Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg
sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-6
jam pada wanita yang sebelumnya normotensi.
Bila ditemukan tekanan darah tinggi (140/90 mmHg) pada ibu
hamil, lakukan pemeriksaan kadar protein urin dengan tes celup urin atau
protein urin 24 jam dan tentukan diagnosis (Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan : 2013).
Hipertensi memiliki lima pembagian klasifikasi berdasarkan Zero
mOther mOrtality PreeclaMpsia (ZOOM) :
a. Preeklamsi
1) Hipertensi
2) Proteinuri >20 mg s/d 12 mg pasca persalinan
b. Eklamsi
1) Kejang
2) Penurunan Kesadaran
c. Hipertensi kronik
1) < 20 mg & menetap stlh 12 minggu pascasalin
d. Hipertensi kronis yg diperberat preeklamsi/eklamsi
1) Preeklamsi/eklamsi yg timbul pd hipertensi kronis
e. Hipertensi gestasional
Hipertensi dlm kehamilan pd wanita yg Tekanan Darah sebelumnya
normal & proteinuri (-)
Berikut ini adalah kriteria diagnostik berdasarkan Zero mOther
mOrtality PreeclaMpsia (ZOOM) :
a. Preeklamsi
1) Sistolik : 140 -159 mmHg
2) Diastolik : 90 - 109mmHg
3) Proteinuri + / > 300 mg/24 jam
b. Preeklamsi Berat
1) Sistolik ≥ 160 mmHg
2) Diastolik > 110 mmHg
3) Proteinuri > 2+
4) Kreatinin serum > 1,2 mg%
5) Trombosit < 100.000/mm3
6) Peningkatan kadar LDH, SGOT, SGPT
7) Sakit kepala yg menetap atau gangguan visus
8) Edema paru
9) HELLP Syndrome
Preeklampsi merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal
terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan
koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya
hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan diatas 20 minggu.
Edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat
banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal. (POGI,
2014)

2.2 Epidemiologi
Epidemiologi hipertensi dalam kehamilan dipengaruhi oleh:
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida
tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3kali
lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun dapat terjadi
hipertensi laten.
Dalam hasil penelitian yang dilakukan Denantika dkk (2015)
dikatakan proporsi ibu berusia dalam kategori usia risiko tinggi (<20
tahun dan > 35 tahun) menderita preeklampsia 4,43 kali lebih banyak
daripada yang tidak menderita preeklampsia.
Pada usia < 20 tahun, ukuran uterus belum mencapai ukuran yang
normal untuk kehamilan, sehingga kemungkinann terjadinya gangguan
dalam kehamilan seperti preeklampsia menjadi lebih besar. Pada usia >
35 tahun terjadi proses degenerative yang mengakibatkan perubahan
structural dan fungsional yang terjadi pada pembuluh darah perifer
yang bertanggungjawab terhadap perubahan tekanan darah, sehingga
lebih rentan mengalami preeklampsia.
b. Paritas
Primigravida tua risiko lebih tinggi untuk preklampsi berat. Pada
hasil penelitian yang dilakukan Denantika dkk (2015) diperoleh
proporsi primigravida yang menderita peeklampsia 1,52 kali lebih
banyak dari pada yang tidak mengalami preeklampsia.
Hal tersebut terjadi karena, primigravida lebih berisiko mengalami
preeklampsia daripada multigravida karena preeklampsia biasanya
timbul pada wanita yang pertama kali terpapar virus korion. Hal ini
terjadi karena pada wanita tersebut mekanisme imunologik
pembentukan blocking antibody yang dilakukan oleh HLA-G (human
leukocyte antigen G) terhadap antigen plasenta belum terbentuk secara
sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke jaringan desidual
ibu menjadi terganggu. Primigravida juga rentam mengalami stress
dalam menghadapi persalinan yang akan menstimulasi tubuh untuk
mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah meningkatkan respon
simpatis, sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan
meningkat.
c. Faktor keturunan
Jika ada riwayat preeklampsi/eklampsi pada ibu/nenek penderita,faktor
risiko meningkat sampai 25%.
d. Faktor gen
Diduga adanya satu sifat resesif yang ditentukan genotip ibu dan janin.
e. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu
(WHO). Penelitian lain: kekurangan kalsium berhubungan dengan
angka kejadian yang tinggi pada kejadian hipertensi. Angka kejadian
juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
Hal tersebut didukung dengan adanya hasil penelitian yang
dilakukan oleh Andriani dkk, (2016) yaitu nilai rerata IMT sebelum
hamil pada pasien peeklampsia dengan nilai 24,15 kg/m2 berada pada
kategori overweight, sedangkan ibu hamil yang tidak preeklampsia
berada pada kategori normal dengan rerata nilai IMT 22,3 kg/m2. Pada
ibu hamil yang overweight dapat terjadi preeklampsia melalui
mekanisme hiperleptinemia, sindroma metabolic, reaksi inflamasi serta
peningkatan stress oksidatif yang berujung pada kerusakan dan
disfungsi endotel.
f. Tingkah laku/sosioekonomi
Aktifitas fisik selama hamil yaitu istirahat baring yang cukup selama
hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
g. Hiperplasentosis
1) Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan
kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
2) Hidrops foetalis berhubungan dengan kejadian preeklampsi-
eklampsi dengan kejadiannya sekitar 50% kasus.
3) Diabetes militus memiliki angka kejadian yang kemungkinan
patofisiologisnya bukan preeklampsi murni, melainkan disertai
kelainan ginjal/vascular primer akibat diabetesnya.
4) Molla hidatidosa diduga degenerasi trofoblast berlebihan yang
berperan menyebabkan preeklampsi. Pada kasus molla, hipertensi
dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda,dan
ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan
preeklampsi.
2.3 Patofisiologi
Penyebab hipertensi pada kehamilan hingga kini belum diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap
mutlak benar.
Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:
a. Teori kelainan Vaskularisasi Placenta
Pada kehamilan normal, Rahim dan placenta mendapat aliran darah
dari cabang-cabang arteri uterine dan arteri ovarika. Kedua pembuluh
darah tersebut menembut myometrium berupa arteri arkuarta yang
memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis menembus
endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang
arteria spiralis.
Pada hamil normal dengan sebab yang belum jelas terjadi invasi
trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis.
Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri
spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi
lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vascular dan peningkatan aliran darah pada
daerah utero placenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak
dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan “remodeling
arteri spiralis”.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dank eras
sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami
distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami
vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”,
sehingga aliran darah uteroplacenta menurun, dan terjadilah hipoksia
dan iskemia placenta. Dampak iskemia placenta akan menimbulkan
perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan pathogenesis HDK
selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500
mikron, sedangkan pada preeclampsia rata-rata 200 mikron. Pada
hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10
kali aliran darah ke utero placenta (Sarwono P, 2014)
b. Teori Iskemia Placenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel
1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas,pada
hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri
spiralis” dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta
yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas
adalah senyawa penerima electron atau atom/molekul yang
mempunyai electron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil
yang sangat toksis, khususnya terhadap membrane sel endotel
pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia
adalah suatu proses normal karena oksidan memang dibutuhkan
untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah
mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar
dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut
“toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel juga
akan merusak nucleus dan protein sel endotel. Produksi oksidan
(radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi
dengan produksi antioksidan.
2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam
kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa
kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan
antioksidan, missal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan
menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida
lemak yang relative tinggi. Peroksida lemak sebagai
oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar
diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membrane
sel endotel. Membrane sel endotel lebih mudah mengalami
kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak lemak
tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap
oksidan radikal hidroksil yang akan berubah menjadi peroksida
lemak.
3) Disfungi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar oleh peroksida lemak, maka
terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari sel
endotel. Kerusakan membrane sel endotel menyebabkan
terganggunya fungsi endotel bahkan rusaknya seluruh sel endotel
(disfungsi endotel). Setelah hal itu terjadi maka kejadian
selanjutnya berupa:
a) Gangguan metabolism prostaglandin: karena salah satu fungsi
sel endotel adalah memproduksi prostaglandin.
b) Agregasi sel-sel trombosit: menutupnya tempat-tempat di
lapisan endotel yang mengalami kerusakan, hal menyebabkan
terjadinya produksi tromboxan. Dalam kehamilan normal,
kadar prostasiklin lebih tinggi dibandingkan dengan
tromboksan. Berbeda dalam keadaan preeklampsi, kadar
tromboksan justru lebih tinggi dibandingkan dengan
prostasiklin sehingga terjadi kenaikan tekanan darah.
c) Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus
d) Peningkatan permeabilitas kapilar
e) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor.
f) Peningkatan factor koagulasi.
4) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa factor imunologik berperan terhadap
terjadinya hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta
sebagai berikut:
a) Primigravida mempunyai resiko lebih besar terhadap
kemungkinan terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan multigravida.
b) Ibu multipara yang memiliki pasangan baru juga memiliki
resiko lebih besar jika dibandingkan dengan pasangan
sebelumnya.
5) Teori adaptasi kardiovaskularori genetic
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan
terhadap bahan-bahan vasopressor pada hipertensi dalam
kehamilan sudah terjadi pada trimester 1.
6) Teori Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotip
janin. Telah terbukti bahwa pada ibu penderita preeklampsi, 26%
anak perempuannya akan mengalami preeklampsi pula,
sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsi.
7) Teori Defisiensi Gizi
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di inggris
ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsi beberapa
waktu sebelum pecahnya perang dunia II. Suasana serba sulit
mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan
kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan.
8) Teori Stimulus Inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas
didalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya
proses inflamasi. Pada kehamilan normal placenta juga
melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis
dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif.

2.4 Komplikasi/Dampak Preeklampsia


Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama
ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan
eklampsia. Komplikasi dibawah ini yang biasanya terjadi pada
preeklampsia berat dan eklampsia (Wibowo dan Rachimhadhi, 2006) :
a. Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan
lebih sering terjadi pada preeklampsia. Solusio plasenta merupakan
salahs satu penyebab terjadinya perdarahan antepartum yakni
perdarahan yang terjadi pada umur kehamilan yang telag melewati
trimester III atau menjelang persalinan. Preeklampsia meningkatkan
risiko terjadinya solusio plasenta dimana plasenta terlepas dari uterus
sebelum persalinan. Perdarahan berat yang diakibatkan dapat
membahayakan nyawa ibu hamil dan janin.
b. Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada preeklampsia berat. Oleh karena itu
dianjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
c. Hemolisis
Penderita dengan gejala preeklampsia berat kadang-kadang
menunjukkan gejala klinis hemolisis yang dikenal dengan ikterus.
Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel
hati atau destruksi eritrosit. Nekrosis periportal hati yang ditemukan
pada autopsy penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
d. Perdarahan Otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
e. Kelainan Mata
Kehilangan pengelihatan untuk sementara, yang berlansung selama
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada
retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia
serebri.
f. Edema Paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronchopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang
ditemukan abses paru.
g. Nekrosis Hati
Nekrosis periportal hati pada preeklampsia/eklampsia merupakan
akibat vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga khas
untuk eklampsia, tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit
lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan
faal hati, terutama pada enzim-enzimnya.
h. Sindroma HELLP
Sindrom HELLP atau Haemolysis Elevated Liver Enzymes and Low
Platelets merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa
gangguan fungsi hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati
[SGOT, SGPT], gejala subyektif [cepat lelah, mual, muntah dan
nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit
oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh.
Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di
dinding vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat),
lisosom (Manuaba, 2007).
i. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endotheliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endhotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang
lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul adalah anuria sampai
gagal ginjal.
Plasenta pada ibu hamil dengan preeklampsia diketahui mengeluarkan
berbagai daktor anti-angiogenik ke dalam sirkulasi maternal yang
diyakini menyebabkan disfungsi sel endotel secara sistemik dan
mikroangiopati. Di ginjal, kerusakan sel endotel ini mengakibatkan
endoteliosis kapiler glomelurus dan proteinuria. Endoteliosis
glomerulus ditandai dengan deposisi fibrin dan fibrinogen pada sel
endotel disertai pembengkakan endotel dan hilangnya ruang kapiler.
Kerusakan ini dulu diyakini bersifat sementara, namun bukti terbaru
menunjukkan bahwa preeklampsia dapat meninggalkan kerusakan
glomerulus secara permanen. Hal ini sesuai dengan penelitian
Cunningman yang mengevaluasi 37 wanita hamil dengan gangguan
ginjal berat dimana ditemukan 64% dari wanita tersebut mengalami
preeklampsia.
j. Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jantung akibat kejangkejang,
pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated intravascular
coagulation).
k. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
l. Kematian maternal
Kematian maternal adalah kematia setiap ibu dalam kehamilan,
persalinan, masa nifas sampai batas waktu 42 hari setelah persalinan,
tidak tergantung pada umur dan tempat kehamilan serta tindakan yang
dilakukan untuk mengakhiri kehamilan tersebut dan bukan disebabkan
karena kecelakaan. Kematiab maternal pada kasus preeklampsia dapat
disebabkan karena beberapa hal antara lain perdarahan otak akibat
kelainan perfusi otak, infeksi, perdarahan, dan sindroma HELLP.
2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan oleh tenaga kesehatan
(bidan) kepada pasien yaitu:
a. Preeklampsi
1) Memasang infus RL dengan canul IV besar (ukuran 16 atau 18)
2) Kolaborasi dengan SpOG untuk tindakan atau terapi selanjutnya
sesuai dengan protap:
a) Jika kehamilan ≤ 37 minggu :
Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu
secara rawat jalan:
 Pantau tekanan darah, proteinuria, refleks dan kondisi
janin
 Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda
bahaya preeclampsia dan eclampsia
 Lebih banyak istirahat
 Diet biasa
 Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di Rumah Sakit:
 Bedrest
 Pantau tekanan darah setiap 4 jam kecuali tengah malam
dan pagi hari
 Periksa laboratorium: pemeriksaan proteinurine (untuk di
evaluasi setiap hari), hematokrit, hitung trombosit, kadar
kreatinin, urat dan fungsi hati (untuk di evaluasi 2 kali
seminggu)
 Evaluasi janin dengan USG dan NST
 Pemberian anti hipertensi Methyl Dopa dan Nifedipin bila
diastole > 90
 Jika tekanan diastolic turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan: nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan
tanda-tanda preeclampsia berat, control 2 kali seminggu,
jika tekanan diastolic naik lagi maka lakukan rawat inap.
 Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan tetap dirawat
 Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan
 Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeclampsia
berat
b) Kehamilan lebih dari 37 minggu
 Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi
persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin.
 Jika serviks belum matang, lakukan pematangan denga
prostaglandin atau cateter folley atau lakukan Sectio
Caesarea
3) Kolaborasi dengan petugas laboratorium untuk pemeriksaan darah
dan urine
4) Mengobservasi keadaan umum, TTV, His dan DJJ
5) Memberikan terapi sesuai advice dokter SpOG
b. Preeklampsia
1) Memasang infus RL dengan canul IV besar (ukuran 16 atau 18)
2) Memasang cateter folley untuk memantau produksi urine dengan
memeriksa setiap 4 jam, produksi urine normal ≥ 30cc/jam
3) Syarat Pemberian MgSO4
a) Tersedia antidotum (Ca glukonas10% iv dlm 3-5 mnt)
b) Refleks patela kuat
c) Respirasi > 16x/m
d) Produksi urin > 30 cc/jam
4) Kolaborasi dengan Dokter SpOG untuk pemberian terapi sesuai
protap:
a) Dosis Awal: 10 cc MgSO4 40% (4 gramMgSO4) dilarutkan
kedalam 90cc RL dengan tetesan 50 tts/menit (habis sekitar 15-
20 menit)
b) Dosis Pemeliharaan: 25 cc MgSO4 40% (10 gram MgSO4)
dilarutkan dalam 475cc RL dengan tetesan 20-30 tts / mnt
5) Pengakhiran kehamilan Bila:
a) Mulai timbul < 26 minggu
b) Preeklamsi Berat yang tidak teratasi
c) Usia kehamilan ≥ 34 minggu
d) Preeklamsi dengan komplikasi,misalnya: HELLP, payah
jantung, edema paru,gagal ginjal
e) Eklampsia
f) Ancaman pada janin
6) Mengobservasi keadaan umum, TTV, His dan DJJ
7) Memantau Intake Output
8) Memberikan terapi sesuai advice dokter SpOG

Antihipertensi dapat diberikan kepada ibu hamil yang mengalami


preeklampsia. Pemberian antihipertensi pada kasus preeklampsia ringan
bermanfaat mencegah perkembangannya menjadi preeklampsia berat.
Penanganan kasus sejak awal akan dapat mengurangi frekuensi terjadinya
krisis hipertensi dan juga komplikasi pada neonatus. Hipertensi akut berat
yang berhubungan dengan komplikasi organ vital seperti infark miokard,
stroke, dan gangguan ginjal akut menyebabkan antihipertensi perlu
diberikan dalam mencegah kelainan serebrovaskular demi keselamatan
ibu. Penanganan hipertensi harus terus dilakukan hingga bayi dapat hidup
di luar kandungan.
Di negara berkembang preeklampsia merupakan penyebab penting
kelahiran bayi prematur. Bayi sengaja dilahirkan lebih awal demi
kesehatan ibu. Hal ini menyebabkan angka morbiditas bayi meningkat.
Oleh karena itu, bila pengelolaan hipertensi dilakukan dengan baik maka
kelahiran bayi prematur dapat dihindari.
Penggunaan antihipertensi pada preeklampsia dimaksudkan untuk
menurunkan tekanan darah dengan segera demi memastikan keselamatan
ibu tanpa mengesampingkan perfusi plasenta untuk fetus.
a. Nifedipin
Nifedipin tergolong ke dalam antagonis kalsium (calcium channel
blocker). Obat ini bekerja dengan menghambat influks kalsium pada
sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah,
antagonis kalsium terutama menimbulkan relakasasi arteriol,
sedangkan vena kurang dipengaruhi. Nifedipin bersifat vaskuloselektif
sehingga efek langsung pada nodus SA dan AV minimal, menurunkan
resistensi perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti, dan
relatif aman dalam kombinasi bersama β-blocker.
Bioavailabilitas oral rata-rata 40-60% (bioavailabilitas oral baik).
Penggunaan nifedipin secara sublingual sebaiknya dihindari untuk
meminimalkan terjadinya hipotensi maternal dan fetal distress akibat
hipoperfusi plasenta. Kadar puncak tercapai dalam waktu 30 menit
hingga 1 jam dan memiliki waktu paruh 2-3 jam. Nifedipin bekerja
secara cepat dalam waktu 10-20 menit setelah pemberian oral dengan
efek samping yang minimal. Antagonis kalsium hanya sedikit sekali
yang diekskresi dalam bentuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu
penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal. Efek samping utama
nifedipin terjadi akibat vasodilatasi yang berlebihan. Gejala yang
tampak berupa pusing atau sakit kepala akibat dilatasi arteri
meningeal, hipotensi, refleks takikardia, muka merah, mual, muntah,
edema perifer, batuk, dan edema paru.
b. Metildopa
Metildopa merupakan prodrug yang dalam susunan saraf pusat
menggantikan kedudukan DOPA dalam sintesis katekolamin dengan
hasil akhir α-metilnorepinefrin. Efek antihipertensinya disebabkan
oleh stimulasi reseptor α-2 di sentral sehingga mengurangi sinyal
simpatis ke perifer. Metildopa menurunkan resistensi vaskular tanpa
banyak mempengaruhi frekuensi dan curah jantung. Efek maksimal
tercapai 6-8 jam setelah pemberian oral atau intravena dan efektivitas
berlangsung sampai 24 jam.
Bioavailabilitas oral rata-rata 20-50%. Pemberian bersama preparat
besi mengurangi absorbsi metildopa sampai 70%, tapi sekaligus
mengurangi eliminasi dan menyebabkan akumulasi metabolit sulfat.
Hal ini perlu diperhatikan pada kehamilan dimana kedua obat ini
sering diberikan bersamaan. Sekitar 50-70% diekskresi melalui urin
dalam konjugasi dengan sulfat dan 25% dalam bentuk utuh. Metildopa
tidak mempengaruhi aliran darah ginjal sehingga dapat digunakan
pada kasus gangguan ginjal.
Metidopa dikenal sebagai antihipertensi yang aman digunakan di
tiap trimester kehamilan. Penggunaan jangka panjangnya tidak
berhubungan dengan masalah pada janin. Namun, ibu hamil perlu
mewaspadai efek sedasi dari metildopa dan terkadang terjadi
peningkatan liver transaminase (tes Coomb positif). Obat ini perlu
dihindari pada wanita dengan riwayat depresi karena dapat
menyebabkan peningkatan risiko terjadinya depresi postnatal.
Sumber :
1. World Health Organization, 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di
Fasilitas Kesehatan Dasar Dan Rujukan Edisi Pertama. Jakarta.
2. Zero mOther mOrtality PreeclaMpsia (ZOOM), POGI 2014.
3. Manuaba, I.B.G. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakaeta : EGC.
4. Prawirohardjo, S. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka.
5. Denantika, O. dkk. Hubungan Status Gravida dan Usia Ibu terhadap
Kejadian Preeklampsia di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012-2013.
Jurnal Kesehatan Andalas. Januari- Februari 2015. 4(1) : 212–217.
6. Andriani, C. dkk. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian
Preeklampsia di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
2015. 5(1) : 173-178.
7. Utama, S.Y. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Preeklampsia Berat Pada Ibu Hamil Di RSD Raden Mattaher Jambi
Tahun 2007. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Juli 2008. 8(2) :
71-79.

Anda mungkin juga menyukai