan Tidore dibaptis. Tetapi kelemahan orang-orang Spanyol/Portugis
mencegah-cegah usaha-usaha yang lebih luas. Dan pada tahun 1666 kedua benteng terakhir itu
dikosongkan. Pater-pater yang masih tinggal mengungsi bersama dengan tentara ke Filipina.
Tamatlah riwayat Misi Katolik di Maluku (bnd § 11).

Gereja di Maluku Selatan selama masa Portugus (1538-1605)

Dalam pasal-pasal yang terdahulu telah dikatakan bahwa pada tahun 1538, tiga kampung di pulau
Ambon menerima agama Kristen, dan bahwa beberapa tahun kemudian jumlah jemaat telah
bertambah menjadi tujuh. Kampung-kampung Kristen itu hampir semuanya terletak di bagian
selatan pulau Ambon, yang disebut Leitimor. Dalam tahun-tahun setelah kunjungan Xaverius, usaha-
usaha pekabaran Injil berkembang terus. Sejumlah besar kampung-kampung di Ambon dan
kepulauan Lease menerima agama Kristen. Di pulau Buru juga ribuan orang dibaptis, oleh awak kapal
yang selama beberapa waktu berlabuh di sana.

Yang menonjol ialah bahwa hasil tersebut tercapai walaupun kekristenan Ambon selama waktu itu
kurang sekali mendapat pemeliharaan dari luar. Para rohaniawan yang membaptis orang-orang
Kristen pertama itu tidak lama lagi berangkat. Seorang imam lain sudah meninggal lama sebelum
Xaverius datang. Xaverius sendiri hanya beberapa bulan lamanya tinggal di Ambon. Setelah ia
berangkat, ia mengirim seorang imam Yesuit. Orang ini bekerja dengan semangat besar, tetapi
belum dua tahun, ia mati, mungkin karena racun. Lima tahun lamanya orang-orang Kristen Ambon
berdiri sendiri.. Lalu datanglah seorang bruder (anggota ordo bukan imam, yang tidak berhak
melayankan sakramen-sakramen) setelah tiga minggu di Ambon ia mati tenggelam dalam perjalanan
ke Buru. Akhir tahun itu juga datang seorang imam, tetapi satu setengah tahun lagi ia dipanggil ke
Maluku Utara di mana ia mati syahid tak lama kemudian. Kalau dihitung, maka dalam ke-20 tahun
pertama, hanya 5 atau 6 tahun lamanya Gereja di Ambon dilayani oleh seorang imam.

Riwayat ini memberi kita kesan tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi Misi dan dalam tahun-
tahun ini keadaan malib damai! (bnd § 6). Tetapi perhitungan tadi membuat kita insyaf juga bahwa
tak bisa tidak ada peranan orang-orang Ambon sendiri dalam menjalankan kehidupan gerejani.
Hanya kita tidak tahu banyak tentang hal ini. Di kampung-kampung yang telah menerima agama
Kristen, Xaverius mengangkat beberap orang setempat agar menjadi pengajar-pengajar bagi yang
lain-lain. Selama tak ada seorang misionaris, mereka harus setiap hari mengajar teman-teman
sekampung mereka. Untuk itu mereka harus memakai Katekismus berbahasa Melayu karangan
Xaverius, yang berisi sekitar 20 halaman ( § 7). Selain daripada itu ada lagu-lagu mengenai pokok-
pokok iman Kristen ( § 7) dan benda-benda seperti salib besar yang berdiri di pusat kampung yang
mengingatkan penduduk kepada pemberitaan para misionaris.

Di kemudian hari, para ”katekit”, tenaga pribumi seperti yang diangkat oleh Xaverius, memainkan
peranan besar di Vietnam. Merekalah yang merupakan tulang punggung gereja pada masa
penghambatan, apabiia para misionaris asing diusir. Akan tetapi di Maluku tampaknya pelayanan
para katekis tidak sempat berkembang. Sebab tujuh tahun setelah Xaverius berangkat, seorang
misionaris hendak mengangkat tenaga-tenaga katekitdi kampung-kampung -berarti petunjuk-
petunjuk Xaverius tidak diikuti. Tetapi rencana itupun tidak jadi. Tinggal pertanyaan, siapa-siapa
yang membimbing orang-orang Kristen. Mungkin tokoh-tokoh seperti Manuel, kepala kampung
Hatiwi (nama Portugis lagi!), yang pernah menjadi petunjuk jalan/pandu bagi Xaverius dan yang di
kemudian hari memimpin pertahanan orang-orang Kristen terhadap serangan-serangan orang-orang
Hitu dan sekutu mereka dari Ternate. Bagaimanapun juga, adalah sulit untuk diterima bahwa
perluasan agama Kristen di Maluku Tengah dan kesetiaan orang-orang kepada agama mereka yang
baru hanya merupakan hasil usaha-usaha Misi yang tersendat-sendat itu.

Terlalu cepat juga orang-orang Kristen di Ambon dan Lease sempat menunjukkan kesetiaan mereka
kepada agamanya yang baru. Krisis tahun 1557 dan berikutnya ( § 8) melanda daerah mereka juga.
Kapal-kapal angkatan laut sultan Ternate datang ke Ambon. Selama tiga tahun orang-orang Kristen
hanya dapat mempertahankan diri dalam suatu benteng di pegunungan. Bahkan boleh dikatakan
bahwa sejak tahun 1558 terjadi perang gerilya yang terus-menerus di Leitimor dan Hitu, di Haruku
dan Saparua. Terkadang orang-orang Hitu diperkuat oleh korakora-korakora Temate atau oleh
pasukan-pasukan dari Jawa, sehingga mereka sanggup membakar kampung-kampung Kristen dan
memaksa penduduknya untuk murtad atau mundur ke pedalaman; terkadang datang bala bantuan
Portugis lalu kampung-kampung Islam-lah yang menderita nasib yang buruk. Keadaan ini
berlangsung terus selama setengah abad, sampai kedatangan orang-orang Belanda.

Tetapi kita akan salah menilai keadaan pada zaman itu andaikata kita mengira bahwa perang gerilya
itu dicetuskan oleh pertentangan antara orang-orang Islam dan orang-orang Kristen. Hal agama tidak
merupakan pokok pertikaian yang satu-satunya ataupun yang utama. Perselisihan-perselisihan lokal,
yang sudah ada sejak dahulu kala, antara kampung-kampung dan perkelompokan-perkelompokan
kampung-kampung (”Ulisiwa” dan ”Ulilima”) bercampur dengan persaingan antara Ternate dan
Tidore, antara Ternate dengan Portugal, dan akhirnya dikaitkan dengan perbedaan dalam hal agama.
Hal itu menjelaskan juga mengapa orang-orang Islam dengan relatif mudah masuk Kristen dan
sebaliknya, kalau ada desakan atau anjuran untuk berbuat demikian. Salah seorang pemimpin orang-
orang Kristen yang bersemangat dalam perang gerilya itu ialah Manuel dari Hatiwi. Kita mendengar
juga tentang misionaris-misionaris yang memperbenteng kampung-kampung, yang mengorganisir
pasukan-pasukan para-militer dan yang luka-luka dalam pertempuran. Orangorang Kristen banyak
yang murtad, tapi banyak juga yang lebih suka hidup di hutan atau mati syahid daripada mengingkari
iman mereka.

Di tengah-tengah pergolakan itu, jemaat-jemaat Kristen di Ambon dan di pulau-pulau sekitarnya


rada-rada berhasil mempertahankan diri. Pada tahun-tahun 1569 dan 1570, yang merupakan masa
tenteram, para misionaris membaptis 8.000 orang-orang dewasa dan anak-anak. Agama Kristen
diterima juga oleh beberapa kampung di Seram Selatan. Setelah itu, peristiwa-peristiwa di Ternate
sekali lagi datang mengganggu pekerjaan Misi dan kehidupan jemaat-jemaat di Ambon, seperti juga
di tempat-tempat lain ( § 8). Pada akhir zaman Portugis (tahun 1605), ketika terjadi semacam serah-
terima dengan penguasa-penguasa baru, yaitu orang-orang Belanda, orang-orang Kristen di Ambon,
Lease dan Seram berjumlah 16.000 orang.

Keadaan kacau yang berlangsung selama setengah abad itu pasti mempengaruhi kehidupan jemaat-
jemaat Kristen di Ambon dan Lease. Salah satu akibatnya ialah terdapatnya perbedaan besar antara
orang-orang Kristen yang tinggal di sekitax benteng Portugis, dan mereka yang tempat tinggalnya
jauh dari pusat. Di pusat, setelah tahun-tahun 1560-an, biasanya ada dua atau tiga orang misionaris.
Di sana terdapat empat gedung gereja (pada tahun 1605), satu untuk orang-orang Portugis yang
tinggal di benteng, satu untuk orang-orang Mardeka( § 8), dan dua untuk orang-orang Ambon asli.
Para pater menjalankan pendidikan agama dengan cara yang sudah dipakai oleh Xaverius.
Pemisahan sakramen-sakramen tetap dipraktekkan. Berarti, orang-orang yang dibaptis pada umur
dewasa tidak berhak untuk begitu saja ikut-serta dalam perayaan Misa. Mereka wajib mengikuti
katekisasi yang cukup panjang dulu. Apabila mereka sudah dianggap mempunyai pengertian
secukupnya tentang iman dan kesusilaan Kristen, sehingga dapat menginsyafi dosa-dosa mereka
sendiri, maka mereka diperbolehkan menjalani sakramen pengakuan dosa (biecht). Baru setelah itu
mereka berhak menikmati sakramen Ekaristi (Misa). Memang ada orang yang berhasil mencapai
tujuan itu, tetapi jumlah mereka tidak besar. Dengan demikian, dalam jemaat pusat itu terdapat dua
golongan, yang ”elite” dan yang ”anggota biasa”.

Di jemaat-jemaat lain, pembagian semacam itu tidak terdapat. Satu-satunya sakramen yang
dilayankan di sana ialah sakramen Baptisan, dan itupun hanya apabila keadaan mengizinkan. Jemaat-
jemaat di pedalaman itu jarang dikunjungi seorang imam. Di saat-saat tenang pun jumlah misionaris
tidak mencukupi untuk melayani seluruh jemaat secara teratur. Apalagi bila keadaan sedang kacau,
dan mereka itu tidak bisa keluar dari benteng Portugis karena kurang aman. Kampung-kampung ini
kecuali satu-dua tidak mempunyai gedung gereja. Pengajaran agama tidak atau jarang diberikan.
Kalaupun ada tenaga yang dapat memberikannya, tetapi karena keadaan perang yang terus-
menerus, orang-orang menjadi begitu miskin sehingga selalu sibuk mencari makanan.
Para misionaris bukan tidak melihat bahwa keadaan ini merugikan perkembangan Gereja. Karena
tidak ada penggembalaan, tidak berhasil dibangun jemaat yang mantap. ”Orang-orang Kristen,
kecuali yang di pusat, tidak tahu apa-apa mengenai agamanya”, kata para pater sendiri. ”Yang
tinggal dari agama Kristen hanyalah keinginan untuk kembali kepadanya, begitu ada seseorang yang
menunjukkan jalan yang benar kepada mereka”. Cara yang terbaik untuk mengatasi keadaan itu
ialah: mendidik dan mengangkat tenaga-tenaga setempat. Kita telah melihat bagaimana
pengangkatan katekit menjadi macet. Terlebih pula rencana untuk mendidik imam-imam pribumi
tidak dapat diwujudkan. Di pusat, para pater memang menjalankan suatu sekolah. Di sana diajarkan
agama di samping mata pelajaran-pelajaran yang lain. Setiap hari biasa anak-anak diberi penjelasan
mengenai pokok-pokok iman Kristen dan tentang Dasatitah; pada hariraya-hariraya mereka diberi
tahu tentang riwayat hidup orang Santo yang diperingati pada hari itu. Timbul harapan pada para
misionaris supaya anak-anak yang paling cerdas bisa dikirim ke Goa, agar dididik menjadi imam
(berarti belajar bahasa Latin). tetapi rencana itu tidak terlaksana.

Anda mungkin juga menyukai