HEPATOMA
Oleh:
dr. Tifani Sutrisno
Pembimbing:
dr. Wahyudin Dangkua, Sp.PD
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Penanganan dengan transplantasi hati tetap menjadi pilihan terbaik untuk pasien
HCC. Sayangnya, pasokan organ donor yang berkualitas baik terbatas. Dengan demikian,
perawatan lain, termasuk reseksi, ablasi radiofrequency (RFA), dan terapi sistemik yang
potensial menggunakan sorafenib (atau, jika sorafenib gagal, dengan regorafenib, nivolumab,
lenvatinib, pembrolizumab, cabozantinib, atau ramucirumab), harus digunakan untuk
menjembatani pasien untuk transplantasi atau untuk menunda kekambuhan jika
memungkinkan.10
BAB II
3
LAPORAN KASUS
1. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD Tani dan Nelayan dengan keluhan perut
membuncit sejak ± 2 minggu SMRS. Perut membuncit dirasakan cepat membesar hingga
membuat dada terasa sesak. Sesak dirasakan baik saat mengambil maupun membuang napas.
Pasien menyangkal adanya bunyi ngik saat sesak.
Awalnya pasien merasakan nyeri perut hilang timbul sejak 4 bulan SMRS.
Nyeri dirasakan sesekali dan ringan, namun semakin hari semakin bertambah nyeri. Nyeri
perut yang dirasakan seperti diremas – remas, menetap dan tidak menjalar. Nyeri menetap
walau sudah diberikan makan. Mual dan muntah (+) dengan frekuensi 3-4 kali sehari, ± 1/4
gelas aqua setiap kali muntah bercampur makanan. Riwayat muntah darah dan BAB berdarah
disangkal. Nafsu makan pasien dirasa menurun, dan menurut pasien dalam 4 bulan terakhir
BB turun hingga 20 kg dari 52 kg menjadi 32 kg. Riwayat demam saat ini disangkal. Pasien
mengatakan 9 bulan lalu pernah mengalami BAB berwarna dempul dan BAK berwarna
4
seperti teh namun sempat kembali normal. Namun 1 bulan terakhir BAB berwarna dempul
dan BAK berwarna seperti teh lagi.
Pasien belum pernah mengobati sakitnya dan akhirnya ke RSUD Tani dan
Nelayan Boalemo karena keluhan perut membuncit dan sesak napas yang dirasakan. Riwayat
batuk (-), demam tinggi (-). Tidak ada orang serumah yang mengalami keluhan yang sama.
Pasien pernah membuat tattoo pada Juni dan Oktober 2017 lalu, di tempat yang pasien
tidak ketahui sterilitas alatnya. Tattoo dibuat di punggung dan di lengan atas kanan.
2. Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS = E4V5M6)
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 128x/menit
Pernafasan : 26x/menit
5
Suhu : 36.8 derajat Celcius
SpO2 : 97%, O2 NK 5 lpm
Status regional
Kepala : Normocephali
Wajah : Simetris
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (+/+)
Hidung : Bentuk biasa, Lapang +/+, Sekret -/-
Mulut : Mukosa bibir lembab
Telinga : Liang lapang +/+, Serumen -/-
Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP distensi (-)
Toraks : Pergerakan dinding dada simetris kanan = kiri, spider nevi (+)
Paru-paru : Bunyi nafas dasar vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Tampak menbuncit, caput medusae (+). LP = 122 cm,
BU (+) 6x/menit, shifting dullness (+), undulasi (+)
Hepar : Teraba membesar, 4 jari di bawah arcus costae, nyeri tekan
(+), konsistensi keras, permukaan bernodul, tepi tumpul
Lien : Tidak teraba membesar
Genitalia externa : tidak dilakukan
Extremitas : Akral hangat, Edema -- /++ , CRT < 2 detik, eritema
palmar -/-
6
Hasil lab tanggal 18 Agustus 2020
PMN = 83.6%
Limfosit = 9.3%
Monosit = 7.1%
7
8
Hasil USG Abdomen (19 Agustus 2020)
9
Diagnosis IGD
Asites ec Hepatitis B Kronik
AKI dd CKD St V
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Hipoglikemia
Diagnosa banding :
Karsinoma Hepatosellular
Hepatitis C
Alcoholic fatty liver disease
Terapi di IGD :
Prognosis :
- Ad vitam :Dubia ad malam
- Ad sanasionum :Dubia ad malam
- Ad fungsionum :Dubia ad malam
FOLLOW-UP
10
19 Agustus 2020 (pH 1)
S O A P
Asites ec Infeksi
Perut KU : Hepatitis B Kronik Diet : lunak
membuncit, TSS AKI dd CKD St V
sesak napas (+), Kes : Compos mentis (eGFR = 11 IVFD:
nyeri perut (E4V5M6) ml/min/1.73m2) NaCl 0.9%/24 jam
kanan atas (+) TTV: Susp. Peritonitis O2 simple mask 5 lpm
berkurang TD: 100/80 mmHg Bakterial Spontan
sedikit, mual HR : 64x/menit Asites permagna Mm:/
(+), muntah (-) RR: 24x/menit Hipoalbuminemia - Inj. Ondansetron 3x1
Suhu : 36.1° C Hiponatremia amp (IV)
SpO2 = 95% O2 simple maskHipoglikemia - Inj. Ranitidine 2x1
5 lpm amp (IV)
Kepala : Normocephali - Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
Hasil USG Abdomen : (IV)
Wajah : Simetris
Kesan : Hepatoma - Inj. metronidazole
Mata : Konjungtiva anemis
(-/-), Sklera ikterik (+/+) 3x500 mg (IV)
Hidung : Bentuk biasa, Lapang - Inj. Ketorolac 3x1 amp
+/+, Sekret -/- (IV)
Mulut : Mukosa bibir lembab - Curcuma 3x1 (PO)
Telinga : Liang lapang +/+, - VIP albumin 3x1 (PO)
Serumen -/-
Leher : KGB tidak teraba
membesar, JVP distensi (-)
Toraks : Pergerakan dinding
dada simetris kanan = kiri,
spider nevi (+)
Paru-paru : Bunyi nafas dasar
vesikuler, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Abdomen : Tampak
menbuncit, caput medusae (+).
LP = 122 cm, BU (+)
4x/menit, shifting dullness (+),
undulasi (+)
Hepar : Teraba membesar, 4
jari di bawah arcus costae,
nyeri tekan (+), konsistensi
keras, permukaan bernodul,
tepi tumpul
Lien : Tidak teraba membesar
11
Genitalia externa : tidak
dilakukan
Extremitas : Akral hangat,
Edema -- /++ , CRT < 2 detik,
eritema palmar -/-
FOLLOW-UP
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
13
(Hepatocellular Carcinoma/HCC). Sekitar 80% dari kasus HCC di dunia berada di negara
berkembang seperti Asia Timur, Asia Tenggara dan Afrika Tengah, yang diketahui sebagai
wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus. Infeksi HBV dapat menyebabkan hingga 80%
terjadinya HCC di seluruh dunia. Selain itu, penularan secara vertical dari ibu-bayi juga
berkontribusi pada kejadian HCC usia muda di mana pasien yang ditularkan sejak masa kanak-
kanak dapat mengalami HCC sesudah dua tiga dasawarsa. Selain itu, kasus HCC pada laki-laki
jauh lebih banyak dibandingkan perempuan, dengan rasio hingga 8:1. Hal ini dikaitkan dengan
kemungkinan risiko pajanan virus hepatitis dan alkohol pada laki-laki yang lebih banyak.9,14
Hasil penelitian ini sejalan dengan kondisi pasien dalam kasus, di mana kasus
Hepatitis B yang masih tinggi di Indonesia berperan besar pada terjadinya HCC, jenis kelamin
laki-laki, dan usia muda dalam hal ini dapat dikaitkan dengan paparan virus secara transvertikal
dari ibu yang tidak diketahui atau pun disebabkan oleh genotip C dari virus Hepatitis B sehingga
proses perjalanan penyakit lebih cepat ke arah HCC.18
Ibu hamil dapat menularkan virus Hepatitis B ke bayinya saat dilahirkan, terutama
persalinan pervaginam. Oleh karena itu, bayi yang tidak segera divaksin saat lahir berpotensi
terinfeksi virus Hepatitis B kronik yang dapat berkembang menjadi kanker hati. Selain itu, HBV
juga ditularkan melalui kontak parenteral maupun perkutaneus melalui darah yang terinfeksi,
cairan tubuh, dan melalui hubungan seksual. HBV mampu bertahan pada berbagai permukaan
benda sekitar satu minggu misalnya pada pisau cukur, jarum tattoo, bercak darah, tanpa
kehilangan daya infektivitasnya. Sedikit kerusakan pada barrier kulit, walaupun minimal dan
tidak signifikan, sudah dapat menjadi media transmisi virus. 14
Berdasarkan teori di atas, pasien terinfeksi virus Hepatitis B akibat pembuatan tattoo
badan di tempat yang tidak diketahui sterilitas alatnya sehingga menjadi jalur transmisi
14
penularan virus.
15
pendorongan diafragma oleh massa di hati atau akibat metastasis ke paru. 9
Pada pemeriksaan fisik, seringkali ditemukan hepatomegali, splenomegali, asites
(50% asites hemoragik), ikterik, demam, atrofi otot. Selain itu bisa juga datang dengan
peritonitis bakterial spontan (SBP) atau varises esofagus. 9
Pada pasien ini, ditemukan semua keluhan mengarah ke HCC seperti pada teori.
Keluhan sesak napas terutama disebabkan oleh asites permagna jenis tense karena ditemukan
pendorongan diafragma ke atas sehingga mengurangi kapasitas vital paru pasien yang
mengakibatkan sesak napas.16 Penurunan BB, lemas, lesu diakibatkan oleh proses katabolisme
tinggi yang dibutuhkan untuk perkembangan kanker pada sel hepatosit.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda gagal hati seperti penurunan berat
badan yang signifikan, asites, dan ikterik. Tanda-tanda stigmata sirosis hepatis dekompensata
lain juga ditemukan seperti spider nevi, caput medusae, dan edema tungkai.2
Pada pasien ditemukan asites, namun belum diketahui apakah terjadi peritonitis
bakterial spontan/tidak. Diagnosis definitif SBP dibuat berdasarkan hasil analisis cairan asites, di
samping keluhan seperti demam, nyeri perut, dan penurunan kesadaran. Diagnosis SBP juga
artinya menyingkirkan kemungkinan penyebab peritonitis sekunder. Sekitar 10% SBP dapat
terjadi asimptomatik sehingga diagnosis dibuat berdasarkan jumlah sel PMN ≥ 250/mm 3, dan
kultur cairan asites. Pada pasien, kemungkinan baru saja mengalami bacterial asites (BA) di
mana tanda-tanda klinis SBP belum ditemukan. Hiponatremia dapat disebabkan oleh proses
asites yang mengakibatkan osmosis cairan dan natrium ke rongga peritoneum. 15 Tanda
hipoglikemia menandakan aktivitas tumor yang tinggi.6
B. Pemeriksaan Penunjang
- Diagnostik HCC
Pada pasien berisiko tinggi HCC, perlu dilakukan surveilans rutin menggunakan USG
dengan atau tanpa pemeriksaan AFP (alfa feto protein) yang dilakukan secara berkala
untuk mendeteksi tumor pada tahap sebelumnya yang berpotensi dapat disembuhkan.
Diagnosis HCC mungkin dicurigai bila terdapat lesi baru di US.6
Untuk tumor dengan diameter > 2 cm, adanya penyakit hati kronik (sirosis),
hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar AFP serum ≥ 400
ng/mL memenuhi kriteria diagnostic HCC.2
16
Tabel 1. Kriteria Diagnostik HCC Menurut Barcelona EASL Conference2
Kriteria sito-histologis
Kriteria non-invasif (khusus untuk pasien sirosis hati)
Kriteria radiologis : koinsidens 2 cara pencitraan (USG/CT-spiral/MRI/angiografi)
- Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kriteria kombinasi : satu cara pencitraan dengan kadar AFP serum :
- Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kadar AFP serum ≥ 400 ng/mL
Telah diterima secara umum bahwa kadar serum > 400 ng/mL (nilai normal di
sebagian besar laboratorium antara 10-20 ng/mL) pada pasien berisiko tinggi merupakan
diagnosis HCC, dengan spesifisitas > 95 persen.6 Pemeriksaan diagnostik lain yaitu CT-
Scan/MRI dengan kontras selain sebagai diagnostik, juga untuk menentukan derajat metastastis
ekstrahepatik.5,6 Biopsi untuk konfirmasi histologis tidak diperlukan jika lesi memenuhi kriteria
pencitraan khas untuk HCC (yaitu, Sistem Data dan Pelaporan Pencitraan Hati (Liver Imaging
Reporting and Data System/LI-RADS) LR-5.6
Pada pasien, dilakukan pemeriksaan USG abdomen tanpa kontras, dan ditemukan
gambaran hepatomegali dengan multipel nodul hepar pada lobus kanan kiri serta lobus caudatus
dengan kesan hepatoma. Hal ini menunjukkan proses keganasan sudah meluas > 2 cm, disertai
adanya kondisi penyakit hati kronik. Oleh karena itu, untuk menunjang diagnosis pasti HCC,
dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti CT-Scan dengan kontras atau MRI dengan
kontras untuk melihat hipervaskularisasi arterial sehingga dapat mengonfirmasi diagnosis HCC
dan sekaligus untuk penentuan stadium HCC.6
Pada pasien ditemukan peningkatan kadar ureum, dan kreatinin darah yang
17
menunjukkan kemungkinan terjadi AKI pre-renal akibat asites dan hipoalbuminemia yang terjadi
atau yang bisa disebut juga sebagai sindrom hepatorenal (HRS) di mana terjadi gangguan ginjal
yang reversible tanpa adanya bukti gangguan parenkim ginjal disertai gangguan fungsi hati. Pada
pasien juga didapatkan peningkatan enzim SGOT/SGPT dan tanda-tanda kegagalan hati.
Mengenai HRS, hingga tahun 2015 diagnosis HRS ditegakkan ketika pasien
memenuhi enam kriteria yang telah direvisi pada tahun 2007, di antaranya :15
1. Sirosis + asites
2. Kreatinin serum > 1,5 mg / dL
3. Kurangnya perbaikan kreatinin serum (<1,5 mg / dL) setelah minimal 2 hari tanpa diuretik dan
peningkatan volume dengan pemberian albumin 1g/kg/hari (dosis maksimum 100 g / hari)
4. Tidak ada syok
5. Tidak ada pengobatan saat ini dengan agen nefrotoksik
6. Tidak adanya penyakit parenkim ginjal (proteinuria <500 mg/hari, mikrohematuria <50
eritrosit /lpb, ultrasonografi ginjal normal)
Stadium 1: Kreatinin serum meningkat menjadi ≥ 0,3 mg/dL atau > 1,5 - 2 kali nilai dasar.
Stadium 2 : Kreatinin serum meningkat menjadi 2 - 3 kali nilai dasar.
Stadium 3: Kreatinin serum meningkat hingga > 3 kali lipat dari nilai awal atau > 4 mg/dL
dengan peningkatan akut minimal 0,3 mg / dL atau memulai terapi penggantian ginjal.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas, pasien dalam kasus ini mengalami sindrom
hepatorenal stadium 1. Selain itu, berdasarkan hasil perhitungan skor Child Pugh, didapatkan
data pada pasien yaitu asites = 3 (sedang), bilirubin >3 mg/dL = 3 (SI +/+), albumin <2.8 g/dL =
3 total 9 = Child Pugh kelas B. Namun tidak dilakukan pemeriksaan waktu prothrombin/INR
sehingga ada kemungkinan pasien mengalami Child Pugh Kelas C. Hal ini didukung oleh
skoring dengan BCLC yang menunjukkan bahwa fungsi hati sudah tidak baik (tanda-tanda gagal
hati sudah ditemukan) sehingga pasien harus dirawat.
18
2. Sindrom hepatorenal stadium I
3. Susp. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan asites permagna
4. Hipoalbuminemia
5. Hiponatremia
6. Hipoglikemia
- Manajemen nyeri
Pada HCC dengan kondisi sirosis hepatis sebelumnya, asetaminofen (parasetamol)
hingga 3 g/hari dapat digunakan untuk manajemen nyeri dengan intensitas ringan. Obat
antiinflamasi nonsteroid harus dihindari bila memungkinkan pada pasien dengan sirosis. Obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan
gastrointestinal, dekompensasi asites dan nefrotoksisitas, terutama pada pasien dengan hipertensi
portal yang signifikan secara klinis sehingga harus dihindari. Opioid dapat digunakan untuk
mengatasi nyeri dengan intensitas sedang atau berat, misalnya naltrexone, tapi penggunaannya
digabungkan dengan obat pencahar karena efek samping naltrexone yaitu konstipasi.
19
- Manajemen pada metastasis tulang
Metastasis tulang menyebabkan nyeri atau risiko fraktur sekunder spontan yang
signifikan dan mendapat manfaat dari radioterapi paliatif.
- Manajemen nutrisi
Intervensi nutrisi harus dipertimbangkan dalam kasus asupan sumber energi rendah
untuk jangka waktu yang lebih lama. Karena pasien dengan HCC terminal juga dapat mengalami
retensi cairan dan asites dan sangat rentan terhadap infeksi, suplementasi oral harus lebih dipilih
daripada pemberian intravena.
- Kaji obat yang digunakan oleh pasien dan hilangkan obat nefrotoksik seperti NSAID, ACE
inhibitor, dan vasodilator ARB. Diuretik dapat dikurangi atau tidak diberikan tergantung dari
kondisi pasien. 16
- Hipovolemia harus diatasi dengan memperbesar volume plasma menggunakan kristaloid atau
albumin darah. Setelah HRS-AKI terdiagnosis, HA (Human Albumin) diberikan 1 g/kg selama 2
hari berturut-turut, kemudian 20-40 g / hari bersama terlipressin dilanjutkan sampai respons total
atau parsial atau selama maksimal 2 minggu. Pemantauan tekanan vena sentral dapat membantu
mengoptimalkan dosis HA dan mencegah kelebihan beban sirkulasi.17
- Mengontrol infeksi bakteri. Jika ada tanda SBP, pengobatan antibiotik harus dimulai, idealnya
bersama dengan infus albumin. 16
- Pasien yang merespons secara total harus ditindaklanjuti dengan pengukuran kreatinin serum
setiap dua hingga empat jam saat dirawat di rumah sakit dan setiap dua hingga empat minggu
selama 6 bulan pertama setelah pulang untuk mengidentifikasi episode AKI baru. 16
BAB IV
RINGKASAN
Anamnesis : Pasien laki-laki, usia 28 tahun datang dengan keluhan perut membuncit sejak 2
minggu SMRS, disertai sesak napas, nyeri perut yang dirasakan makin lama makin sering selama
4 bulan terakhir, mual +, muntah + berisi makanan tanpa darah. Penurunan BB selama 4 bulan
terakhir kira-kira 20 kg dari 52kg menjadi 32 kg. Satu bulan terakhir BAB dempul dan BAK
berwarna seperti teh. Lemas (+), nafsu makan menurun (+). Riwayat BAB dempul dan BAK
seperti teh 9 bulan lalu. Riwayat tattoo bulan Juni dan Oktober tahun 2017 di tempat yang tidak
diketahui sterilitas alatnya.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran : compos mentis
TD : 100/70 mmHg
HR : 62x/menit
RR : 21x/menit
Suhu : 36.4°C
22
Status regional bermakna :
Mata : sklera ikterik +/+
Thorax : spider nervi +
Abdomen : distensi +, LP = 122 cm, BU + 4x/menit, nyeri tekan hipochondrica dextra +,
undulasi +, shifting dullness +, hepar : teraba 4 jari di bawah arcus costae, tepi tumpul,
permukaan bernodul, konsistensi keras +, nyeri tekan +
Esktremitas : edema ++ (kedua tungkai)
Diagnosis :
Hepatoma susp HCC BCLC stadium D , Child Pugh Kelas C
Sindrom Hepatorenal Stadium I
Susp. Peritonitis Bakterial Spontan
Ascites Permagna
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Hipoglikemia
Terapi :
Rencana CT-Scan dengan kontras untuk diagnosis pasti HCC
Rencana pemeriksaan laboratorium : INR, bilirubin total, kalsium darah, urinalisis untuk
penentuan status fungsional hati yang mendukung kriteria HCC oleh BCLC
DAFTAR PUSTAKA
25