Anda di halaman 1dari 9

POLITIK HUKUM HIERARKI TAP MPR MELALUI AMANDEMEN

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Ahmad Gelora Mahardika


Hukum Tata Negara Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
Jl. Major Sujadi Timur No.46 Tulungagung
Email : geloradika@gmail.com
Naskah diterima: 12/08/2019, 10/08/2019, 21/08/2019

Abstrak

TAP MPR sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dalam sistem hierarki hukum di Indonesia
mempunyai status hukum yang tidak jelas. Hal itu disebabkan amandemen konstitusi secara tidak langsung
mencabut kewenangan MPR untuk membuat TAP MPR. Padahal ketika amandemen itu dilakukan masih
terdapat 8 (delapan) TAP MPR yang masih berlaku. Kondisi ini menyebabkan absurditas terkait status TAP
MPR yang masih berlaku tersebut. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sempat mengeluarkan TAP MPR dalam hierarki norma, namun Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 kemudian memasukkan kembali TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Pencantuman kembali TAP MPR dalam hierarki mempunyai kesan hanya untuk memberikan
kepastian hukum semata tanpa penjelasan bagaimana penerapannya serta mekanisme pencabutannya.
Selain itu di antara semua peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam hieraki peraturan
perundang-undangan semuanya mempunyai posisi yang jelas siapa yang membuatnya serta lembaga
apa yang berwenang mengujinya. Akan tetapi TAP MPR terlihat terjebak dalam celah abu-abu (grey area)
karena dalam konstitusi tidak ada pintu untuk menguji TAP MPR apakah Mahkamah Konstitusi ataukah
Mahkamah Agung. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah yuridis normatif. Kesimpulan
dalam artikel ini redesain konstitusi mutlak diperlukan sebagai upaya untuk menjamin kepastian hukum
norma TAP MPR dalam sistem hukum Indonesia.

Kata Kunci: Hukum, MPR, Peraturan, Perundang-undangan

Abstract

The People’s Consultative Assembly’s Decision as a legislation in the legal hierarchy system in Indonesia has an
unclear legal status. This was due to constitutional amendments which indirectly revoked the Council authority
to make the People’s Consultative Assembly’s Decision. Eventhough the amendment was carried out there were
still 8 (eight) valid People’s Consultative Assembly’s Decision. This condition causes absurdity regarding the
current status of People’s Consultative Assembly’s Decision. Law Number 10 of 2004 on Legislation Making had
issued People’s Consultative Assembly’s Decision in the Indonesia’s norm hierarchy, however Law Number 12
of 2011 then re-inserted People’s Consultative Assembly’s Decision in the hierarchy of Indonesian legislation.
Re-inclusion of People’s Consultative Assembly’s Decision in the hierarchy has the impression only to provide
legal certainty without an explanation of how it is applied and the repeal mechanism. In addition, among all
the legislation contained in the hierarchy all have a clear position on who made it and what institutions were
authorized to review it. However, People’s Consultative Assembly’s Decision seems trapped in a grey area
since in the constitution there is no way to review the  People’s Consultative Assembly’s Decision whether in
the Constitutional Court or the Supreme Court. The research method used in this article is normative juridical.
The conclusion in this article constitutional redesign is absolutely necessary as an effort to ensure the legal
certainty of the Consultative Council Decree in the Indonesian legal system.

Keywords: law, People’s Consultative Assembly’s Decision, regulation, legislation


Politik Hukum Hierarki TAP MPR melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Ahmad Gelora Mahardika)

A. Pendahuluan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan


Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada atau mengembangkan paham atau ajaran
tahun 2002 telah mendemosi Majelis Permusyawaratan komunis/Marxisme-Leninisme
Rakyat dari lembaga tertinggi negara menjadi 2. Ketetapan MPRS Nomor XVI/MPR/1998 tentang
lembaga tinggi negara yang kedudukannya setara politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi
dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Dewan Ekonomi.
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, 3. Ketetapan MPRS Nomor XXIX/MPRS/1989
Presiden, dan lembaga kekuasaan kehakiman seperti tentang pengangkatan Pahlawan Ampera
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, serta 4. Ketetapan MPRS Nomor XI/MPR/1998 tentang
Komisi Yudisial. Demosisasi tersebut secara tidak penyelenggara Negara yang bersih dan bebas
langsung juga menghilangkan sejumlah kewenangan KKN
MPR yang ada sebelum dilakukannya amandemen, 5. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang
salah satunya adalah menetapkan Garis-Garis Besar Etika Kehidupan Berbangsa
Haluan Negara yang turunannya adalah kewenangan 6. Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang
untuk membuat TAP MPR, sebuah produk hukum Visi Indonesia Masa Depan.
yang pada era orde baru kekuatannya lebih tinggi 7. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang
dari Undang-Undang serta mempunyai kekuatan Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan
hukum yang setara dengan konstitusi. Kekuatannya dan Pencegahan KKN
yang setara konstitusi mempunyai implikasi hukum 8. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
ataupun politik di mana ketidakpatuhan Presiden Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
terhadap Tap MPR dipersamakan dengan pelanggaran Daya Alam
konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedelapan TAP MPR tersebut di atas masih
Amandemen konstitusi yang menghilangkan berlaku dan belum dicabut, meskipun kewenangan
kewenangan MPR tersebut berimplikasi pula terhadap MPR untuk membuat ataupun mencabut ketetapan
produk hukum turunannya. Undang-Undang Nomor MPR sudah ditiadakan dalam konstitusi. Kondisi ini
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan secara tidak langsung menciptakan ketidakpastian
Perundang-undangan yang merubah TAP MPR Nomor hukum terkait status TAP MPR. Hal inilah yang
3 Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata kemudian membuat gagasan untuk mencantumkan
Urutan Peraturan Perundang-undangan tidak lagi kembali Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-
mencantumkan Tap MPR dalam hierarki peraturan undangan Indonesia muncul ke permukaan. Undang-
perundang-undangan. TAP MPR sudah dianggap Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
tidak ada dalam sistem hukum Indonesia. Hal itu Peraturan Perundang-undangan yang mencabut
merupakan sesuatu yang logis, karena memang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 akhirnya
di dalam konstitusi tidak ada lagi lembaga yang mencantumkan kembali TAP MPR dalam hierarki
mempunyai kewenangan membuat Tap MPR. peraturan perundang-undangan di Indonesia, TAP
Persoalan yang kemudian muncul adalah MPR diposisikan tepat di bawah Undang-Undang
penghapusan kewenangan tersebut terkesan terburu- Dasar 1945 dan di atas Undang-Undang.
buru dan tidak terkonsep secara matang. Pendapat Akan tetapi pencantuman kembali Tap MPR
tersebut bukan hanya asumsi belaka, karena setelah dalam hierarki perundang-undangan terlihat hanya
selesainya amandemen ternyata masih ditemukan 8 sebagai kebijakan hukum akomodatif semata, di mana
(delapan) TAP MPR yang masih berlaku. Kedelapan kebijakan itu muncul sebagai upaya memberikan
TAP MPR tersebut adalah sebagai berikut: kepastian hukum bagi TAP MPR yang luput dalam
1. Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 pembahasan amandemen konstitusi. Pada akhirnya
tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pembuat undang-undanglah yang harus menutup
pernyataan sebagai organisasi sebagai orgenisasi celah tersebut. Hal itu bisa terlihat dari Penjelasan
terlarang di seluruh wilayah negara Republik Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

345
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 16 No. 3 - September 2019: 344-352

Perundang-undangan, yang mana definisi TAP MPR kembali konsep trias politika yang seimbang serta
dibatasi terkait Ketetapan MPR yang ada sebelum tidak ada lembaga negara yang terlalu dominan. Salah
reformasi; satu pasal yang kemudian dilakukan amandemen
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis adalah terkait penghapusan lembaga tertinggi
Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Kedudukan MPR yang sebelumnya sebagai pemegang
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku kedaulatan rakyat dan lembaga tertinggi negara,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 pasca amandemen menjadi sejajar dengan lembaga
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik tinggi negara lainnya.
Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kedudukan sejajar tersebut berefek pula terhadap
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis gradasi kewenangannya, salah satunya adalah
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan ditiadakannya kewenangan untuk menetapkan garis-
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai garis besar haluan negara. Ketiadaan kewenangan
dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. tersebut membuat MPR tidak lagi berwenang
Terlihat dari definisi tersebut di atas, pembuat mengeluarkan produk hukum yang bersifat mengatur
undang-undang terlihat hanya berupaya memberikan (regeling) atau dalam konteks ketatanegaraan
penegasan status hukum saja terhadap TAP MPR, Indonesia produk itu disebut TAP MPR. Meskipun
meskipun pada hakikatnya sudah disadari bahwa masih muncul perdebatan terkait apakah TAP MPR itu
produk hukum tersebut sudah tidak bisa dibuat merupakan keputusan (beschikking) atau peraturan
lagi ataupun dicabut. Kondisi inilah yang kemudian (regeling), namun apabila melihat bentuknya (formil)
menyadarkan publik bahwa amandemen konstitusi kata “Ketetapan” lebih tepat disebut beschikking
masih menyisakan beberapa pekerjaan yang harus dibandingkan regeling.
diselesaikan, salah satunya adalah terkait status Mengacu pada konstitusi Indonesia pasca
hukum Tap MPR apakah akan tetap dibiarkan terjebak amandemen, terlihat MPR hanya bisa mengeluarkan
dalam ketidakpastian hukum ataukah kemudian produk hukum yang berbentuk keputusan, hal ini
perlu diubah sebagai upaya untuk menyesuaikan tercantum dalam wewenang MPR pada Pasal 3 dan
dengan kondisi ketatanegaraan Indonesia saat ini? 8 UUD 1945, yaitu:1
1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang
A.1. Rumusan Masalah
Dasar (Pasal 3)
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3)
penelitian ini hendak menjawab pertanyaan
3. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
bagaimanakah Politik Hukum Hierarki TAP MPR
Presiden dalam masa jabatannya menurut
melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945?
Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
B. Pembahasan 4. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang
Era reformasi merupakan momentum Indonesia diusulkan Presiden apabila terjadi kekosongan
untuk merekonstruksi sistem ketatanegaraan Wakil Presiden (Pasal 8)
Indonesia yang keluar dari rel demokrasi 5. Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari 2 (dua)
konstitusional. Pada era orde baru, sistem check pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
and balances antara ketiga lembaga negara eksekutif, diusulkan oleh partai politik atau gabungan
legislatif dan yudikatif tidak berjalan sebagaimana partai politik yang pasangan calon Presiden
yang diharapkan oleh para founding father ketika dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak
menggagas konstitusi (original intent). Oleh karena pertama dan kedua dalam pemilihan umum.
itulah, amandemen konstitusi menjadi salah satu Terlihat dari kewenangan tersebut di atas, MPR
langkah kongkret dalam upaya menghidupkan tidak mempunyai kewenangan untuk membuat

1. Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer,2007), hlm.158.

346
Politik Hukum Hierarki TAP MPR melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Ahmad Gelora Mahardika)

produk hukum yang bersifat mengatur (regeling), status hukumnya. Karena merujuk pada gagasan
dan secara tidak langsung membuat MPR juga tidak yang disampaikan oleh Adolf Merkl terkait teori das
berwenang mencabut produk hukum yang bersifat doppelte rech stanilitz, yaitu norma hukum memiliki
mengatur (regeling), meskipun secara historis produk dua wajah, yang dengan pengertiannya: Norma
itu dikeluarkan sendiri oleh lembaga MPR. Produk hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada
hukum tersebut adalah Tap MPR yang hingga saat ini norma yang ada di atasnya; dan Norma hukum ke
masih ada dan masih berlaku dalam sistem hukum bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber
Indonesia. bagi norma yang di bawahnya.3 Hal itu juga dipertegas
Ketidakjelasan status hukum Tap MPR tersebut dalam teori jenjang normanya Hans Kelsen yang juga
membuat pembuat undang-undang nampak ragu mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma
untuk memasukkan Tap MPR dalam hierarki hukum (stufentheori), di mana Kelsen berpendapat
peraturan perundangan-undangan. Hal ini bisa bahwa norma hukum-norma hukum itu berjenjang-
dibuktikan dengan tidak dicantumkannya Tap MPR jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
dalam hierarki peraturan perundang-undangan susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma
namun di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
Ketetapan MPR dimunculkan kembali. bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
Tabel 1 tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu
Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor
bersifat hipotesis dan fiktif. Sehingga kaidah dasar
10 Tahun 2004 12 Tahun 2011
di atas sering disebut dengan “grundnorm” atau
UUD 1945 UUD 1945
UU/Perpu TAP MPR
“ursprungnorm”.4

PP UU/Perpu Merujuk pada teori tersebut dan melihat


Peraturan Presiden PP penerapannya di sistem hukum Indonesia di mana
Perda (Provinsi, Peraturan Presiden kedudukan Tap MPR yang berdiri di antara UUD
Kabupaten/Kota, Qanun 1945 dan Undang-Undang maka selayaknya Tap MPR
Perda Provinsi tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang
Perda Kabupaten/Kota
Dasar dan harusnya pula menjadi pedoman dalam
Pencantuman Tap MPR dalam hierarki peraturan pembentukan undang-undang/perpu. Akan tetapi,
perundang-undangan tak ubahnya hanya sebagai posisi Tap MPR yang pada awalnya tidak didesain ada
upaya memberikan kepastian hukum bagi Tap MPR dalam konstitusi membuat pembuat undang-undang
yang masih berlaku, karena MPR secara kelembagaan tampak kebingungan di mana harus menempatkan
sudah tidak mempunyai wewenang untuk membuat Tap MPR dalam sistem hukum nasional, dan
Tap MPR. Konsep ini terlihat dari pendapat Menteri menjadi pertanyaan selanjutnya adalah sebagai
Hukum dan HAM RI pada waktu itu, Patrialis Akbar sebuah peraturan, lembaga mana yang mempunyai
yang menuturkan bahwa dimasukkannya TAP MPR kewenangan melakukan pengujian terhadap Tap
ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan MPR?
memang hanya untuk memperkuat kekuatan hukum
Undang-Undang Dasar hasil amandemen telah
TAP MPR yang sudah diterbitkan sejak dahulu,
mengunci pintu pengujian peraturan perundang-
yakni TAP MPR No.I/MPR/2003.2 Dimasukkannya
undangan hanya terbatas pada 2 (dua) lembaga
Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-
saja, yaitu Mahkamah Konstitusi untuk pengujian
undangan di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
undang-undang terhadap undang-undang dasar,
tidak serta merta membuat Tap MPR menjadi jelas
dan Mahkamah Agung untuk pengujian semua

2. Fitri Meilany Langi, “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Dalam Perundang-Undangan Di
Indonesia”, Lex Administratum, Nomor 1 (2013) 151.
3. Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta:Kanisius,1998), hlm. 25.
4. Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, ( Jakarta: Rajawali Press,2008), hlm. 54.

347
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 16 No. 3 - September 2019: 344-352

peraturan perundang-undangan di bawah undang- rahasia publik bahwa proses amandemen konstitusi
undang terhadap undang-undang. Hal inilah yang Indonesia dalam rentang 1999-2002 sedikit terburu-
menyebabkan posisi Tap MPR menjadi dilematis, buru dan masih menyimpan sejumlah persoalan
secara materiil tidak mungkin Tap MPR ditempatkan yang layak untuk diperdebatkan, seperti relasi
dibawah Undang-Undang karena substansinya yang komisi yudisial dengan Mahkamah Agung ataupun
mengatur terkait hal-hal yang bersifat mendasar, relasi Komisi Yudisial dengan Hakim Mahkamah
namun apabila TAP MPR ditempatkan di atas Undang- Konstitusi. Akan tetapi fokus dalam penelitian ini
Undang dan di bawah Undang-Undang Dasar menjadi adalah terkait status hukum Tap MPR dalam sistem
persoalan terkait lembaga mana yang mempunyai ketatanegaraan Indonesia, bagaimana seharusnya
kewenangan untuk melakukan pengujian. Sebagai konstitusi mengaturnya, dan bagaimana selayaknya
sebuah peraturan perundang-undangan tentu saja posisi MPR di antara lembaga tinggi negara lainnya.
kedudukan Tap MPR harus diperlakukan sama Desain konstitusi terkait status Tap MPR harus
dengan peraturan lainnya, yaitu adanya mekanisme diawali dengan melihat bentuk formil Tap MPR
konstitusional terkait pengujiannya. terlebih dahulu. Berdasarkan bentuknya (formil),
Sebenarnya pengujian terhadap Tap MPR bukan produk hukum bisa dikategorikan ke dalam 3 (tiga)
belum pernah dicoba untuk dilakukan, Pada tahun kelompok, yaitu keputusan (beschikking), peraturan
2013, Ketetapan MPR pernah coba untuk dilakukan (regeling), dan putusan (vonnis). Berbeda dengan
pengujian di Mahkamah Konstitusi yaitu dengan putusan (vonnis) yang mana sudah jelas bahwa yang
Perkara Nomor 24/PUU-XI/2013 tentang Pengujian mempunyai kewenangan mengeluarkan hanyalah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, di
Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan antara beschikking dan regeling kerap kali terjadi
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan disosiasi pemahaman dikarenakan subjectum yang
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan mengeluarkan adalah sama. Oleh karena itulah hal
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik pertama yang harus dilakukan adalah merumuskan
Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. terlebih dahulu bentuk dasar Tap MPR, apakah
Dalam putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah termasuk dalam beschikking ataukah regeling.
Kontitusi dalam Putusan Nomor 24/PUU-XI/2013, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para 1986 tentang PTUN, unsur-unsur utama beschikking
Pemohon tidak dapat diterima. Dalam pertimbangan sebagai penetapan (keputusan) tertulis tersebut
hukumnya mahkamah menyatakan jika bahwa meliputi:
pengujian Ketetapan MPRS/MPR tidak termasuk a. penetapan tertulis,
dalam kewenangan Mahkamah. 5
b. oleh badan atau pejabat tata usaha Negara,
Upaya hukum yang dilakukan oleh sekelompok c. Tindakan hukum tata usaha Negara,
orang untuk menguji Tap MPR terbentur oleh d. konkrit, individual,
keengganan Mahkamah Konstitusi melakukan e. final,
perluasan kewenangan (ultra vires) yang sudah f. akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
diatur dalam konstitusi, akan tetapi ketundukan perdata.
dan ketaatan MK terhadap legal-formal yang Hal itu juga dirumuskan kembali dalam Pasal 1
tecantum dalam konstitusi semakin mempertegas angka 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
ketidakjelasan persoalan terkait status hukum TAP PTUN yang dimaksud “Keputusan Tata Usaha Negara
MPR dalam sistem hukum Indonesia. adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
B.1. Desain Ulang Konstitusi terkait MPR
berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
Salah satu upaya untuk mempertegas status
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
hukum Tap MPR adalah dengan cara melakukan
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
desain ulang konstitusi Indonesia. Sudah menjadi

5. Fitri Meilany Langi, Op.Cit, hlm. 75.

348
Politik Hukum Hierarki TAP MPR melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Ahmad Gelora Mahardika)

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau ‘beschikking’ apabila memenuhi beberapa
atau badan hukum perdata”. Di lihat dari berbagai unsur, yaitu: a) keputusan sepihak; b) keputusan
norma tersebut dapat ditarik kesimpulan dan tersebut adalah tindakan hukum di lapangan hukum
dapat dirumuskan unsur-unsur beschikking, yakni publik; c) keputusan tersebut dibuat oleh badan atau
meliputi; (a) pernyataan kehendak yang bersifat pejabat tata usaha negara; d) keputusan mengenai
sepihak (bersegi satu), (b) dikeluarkan oleh organ masalah atau keadaan kongkrit dan individual; dan
pemerintah, (c) berdasarkan pada norma wewenang e) keputusan dimaksudkan untuk mempunyai akibat
yang diatur dalam hukum publik (peraturan hukum tertentu yaitu, menciptakan, mengubah,
perundang-undangan), (d) ditunjukan untuk hal- menghentikan atau membatalkan suatu hubungan
hal yang bersifat khusus atau peristiwa konkret dan hukum.7
individual, (e) dengan maksud untuk menimbulkan Batasan yang paling sederhana untuk melihat
akibat hukum dalam bidang administrasi. 6
apakah sebuah produk hukum tersebut dikategorikan
Sementara itu definisi peraturan (regeling) sebagai beschikking atau regeling menurut Jimly
bisa dilihat dengan mendasarkan pada pengertian Asshidiqie bahwa suatu produk hukum dapat
peraturan perundang-undangan dalam Undang- dikategorikan peraturan apabila bersifat mengatur,
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan pertama, kepentingan publik; Kedua, menyangkut
Peraturan Perundang-Undangan. Dalam undang- hubungan hukum atau hubungan hak dan kewajiban
undang tersebut yang dimaksud peraturan di antara sesama warga negara serta antara warga
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang negara dengan pemerintah. Sedangkan beschikking
memuat norma hukum yang mengikat secara umum merupakan keseluruhan ‘ketetapan” administratif
dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara yang dikeluarkan oleh pejabat publik yang dalam
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang kapasitasnya diberikan kewenangan oleh UUD dan/
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. atau UU untuk mengeluarkan ketetapan tentang
Secara konseptual ada 2 (dua) hal pokok yang sesuatu hal yang bersifat internal dan tidak bersifat
terdapat dalam pasal ini, yaitu peraturan itu mengikat publik, sehingga pengikatannya langsung kepada
secara umum dan abstrak. Sifat umum dan abstrak yang bersangkutan.8
inilah yang kemudian digunakan untuk menjadi Secara materiil atau isinya, TAP MPR berada
garis pemisah antara regeling dan beschikking, di di antara beschikking dan regeling, karena dalam
mana karakteristik beschikking adalah sifatnya yang beberapa ketetapan terlihat Tap MPR mengatur
kongkret dan individual sementara itu regeling adalah sesuatu yang bersifat umum seperti pemisahan
umum dan abstrak. antara TNI dan Polri ataupun persoalan etika
Peraturan perundang-undangan memiliki 3 (tiga) berbangsa dan bernegara, namun di sisi lain
unsur penting yaitu a) Peraturan perundang-undangan sejumlah ketetapan mengatur tentang hal-hal yang
berbentuk keputusan tertulis, sehingga dapat juga bersifat individual seperti Pembubaran PKI ataupun
disebut hukum tertulis;, b) Peraturan perundang- penyebutan nama Soeharto dalam TAP MPR Nomor
undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan XI/MPR 1998. Akan tetapi secara keseluruhan TAP
jabatan (badan, organ), yang memiliki wewenang MPR lebih banyak bersifat mengatur hal-hal yang
membuat peraturan yang berlaku atau mengikat bersifat umum dibandingkan individual, oleh karena
umum; dan c) Peraturan perundang-undangan itulah TAP MPR jauh lebih tepat diklasifikasikan
bersifat mengikat secara umum. Sedangkan suatu sebagai peraturan. Hal itu juga sudah disepakati
keputusan itu dapat dikategorikan sebagai ‘ketetapan’ oleh pembuat Undang-Undang Nomor 12 tahun

6. Oheo K.Haris, “Good Governance (Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik) Dalam Pemberian Izin Oleh Pemerintah
Daerah Di Bidang Pertambangan”, Jurnal Yuridika, Nomor 1 (2015).
7. Safri Nugraha,dkk, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005), hlm.77.
8. Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI, 2004), Hlm. 250-254; Lihat juga di Zainal Arifin Hossein, “Pembentukan Hukum dalam
Perspektif Pembaruan Hukum”, Jurnal Rechtsvinding, Nomor 3 (2012), hlm. 313.

349
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 16 No. 3 - September 2019: 344-352

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor
undangan yang mana memasukkan TAP MPR dalam 12 Tahun 2011 yang mana semua lembaga tinggi
hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat,
tepat di bawah undang-undang dasar dan di atas Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
undang-undang. Namun kata “Ketetapan” sendiri Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
sudah dimaknai sebagai beschikking dalam perspektif Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
hukum administrasi negara, karena itulah perlu Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi
dilakukan perbaikan terlebih dahulu terkait status yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
formil Tap MPR. atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Ketika sudah disepakati bahwa Ketetapan MPR Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
termasuk dalam peraturan (regeling), maka yang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
kemudian perlu untuk dilakukan adalah melakukan Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat
penyesuaian dalam konstitusi di mana dimasukkan mempunyai kewenangan untuk membentuk peraturan
norma yang terkait dengan kewenangan MPR untuk yang bersifat internal yang artinya peraturan tersebut
mengeluarkan peraturan. Apabila merujuk pada tidak mempunyai kekuatan ke luar.
konstitusi, semua kewenangan lembaga tinggi Oleh karena itulah peraturan yang dimaksud
negara untuk mengeluarkan peraturan merupakan dalam ketentuan ini selayaknya tidak disebut
kewenangan delegatif yang telah diatur dalam undang- Peraturan MPR sebagai upaya untuk menghindari
undang dasar. Ada beberapa lembaga tinggi negara kerancuan dengan Peraturan MPR yang hanya
yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan bersifat internal. Nama yang menurut artikel ini
peraturan: tepat adalah Peraturan Rakyat. Redaksi pada kata
rakyat untuk memberikan gambaran bahwa MPR
Presiden:
merupakan representasi rakyat secara keseluruhan,
Undang-Undang bersama DPR, Perpu, Peraturan
karena MPR merupakan gabungan antara pemilih
Pemerintah dan Peraturan Presiden9
melalui partai politik (DPR) dan perseorangan (DPD),
DPR:
sehingga MPR patutlah dianggap sebagai representasi
Undang-Undang bersama Presiden10
rakyat yang sebenarnya.
Pemerintah Daerah:
Dengan memberikan kekuasaan baru bagi MPR
Peraturan Daerah11
untuk membuat Peraturan Rakyat, maka diperlukan
Terlihat berdasarkan data di atas, semua lembaga pula perubahan norma dalam konstitusi Indonesia
tinggi negara yang mempunyai produk hukum menjadi berubah sebagai berikut:
berupa peraturan, yang semuanya dicantumkan
Pasal 3
dalam hierarki peraturan perundang-undangan,
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
kewenangannya didelegasikan dari Undang-Undang
mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar 1945. Oleh karena itulah terkait dengan
Dasar.
peraturan yang dibuat oleh MPR sebagai lembaga
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
tinggi negara selayaknya kewenangan tersebut juga
menetapkan Peraturan Rakyat.
didelegasikan dari Undang-Undang Dasar 1945.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik
Hanya saja peraturan yang dibuat oleh MPR
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
tidak tepat dinamakan Peraturan MPR, karena
(4) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat
redaksi kata peraturan diikuti nama lembaga yang
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
membuatnya tidak akan harmoni dan selaras dengan

9. Fitria Esfandiari, “Problematika Pendelegasian Peraturan Presiden Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Di Indonesia”, Jurnal Legality, Nomor 2 (2018), Hlm. 267-280.
10. Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945
11. Ali Marwan Hsb & Evlyn Martha Julianthy, “Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal Legislasi Indonesia Nomor 2 (2018)
Hlm.1-8.

350
Politik Hukum Hierarki TAP MPR melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Ahmad Gelora Mahardika)

Presiden dalam masa jabatannya menurut Konstitusi merupakan lembaga yang paling
Undang-Undang Dasar. memungkinkan melakukan pengujian terhadap
Dengan memberikan kewenangan kepada MPR peraturan rakyat. Hal ini disebabkan sebagai
untuk membentuk Peraturan Rakyat,maka pembuat sebuah norma yang diposisikan di atas undang-
undang-undang bisa membuat ketentuan terkait hal undang, maka satu-satunya pijakan yang bisa
tersebut lebih detail dalam undang-undang tentang digunakan untuk mengujinya adalah konstitusi
pembentukan peraturan perundang-undangan, atau Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena
sehingga hierarki peraturan perundang-undang itulah menurut artikel ini Mahkamah Konstitusi
dalam sistem hukum Indonesia menjadi sebagai merupakan lembaga yang paling berwenang
berikut: untuk melakukan pengujian terhadap peraturan
a) UUD 1945 rakyat.
b) Peraturan Rakyat Tindakan amandemen konstitusi tersebut perlu
c) Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah juga diatur pelaksanaannya dalam undang-undang,
Pengganti Undang-Undang terutama terkait dengan bagaimana penyikapan
d) Peraturan Pemerintah terhadap TAP MPR/MPRS yang saat ini masih berlaku,
e) Peraturan Presiden apakah secara otomatis berubah menjadi Peraturan
f) Perda Provinsi Rakyat, ataukah harus diputuskan oleh MPR terlebih
g) Perda Kabupaten/Kota dahulu?. Ketentuan terkait hal-hal tersebut bisa
Setelah memasukkan Peraturan Rakyat ke dalam diatur dalam bab aturan peralihan undang-undang,
hierarki peraturan perundang-undangan sebagai hal ini diperlukan untuk memberikan kepastian status
implikasinya diperlukan pula lembaga tinggi negara hukum Tap MPR dalam sistem hukum Indonesia.
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
C. Penutup
pengujian (review), namun yang menjadi pertanyaan
Persoalan terkait status hukum TAP MPR menjadi
berikutnya adalah lembaga apa yang mempunyai
salah satu dosa sejarah amandemen konstitusi
kewenangan untuk mengujinya?. Terkait dengan
yang perlu untuk diperbaiki. Hal itu disebabkan
hal ini terdapat beberapa pilihan yang menurut
ketika amandemen tersebut dilakukan tidak
penulis masing-masing mempunyai kekurangan
mempertimbangkan keberadaan 8 (delapan) TAP MPR
dan kelebihan,
yang masih berlaku dalam sistem hukum Indonesia.
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai sebuah
Pembuat undang-undang kemudian mengeluarkan
lembaga tinggi negara memang mempunyai
TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-
kekuasaan untuk merubah undang-undang
undangan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun
dasar, namun proses perubahan undang-
2004, namun dikarenakan untuk memberikan
undang dasar memerlukan proses yang tidak
penegasan status hukum, TAP MPR dimasukkan
mudah. Begitupula dengan Peraturan Rakyat,
kembali ke dalam hierarki peraturan perundang-
dikhawatirkan apabila kewenangan tersebut
undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor
diserahkan kepada MPR maka akan timbul
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
potensi yang sama. Selain itu sebagai sebuah
Perundang-Undangan. Oleh karena itulah konstitusi
peraturan perundang-undangan, maka MPR
perlu didesain ulang demi memberikan kepastian
selayaknya tidak mengadili peraturan yang
hukum bagi status TAP MPR dalam sistem hukum
dibuatnya sendiri. Hal ini sesuai dengan asas
Indonesia.
hukum Nemo Judex Ideoneus in Propria Causa
Perubahan konstitusi tersebut menurut artikel
yang artinya adalah seorang tidak dapat menjadi
ini hanya perlu dilakukan pada 2 (dua) pasal, yaitu
hakim untuk mengadili kepentingan dirinya
terkait dengan kewenangan pembuatannya (Pasal 3
sendiri.
UUD 1945) dan kewenangan pengujiannya (Pasal 24
2) Mahkamah Konstitusi, apabila melihat
C UUD 1945) yang berada di Mahkamah Konstitusi.
lembaga-lembaga yang berada di bawah
Selain itu, menurut peneliti kata Tap MPR juga
kekuasaan kehakiman maka Mahkamah

351
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 16 No. 3 - September 2019: 344-352

mempunyai makna seakan-akan produk hukum Pertambangan”, Jurnal Yuridika, Nomor 1(2015)
ini adalah “beschikking”, sehingga kata Ketetapan
Hossein, Zainal Arifin. “Pembentukan Hukum
perlu diubah menjadi Peraturan demi asas kepastian
dalam Perspektif Pembaruan Hukum”, Jurnal
hukum. Namun frase Peraturan MPR dipandang
Rechtsvinding, Nomor 3 (2012)
mempunyai kesamaaan dengan bentuk Peraturan
lembaga negara lainnya (Pasal 8 Undang-Undang Langi,Fitri Meilany. “Ketetapan Majelis

Nomor 12 Tahun 2011), sehingga jauh lebih tepat Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Dalam

nama yang digunakan adalah Peraturan Rakyat, Perundang-Undangan Di Indonesia”, Lex

sebagai penegas bahwa MPR adalah representasi Administratum, Nomor 1(2013)

rakyat secara keseluruhan. Marwan, Ali & Evlyn Martha Julianthy. “Pelaksanaan
Perubahan amandemen ini mutlak dilakukan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah
sebagai upaya menegakkan asas kepastian hukum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
yang belum bisa diakomodasi dalam konstitusi 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal
dikarenakan adanya kekosongan hukum terkait Legislasi Indonesia, Nomor 2 (2018)
bagaimana konstitusi memperlakukan TAP MPR/
MPRS yang masih berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asshidiqie, Jimly.Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:PT Bhuana
Ilmu Populer, 2007.

_________________, Konstitusi dan Konstitusionalisme


Indonesia. Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI dan
Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2004.

Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan.


Yogyakarta:Kanisius,1998.

Huda, Ni’matul.UUD 1945 dan Gagasan Amandemen


Ulang, Jakarta: Rajawali Press, 2008.

Nugraha, Safri dkk. Hukum Administrasi Negara,


Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum UI,
2005.

Jurnal
Esfandiari, Fitria.“Problematika Pendelegasian
Peraturan Presiden Dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia”, Jurnal
Legality, Nomor 2 (2018)

Fajarwati, Meirina.”Konstitusionalitas Ketetapan


Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum
& Pembangunan, Nomor 1 (2018)

Haris, Oheo K. “Good Governance (Tata Kelola


Pemerintahan Yang Baik) Dalam Pemberian
Izin Oleh Pemerintah Daerah Di Bidang

352

Anda mungkin juga menyukai