Penegakan Hukum
Diposkan oleh Muh Ilmi Ikhsan Sabur
Perlindungan dan pengegakan hukum di suatu negara itu merupakan suatu keharusan agar
tercipta kedamaian, perdamaian, dan ketertiban dalam negera tersebut. Hukum tidak diadakan
begitu saja, namun memiliki dasar-dasar yang kuat dari kostitusi. Begitu juga dengan
Perlindungan dan penegakan hukum pastilah memiliki dasar hukum tertentu. Oleh karena itu,
kita akan membahas mengenai dasar hukum perlindungan dan penegakan hukum.
Perlindungan Hukum
Perlindugan hukum adalah segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian
hukum sebagai segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya
sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat
dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Contoh perlindungan hukum adalah
perlindungan hukum terhadap konsumen.
Penegakan Hukum
Seperti yang kita rasakan akhir-akhir ini, sifat hukum di Indonesia seperti tumpul ke atas dan
tajam ke bawah. Misalnya saja penegakan hukum terhadap koruptor yang kebanyakan hanya
menerima hukum yang tidak sesuai dengan perbuatannya, sebaliknya para rakya kecil jika
melanggar maka hukumannya sangat berat seperti kasus pencurian buah kapuk yang
dilakukan oleh seorang kakek yang menyebabkannya masuk bui beberapa tahun. Hal ini
membuat kita pesimis akan nasib penegakan hukum di Indonesia.
http://www.smansax1-edu.com/2014/11/dasar-hukum-perlindungan-dan-penegakan.html
Sabtu, 15 Februari 2014
Makalah Penegakan Hukum di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Tujuan
untuk membahas mengenai faktor penyebab ketidakadilan hukum dan cara mengatasai masalah yang
terjadi pada Negara ini.
PEMBAHASAN
Sebelum berangkat ke pertanyaan itu, satu hal yang harus dikemukakan adalah pentingnya
ada upaya dari pemerintah, di samping dari lembaga yudikatif sendiri, untuk melakukan hal ini.
Setidaknya ada tiga alasan perlunya ada kebijakan dari pemerintah dalam penegakan hukum:
Kedua, tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan langsung untuk
menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan pemerintahannya. Birokrasi dan pelayanan
masyarakat yang berjalan dengan baik, serta keamanan masyarakat. Dengan adanya penegakan
hukum yang baik, akan muncul pula stabilitas yang akan berdampak pada sektor politik dan
ekonomi. Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihan bila dikatakan penegakan hukum
hanyalah tanggung jawab dan kepentingan lembaga yudikatif.
Ketiga, sama sekali tidak bisa dilupakan adanya dua institusi penegakan hukum lainnya yang
berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan hukum bukanlah
wewenang Mahkamah Agung semata. Dalam konteks keamanan masyarakat dan ketertiban
umum, Kejaksaan dan Kepolisian justru menjadi ujung tombak penegakan hukum yang penting
karena ia langsung berhubungan dengan masyarakat. Sementara itu, dalam konteks legal
formal,sehingga saat ini pemerintah masih mempunyai suara yang sigifikan dalam penegakan
hukum. Sebab, sampai dengan September 2004, urusan administratif peradilan masih dipegang
oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Karena itu, Pemerintah masih berperan
penting dalam mutasi dan promosi hakim, serta administrasi peradilan.
adanya hukum untuk mengatur institusi masyarakat. Karenanya, ada asumsi dasar bahwa adanya
kepastian dalam penegakan hukum akan mengarah kepada stabilitas masyarakat. Dan memang,
selama hukum masih punya nafas keadilan, walau terdengar utopis, kepastian hukum jadi hal
yang didambakan. Sebab melalui kepastian inilah akan tercipta rasa aman bagi rakyat. Kepastian
bahwa kehidupan dijaga oleh negara, kepentingannya dihormati, dan kepemilikan yang diraihnya
dilindungi.
Tidak berhenti di situ. Bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum bukan cuma soal mendorong
perbaikan politik dan pemulihan ekonomi. Harus disadari bahwa penegakkan hukum justru
merupakan ujung tombak proses demokratisasi. Sebabnya, melalui penegakan hukum ini
Indonesia dapat secara konsisten memberantas korupsi yang sudah mengakar dengan kuat di
berbagai sektor, menjalankan aturanaturan main dalam bidang politik dan ekonomi secara
konsisten. Dengan penegakan hukum yang konsisten dan tegas, pemulihan ekonomi dan tatanan
politik juga bisa didorong percepatannya.
Lantas, bagaimana dengan penegakan hukum di Indonesia? Pertanyaan ini menjadi sulit
dijawab karena pemerintah sendiri hingga saat ini belum menunjukkan komitmennya yang
jelas mengenai penegakkan hukum. Hingga belakangan ini, hukum seringkali tidak dilihat
sebagai sesuatu yang penting dalam proses demokratisasi. Ia sering dipandang sebagai sektor
yang menopang perbaikan di bidang lainnya seperti politik dan pemulihan ekonomi. Alhasil,
pembaruan hukum sering diartikan sebagai pembuatan berbagai peraturan perundang-undangan
yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana-rencana perbaikan ekonomi dan politik daripada
pembenahan perangkat penegakan hukum itu sendiri.
Indikasi gejala ini terlihat dari lahirnya berbagai undang-undang secara kilat di DPR, yang didorong
oleh rencana pemulihan ekonomi yang dipreskripsikan oleh berbagai lembaga internasional dan
nasional sementara tidak banyak yang dilakukan untuk memperbaiki kinerja kepolisian dan
kejaksaan oleh pemerintah. Memang ada beberapa inisiatif yang sudah dilakukan. Misalnya saja
perbaikan ditubuh Kepolisian RI untuk mendorong Kepolisian yang lebih profesional. Begitu pula
halnya dengan studi-studi dalam rangka perbaikan kejaksaan, seperti Governance Audit untuk
Kejaksaan RI yang dilakukan oleh Asian Development Bank dan Price Waterhouse Coopers Indonesia
(Kejaksaan Agung RI, 2001). Saat inipun, dengan didorong dan diasistensi oleh beberapa institusi,
ada gerakan untuk pembaruan hukum yang dilakukan oleh institusi-institusi hukum negara,
yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian. Namun perlu dicermati juga bahwa
kebanyakan dari inisiatif tersebut adalah dorongan dari luar, dari masyarakat sipil dan lembaga-
lembaga non-pemerintahan lainnya, baik internasional maupun dalam negeri. Sementara
pemerintah sendiri tampaknya belum mempunyai visi yang jelas mengenai penegakan hukum.
Secara sederhana, asumsi di atas bisa dilihat dari tidak adanya kemauan politik untuk menunjukkan
komitmen terhadap penegakan hukum dengan dibiarkannya beberapa koruptor kelas kakap
berkeliaran di masyarakat. Bahkan, jajaran pemerintahan yang terkena indikasi korupsi pun masih
dibiarkan memegang jabatannya. Padahal, langkah pertama untuk menunjukkan komitmen
terhadap penegakan hukum justru dengan secara konsisten menerima putusan, bahkaan sangkaan
pengadilan mengenai tindak pidana tertentu, terlepas dari final atau tidaknya putusan tersebut.
Pasalnya, mereka adalah pejabat publik yang memiliki pertanggungjawaban politik, sehingga soal
teknis legal-formal menjadi tidak lagi relevan.
Hukum Nasional yang bertugas memberikan nasehat kepada presiden dalam bidang hukum.
Menukik ke pembicaraan yang lebih konkrit, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh
pemerintah dalam penegakan hukum. Di tingkat substansi hukum - peraturan perundang-
undangan- pemerintah perlu mendorong pembentukan perangkat peraturan yang terkait
dengan penegakan hukum dengan visi di atas. Misalnya saja, pembentukan peraturan yang
mewajibkan prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Juga,
pemerintah, sebagai salah satu aparat pembentuk undang-undang, perlu berinisiatf membentuk
undang-undang yang berkaitan dengan perbaikan institusi penegakan hukum: Pengadilan,
Kejaksaan, dan Kepolisian. Di tingkat aparat, perlu ada kebijakan yang berkaitan dengan disiplin yang
tinggi.
Bukan hanya aparat penegak hukum yang langsung berkaitan dengan pengadilan tetapi
seluruh aparat birokrasi pemerintah. Sebab penegakan hukum bukanlah hanya dilakukan di
pengadilan tapi juga soal bagaimana menjalankan peraturan perundang-undangan secara konsisten,
tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam konteks “kultur” hukum, pemerintah perlu
menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada dirinya sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan
kepada rakyat pengguna jasa penegakan hukum. Kultur ini bisa saja menjadi keluaran dari proses
disiplin yang kuat yang menumbuhkan budaya penghormatan yang tinggi kepada hukum. Namun
di samping itu, perlu juga dilakukan rangkaian kegiatan yang sistematis untuk mensosialisasikan
hak dan kewajiban warga negara, agar muncul kesadaran politik dan hukum.
Masih dalam konteks kebijakan pemerintah, penegakan hukum inipun harus didukung
pendanaan yang mencukupi oleh pemerintah serta, yang lebih penting lagi, perencanaan
pendanaan yang memadai. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dana untuk sektor hukum
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat dari tahun ke tahun. Namun,
ada beberapa permasalahan dalam hal anggaran ini, seperti diungkapkan dalam Kertas Kerja
Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan yang disusun oleh Mahkamah Agung bekerja
sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Dalam hal
perencanaan dan pengajuan APBN, kelemahan internal pengadilan yang berhasil diidentifikasi
antara lain: (i) ketiadaan parameter yang obyektif dan argumentasi yang memadai; (ii) proses
penyusunan yang tidak partisipatif; (iii) ketidakprofesionalan pengadilan; dan lain-lain (MA,
2003: 53-55). Kebanyakan “perencanaan” dana pemerintah untuk satu tahun anggaran tidak
dilakukan berdasarkan pengamatan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan yang riil,
melainkan menggunakan sistem “line item budgeting” menggunakan metode penetapan
anggaran melalui pendeketan “incremental” (penyusunan anggaran hanya dilakukan dengan cara
menaikkan jumlah tertentu dari anggaran tahun lalu atau anggaran yang sedang berjalan).
Akibatnya, dalam pelaksanaan anggaran, muncul “kebiasaan” untuk menghabiskan anggaran di
akhir tahun anggaran, tanpa memperhatikan hasil dan kualitas dari anggaran yang digunakan (MA,
2003: 53-55) .
Kertas Kerja tersebut merumuskan serangkaian rekomendasi yang sangat teknis guna mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut. Kertas Kerja itu memang lebih banyak ditujukan untuk
mempersiapkan wewenang administrasi dan keuangan yang akan dipindahkan dari pemerintah ke
Mahkamah Agung. Meski begitu, setidaknya beberapa rekomendasi yang sifatnya umum dan
sesuai dengan arah kebijakan penegakan hukum, seharusnya dapat diterapkan pula oleh
pemerintah.
Dalam jangka pendek, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan pemerintah untuk
mendukung penegakan hukum misalnya terkait dengan wewenang administrasi pengadilan yang
masih ada di tangan pemerintah hingga September 2004. Di sini, pemerintah bisa memainkan
peranan penting dalam mendisiplinkan hakim-hakim yang diduga melakukan praktek korupsi dan
kolusi. Selain itu, perlu ada dorongan dalam pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan
pembenahan institusi pengadilan. Seperti perubahan lima undang-undang yang berkaitan dengan
sistem peradilan terpadu (integrated justice system), yaitu UU Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Tata Usaha Negara, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan
Umum, dan UU Kejaksaan. Kelima undang-undang ini tengah dibahas di DPR oleh Badan Legislasi
(lihat www.parlemen.net). Sejauh perannya bisa dimainkan dalam proses pembahasan kelima
undang-undang ini, pemerintah perlu mendorong perbaikan institusi yang mengedepankan
pengadilan yang bersih dan independen. Begitu pula halnya dengan rencana penyusunan UU
tentang Komisi Yudisial yang sudah disampaikan oleh Badan Legislasi DPR kepada pemerintah
namun belum mendapatkan jawaban.
Dalam hal korupsi, yang tentunya berkaitan erat dengan konsistensi penegakan hukum,
pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tengah dilaksanakan harus
mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Demikian juga dengan rencana pembentukan
Pengadilan Khusus Korupsi yang direncanakan terbentuk pada bulan Juni 2004 (lihat Bappenas,
Cetak Biru Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi). Satu hal yang sama sekali tidak boleh
dilupakan adalah peran pemerintah dalam perbaikan institusi kejaksaan dan kepolisian yang jelas
berada di bawah wewenang pemerintah. Pada saat ini Kejaksaan tengah menyusun cetak biru
pembaruan kejaksaan dengan asistensi Komisi Hukum Nasional. Di sini perlu ada dorongan politik
yang kuat agar cetak biru tersebut tersusun dengan baik dan, lebih penting lagi, dapat terlaksana
dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
sama sekali tidak bisa dilupakan adanya dua institusi penegakan hukum
lainnya yang berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan
kebanyakan dari inisiatif tersebut adalah dorongan dari luar, dari masyarakat sipil dan lembaga-
lembaga non-pemerintahan lainnya, baik internasional maupun dalam negeri.
Satu hal yang sama sekali tidak boleh dilupakan adalah peran pemerintah dalam perbaikan institusi
kejaksaan dan kepolisian yang jelas berada di bawah wewenang pemerintah.
kebijakan-kebijakan pemerintah ini harus terus didorong agar mempunyai visi yang lebih jelas dan
responsif terhadap persoalan-persoalan yang nyata ada di masyarakat.
http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-penegakan-hukum-di-indonesia.html
BAB I
PENDAHULUAN
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata
tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan
maupun pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan
lain baik secara preventif maupun represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan
hukum dan perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses
pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum dalam system mperadilan pidana
merupakan suatu tumpuan harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (4) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Keadilan yang dihasilkan dari suatu
lembaga peradilan melalui suatu proses peradilan yang tertuang di dalam putusan hakim adalah
merupakan syarat utama di dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu masyarakat sebab
putusan-putusan hakim yang kurang adil membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan menjadi berkurang, sehingga mengakibatkan Universitas Sumatera Utaramasyarakat
enggan untuk menempuh jalur hukum di dalam mengatasi permasalahan hukum yang mereka
hadapi. Maka dalam hal ini hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili dalam suatu proses peradilan pidana, mempunyai suatu peranan penting
dalam penegakan hukum pidana untuk tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-
citakan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka rumusan masalah yang lahir adalah sebagai berikut:
4. Bagaimana Peristiwa Di lingkungan Sekitar yang Disebabkan Lemahnya Perlindungan dan
Penegakkan Hukum?
1.3 Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah tersebut tujuan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Soemardi dalam artikelnya yang berjudul
Hukum dan Penegakan Hukum (2007), perlindungan hukum dimaknai sebagai daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-
hak asasi yang ada. Makna tersebut tidak terlepas dari fungsi hukum itu sendiri, yaitu untuk
melindungi kepentingan manusia. Dengan kata lain hukum memberikan perlindungan kepada
manusia dalam memenuhi berbagai macam kepentingannya, dengan syarat manusia juga harus
melindungi kepentingan orang lain.
Di sisi lain, Simanjuntak dalam artikelnya yang berjudul Tinjauan Umum tentang
Perlindungan Hukum dan Kontrak Franchise (2011), mengartikan perlindungan hukum sebagai segala
upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang
melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Dengan demikian, suatu
perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
Selain itu, terdapat juga perlindungan hukum yang diberikan kepada Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI). Pengaturan mengenai hak atas kekayaan intelektual meliputi, hak cipta dan hak
atas kekayaan industri. Pengaturan mengenai hak atas kekayaan intelektual tersebut telah
dituangkan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman, dan lain sebagainya.
Tersangka sebagai pihak yang diduga telah melakukan perbuatan hukum juga memiliki hak
atas perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap tersangka diberikan berkaitan dengan hak-
hak tersangka yang harus dipenuhi agar sesuai dengan prosedur pemeriksaan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundangundangan. Hukum dapat secara efektif menjalankan fungsinya untuk
melindungi kepentingan manusia, apabila ditegakkan. Dengan kata lain perlindungan hukum dapat
terwujud apabila proses penegakan hukum dilaksanakan. Proses penegakan hukum merupakan
salah satu upaya untuk menjadikan hukum sebagai pedoman dalam setiap perilaku masyarakat
maupun aparat atau lembaga penegak hukum. Dengan kata lain, penegakan hukum merupakan
upaya untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum dalam berbagai macam bidang kehidupan.
Penegakan hukum merupakan syarat terwujudnya perlindungan hukum. Kepentingan setiap orang
akan terlindungi apabila hukum yang mengaturnya dilaksanakan baik oleh masyarakat ataupun
aparat penegak hukum. Misalnya, perlindungan hukum konsumen akan terwujud, apabila undang-
undang
perlindungan konsumen dilaksanakan, hak cipta yang dimiliki oleh seseorang juga
akan terlindungi apabila ketentuan mengenai hak cipta juga dilaksanakan. Begitu
pula dengan kehidupan di sekolah, keluarga dan masyarakat akan tertib, aman dan tenteram apabila
norma-norma berlaku di lingkungan tersebut dilaksanakan.
2.2 Dasar Hukum Perlindungan dan Penegakan Hukum
Adapun dasar hukum yang mengatur tentang perlindungan dan penegakan hukum di
Indonesia, antara lain:
1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
2. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
3. Pasal 28 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungiHak Asasi
Manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan Hak Asasi
Manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
4. Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
5. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
Sebagai negara hukum, Indonesia wajib melaksanakan proses perlindungan dan penegakan
hukum. Negara wajib melindungi warga negaranya dari berbagai macam ketidakadilan,
ketidaknyaman dan penyimpangan hukum lainnya. Selain itu, Negara mempunyai kekuasaan untuk
memaksa seluruh warga negaranya untuk melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Perlindungan dan penegakan hukum sangat penting dilakukan, karena dapat mewujudkan
hal-hal berikut ini:
Supremasi hukum bermakna bahwa hukum mempunyai kekuasaan mutlak dalam mengatur
pergaulan manusia dalam berbagai macam kehidupan. Dengan kata lain, semua tindakan warga
negara maupun pemerintahan selalu berlandaskan pada hukum yang berlaku. Tegaknya supremasi
hukum tidak akan terwujud apabila aturan-aturan yang berlaku tidak ditegakkan baik oleh
masyarakat maupun aparat penegak hukum.
Kehidupan yang diwarnai suasana yang damai merupakan harapan setiap orang. Perdamaian
akan terwjud apabila setiap orang merasa dilindungi dalam segala bidang kehidupan. Hal itu akan
terwujud apabila aturan-aturan yang berlaku dilaksanakan.
a. Hukumnya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah undang-undang dibuat tidak boleh bertentangan
dengan ideologi negara, dan undang-undang dibuat haruslah menurut ketentuan yang mengatur
kewenangan pembuatan undangundang sebagaimana diatur dalam Konstitusi negara, serta undang-
undang dibuat haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat di mana undang-undang
tersebut diberlakukan.
b. Penegak hukum, yakni pihakpihak yang secara langsung terlibat dalam bidang penegakan hukum.
Penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan peranannya masing-masing
yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan tugas tersebut
dilakukan dengan mengutamakan keadilan dan profesionalisme, sehingga menjadi panutan
masyarakat serta dipercaya oleh semua pihak termasuk semua anggota masyarakat.
c. Masyarakat, yakni masyarakat lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
Maksudnya warga masyarakat harus mengetahui dan memahami hukum yang berlaku, serta
menaati hukum yang berlaku dengan penuh kesadaran akan penting dan perlunya hukum bagi
kehidupan masyarakat.
d. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana atau fasilitas`tersebut mencakup
tenaga manusia yang terdidik dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup, dan sebagainya. Ketersediaan sarana dan fasilitas yang memadai merupakan suatu
keharusan bagi keberhasilan penegakan hukum.
e. Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup. Dalam hal ini kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
sehingga dianut, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari.
2.4 Peristiwa Di lingkungan Sekitar yang Disebabkan Lemahnya Perlindungan dan Penegakkan Hukum
Pelanggaran hukum disebut juga perbuatan melawan hukum, yaitu tindakan seseorang yang
tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku. Dengan kata lain, pelanggaran
hukum merupakan pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh
peraturan atau hukum yang berlaku, misalnya kasus pembunuhan merupakan pengingkaran
terhadap kewajiban untuk menghormati hak hidup orang lain. Pelanggaran hukum merupakan
bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum. Ketidakpatuhan terhadap hukum dapat disebabkan oleh
dua hal, yaitu:
a. Pelanggaran hukum oleh pelaku pelanggaran sudah dianggap sebagai kebiasaan bahkan kebutuhan
b. Hukum yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan.
Saat ini kita sering melihat berbagai pelanggaran hukum banyak terjadi di negara ini. Hampir
setiap hari kita mendapatkan informasi mengenai terjadinya tindakan melawan hukum baik yang
dilakukan oleh masyarakat ataupun oleh aparat penegak hukum sendiri. Berikut ini contoh perilaku
yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat,
bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Soemardi dalam artikelnya yang berjudul
Hukum dan Penegakan Hukum (2007), perlindungan hukum dimaknai sebagai daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-
hak asasi yang ada.
Pelanggaran hukum disebut juga perbuatan melawan hukum, yaitu tindakan seseorang yang
tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku. Dengan kata lain, pelanggaran
hukum merupakan pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh
peraturan atau hukum yang berlaku, misalnya kasus pembunuhan merupakan pengingkaran
terhadap kewajiban untuk menghormati hak hidup orang lain.
3.2. Saran
Berdasarkan pembahasan di atas dan simpulan yang telah di kemukakan sebelumnya, pada
bagian ini penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
3.2.1. Penulis berharap dari adanya tugas ini dapat memberikan manfaat yang banyak bagi para pembaca
terutama siswa sebagai generasi mudah.
3.2.2. Penulis berharap agar siswa lebih mudah memahami perlindungan dan penegakkan hukum.
3.2.3. Penulis menyadari bahwa masih banyak siswa yang belum memahami tentang perlindungan dan
penegakkan hukum maka dalam hal ini perlu mendapatkan perhatian dari para guru terutama para
ahli hukum.
Diposkan oleh Irwan Darwis di Minggu, November 30, 2014
http://irwankaimoto.blogspot.com/2014/11/makalah-perlindungan-dan-penegakan-hukum.html
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun waktu
beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi
yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan”
bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak
terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang
sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan
beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula
pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain.
Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama” berbagai
media di tanah air.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis
tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin
berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan
aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru
mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan
pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM
berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala
tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945,
Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-
undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam
arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the
rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh
hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just
law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan
sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai
pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan
membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi
subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja,
misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja
dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait
dengan tema penegakan hukum itu.
Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya
bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum
materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian
penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan
hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang
sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court
of Justice’.
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah
terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara
tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang
ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu,
dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang
sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi
manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran
untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang
belum berkembang secara sehat.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii)
budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya
maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah
memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya
penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena
itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i)
pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law,
dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law).
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau
dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak
(biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena
hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian
yang tidak seimbang.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan
yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda
cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal
dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
b. Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan)
danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan
faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini
juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang
menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan
putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan
substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh
beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan
tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik
polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang
bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan
dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak
disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan
hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang
memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri.
Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang
melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang
polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih
tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam
tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.
a. Tingkat kekayaan seseorang.
Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang melakukan
pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa mementahkan
dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu pelaku dapat
membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya dengan pelaku
pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa membayar
pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah menerima putusan
hakim. Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan pemerintah
milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.
Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi mendapat
keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya sampai hal ini
terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan hukum dimana karna
jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika melakukan pelanggaran
hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang jabatannya rendah walaupun
pada kasus yang sama.
c. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD),
Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer dari empat
tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke
kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah
militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba
lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang
diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.
d. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang menewaskan tiga
orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan Internasional ini
mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti pesenjataan milisi Timor
Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap
bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yamg terjadi di
bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk
kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan
sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali
aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional,
namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk
dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional
menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus
kekerasan.
Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat
tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan
permasalahannya diluar jalur hukum. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh
sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang
tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan
tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus
diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim
maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa
adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus
diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan
menciptakan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih
tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam
penegakan hukum secara konsisten.
Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas aparat
penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya nilai-
nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk mufakat dan
nilai
keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Hasil
penelitian, menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum
sangat dipengaruhi oleh keadaan atau situasional suatu daerah, apabila disuatu daerah
penegakan hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat juga baik di daerah
tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang baik, maka tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut menjadi kurang baik.
Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk konsepsi sistem
hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence maka nilai-nilai
Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan standar
hukum
yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion (Kesatuan pandangan)
di
antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk Undang-Undang sinergitas terpadu
dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas baik, aturan
hukum yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan selanjutnya
diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak hukum.
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku
hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang
baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan
masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah
kepada perilaku hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata
lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka
pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa pemberdayaan
masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat
terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi
kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola
perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat
dipengaruhi
oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai
terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi
struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan,
pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa
pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak
hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4)
Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum
terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi
substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini
http://yenisaputri080893.blogspot.com/2013/08/makalah-penegakan-hukum.html
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya maka tersusunlah makalah ini. Makalah ini disusun guna melengkapi
tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Tidak lupa saya juga mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang mendukung tersusunnya makalah
ini, yaitu :
1. Bapak Budi Mulyono, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Pedidikan
Kewarganegaraan
2. Orang tua yang selalu mendukung dan memberi fasilitas kepada saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu
saya sangat mengharapkan dan berterimakasih apabila anda memberikan kritik dan saran atas
makalah ini, sehingga hal tersebut dapat memotivasi saya agar dapat berkarya dengan lebih
baik lagi.
Penulis
DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar………………………………………………………………… i
2. Daftar isi………………………………………………………………………. ii
3. BAB I Pendahuluan……………………………………………………...……. 1
A. Latar belakang………………………………………………………… 1
B. Rumusan masalah……………………………………………………… 2
C. Tujuan ……………………………………………………………........ 2
D. Manfaat.................................................................................................... 2
4. BAB II Pembahasan …………………………………………...…………….... 4
A. Kebijakan Penegak Hukum …………………………………….…….... 4
B. Problematika Penegak Hukum di Indonesia ……………..................... 5
C. Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia …………………........ 14
D. Ketidakpuasan Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia....………….16
E. Pemecahan Problematika Penegak Hukum di Indonesia...................…. 16
5. BAB III Penutupan.……………………………………………………........... 19
6. Daftar Pustaka ………………………………………………………………… 21
BAB I
PENDAHULUAN
C. TUJUAN
Tujuan dalam pembahasan ini adalah interpretasi terhadap rumusan permasalahan ini, yaitu.
1. Untuk mengetahui definisi kebijakan penegak hukum.
2. Untuk mengetahui problematika penegakan hukum di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4. Untuk mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5. Untuk mengetahui solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di
Indonesia.
D. MANFAAT
Adapun manfaat yang diharapkan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut.
1. Dapat mengetahui dasar-dasar dalam pembentukan hukum Negara Indonesia.
2. Dapat mengetahui problematika penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
3. Dapat mengetahui dampak dalam penegakan hukum di Indonesia.
4. Dapat mengetahui kenapa masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia.
5. Dapat mengetahui dan menilai bagaimana solusi dalam pemecahan permasalahan hukum di
Indonesia.
6. Khusus bagi pemerintahan, memberikan gambaran mengenai sistem penegakan hukum yang
berlaku dalam masyarakat, serta diharapkan dapat menilai, menelaah dan membuat suatu
keputusan dalam pemecahan masalah penegakan hukum tersebut.
BAB II
PEMBAHASAAN
Berbagai realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan
penegakan hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang
dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya
para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para
pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi namun kita
tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuhnya kegagalan tersebut kepada para penegak
hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah
pemegang hukum dan tempat hukum tersebut berpijak.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan entri yang sangat menuju masyarakat
kewargaan. Masyarakat kewargaan pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang
termasuk ke dalam kategori warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum
hendaknya secara sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda
dan bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar dari
pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada aspek
”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi ketunggalan atau kesatuan,
pluralism tidak dibiarkan ada.
Bertolak dari pengakuan terhadap eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah
fungsional bagi berdirinya masyarakat. Konflik bukan sesuatu yang harus ditabukan, sebab
mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial. Dengan
demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa sehingga
menjadi produktif buat masyarakat.
Masalah tentang problematika penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang
sangat menarik untuk diangkat dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada
kepuasaan yang dicapai subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta berbagai badan-
badan hukum.
Saya mencoba untuk memberikan beberapa pemecahan dari berbagai problematika
penegakan hukum di Indonesia. Yang pertama yakni bagaimana sikap serta tindakan para
sarjana hukum untuk lebih memperluas cakrawalanya dalam memahami atau menganalisis
masalah-masalah yang terjadi sekarang ini. Di sini dibutuhkan sebuah pandangan kritis akan
makna atau arti penting penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu dibutuhkan ilmu-ilmu
sosial lainnya seperti sosiologi dalam mengidentifikasi masalah-masalah sosial serta
penegakan hukum yang ada dalam masyarakat agar dalam pembuatan hukum ke depannya
dapat menjadikan kekurangan atau kegagalan di masa lalu sebagai bahan pembelajaran.
Namun yang perlu diingat bersama adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan
hukum serta adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang
terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kemudian yang kedua, cara untuk menyelesaikan berbagai masalah terkait hal
tersebut yakni bagaimana tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim,
jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi nilai-nilai
kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan proses-proses hukum sesuai dengan
aturan yang ada di dalam undang-undang negara kita. Bukan hanya itu filosofi Pancasila
sebagai asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup dalam bertindak atau sebagai pusat
dimana pengamalannya sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara kita sebagaimana telah
dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat pada alinea ke-IV. Hukum seharusnya
tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus
berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks
perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya
berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan yang
kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
Cara yang ketiga yakni program jangka panjang yang perlu dilakukan yakni
penerapan pendidikan karakter dalam setiap tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat
keefektifan program tersebut dalam membangun atau menguatkan mental anak bangsa
ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya generasi-generasi
penerus bangsa tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan. Program ini juga
mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum yang dijalankan di Indonesia karena
para penegak hukum telah dibekali pembangunan karakter yang akan melahirkan atau
menciptakan manusia Indonesia yang unggul.
Untuk cara keempat yakni adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang
memberikan terobosan-terobosan dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya
penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan
terobosan yang bermanfaat bagi penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih
sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi
penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan
menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya
penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum.
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan
akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada
reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor
utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali
lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, Namun
keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata
masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus hukum yang silih berganti dalam kurun waktu relatif
singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena
permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat
bisa terjamin keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang
sebenarnya, hukumlah yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum
sebanarnya telah sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin
mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala
kebobrokan hukum di negeri ini.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan
yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan
tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya.
Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak
kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau
pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk
bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima
oleh masayarakat dan Negara.
Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”, harus dilaksanakan, karena sudah demikian
ketetapan itu berlaku. Merupakan karekteristik yang harus tertanam dalam diri pribadi
ataupun kelompok kepentingan. Kita harus malu dengan Undang-Undang tersebut, harus
malu dengan pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan itu dengan hal yang tidak
dapat membuat negeri ini malu di mata masyarakat ini sendiri bahkan dunia luar. Bangsa
yang besar tidak hanya berdasarkan luasan wilayahnya ataupun betapa banyaknya jumlah
penduduk, tetapi dengan menghargai perjuangan para pahlawan terdahulu dengan
menjalankan ketentuan hukum yang berlaku demi terciptanya keamanan, ketentraman dan
kesejahteraan masyarakat.
http://yourlongdistancerelationship.blogspot.com/2013/12/makalah-problematika-
penegakan-hukum-di.html