Anda di halaman 1dari 12

UJIAN AKHIR SEMESTER

TEORI KESEJAHTERAAN SOSIAL

Dosen Pengampu :
Prof. Robert MZ Lawang

Oleh :

Indah Meitasari
NPM 1806261105

Program Doktoral
Ilmu Kesejahteraan Sosial
FISIP UI

Januari 2019

1
PERLINDUNGAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN
MELALUI PENINGKATAN KETAHAN KELUARGA

Anak-anak memiliki hak asasi manusia yang sama seperti yang diberikan kepada semua
orang. Tetapi, mereka tidak memiliki kekuatan untuk membela kepentingan diri mereka
sendiri. Anak membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan perhatian dari orang
dewasa, termasuk memberi keamanan dan perlindungan. Berkaitan dengan hal
tersebut, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 tahun 1990, yang didalamnya menyebutkan bahwa anak memiliki hak untuk
tumbuh dan berkembang dalam kondisi kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakat di
sekitarnya yang sejahtera. Selanjutnya disebutkan juga bahwa anak mendapatkan
perlindungan khusus yang mencakup upaya-upaya yang harus dilakukan agar setiap
anak tidak di diskriminasi dan tidak mengalami kekerasan selama hidupnya.
(wartakota.tribunnews.com)

Masyarakat, bangsa dan negara harus terlibat dalam perlindungan. Orangtua harus
memberikan pengasuhan yang terbaik bagi anak, melindungi dan mencegah dari hal-
hal yang membahayakan. Salah satu bentuknya adalah melindungi dari tindak
kekerasaan. Dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2014 dikatakan bahwa
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya disebutkan bahwa Negara, Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan Orangtua atau Wali berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Negara sangat memperhatikan dan melindungi anak, oleh karena itu setiap
pemerintahan kota atau kabupaten harus memperhatikan kesejahteraan anak dengan
memberikan kemudahan dan akses kepada anak agar dapat menjadi kota atau daerah
ramah anak. Anak harus berada dalam lingkungan keluarga yang kondusif agar tumbuh,

2
berkembang hingga dewasa dan menjadi fondasi yang kuat bagi keluarga, bangsa dan
negara. Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah Kota Depok memiliki program unggulan,
salah satunya adalah peningkatan ketahanan keluarga. Sebagai unit sosial terkecil,
keluarga berkaitan dengan masalah kekerabatan, tempat tinggal atau ikatan emosional
serta adanya saling ketergantungan, sehingga program ketahanan keluarga tidak
semata untuk pengendalian kuantitas penduduk saja, akan tetapi untuk pengembangan
kualitas penduduk dan kualitas keluarga juga, sehingga menjadi kekuatan pembangunan
bangsa.Untuk itu pemerintah daerah bertanggungjawab untuk melaksanakan kebijakan
nasional dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak di daerah.

Kebijakan itu dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota


layak anak. (Abdussalam 2016). Adapun kebijakan Pemerintah Daerah Kota Depok
tertuang dalam PERDA Nomor 09 tahun 2017 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga.
Tujuan dari Program Ketahanan Kota Depok adalah mengoptimalkan fungsi keluarga
dalam memenuhi kebutuhan fisik material dan mental spiritual secara seimbang;
mewujudkan keharmonisan keluarga, cinta dan kasih sayang serta saling menghargai
berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa. menjadikan keluarga sebagai
wahana pendidikan pertama dan utama bagi sumber daya manusia; menjadikan kualitas
keluarga sebagai basis perencanaan dan indikator keberhasilan pembangunan;
meningkatkan kualitas sistem pelayanan publik ramah keluarga; meningkatkan peran
serta keluara dalam mencapai tujuan pembangunan.

Kepala Polres Kota Depok Komisaris besar Dwiyono antara lain mengungkapkan ada
kecenderungan terjadi peningkatan kasus kejahatan terhadap anak. Pada 2014, polresta
menangai 219 kasus dan pada 2015 menjadi 231 kasus atau naik sekitar 5 persen. “Rata-
rata kasus itu berupa pencabulan terhadap anak”. (Newsliputan6.com). Menurut
catatan Komnas Perlindungan Anak, dari tahun 2014, hingga tahun 2015 terjadi
peningkatan kejahatan terhadap anak sampai 28%, jauh dari angka yang dilaporkan
polisi. (Kompas, 2016). Berita terkini yang berkaitan dengan kekerasan seksual,
dikemukakan oleh Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Depok bahwa kekerasan seksual

3
terjadi di Sekolah Dasar yang dilakukan oleh seorang guru terhadap 13 muridnya.
(Kompas, 12 Juni 2018)

Melihat kondisi tersebut, sangat penting implementasi program Peningkatan


Ketahanan Keluarga yang dicanangkan oleh pemerintah Kota Depok. Perlu adanya
kerjasama dengan masyarakat, khususnya individu dan kelompok masyarakat yang
memiliki kepedulian terhadap anak-anak. Untuk itu dibutuhkan modal sosial yang
terdapat pada organisasi sosial/massa, komunitas dan tokoh masyarakat yang turut
mendukung dan membantu agar program unggulan pemerintah Kota Depok tersebut
dapat terwujud.

Berdasarkan Perspektif Ekologis, keluarga adalah mikrosistem yang kuat yang memiliki
fungsi protektif dan amelioratif untuk anak. Keberhasilan fungsi ini penting untuk
menilai berbagai domain, termasuk kesehatan mental dan fisik, fungsi adaptif, fungsi
kognitif, dan fungsi sosial. Terpenuhi kebutuhan dasar anak yang mencakup fisik-
biologis, emosi, kasih sayang dan stimuluasi serta penanaman nilai-nilai dan norma yang
baik dari lingkungan (sekolah, keluarga besar, tetangga dan peer-group), semakin
mewujudkan keadaan yang sejahtera bagi seorang anak.

Hubungan orangtua-anak diharapkan memberikan stabilitas dan integritas; keamanan


keuangan; kesehatan dan pendidikan; dan moralitas dan rasa hormat. Stabilitas dan
integritas berarti orang tua perlu menyediakan hubungan yang aman, stabil, dan
konstan di mana anak-anak mereka dapat mendasarkan harapan dan masa depan
mereka. Dalam wilayah keamanan ini, orang tua memiliki kesempatan untuk mengajari
anak-anak mereka apa yang masyarakat dan budaya (norma dan nilai-nilai) harapkan
dari mereka sebagai orang dewasa. Untuk memungkinkan anak mempelajari pelajaran-
pelajaran ini, orang tua diharapkan memberikan kenyamanan kenyamanan karena
“ditampung” dengan benar, diberi pakaian, dan diberi makan. Kepastian kenyamanan ini

4
membutuhkan keamanan finansial, yang harus disediakan oleh orang tua dalam
memenuhi kesehatan dan pendidikan.

Habitus

Keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak, harus memiliki
ketahanan sehingga dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kesejahteraaan.
Habitus dalam keluarga diharapkan dapat meningkatkan pertahanan keluarga sehingga
dapat memberikan perlindungan anak secara maksimal.

Anak sebagai bagian dari keluarga, mengikuti nilai-nilai dan kebiasaan yang dilakukan
oleh lingkungan keluarga. Orangtua menanamkan norma, nilai, gaya hidup, bahasa,
perilaku yang semuanya tercakup dalam pola pengasuhan sehingga tertanam menjadi
habitus. Habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, yang tercipta
melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap
menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap didalam diri manusia tersebut.
Begitu kuat sampai mempengaruhi bentuk tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu
kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik.

Konsep habitus berasal dari pemikiran filsafat, dalam bahasa latin artinya kebiasaan
(habitual), penampilan diri (appearance) atau bisa pula menunjukkan pada tata
pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Bourdieu menaruh perhatian
pada apa yang dilakukan individu dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bahwa
kehidupan sosial tidak dapat dipahami secara terpisah dalam hal pengambilan
keputusan individu di satu sisi, atau sebagai sesuatu yang ditentukan oleh struktur
supra individual, sebagaimana dilakukan metafisika objektivisme disisi yang lain.
[ CITATION Ric16 \l 1033 ]

Habitus adalah sistem kecondongan (disposisi) yang awet dan dapat berbalik urutannya,
sehingga merupakan struktur yang testruktur yang cenderung berfungsi sebagai struktur

5
yang menstrukturi. Habitus menghasilkan praktik yang cenderung mereproduksi
keteraturan yang imanen (tetap ada) dalam kondisi-kondisi objektif dari produksi
prinsip-prinsip penciptaannya, sambil menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan atau
potensi-potensi dalam situasi sebagaimana yang didefiniskan stuktur-struktur kognitif
dan memotivasi yang membentuk habitus itu. [ CITATION Sel17 \l 1033 ]

Habitus membimbing aktor untuk memahami, menilai, mengapresiasi tindakan mereka


berdasarkan pada skema atau pola yang dipancarkan dunia sosial. Pernyataan ini
disampaikan Bourdieu sebagai skema klasifikatif, menghasilkan perbedaan gaya hidup
dan praktik-praktik kehidupan. Skema ini diperoleh dari pengalaman individu dalam
berinteraksi dengan individu-individu lain meupun lingkungan dimana ia berada.
[ CITATION Fau14 \l 1033 ].

Peran orangtua dalam pengasuhan anak didalam keluarga memiliki norma, nilai dan
perilaku yang berpola, sehingga tertanam dalam diri anak menjadi sebuah skema
klasifikatif . Hal ini membuat anak menampilkan gaya hidup dan praktik-praktik yang
cenderung sama seperti orangtuanya tercermin ketika seorang anak berada dalam
lingkungan sosial dan berinteraksi sosial. Jadi, ketika anak mendapat perlakuan kasar
dan sering mengalami tindak kekerasan, maka anak dapat mengidentifikasi perilaku
tersebut sebagai praktik yang harus dilakukan ketika sudah dewasa dan memiliki anak.
Perilaku ini akan berulang kepada anaknya. Skema ini akan berulang menjadi tatanan
nilai yang terstruktur dalam keluarga. Situasi ini sebagaimana yang didefiniskan sebagai
stuktur-struktur kognitif dan memotivasi yang membentuk habitus.

Kekerasan Simbolik

Konsepsi mengenai kekerasan dapat dipilah kedalam tiga pengertian. Pengertian


pertama, kekerasan dipandang sebgai tindakan aktor atau kelompok aktor. Kedua,
kekerasan diartikan sebagai produk dari struktur. Makna ketiga, kekerasan sebagai
jejaring antara aktor dan struktur. Kekerasan pada pengertian pertama menempatkan
kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok yang mengandung sisi destruktif
(merusak) dan membawa kerugian berupa ancaman, teror, pembunuhan atau tindakan
6
fisik lainnya pada pihak orang lain. Konsepsi kedua mengenai kekerasan mengasumsikan
bahwa kekerasan tidak saja berasal dari tindakan aktor atau kelompok, karena dorongan
biologis semata, tetapi diperluas kepada peran struktur yang berperan menghasilkan
kekerasan. Struktur disini dapat dipahami secara konvensional sebai struktur negara
beserta aparatusnya. Pengertian ketiga, berusahan untuk meneropong kekerasan
sebagai rangkaian jejaring dialektis antara aktor dan strukur. [ CITATION Fau14 \l 1033 ]

Bila konsepsi kekerasan mengandung makna pemaksaan atau perilaku (kata dan
perbuatan) yang bersifat kasar dan mengancam maka kekerasan dapat terjadi dalam
pelbagai bentuk. Dapat berupa kekerasan fisik, bias jug kekerasan psikologis (jiwa),
kekerasan struktur, antara negara dengan individu ataupun kelompok, bisa pula berupa
kekerasan dalam bentuk ide,wacana maupun bentuk simbolik lainnya.

Pola-pola kekerasan selalu berada didalam ruang kekuasaan. Keduanya tidak bias
dipisahkan secara diametral. Artinya, kehadiran kekerasan mengandaikan mekanisme
kekuasaan tertentu. Begitupun dengan konsepsi dan pola kerja kekerasan simbolik yang
selalu menyimpan relasi kekuasaan. Interaksi kekuasaan untuk mendapatkan dominasi
membutuhkan mekanisme objektif agar dapat diterima oleh individu atau kelompok
yang akan dikuasai. Mekanisme ini berjalan secara halus, sehingga menyebakan
dominasi tidak sadar, patuh dan menerima begitu saja. Mekanisme ini disebut sebagai
kekerasan simbolik (symbolic violance)[ CITATION Fau14 \l 1033 ] . Dalam kaitan antara
keluarga dan upaya perlindungan anak, posisi anak dalam struktur keluarga berada
dalam posisi inferior, dimana “kekuasaan” berada pada orangtua atau orang dewasa
yang diberi wewenang untuk mengasuh anak. Anak harus patuh dan taat terhadap
ketentuan dan peraturan yang diterapkan dalam keluarga dan bersifat dominan,
sehingga ketiga konsepsi tersebut dapat berlaku dalam mengkategorisasi tindak
kekerasan terhadap anak.

Social Capital

7
Istilah social capital atau modal sosial menurut Coleman (1980) adalah kemampuan
orang-orang untuk bekerja sama dalam kelompok. Istilah ini mengalami perluasan dari
Fukuyama , yakni kerja sama sosial untuk tujuan yang sama dan didasari pada norma
dan nilai bersama. Kerja sama sosial ini dapat dilihat nyata dalam relasi sosial. Putnam
merujuk istilah kapital sosial untuk hubungan antar individu dengan jaringan sosial yang
memiliki norma-norma timbal balikserta adanya rasa saling percaya.(Fukuyama 2002).

Berdasarkan Kapital Sosial menurut Coleman dan Fukuyama dalam kaitannya dengan
peran keluarga untuk perlindungan anak adalah terpenuhinya kebutuhan dasar anak
yang mencakup fisik-biologis, emosi, kasih sayang dan stimuluasi serta penanaman nilai-
nilai dan norma yang baik dari lingkungan (sekolah, keluarga besar, tetangga dan peer-
group), dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam mewujudkan kesejahteraan
anak.

Menurut Woolcock dan Narayan, penelitian mengenai kapital sosial dapat dikategorikan
dalam empat perspektif, yakni pandangan mengenai Komunitarian, Jaringan, Institusi
dan Sinergi. Komunitarian melihat kelompok yang ada dalam masyarakat. Merupakan
modal sosial yang kehadirannya senantiasa memberi pengaruh positif untuk
kesejahteraan komunitas. Jaringan, berusaha memperhitungkan dua sisi, baik atas
maupun bawah. Penekanan vertikal maupun horizontal sama pentingnya. Melihat
masyarakat dan relasi didalamnya dan antara unsur organisasi seperti kelompok
komunitas dan perusahaan. Institusional merupakan kekuatan jaringan komunitas yang
diperluas sebagai produk politis, legal dan dalam lingkup institusi. Kapasitas kelompok
sosial untuk bertindak dalam kepentingan kelompok tergantung pada kualitas institusi
formal kelompoknya. Sinergi, yakni berusaha untuk memaukan dorongan pekerjaan
yang timbul dari jaringan-jaringan dan institusi. (Woolcock dan Narayan 2000).

8
Dalam melihat kapital sosial berdasarkan Perda Kota Depok dalam mewujudkan Kota
Layak Anak, dapat dikategorikan dalam empat perspektif, yakni pandangan mengenai
Komunitarian, Jaringan, Institusi dan Sinergi:

a. Komunitarian melihat kelompok yang ada dalam masyarakat, seperti Kumpulan


tetangga yang tergabung dalam Rukun Tetangga, RW Ramah Anak yang
dibentuk untuk menjaga keamanan dan kenyamanan bagi anak serta ketertiban
lingkungan (misalnya diberlakukan jam malam untuk anak agar belajar, mulai
pukul 18.00-21.00) Merupakan modal sosial yang kehadirannya senantiasa
memberi pengaruh positif untuk kesejahteraan komunitas.
b. Jaringan, dapat dilihat peran tenaga lapangan, seperti motivator atau tenaga
penggerak kelurahan yang memberikan informasi, pengetahuan, pendidikan
dan pelatihan untuk keluarga (misalnya diadakan pelatihan parenting untuk
orangtua).
c. Institusional merupakan kekuatan jaringan Pemerintah Kota Depok, bekerja
sama dengan DPRD Depok, dan Pemda Jawa Barat mengeluarkan Perda Kota
Depok tentang peningkatan Ketahanan Keluarga yang diperluas sebagai produk
politis, legal dan dalam lingkup institusi termasuk penyusunan APBD untuk
progam dalam kebijakan sosial.
d. Sinergi dilakukan melalui peningkatan kapasitas kelompok sosial seperti
Kelompok PKK dan PosYandu saling kerjasama memadukan dorongan pekerjaan
yang timbul dari jaringan-jaringan dan institusi.

Pierre Bourdieu mendefinisikan kapital sosial sebagai "Agregat sumber daya aktual atau
potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan yang dapat dipertahankan dari
hubungan saling kenal atau pengakuan yang dilembagakan." Sedangkan menurut James
Coleman, "modal sosial ditentukan oleh fungsinya. entitas tunggal, tetapi berbagai
entitas yang berbeda memiliki dua elemen yang sama: bahwa semuanya terdiri dari
beberapa aspek struktur sosial, dan mereka memfasilitasi tindakan individu tertentu —
apakah orang atau aktor perusahaan — yang berada dalam struktur. ” Dari Robert

9
Putnam: “modal sosial mengacu pada fitur organisasi sosial, seperti jaringan, norma,
dan kepercayaan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama manfaat formal.” (Le
Anh Tuan 2014)

Secara singkat dari definisi tersebut diketahui bahwa kapital sosial adalah konsep
material yang menghubungkan individu-individu melalui jaringan, norma, kepercayaan
yang disepakati bersama dan untuk manfaat bersama. Dengan demikian kapital sosial
penting untuk menjelaskan tindakan kolektif dalam konteks sosial, ekonomi, politik
dalam setting yang berbeda.

Berdasarkan pemahaman mengenai kapital sosial dari para sosiolog, bahwa keluarga
dapat dikatakan termasuk dalam kapital sosial. Dengan semakin kuatnya ikatan
keluarga, maka keluarga akan tangguh dalam menghadapi segala permasalahan
kehidupan. Hubungan antar keluarga menjadi lebih harmonis dan hangat, anak-anak
terpenuhi segala kebutuhannya. Sehingga anak-anak terhindar dari tindak kekerasan.

Ketahanan keluarga menyangkut kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang


dihadapi berdasarkan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Ketahanan keluarga mempunyai tiga komponen, yakni: a. Ketahanan fisik
apabila terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan
kesehatan, serta terbebas dari masalah ekonomi. b. Ketahanan sosial apabila keluarga
berorientasi pada nilai-nilai agama, komunikasi berlangsung efektif, komitmen keluarga
tinggi (ada pembagian peran, dukungan untuk maju, kebersamaan keluarga, membina
hubungan sosial, dan bekerjanya mekanisme penanggulangan masalah). c. Ketahanan
psikologis keluarga apabila keluarga mampu menanggulangi masalah non fisik,
pengendalian emosi secara positif, dan konsep diri positif. (Sunarti, 2017).

Keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak, harus memiliki
ketahanan sehingga dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kesejahteraaan.
Peran modal social diharapkan dapat meningkatkan pertahanan keluarga sehingga
dapat memberikan perlindungan terhadap anak secara maksimal.
Daftar Pustaka
10
Liputan6.com. (2016, November 28). Retrieved from
http://news.liputan6.com/read/2571049/pelecehan-seksual-di-kota-depok-terus-meningkat

www.depok.go.id. (2017, 3 07). Retrieved from Berita Depok:


http://www.depok.go.id/07/03/2017/01-berita-depok/program-ketahanan-keluarga-bentuk-
mental-asn

Coleman, J. (1988). Social Capital in The Creation of Human Capital. The American Journal
Sociology.

Fukuyama. (2002). Social Capital and Development : The Coming Agenda. SAIS Review (vol XXII
no 1), 27.

Kompas. (2016, Januari 2). Kota Depok Belum Ramah Anak. Harian, p. 26.

Sunarti, E. D. (2017). www.academia.edu. Retrieved from


https://www.academia.edu/28836081/17_Ketahanan_Keluarga_sebagai_Upaya_Pencegahan_P
erdagangan_Anak

Woolcock, M. (2000). Social Capital : Implications for Development Theory, Research and
Theory. The World Bank Research Observer, Vol 13 no. 2.

Farzana Biibi, G. &. (2013). Contribution of Parenting Style in Life Domain of Children. Journal of
Humanities and Social Science, 91-95.

Fukuyama. (2002). Social Capital and Development : The Coming Agenda. SAIS Review (vol XXII
no 1), 27.

Fashri, F. (2014). Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbole. Yogyakarta: Jalasutra.

Jenkins, R. (2016). Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Bantul: Kreasi Wacana Offset.

Riawanti, S. (2017). Teori tentang Praktik : Saduran outline of a theory of Practice karya Piere
Bourdieu. Sumedang: Ultimus, FISIP UNPAD.

Le Anh Tuan, Alison Cottrell and David King Source: Journal of Vietnamese Studies , Vol. 9, No. 2
(Spring 2014), pp. 68-99 Published by: University of California Press Stable URL:
https://www.jstor.org/stable/10.1525/vs.2014.9.2.68)

11
12

Anda mungkin juga menyukai