Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

HEPATOMA

Oleh:
dr. Tifani Sutrisno

Pembimbing:
dr. Wahyudin Dangkua, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERSHIP DOKTER INDONESIA


DINAS KESEHATAN PROVINSI GORONTALO
DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOALEMO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TANI DAN NELAYAN
PERIODE AGUSTUS 2020 – MEI 2021

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................................3


BAB II LAPORAN KASUS ..........................................................................................................4
BAB III PEMBAHASAN KASUS ..............................................................................................13
3.1. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO HCC..............................................................13
3.2. MEKANISME PENULARAN VIRUS HEPATITIS B.....................................................13
3.3. PATOGENESIS TERJADINYA HCC ETIOLOGI HEPATITIS B..................................14
3.4. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS HCC...........................................................15
3.5. PENATALAKSANAAN HCC...........................................................................................18
3.6. PROGNOSIS HCC PADA KASUS...................................................................................21
BAB IV RINGKASAN ...............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................24

2
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma Hepatoselular (HCC) menduduki peringkat kelima dari seluruh keganasan


dan menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian akibat keganasan di seluruh dunia.
Insiden HCC paling tinggi di Asia dan Afrika, di mana Asia tenggara menduduki peringkat
kedua dalam insiden tumor hepar di dunia dan Indonesia berada di peringkat ketiga setelah
Vietnam, dan Thailand. KHS merupakan 10-20% dari seluruh penyakit hepar di Indonesia.1
Faktor risiko utama karsinoma hepatoseluler di Indonesia adalah infeksi kronik virus
hepatitis B, virus hepatitis C dan sirosis hati oleh berbagai sebab. Prevalensi tinggi hepatitis B
dan hepatitis C yang endemik sangat mempengaruhi perkembangan penyakit hati kronis dan
perkembangan selanjutnya menjadi HCC.1,10
Pada pasien dengan risiko tinggi mengalami HCC, perlu dilakukan surveilans rutin
sebagai tindak lanjut yang akan mempengaruhi prognosis. Diagnosis HCC seringkali dapat
ditegakkan berdasarkan pencitraan non-invasif, tanpa konfirmasi biopsi. Evaluasi
laboratorium pasien dengan HCC yang baru didiagnosis harus mencakup pemeriksaan untuk
menentukan keparahan penyakit hati yang mendasari dan untuk menjelaskan etiologi
penyakit yang mendasari.1,10

Penanganan dengan transplantasi hati tetap menjadi pilihan terbaik untuk pasien
HCC. Sayangnya, pasokan organ donor yang berkualitas baik terbatas. Dengan demikian,
perawatan lain, termasuk reseksi, ablasi radiofrequency (RFA), dan terapi sistemik yang
potensial menggunakan sorafenib (atau, jika sorafenib gagal, dengan regorafenib, nivolumab,
lenvatinib, pembrolizumab, cabozantinib, atau ramucirumab), harus digunakan untuk
menjembatani pasien untuk transplantasi atau untuk menunda kekambuhan jika
memungkinkan.10

BAB II

3
LAPORAN KASUS

 Nama : Tn. P.T


 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 28 tahun
 Pekerjaan : Petani
 Agama : Islam
 Tgl. Masuk : 18 Agustus 2020

1. Anamnesis

Autoanamnesis Tgl : 19/08/2020

 Keluhan Utama : perut membuncit sejak ± 2 minggu SMRS


 Keluhan Tambahan : sesak napas, nyeri perut, mual, muntah, BAB warna
dempul, BAK warna seperti teh, lemas, penurunan BB

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Tani dan Nelayan dengan keluhan perut
membuncit sejak ± 2 minggu SMRS. Perut membuncit dirasakan cepat membesar hingga
membuat dada terasa sesak. Sesak dirasakan baik saat mengambil maupun membuang napas.
Pasien menyangkal adanya bunyi ngik saat sesak.
Awalnya pasien merasakan nyeri perut hilang timbul sejak 4 bulan SMRS.
Nyeri dirasakan sesekali dan ringan, namun semakin hari semakin bertambah nyeri. Nyeri
perut yang dirasakan seperti diremas – remas, menetap dan tidak menjalar. Nyeri menetap
walau sudah diberikan makan. Mual dan muntah (+) dengan frekuensi 3-4 kali sehari, ± 1/4
gelas aqua setiap kali muntah bercampur makanan. Riwayat muntah darah dan BAB berdarah
disangkal. Nafsu makan pasien dirasa menurun, dan menurut pasien dalam 4 bulan terakhir
BB turun hingga 20 kg dari 52 kg menjadi 32 kg. Riwayat demam saat ini disangkal. Pasien
mengatakan 9 bulan lalu pernah mengalami BAB berwarna dempul dan BAK berwarna

4
seperti teh namun sempat kembali normal. Namun 1 bulan terakhir BAB berwarna dempul
dan BAK berwarna seperti teh lagi.
Pasien belum pernah mengobati sakitnya dan akhirnya ke RSUD Tani dan
Nelayan Boalemo karena keluhan perut membuncit dan sesak napas yang dirasakan. Riwayat
batuk (-), demam tinggi (-). Tidak ada orang serumah yang mengalami keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Terdahulu

 Riwayat sakit kuning disangkal (-)


 Riwayat diabetes mellitus disangkal (-)
 Riwayat hipertensi disangkal (-)
 Riwayat kolesterol tinggi disangkal (-) (tidak pernah periksa)
 Riwayat tranfusi darah disangkal (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

 Riwayat sakit kuning disangkal (-)


 Riwayat dengan keluhan serupa disangkal (-)

Riwayat Kebiasaan Pribadi

 Pasien pernah membuat tattoo pada Juni dan Oktober 2017 lalu, di tempat yang pasien
tidak ketahui sterilitas alatnya. Tattoo dibuat di punggung dan di lengan atas kanan.

 Pasien mengatakan tidak sering mengonsumsi makanan berlemak.

 Riwayat penggunaan jarum suntik / narkoba disangkal (-)

 Pasien menyangkal konsumsi alcohol (-)

2. Pemeriksaan Fisik
Status generalis
 Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis (GCS = E4V5M6)
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
 Nadi : 128x/menit
 Pernafasan : 26x/menit

5
 Suhu : 36.8 derajat Celcius
 SpO2 : 97%, O2 NK 5 lpm

Status regional
 Kepala : Normocephali
 Wajah : Simetris
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (+/+)
 Hidung : Bentuk biasa, Lapang +/+, Sekret -/-
 Mulut : Mukosa bibir lembab
 Telinga : Liang lapang +/+, Serumen -/-
 Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP distensi (-)
 Toraks : Pergerakan dinding dada simetris kanan = kiri, spider nevi (+)
 Paru-paru : Bunyi nafas dasar vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
 Jantung : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Tampak menbuncit, caput medusae (+). LP = 122 cm,
BU (+) 6x/menit, shifting dullness (+), undulasi (+)
 Hepar : Teraba membesar, 4 jari di bawah arcus costae, nyeri tekan
(+), konsistensi keras, permukaan bernodul, tepi tumpul
 Lien : Tidak teraba membesar
 Genitalia externa : tidak dilakukan
 Extremitas : Akral hangat, Edema -- /++ , CRT < 2 detik, eritema
palmar -/-

Pemeriksaan Penunjang : Foto Thorax PA, USG Abdomen, Darah


lengkap, Kimia darah, EKG, dan HBsAg

Hasil Foto Thorax PA


(18/08/2020)

Pulmo : fibrosis paracardial


kiri
Kesan : bekas keradangan
paru

6
Hasil lab tanggal 18 Agustus 2020

Hematologi Elektrolit Kimia klinik Tes


serologi
Leukosit :16.600 Natrium : 126,72 Ureum darah :140 HBsAg - ICT =
ribu /uL mmol/L mg/dL reaktif
Hemoglobin : 10.1 Kalium : 5.49 mmol/L Creatinin darah : 1.7
g/dl Clorida : 92.68 mg/dL
Hematokrit : 29.7% mmol/L SGOT = 510 mu/ml
Trombosit : 428 SGPT = 217 mu/ml
ribu/uL GDS = 61 mg/dL
MCV : 84.5 fL Protein total = 8 g/dL
MCH : 28.7 pg Albumin = 2.7 g/dL
MCHC : 33.9 g/dL

PMN = 83.6%
Limfosit = 9.3%
Monosit = 7.1%

Hasil EKG (18 A

Hasil EKG (18 Agustus 2020)

7
8
Hasil USG Abdomen (19 Agustus 2020)

Hepar : ukuran membesar, echo heterogen


dengan multiple nodul lobus kanan dan kiri,
sampai lobus caudatus
Cairan bebas : asites
Kesan :
hepatomegaly dengan multiple nodul
hepar kesan hepatoma
Ascites

9
Diagnosis IGD
Asites ec Hepatitis B Kronik
AKI dd CKD St V
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Hipoglikemia

Diagnosa banding :
Karsinoma Hepatosellular
Hepatitis C
Alcoholic fatty liver disease

Terapi di IGD :

Pro rawat inap di bangsal


Diet : lunak
IVFD : NaCl 0.9%/20 tpm
Mm/ :
i. Inj. Ceftriaxone 1x 2 gr (IV)
ii. Inj. Metronidazole 3x500 mg (IV)
iii. Inj. Ondansetron 8 mg 1 amp/8 jam (IV)
iv. Inj. Ranitidine 50 mg 1 amp/12 jam (IV)
v. VIP albumin 3x1 (PO)
vi. Curcuma 3x1 (PO)
vii. Observasi dan perbaikan KU

Prognosis :
- Ad vitam :Dubia ad malam
- Ad sanasionum :Dubia ad malam
- Ad fungsionum :Dubia ad malam
FOLLOW-UP
10
19 Agustus 2020 (pH 1)
S O A P
Asites ec Infeksi
Perut KU : Hepatitis B Kronik Diet : lunak
membuncit, TSS AKI dd CKD St V
sesak napas (+), Kes : Compos mentis (eGFR = 11 IVFD:
nyeri perut (E4V5M6) ml/min/1.73m2) NaCl 0.9%/24 jam
kanan atas (+) TTV: Susp. Peritonitis O2 simple mask 5 lpm
berkurang TD: 100/80 mmHg Bakterial Spontan
sedikit, mual HR : 64x/menit Asites permagna Mm:/
(+), muntah (-) RR: 24x/menit Hipoalbuminemia - Inj. Ondansetron 3x1
Suhu : 36.1° C Hiponatremia amp (IV)
SpO2 = 95% O2 simple maskHipoglikemia - Inj. Ranitidine 2x1
5 lpm amp (IV)
Kepala : Normocephali - Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
Hasil USG Abdomen : (IV)
Wajah : Simetris
Kesan : Hepatoma - Inj. metronidazole
Mata : Konjungtiva anemis
(-/-), Sklera ikterik (+/+) 3x500 mg (IV)
Hidung : Bentuk biasa, Lapang - Inj. Ketorolac 3x1 amp
+/+, Sekret -/- (IV)
Mulut : Mukosa bibir lembab - Curcuma 3x1 (PO)
Telinga : Liang lapang +/+, - VIP albumin 3x1 (PO)
Serumen -/-
Leher : KGB tidak teraba
membesar, JVP distensi (-)
Toraks : Pergerakan dinding
dada simetris kanan = kiri,
spider nevi (+)
Paru-paru : Bunyi nafas dasar
vesikuler, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Abdomen : Tampak
menbuncit, caput medusae (+).
LP = 122 cm, BU (+)
4x/menit, shifting dullness (+),
undulasi (+)
Hepar : Teraba membesar, 4
jari di bawah arcus costae,
nyeri tekan (+), konsistensi
keras, permukaan bernodul,
tepi tumpul
Lien : Tidak teraba membesar
11
Genitalia externa : tidak
dilakukan
Extremitas : Akral hangat,
Edema -- /++ , CRT < 2 detik,
eritema palmar -/-

FOLLOW-UP

21 Agustus 2020 (pH = 3)


S O A P
Hepatoma ec Hepatitis B
Perut KU : Sindrom Hepatorenal Diet : lunak
membuncit, TSS stadium I
sesak napas (+), Kes : Compos mentis Susp. Peritonitis IVFD:
nyeri perut (E4V5M6) Bakterial Spontan NaCl 0.9%/24 jam
kanan atas (+) TTV: Asites permagna O2 simple mask 5 lpm
berkurang TD: 100/70 mmHg Hipoalbuminemia
sedikit, mual HR : 62x/menit Hiponatremia Mm:/
(+), muntah(-), RR: 21x/menit Hipoglikemia - Inj. Ondansetron 3x1
BAB (-). Suhu : 36.4° C amp (IV)
Lingkar perut SpO2 = 94% O2 simple mask - Inj. Ranitidine 2x1
tidak berubah. 5 lpm amp (IV)
Pasien minta - Inj. Cefotaxime 3x2 gr
pulang paksa. (IV)
Kepala : Normocephali - Inj. Ketorolac 3x1 amp
Wajah : Simetris (IV)
Mata : Konjungtiva anemis - Curcuma 3x1 (PO)
(-/-), Sklera ikterik (+/+) - VIP albumin 3x1 (PO)
Hidung : Bentuk biasa, Lapang
+/+, Sekret -/-
Mulut : Mukosa bibir lembab
Telinga : Liang lapang +/+,
Serumen -/-
Leher : KGB tidak teraba
membesar, JVP distensi (-)
Toraks : Pergerakan dinding
dada simetris kanan = kiri,
spider nevi (+)
Paru-paru : Bunyi nafas dasar
12
vesikuler, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Abdomen : Tampak
menbuncit, caput medusae (+).
LP = 122 cm, BU (+)
6x/menit, shifting dullness (+),
undulasi (+)
Hepar : Teraba membesar, 4
jari di bawah arcus costae,
nyeri tekan (+), konsistensi
keras, permukaan bernodul,
tepi tumpul
Lien : Tidak teraba membesar
Genitalia externa : tidak
dilakukan
Extremitas : Akral hangat,
Edema -- /++ , CRT < 2 detik,
eritema palmar -/-

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

III.1. Epidemiologi dan Faktor risiko HCC


Sebanyak 80-90% kasus hepatoma disebabkan oleh Karsinoma Hepatoseluler

13
(Hepatocellular Carcinoma/HCC). Sekitar 80% dari kasus HCC di dunia berada di negara
berkembang seperti Asia Timur, Asia Tenggara dan Afrika Tengah, yang diketahui sebagai
wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus. Infeksi HBV dapat menyebabkan hingga 80%
terjadinya HCC di seluruh dunia. Selain itu, penularan secara vertical dari ibu-bayi juga
berkontribusi pada kejadian HCC usia muda di mana pasien yang ditularkan sejak masa kanak-
kanak dapat mengalami HCC sesudah dua tiga dasawarsa. Selain itu, kasus HCC pada laki-laki
jauh lebih banyak dibandingkan perempuan, dengan rasio hingga 8:1. Hal ini dikaitkan dengan
kemungkinan risiko pajanan virus hepatitis dan alkohol pada laki-laki yang lebih banyak.9,14
Hasil penelitian ini sejalan dengan kondisi pasien dalam kasus, di mana kasus
Hepatitis B yang masih tinggi di Indonesia berperan besar pada terjadinya HCC, jenis kelamin
laki-laki, dan usia muda dalam hal ini dapat dikaitkan dengan paparan virus secara transvertikal
dari ibu yang tidak diketahui atau pun disebabkan oleh genotip C dari virus Hepatitis B sehingga
proses perjalanan penyakit lebih cepat ke arah HCC.18

III.2. Mekanisme penularan Virus Hepatitis B


Saat ini, terdapat 4 jalur transmisi virus, di antaranya :14
1. Ibu ke bayi baru lahir (perinatal)
2. Kontak dengan orang terinfeksi (horizontal)
3. Kontak seksual
4. Transfusi darah atau pun kontak dengan darah/cairan tubuh pasien terinfeksi

Ibu hamil dapat menularkan virus Hepatitis B ke bayinya saat dilahirkan, terutama
persalinan pervaginam. Oleh karena itu, bayi yang tidak segera divaksin saat lahir berpotensi
terinfeksi virus Hepatitis B kronik yang dapat berkembang menjadi kanker hati. Selain itu, HBV
juga ditularkan melalui kontak parenteral maupun perkutaneus melalui darah yang terinfeksi,
cairan tubuh, dan melalui hubungan seksual. HBV mampu bertahan pada berbagai permukaan
benda sekitar satu minggu misalnya pada pisau cukur, jarum tattoo, bercak darah, tanpa
kehilangan daya infektivitasnya. Sedikit kerusakan pada barrier kulit, walaupun minimal dan
tidak signifikan, sudah dapat menjadi media transmisi virus. 14
Berdasarkan teori di atas, pasien terinfeksi virus Hepatitis B akibat pembuatan tattoo
badan di tempat yang tidak diketahui sterilitas alatnya sehingga menjadi jalur transmisi

14
penularan virus.

III.3. Patogenesis terjadinya HCC etiologi Virus Hepatitis B


Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat, baik
secara epidemiologis, klinis, mapun eksperimental. Umur saat terjadi infeksi merupakan faktor
risiko penting, karena infeksi HBV pada usia dini berakibat terjadinya persistensi (kronisitas).
Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik,
peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu dan aktivitas
protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak
langsung oleh kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati. Genotipe HBV
dianggap mampu mempengaruhi proses perjalanan penyakit. Sebagai contoh, genotip C1
dihubungkan dengan serokonversi HBeAg yang lebih lambat, progresi ke sirosis yang lebih
cepat, dan lebih sering berkembang menjadi HCC. Hal ini dikarenakan perang genotip C1
sebagai promoter inti mutasi sel hepatosit.9,14 Tumor bersifat multifokal di dalam hati pada 75%
kasus. Pada tahap lanjut penyakit, metastasis dapat terjadi di paru-paru, vena portal, nodus
periportal, tulang, atau otak.5

Gambar 1. Patogenesis terjadinya HCC10


II.4. Manifestasi klinis dan Diagnosis HCC
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala paling umum yang ditemukan pada HCC yaitu nyeri dan atau perasaan tak
nyaman pada kuadran kanan atas. Selain itu, keluhan pada sistem pencernaan seperti anoreksia,
kembung, penurunan BB, perasaan lesu, dengan atau tanpa demam mengarah pada HCC. Pada
pasien sirosis hati dengan kondisi makin memburuk disertai nyeri kuadran kanan atas, atau
teraba pembengkakan lokal dapat dicurigai terjadi HCC. Sesak napas dapat diakibatkan oleh

15
pendorongan diafragma oleh massa di hati atau akibat metastasis ke paru. 9
Pada pemeriksaan fisik, seringkali ditemukan hepatomegali, splenomegali, asites
(50% asites hemoragik), ikterik, demam, atrofi otot. Selain itu bisa juga datang dengan
peritonitis bakterial spontan (SBP) atau varises esofagus. 9
Pada pasien ini, ditemukan semua keluhan mengarah ke HCC seperti pada teori.
Keluhan sesak napas terutama disebabkan oleh asites permagna jenis tense karena ditemukan
pendorongan diafragma ke atas sehingga mengurangi kapasitas vital paru pasien yang
mengakibatkan sesak napas.16 Penurunan BB, lemas, lesu diakibatkan oleh proses katabolisme
tinggi yang dibutuhkan untuk perkembangan kanker pada sel hepatosit.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda gagal hati seperti penurunan berat
badan yang signifikan, asites, dan ikterik. Tanda-tanda stigmata sirosis hepatis dekompensata
lain juga ditemukan seperti spider nevi, caput medusae, dan edema tungkai.2
Pada pasien ditemukan asites, namun belum diketahui apakah terjadi peritonitis
bakterial spontan/tidak. Diagnosis definitif SBP dibuat berdasarkan hasil analisis cairan asites, di
samping keluhan seperti demam, nyeri perut, dan penurunan kesadaran. Diagnosis SBP juga
artinya menyingkirkan kemungkinan penyebab peritonitis sekunder. Sekitar 10% SBP dapat
terjadi asimptomatik sehingga diagnosis dibuat berdasarkan jumlah sel PMN ≥ 250/mm 3, dan
kultur cairan asites. Pada pasien, kemungkinan baru saja mengalami bacterial asites (BA) di
mana tanda-tanda klinis SBP belum ditemukan. Hiponatremia dapat disebabkan oleh proses
asites yang mengakibatkan osmosis cairan dan natrium ke rongga peritoneum. 15 Tanda
hipoglikemia menandakan aktivitas tumor yang tinggi.6

B. Pemeriksaan Penunjang
- Diagnostik HCC
Pada pasien berisiko tinggi HCC, perlu dilakukan surveilans rutin menggunakan USG
dengan atau tanpa pemeriksaan AFP (alfa feto protein) yang dilakukan secara berkala
untuk mendeteksi tumor pada tahap sebelumnya yang berpotensi dapat disembuhkan.
Diagnosis HCC mungkin dicurigai bila terdapat lesi baru di US.6
Untuk tumor dengan diameter > 2 cm, adanya penyakit hati kronik (sirosis),
hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar AFP serum ≥ 400
ng/mL memenuhi kriteria diagnostic HCC.2

16
Tabel 1. Kriteria Diagnostik HCC Menurut Barcelona EASL Conference2
Kriteria sito-histologis
Kriteria non-invasif (khusus untuk pasien sirosis hati)
Kriteria radiologis : koinsidens 2 cara pencitraan (USG/CT-spiral/MRI/angiografi)
- Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kriteria kombinasi : satu cara pencitraan dengan kadar AFP serum :
- Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kadar AFP serum ≥ 400 ng/mL

Telah diterima secara umum bahwa kadar serum > 400 ng/mL (nilai normal di
sebagian besar laboratorium antara 10-20 ng/mL) pada pasien berisiko tinggi merupakan
diagnosis HCC, dengan spesifisitas > 95 persen.6 Pemeriksaan diagnostik lain yaitu CT-
Scan/MRI dengan kontras selain sebagai diagnostik, juga untuk menentukan derajat metastastis
ekstrahepatik.5,6 Biopsi untuk konfirmasi histologis tidak diperlukan jika lesi memenuhi kriteria
pencitraan khas untuk HCC (yaitu, Sistem Data dan Pelaporan Pencitraan Hati (Liver Imaging
Reporting and Data System/LI-RADS) LR-5.6
Pada pasien, dilakukan pemeriksaan USG abdomen tanpa kontras, dan ditemukan
gambaran hepatomegali dengan multipel nodul hepar pada lobus kanan kiri serta lobus caudatus
dengan kesan hepatoma. Hal ini menunjukkan proses keganasan sudah meluas > 2 cm, disertai
adanya kondisi penyakit hati kronik. Oleh karena itu, untuk menunjang diagnosis pasti HCC,
dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti CT-Scan dengan kontras atau MRI dengan
kontras untuk melihat hipervaskularisasi arterial sehingga dapat mengonfirmasi diagnosis HCC
dan sekaligus untuk penentuan stadium HCC.6

Beberapa pemeriksaan lain yang diperlukan untuk menentukan tingkat fungsional


hati menurut Child Pugh yang akan mempengaruhi keputusan terapi, di antaranya :
- Bilirubin total
- Waktu protrombin/INR
- Kalsium darah
- Pungsi asites (50% HCC mengalami asites hemoragik, dan untuk kultur cairan asites
terutama pada pasien yang dicurigai mengalami peritonitis bacterial spontan)

Pada pasien ditemukan peningkatan kadar ureum, dan kreatinin darah yang

17
menunjukkan kemungkinan terjadi AKI pre-renal akibat asites dan hipoalbuminemia yang terjadi
atau yang bisa disebut juga sebagai sindrom hepatorenal (HRS) di mana terjadi gangguan ginjal
yang reversible tanpa adanya bukti gangguan parenkim ginjal disertai gangguan fungsi hati. Pada
pasien juga didapatkan peningkatan enzim SGOT/SGPT dan tanda-tanda kegagalan hati.
Mengenai HRS, hingga tahun 2015 diagnosis HRS ditegakkan ketika pasien
memenuhi enam kriteria yang telah direvisi pada tahun 2007, di antaranya :15
1. Sirosis + asites
2. Kreatinin serum > 1,5 mg / dL
3. Kurangnya perbaikan kreatinin serum (<1,5 mg / dL) setelah minimal 2 hari tanpa diuretik dan
peningkatan volume dengan pemberian albumin 1g/kg/hari (dosis maksimum 100 g / hari)
4. Tidak ada syok
5. Tidak ada pengobatan saat ini dengan agen nefrotoksik
6. Tidak adanya penyakit parenkim ginjal (proteinuria <500 mg/hari, mikrohematuria <50
eritrosit /lpb, ultrasonografi ginjal normal)

Stadium 1: Kreatinin serum meningkat menjadi ≥ 0,3 mg/dL atau > 1,5 - 2 kali nilai dasar.
Stadium 2 : Kreatinin serum meningkat menjadi 2 - 3 kali nilai dasar.
Stadium 3: Kreatinin serum meningkat hingga > 3 kali lipat dari nilai awal atau > 4 mg/dL
dengan peningkatan akut minimal 0,3 mg / dL atau memulai terapi penggantian ginjal.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas, pasien dalam kasus ini mengalami sindrom
hepatorenal stadium 1. Selain itu, berdasarkan hasil perhitungan skor Child Pugh, didapatkan
data pada pasien yaitu asites = 3 (sedang), bilirubin >3 mg/dL = 3 (SI +/+), albumin <2.8 g/dL =
3 total  9 = Child Pugh kelas B. Namun tidak dilakukan pemeriksaan waktu prothrombin/INR
sehingga ada kemungkinan pasien mengalami Child Pugh Kelas C. Hal ini didukung oleh
skoring dengan BCLC yang menunjukkan bahwa fungsi hati sudah tidak baik (tanda-tanda gagal
hati sudah ditemukan) sehingga pasien harus dirawat.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang


ditemukan pada pasien, kemungkinan diagnosis pasien adalah sebagai berikut :
1. Hepatoma susp HCC BCLC Stadium D (terminal), Child Pugh Kelas C

18
2. Sindrom hepatorenal stadium I
3. Susp. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan asites permagna
4. Hipoalbuminemia
5. Hiponatremia
6. Hipoglikemia

II.5. Penatalaksanaan HCC


Berdasarkan diagnosis pasien di atas, penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut.
1. Hepatoma susp HCC BCLC stadium D (terminal), Child Pugh Kelas C
Karena prognosis pasien dengan HCC terminal, seperti yang didefinisikan oleh sistem
Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC), dengan harapan hidup sekitar 3-4 bulan, manajemen
penyakit stadium akhir hanya bersifat simptomatik dan tidak ada pengobatan yang dikhususkan
untuk tumor. Pasien-pasien ini harus menerima dukungan paliatif termasuk manajemen nyeri,
nutrisi dan dukungan psikologis.5

Rekomendasi EASL tahun 2018:5

- Manajemen nyeri
Pada HCC dengan kondisi sirosis hepatis sebelumnya, asetaminofen (parasetamol)
hingga 3 g/hari dapat digunakan untuk manajemen nyeri dengan intensitas ringan. Obat
antiinflamasi nonsteroid harus dihindari bila memungkinkan pada pasien dengan sirosis. Obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan
gastrointestinal, dekompensasi asites dan nefrotoksisitas, terutama pada pasien dengan hipertensi
portal yang signifikan secara klinis sehingga harus dihindari. Opioid dapat digunakan untuk
mengatasi nyeri dengan intensitas sedang atau berat, misalnya naltrexone, tapi penggunaannya
digabungkan dengan obat pencahar karena efek samping naltrexone yaitu konstipasi.

19
- Manajemen pada metastasis tulang
Metastasis tulang menyebabkan nyeri atau risiko fraktur sekunder spontan yang
signifikan dan mendapat manfaat dari radioterapi paliatif.

- Manajemen nutrisi
Intervensi nutrisi harus dipertimbangkan dalam kasus asupan sumber energi rendah
untuk jangka waktu yang lebih lama. Karena pasien dengan HCC terminal juga dapat mengalami
retensi cairan dan asites dan sangat rentan terhadap infeksi, suplementasi oral harus lebih dipilih
daripada pemberian intravena.

2. Sindrom hepatorenal stadium I


Rekomendasi yang diusulkan oleh ICA (International Club of Ascites) untuk mengontrol
AKI stadium 1 pada pasien sirosis16

- Kaji obat yang digunakan oleh pasien dan hilangkan obat nefrotoksik seperti NSAID, ACE
inhibitor, dan vasodilator ARB. Diuretik dapat dikurangi atau tidak diberikan tergantung dari
kondisi pasien. 16
- Hipovolemia harus diatasi dengan memperbesar volume plasma menggunakan kristaloid atau
albumin darah. Setelah HRS-AKI terdiagnosis, HA (Human Albumin) diberikan 1 g/kg selama 2
hari berturut-turut, kemudian 20-40 g / hari bersama terlipressin dilanjutkan sampai respons total
atau parsial atau selama maksimal 2 minggu. Pemantauan tekanan vena sentral dapat membantu
mengoptimalkan dosis HA dan mencegah kelebihan beban sirkulasi.17
- Mengontrol infeksi bakteri. Jika ada tanda SBP, pengobatan antibiotik harus dimulai, idealnya
bersama dengan infus albumin. 16
- Pasien yang merespons secara total harus ditindaklanjuti dengan pengukuran kreatinin serum
setiap dua hingga empat jam saat dirawat di rumah sakit dan setiap dua hingga empat minggu
selama 6 bulan pertama setelah pulang untuk mengidentifikasi episode AKI baru. 16

3. Susp. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan asites permagna


Bakterial asites menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah leukosit pada cairan
asites namun belum memenuhi kriteria SBP. Karena proses ke arah SBP yang tinggi, perlu
diberikan obat antibiotik profilaksis. Profilaksis lini pertama yang dipilih untuk pasien dengan
20
sirosis hepatis disertai komorbid lain seperti protein asites rendah (<1,5 g/dL) dan satu faktor
risiko tambahan termasuk sirosis lanjut (skor Child Pugh = 9), kreatinin serum = 1,2 mg/dL,
nitrogen urea darah = 25 mg/dL atau natrium serum = 130 mEq/L, yaitu pemberian norfloksasin
400 mg/hari yang memiliki keuntungan kelangsungan hidup yang signifikan pada tindak lanjut 3
bulan dan 1 tahun, serta risiko sindrom hepatorenal yang menurun dan SBP pada tindak lanjut 1
tahun.15
Pada kasus ini, pasien memperoleh pengobatan antibiotic cefotaxime 3x2 gr IV yang
dimaksudkan untuk penanganan SBP. Terapi ini sesuai dengan rekomendasi AASLD pada
penanganan pasien yang terdiagnosis dengan SBP, namun karena belum dilakukan paresentesis
untuk analisis cairan asites, dan tidak tersedianya antibiotik norfloksasin sebagai antibiotic
profilaksis, maka pengobatan dengan cefotaxime 3x2 gr IV selama 5 hari dapat diberikan. 15
Pada kasus ini, pasien mengalami asites permagna jenis tense yang ditandai oleh
pendesakan diafragma ke atas sehingga pasien mengeluh sesak. Pilihan penanganan pada asites
permagna yaitu mengombinasikan spironolakton dan furosemide. Hal ini dikarenakan baik
hipokalemia maupun hiperkalemia dapat mencetuskan terjadinya ensefalopati hepatikum.
Regimen dosis kombinasi diuretik yang direkomendasikan American Association for the Study
of Liver Diseases (AASLD) adalah spironolakton 100 mg/hari dan furosemid 40 mg/hari. Jika
dengan dosis tersebut pasien belum menunjukkan penurunan berat badan harian dan natriuresis
yang cukup, maka dapat dilakukan peningkatan dosis tiap 3-5 hari dengan dosis maksimum
spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari. Peningkatan dosis harus tetap
mempertahankan rasio spironolakton 100 mg : furosemid 40 mg untuk menjaga normokalemia.
Target keberhasilan pengobatan yaitu penurunan lingkar perut dan balance cairan minimal
-500/hari.18
Untuk keluhan nyeri perut dapat diberikan golongan acetaminophen (nyeri ringan-
sedang), maksimum 3g/hari. Sebaiknya tidak memberikan anti nyeri NSAID melihat kondisi
pasien yang kemungkinan sudah masuk tahap terminal HCC menurut BCLC.5
Untuk koreksi HRS-AKI, dapat diberikan HA 1 g/kg selama 2 hari berturut-turut,
kemudian 20-40/hari bersama terlipressin dilanjutkan sampai respons total atau parsial atau
selama maksimal 2 minggu.16

II.6. Prognosis HCC pada kasus


Berdasarkan kondisi klinis pasien, pasien kemungkinan mengalami hepatoma susp
21
HCC BCLC stadium D, Kelas Child Pugh C, di mana angka harapan hidup hanya 3 bulan
menurut EASL. Komplikasi lain yang seharusnya dapat dicegah adalah agar tidak terjadinya
sindrom hepatorenal. Meskipun bersifat reversibel, namun dalam kasus ini, pasien hanya
diberikan terapi albumin per oral yang tentu saja tidak memenuhi kriteria 1g/kgBB selama 2 hari
berturut-turut untuk ekspansi volume plasma dalam usaha memperbaiki kondisi AKI pre-renal
sehingga kemungkinan kondisi pasien dapat memburuk. Semua kondisi ini menempatkan pasien
pada pilihan terapi yang bersifat paliatif sehingga prognosis pasien adalah buruk.5,16,18

BAB IV
RINGKASAN

Anamnesis : Pasien laki-laki, usia 28 tahun datang dengan keluhan perut membuncit sejak 2
minggu SMRS, disertai sesak napas, nyeri perut yang dirasakan makin lama makin sering selama
4 bulan terakhir, mual +, muntah + berisi makanan tanpa darah. Penurunan BB selama 4 bulan
terakhir kira-kira 20 kg dari 52kg menjadi 32 kg. Satu bulan terakhir BAB dempul dan BAK
berwarna seperti teh. Lemas (+), nafsu makan menurun (+). Riwayat BAB dempul dan BAK
seperti teh 9 bulan lalu. Riwayat tattoo bulan Juni dan Oktober tahun 2017 di tempat yang tidak
diketahui sterilitas alatnya.

Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran : compos mentis
TD : 100/70 mmHg
HR : 62x/menit
RR : 21x/menit
Suhu : 36.4°C

22
Status regional bermakna :
Mata : sklera ikterik +/+
Thorax : spider nervi +
Abdomen : distensi +, LP = 122 cm, BU + 4x/menit, nyeri tekan hipochondrica dextra +,
undulasi +, shifting dullness +, hepar : teraba 4 jari di bawah arcus costae, tepi tumpul,
permukaan bernodul, konsistensi keras +, nyeri tekan +
Esktremitas : edema ++ (kedua tungkai)

Diagnosis :
Hepatoma susp HCC BCLC stadium D , Child Pugh Kelas C
Sindrom Hepatorenal Stadium I
Susp. Peritonitis Bakterial Spontan
Ascites Permagna
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Hipoglikemia

Terapi :
Rencana CT-Scan dengan kontras untuk diagnosis pasti HCC
Rencana pemeriksaan laboratorium : INR, bilirubin total, kalsium darah, urinalisis untuk
penentuan status fungsional hati yang mendukung kriteria HCC oleh BCLC

Diet : lunak TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein)


IVFD : NaCl 0.9% 1500cc/24 jam (tidak restriksi cairan untuk mencegah hipovolemia)
Mm:/
Inj. cefotaxime 3x2 gr IV (untuk profilaksis SBP)
Inj. ketorolac 1 amp/8 jam IV (sebagai anti nyeri)
Inj. ranitidine 1 amp/12 jam IV (sebagai anti mual)
Inj. ondansetron 1 amp/8 jam IV (sebagai anti mual dan muntah)
Inj. furosemide 2x1 amp IV (diuretik untuk mengurangi asites  sesak napas)
Spironolakton 1x100 mg PO (kombinasi furosemide agar normokalemia)
23
VIP albumin 3x 2 PO (sebagai terapi hipoalbuminemia dan HRS-AKI)
Curcuma 3x1 PO (sebagai promoter apoptosis dan autofagi sel kanker)

DAFTAR PUSTAKA

1. Nadhim, M. Distribusi Geografis dan Tingkat Keparahan Pasien Karsinoma


Hepatoseluler Etiologi Virus Hepatitis B d RS DR.Kariadi. JKD, 2016:1-12.
2. Budihussodo, Unggul. 2016. Karsinoma Hati. Editor: Aru W. Suyono dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi ke VI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
3. Lindseth, Glenda N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Editor:
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson dalam Buku Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Volume 1 edisi 6. Jakarta: EGC.
4. Desen, Wan. 2008. Tumor Abdomen. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinik edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
5. EASL (European Association for the Study of the Liver) Clinical Practice Guidelines:
Management of hepatocellular carcinoma. Journal of hepatology, 2018;182-236.
6. Clinical features and diagnosis of hepatocellular carcinoma. 2019.Diakses pada tanggal
29 Agustus 2020. https://www.uptodate.com/contents/clinical-features-and-diagnosis-of-
hepatocellular-carcinoma#H2567677782
7. Marrero, JA, dkk. Diagnosis, Staging, and Management of Hepatocellular Carcinoma:
2018 Practice Guidance by the American Association for the Study of Liver Diseases
24
(AASLD). Hepatology, 2018;1-28.
8. Hepatocellular carcinoma. Medscape, https://emedicine.medscape.com/article/197319-
overview.
9. Yantie, VK. Karsinoma Hepatoseluler pada Anak 11 tahun. Laporan Kasus. Sari Pediatri,
2011;(13):179-184.
10. Tsoris, A. 2020. Use Of The Child Pugh Score In Liver Disease. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542308/.
11. Kim, JH, et al. Prognosis of Spontaneous Bacterial Peritonitis in Hepatocellular
Carcinoma Patients. J Korean Med Sci, 2018:1-17. DOI : 10.3346/jkms.2018.33.e335.
12. Hepatitis B. 2002. World Health Organization.
13. Dever, JB. Review article: spontaneous bacterial peritonitis – bacteriology, diagnosis,
treatment, risk factors and prevention. Aliment Pharmacol Ther, 2015;(41):1116–1131.

14. Ospina JR, et al. Pathophysiology, Diagnosis and Management of Hepatorenal


Syndrome. Asociaciones Colombianas de Gastroenterología, Endoscopia digestiva,
Coloproctología y Hepatología, 2016:141-147.
15. Tufoni M, et al. Albumin in chronic liver disease. United European Gastroenterology
Journal, 2020;(5): 528–535.
16. Mulyani T, dkk. Evaluasi Penggunaan Kombinasi Spironolakton dan Furosemid pada
Pasien Sirosis Hati dengan Asites Permagna. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi,
2017:98-104.
17. Chuon, C, et al. High possibility of hepatocarcinogenesis in HBV genotype C1 infected
Cambodians is indicated by 340 HBV C1 fullgenomes analysis from GenBank. Scientific
Reports, 2019;1-11. DOI : 10.1038/s41598-019-48304-z .

25

Anda mungkin juga menyukai