Anda di halaman 1dari 6

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III

MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

GENDER DAN FENOMENA PATRIARKI DALAM


SOSIAL PENDIDIKAN PESANTREN
(Studi Tentang Hegemeoni Kiai Pesantren Terhadap Sosial Pendidikan Bias Gender)

Abd Hannan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga Surabaya
Hannan.taufiqi@gmail.com

Abstrak

Penulisan artikel ini mengenai peran sosial kiai yang memilikipengaruh kuat terhadap
sosial pendidikan pesantren yang bias gender.Ada beberapa poin yang mendasari penulisan
artikel ini.Pertama, persoalan gender identik dengan nilai-nilai kultural.Salah satu problem kultural
yang hingga saat ini masih mengakar kuat di banyak lingkugan masyarakat adalah kentalnya
ideology patriarki. Dalam konteks ini, pesatren sebagai salah satu pendidikan sosial keagamaan
(islam) dikenal sebagai miniature kultur patriakhi. Kedua, kentalnya kultur patriarki dalam dunia
pesantren tidak terlepas dari dinamika pendidikan pesantren yang bias gender. Demikian, tidak
lepas dari dominasi sosok diri Kiai yang dikenal sebagai pemegang otoritas tunggal.Symbol
kekuasaan dan kebenaran yang dapat menundukkan siapa saja yang ada di lingkungan
pesantren.Selain itu, ideology patriarki dalam dinamika sosial pesantren tidak lepas dari model
aktualisasi sosial pendidikan pesantren yang masih terjebak pada kajian-kajian klasik (kitab
gundul) yang bias gender, seperti halnya teks-teks hukum fiqih.
Dua persoalan gender yang ada dalam dinamika sosial pendidikan pesantren di atas
menjadi pokok persoalan yang hendak dibahas dalam artikel ini.perspektif teori yang digunakan
sebagai alat analisis masalah adalah teori hegemoni kultural Antonio Gramsci. Adapun metode
penulisan ini adalah dengan menggunakan metode kepustakaan. Data sekunder yang bersumber
dari banyak buku, jurnal, dan hasil penelitian sebelumnya merupakan data utaman yang
akandigunakan dalam penulisan artikel ini.
Kata kunci; Patriarki, gender, hegemoni, Kiai Pesantren

A. LATAR BELAKANG
Secara geneologis, keberadaan pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan sudah
terbentang luas sejak zaman terdahulu.Pesantren muncul jauh sebelum lahirnya Negara
Indonesia.Bahkan mendahului kemunculan organisasi besar keagamaan seperi Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama (NU), dan Persis. Hingga sekarang, belum ada penjelasan sejarah fixed
yang menyebutkan secara pasti kapan dan dimana kelahiran pesantren sebenarnya. Kalaupun
ada, masih sebatas mereka-reka.Sekalipun begitu, sejarah menuliskan pesantren murni
merupakan warisan kebudayaan nusantara.Itulah sebabnya Cliffort Gertz menyebut pesantren
sebagai subkultur masyarakat Indonesia (Gerts, 2013: 56).
Pesantren sebagai subkultur artinya pesantren bukan saja berfungsi lembaga sosial
keagamaan yang mengambil peran dalam dakwah serta pendidikan.Lebih dari itu, pesantren ikut
berperan stretegis membentuk, menjaga, dan melestarikan kebudayaan setempat.Sikap ini
mereka ambil melalui pendekatan kultural seperti yang selama ini dicontohkan pendahulu-
nya.Yakni berusaha mensinergikan tradisi dan warisan budaya lokal dengan pesan ritualitas
keagamaan. Harapannya, adalah menjadikan kebudayaan sebagai media perbaikan umat, tanpa
harus menafikan semangat localisme yang terdiri akan budaya, kreativitas, dan tradisi setempat.

229

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III
MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

Dalam realitasnya, komitmen pesantren untuk berpegang teguh pada warisan nilai-nilai
tradisional, di satu sisi memberi energy positif bagi penguatan kebudayaan lokal (localisme),
namunpada sisi yang lain ternyata menjadi problem penghambat pembangunan sosial budaya
masyarakat. Utamanya dalam perspektif pembangunan berasaskan demokrasi. Salah satu
persoalan sosial yang hingga detik ini menjadi bahan perbincangan di banyak kalangan—termasuk
akademisi sosial—adalah perihal kedekatan komunitas pesantren dengan realitas sosial yang bias
gender.
Identiknya pesantren dengan persoalan gender sejatinya bukan diskursus baru. Diskursus
mengenainya sudah berlangsung sejak lama, bahkan boleh dibilang telah melekat dalam jati diri
pesantrean. Hal ini tidak terlepas dari kultur sosial pendidikan pesantren yang dalam banyak
kesempatan senantiasa bias idelogis dan dogmatis (Marhumah, 2008: 28).
Pandangan ideologis-dogmatis membuat pesantren terjebak pada kultur normatif.Sulit
menemukan pesantren bersikap dinamis-responsivemenyikapi perubahan dan perkembangan
sosial yang ada di luar mereka.Bahkan, setiap kali muncul wacana-wacana keagamaan yang
berkembang dalam tataran kotemporer dicurigai sebagai diskursus yang dapat mengancam
orisinilitas kegamaan. Bahkan, tidak jarang dinilai sebagai bentuk ‗penyimpangan‘ yang mutlak
harus ditolak dan dihindari.Termasuk di dalamnya menyangkut perbincangan mengenai isu
(sosial) gender.
Dalam dunia pesantren, isu gender adalah salah satu termkrusial. Dikatakan begitu
karena sejauh ini persoalan gender kerapkali dibenturkan dengan kultur sosial pendidikan
pesantren—yang dalam banyak kesempatan—dianggab sebagai sumber tertanamnya nilai-nilai
ketimpangan gender yang banyak berkembang dalam tataran kehidupan sosial masyarakat.
Sehingga, wajar kemudian jika pesantren dijuliki sebagai kerajaan kecil, dimana di dalamnya
terdapat hierarki sosial sebaga representasi ketidaksetaraan gender(unquality)(Abdullah, 2007:
23).
Sejauh ini, dialog antara isu sosial gender dengan paradigma sosial pendidikan pesantren
masih jauh dari harapan. Usaha mempertemukan paradigma pendidikan pesantren dengan isu-isu
sosial gender dalam satu kontruksi pemahaman yang dialogis-produktif masih belum menemukan
titik temu. Demikian dikarenakan masih terbelenggunyawacana gender dalam sebuah mainstream
yang dianggab buruk, tidak sejalan dengan semangat ajaran agama. Kondisinya pun semakin sulit
di saat isu mengenai gender di redusir pada rumusan dan interpretasi hukum-hukum tradisional
(kitab gundhul) yang diproduksi oleh para penafsir terdahulu, dan telah mengalami semacam
pergeseran lantaran dipengaruhi oleh konteks sosial budaya, subjektivitas, kepentingan ekonomi,
dan unsure-unsur politik pihak-pihak tertentu( Faqih, 1997: 12). Khususnya yang tertuang dalam
tulisan-tulisan Fiqh klasik (baca; kitab ghundul). Problem inilah yang sejatinya menjadi bangunan
kuat atas mengakarnya persoalan gender di komunitas pesantren.Sialnya lagi, kajian terhadap
teks-teks klasik ternyata banyak diamini, bahkan dipertahankan oleh kebanyakan pesantren masa
kini.
Persoalan lain penghambat dialog produktif antara isu sosial gender dengan sosial
pendidikan pesantren juga muncul dari sisi ideologis. Dalam konteks ini, adanya penilaian umum
(world viem), bahwa komunitas pesantren memiliki keintiman dengan sistem ideologis
patriarki.Keintiman tersebut dapat disimak dari realitas kehidupan sosial pesantren yang erat
kaitannya dengan system hierarki.Struktur hierarki pesantren beserta tradisi yang menopangnya
mengisyaratkan ketundukan dan sikap hormat komunitas pesantren secara mutlak, serta
pemujaan konsep kebenaran pada sosok tunggul bernama Kiai. Sehingga,adalah wajar jika
kemudian seorang Kiai dijuluki sebagai raja-raja kecil di setiap pesantren yang ia pimpin (Abdullah,
2007: 23).

230

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III
MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

Seorang kiai dengan symbol ideologis dan modal pengetahuan keagamaan yang
mendalam menjadi modal besar untuk melakukan penaklukan dan pembenaran di kalangan
masyarakat.Cara-cara seperti inilah yang kemudian dalam perpsketif ilmu social dikatakan sebagai
hegemoni.Demikian tingginya kedudukan seorang laki-laki (Kiai) dalam konstruksi sosial
pendidikan pesantren hingga Dhofier mempertimbangkannya sebagai elemen pesantren yang
paling esensial.Dalam konteks ini, pihak laki-laki (Kiai) memiliki peran sentral pemegang
kebenaran absolute dalam sebuah kerajaan kecil yang disebutnya sebagai pesantren (Dhofier,
1982: 55).
Dalam studi disertasi yang ditulisnya, Marhumah (2008) menyebutkan, bahwa kentalnya
sosial pendidikan pesantren dengan nilai-nilai ajaran yang bias gender sejatinya terbentuk oleh
kultur sosial pesantren yang masih belum bisa melepaskan diri mereka dari kekuatan kultur
hierarkis (Marhumah, 2008: 35). Sebuah kecenderungan menempatkan suatu yang bukan saja
diletakkan secara dikotomis, namun juga diletakkan secara berjenjang dalam bentuk strafikasi
sosial yang kuat.Akhirnya, jadilah kemudian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan sosial
keagamaan yang menanamkan pendirian ekstrim.Menutup diri dari perkembangan dan perubahan
sosial, serta ikut andil mengabadikan system hierarki yang menempatkan peran dan status sosial
secara berjenjang.
Dengan begitu, terdapat dua pokok besar yang menyebabkan sosial pendidikan
pesantren terjebak dalam orientasi bias gender.Yakni Mengakarnya ideology patriarki, serta masih
terjebaknya sosial pendidikan pesantren dalam kajian-kajian klasik yang berorientasi dikotomis,
misogenis, diskmriminatif.
Dua pokok persoalan sosial pendidikan pesantren di atas mengkrucut pada dua
persoalan mendasar bahwa; pertama, bahwa pesantren adalah lembaga sosial yang diciptakan,
dijalankan, dan dikembangkan oleh laki-laki (Kiai).Kedua,kaum perempuan dalam system sosial
pendidikan pesantren dianggab sebagai kelompok subordinatif yang memiliki peran status sosial di
bawah laki-laki (Kiai). Ini, dibentuk oleh kontruksi
Atas dasar itulah, perlu kiranya membicarakan dan mengangkat wacana gender dalam
lingkungan sosial pendidikan pesantren. Perbincangan gender di sini tentunya harus ditarik dalam
wilayah dialogis produktif. Artinya, kontruksi dialetika antar keduanya harus mampu menciptakan
bangunan perspektif yang tidak saling menegasikan, namun mampu menemukan titik temu yang
menempatkan keduanya dalam kesamaan pandangan.Kesamaan pandangan inilah yang sejatinya
perlu dibangun bersama.Tentunya dengan melakukan kajian sosiologis. Sehingga apa yang dikaji
disini bukan berkutat pada ranah yang normative, namun lebih concern pada aspek social cultural.

B. PEMBAHASAN

Konsep Gender
Secara sosiologis, istilah gender mengacu pada sekumpulan ciri khas yang dikaitkan
dengan jenis klamin seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam
masyarakat.World Health Organization (WHO) memberi batasan agender sebagai seperangkat
peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial dalam suatu masyarakat(Diambil dari situs wikepidia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Gender_%28sosial%29, 18/09/16). Itulah sebabnya, sebagai suatu
realitas sosial yang di construct oleh ruang lingkup sosial, maka gender memiliki sifat dinamis,
universal, dan selalu berubah berdasarkan ruang, masa, dan konteks social tertentu.
Dalam kesempatan lain, Nasaruddin Umar, seorang pemikir teologis gender menjelaskan
bahwa, gender adalah interpretasi budaya terhadap jenis kelamin (Umar, 2002: 07). Sebagai

231

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III
MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

sebuah interpretasi budaya, maka konsekwensinya adalah gender memiliki sifat subjektivitas yang
dibangun oleh system sosial budaya yang tersebar luas dalam lingkup sosial tertentu.Dengan
pengertian itu, maka persoalan tentang gender sama sekali tidak memiliki kesamaan dengan jenis
klamin (sex), karena jenis kelamin sendiri merujuk pada sutu jenis tertentu yang sifatnya sudah
given, tidak dapat diubah dan tidak pula dipengaruhi oleh konteks dan kontruksi sosial.
Sedangkan menurut Moh.Yasir Alimi, gender adalah atribut yang dilekatkan, dimodifikasi
dan dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada laki-laki dan perempuan. Ia berkaitan
dengan pikiran dan harapan masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan
(Alimi, 2002, 03). Pengertian dalam bentuk seperti ini sejatinya hampir sama dengan penjelasan di
muka. Dengan begitu, penegasan tentang apa itu pengertian gender sudah dapat dibaca, bahwa
gender erat kaitannya dengan perilaku sosial yang dinisbatkan pada jenis. Dikontruksi melalui
setting sosial yang berlaku di lingkungannya. Meliputi segala macama system, struktur, norma,
dan pranata sosial.

Pesantrendan Fenomena Patriarki


Pesantren secara harfiah berarti merujuk pada ‗tempat santri‘, tampat di mana santri
mengaji, belajar keagamaan, dan mengabdikan diri pada seorang Kiai atau Ulama. Secara umum
Pesantren adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut sekolah Islam tradisonal. Namun
istilah tersebut memiliki sebutan variasi di beberapa daerah. Di Jawa dan Madura Pesantren
dikenal dengan sebutan Pondok, di Aceh dikenal dengan sebutan Meunasah, dan di Sumatera
barat dikenal dengan sebutan Surau (Fealy, 2011: 22 ).
Sebuah Pesantren sekurang-kurangnnya terdapat mosholla/mesjid, dan bilik-bilik kecil
(asrama) yang disediakan bagi para santri yang menetap. Model Sosial pendidikan pesantren
bersifat otonom di bawah pengaruh dan kepemimpinan kuat seorang Kiai.Dalam konteks ini,
seorang kiai adalah pemegang otoritas tunggal sehingga dirinya memiliki kebebasan dan
kekuasaan.Itulah sebabnya, dalam banyak kesempatan eksistensi kiai dalam sebuah pesantren
disebut sebagai raja-raja kecil.Karenanya, hampir seluruh pengelolaan sumber daya baik fisik
maupun financial ditangani langsung oleh kiai atau anggota keluarga kiai dengan bantuan santri
yang dipercayai (Abdullah, 2007: 29).
Dominanya sosok kiai dalam tradisi sosial budaya pesantren merupakan representasi
nyata atas menguatnya patriarki pesantren.Mengenai patriarki pesantren, Martin Van Bruineessen
dalam studinya menemukan fakta, bahwa sepanjang sejarah keberlangsungan sosial pendidikan
pesantren belum ditemukan sebuah kitab yang pengarangnya berasal dari kalangan perempuan.
Sebuah fakta menarik terkait patriarki ditemukan oleh Van Bruineessen ketika
menemukan sebuah kitab pesantren berjudul, Perukunan Jamaluddin.Kitab tersebut ditulis oleh
seorang perempuan bernama Fatimah Abdul wahab Al-Byuqisi (Van Bruineessen, 1995: 177-178.
Menariknya, di halaman depan kitab tersebut tidak tertulis nama asli dirinya. Melainkan telah
dirubah dengan nama pamannya. Berkaitan dengan fenomena tersebut, Van Bruineessen
menduga bahwa identitas penulis sesungguhnya disembunyikan dengan alasan bahwa menulis
kitab adalah pekerjaan laki-laki, dan perempuan tidak ada hak di dalamnya.Itulah alasan besarnya,
dalam banyak kesempatan senantiasa ditemukan kitab di berbagai pesantren tradisional, banyak
materi-materi ajaran yang kental dengan muatan-muatan bias gender.Khususnya kitab-kitab yang
membahas masalahfiqih.
Salah satu kitab kuning yang hingga hari ini tetap eksis dan popular menjadi bahan ajar
umum di lingkungan sosial pendidikan pesantren adalah kitab Uqudullajin,1mengisyaratkan

1
Kitab ini adalah karya Muhammad Nawawi Bin umar bin „arabi, atau yang lebih dikenal dengan panggilan namaSyekh
Nawawi al Battani, lahir di Tenara, Serang, Banten pada tahun 1823M/1230 H dan wafat di makkah pada tahun
232

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III
MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

keberpihakan nyata kepada kaum laki-laki dan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara
suami dan istri.Dan sampai sekarang, kitab yang memiliki kesamaan dengannya masih banyak
diajarkan dan diamini sebagai materi pendidikan dalam sistem sosial pendidikan pesantren.

Gender dan Hegemoni Kiai


Penjelasan Martin Van Bruineessen tentang dominasi laki-laki dalam proses epistimologi
keagamaan (pesantren), dimana dalam hal ini dismbolkan oleh dominasi seorang Kiai atas
komunitas pesantren lainnya sejatinya merupakan praktek hegemoni2. Otoritasseorang Kiai selaku
pimpinan pesantren sekan menjadi penakluk bagi bawahan dirinya, sehingga wacana dan
diskursus kepesantrenan menjadi sangat bias dan seringkali berselingkuh dengan kepentingan
dan staus quo dirinya.
Perselingkukan seorang Kiai dengan kekuasaan, penggunaan symbol dan ideology
keagamaan sebagai legitimasi kultural (baca: hegemoni kultural) menjadi faktor kuat mengakarnya
kultur patriarkhi di dunia pesantren. Akibatnya, segala hal menyangkut sistem sosial pendidikan
dan system sosial kebudayaan pesantren secara langsung teredusir pada kebijakan-kebijakan
unquality.Mengalami keberpihakan dan tidak mengusung emansipatif sebagaimana
seharusnya.Materi-materi pengajaran yang tertuang dalam kitab-kitab kuning (kitab ghundul) yang
sejatinya memuat tafsiran universal dan membebaskan berubah menjadi tawar.Sebaliknya,
melegitimasi ptaktek-praktek destruktif, menyalahai prinsip-prinsp keadilan dan persamaan
kemanusiaan sebagaimana dicita-citakan oleh ajaran agama sesungguhnya.
Hegemoni seorang kiai lahir dari sistem patriarki sebagai produk kultural yang diamini
masyarakat banyak. Sehingga beragam isu dan wacana perihal gender menjadi suatu yang
dianggab diskrimitaif. Kalupun ada usaha reenterpretasi dalam bentuk caunter discourse tetap saja
berjalan sulit, lantaran harus berbenturan dengan kekuatan ideology dan kultur yang terlanjur
mengakar.
Patriarki mengakibatkan wacana gender di kalangan pesantren menjadi satu yang absurd
di bicarakan. Mengundang banyak kontroversi dan resisten karena telah dianggab sebagai sebuah
perbincangan yang datang dari luar pesantren.Bertentang dengan semangat budaya
pesantren.Baik itu menyangkut budaya keilmuan dan sisitem sosial yang telah ditanamkan dan
diperthankan melalui teks-teks keagamaan terdahulu.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan sebagaimana telah dijabarkan secara luas di muka,
terdapat beberapa poin yang menjadi kesimpulan dari penulisan makalah ini. Yaitu:
a) Diskursus mengenai ketidaksetaraan gender (gender unquality) adalah diskursus klasik
yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan. Itu karena, persoalan dalam gender bukan
semata persoalan teknis dan kebijakan pemerintah yang sifatnya structural. Namun, ada
hal lain yang kebih subtansial dari itu semua. Yakni erat kaitannya dengan problem cultural.
Salah satu diantarnya berkaitan kuat dengan realitas sosial pendidikan pesantren yang
sangat bias gender.
b) Realias social pendidikan pesantren yang bias gender tidak lepas dari kultur social
pesantren yang sampai sekarang masih tetap mengamini bahan ajaran tradisional, seperti
halnya penggunaaan kitab klasik (kitab ghundul). Dalam banyak kesempatan kitab-kita

1897/1914. Syekh Nawawi dalam kitab tersebut menjelaskan tentang relasi hubungan suami istri, dengan memberikan
tempat yang belum seimbang antara suami dan istri.
2
Asumsi dasar teori ini adalah dominasi kelas antarnegeri, dominasi politik anatar kelas sosial (kuat/lemah) dalam relasi
sosial tertentu.Kemudian Gramsci memperluas pada dominasi dalam wilayah pada bidang-bidang lainnya, kebudayaan,
ideology, pandangan hidup.
233

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III
MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

klasik memuat banyak nilai dikotomis-diskriminatif. Seperti halnya kiat-kitab fiqh, dimana di
dalamnya banyak didapati pesan gender yang tidak berimbang. Misal kitab Uqudullajin.
c) Problem social pendidikan pesantren yang bias gender juga tidak lepas dari kentalnya jati
diri pesantren dengan budaya patriarki. Dalam kebudayaan ini, seorang kiai ditempat
sebagai kelas social yang berada pada hierarki tertinggi, kelas atas, dan dominan.
d) System social patriarki yang menempatkan seorang kiai sebagai kelas atas secara
langsung berakibat pada sikap dan perilaku dirinya yang cenderung otoriter. Demikian
karena kiai adalah pemegang otoritas tunggal yang senantiasa melakukan pembenaran
dan selalu dibenarkan. Sehingga, setiap kebijakan yang diambil senantiasa mengalami
keberpihakan pada status quo dirinya. Perilaku inilah yang kemudian disebut sebagai
tindakan hegemoni. Yaitu, melakukan penundukan pada kelas yang di bawahnya melalui
penggunaan symbol-simbol (ajaran) agama serta kekuatan ideologis selaku seorang Kiai.

DAFTAR PUSTAKA
Gerts, Clifford, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai, Jawa Barat; Komunitas Bambu, 2013.
Marhumah.Konstruksi Gender, Hegemoni Kekuasaan, dan Lembaga Pendidikan Pesantren,
Yogyakarata: Jurnal Karsa. Vol 19, No. 02.Tahun. 2011
Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama, Cet. I, Yogyakarta, LkiS, 2011
Marhumah, GenderDalam Lingkungan Pesantren Sosial Pesantren (studi tentang peran Kiai dan
Nyai dalam sosialisasi Gender di Pesantren al-Munawwir dan Pesantren Ali Maksum
Krapyak, Yogyakarta), Yogyakarata: Disertasi, Universitas Sunan Kalijaga Jogjakarta,
2008
Abdullah, Said, pesantren, Jati Diri dan Pencerahan Masyarakat,Sumenep: Said Abdullah
Institute,2007
Umar, Nasaruddin, Dekonstruksi Pemikiran Islam tentang Persoalan Jender, ,Yogyakarta: Pusat
Studi Jender IAIN Walisongo dan Gama Media, 2002
Alimi , Moh. Yasir, ,Jenis Kelamin Tuhan Lintas Batas Tafsir Agama ,Yogyakarta: LKiS, 2002
Zaman, Nuruz. Dalam Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Peduli Perempuan Pembelaan
Kiai Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2001.
Madjid,Nurcholish,―Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan‖, Cet. I, Jakarta,PT. Dian
Rakyat, 1997
Faqih, Mansour, Analisis Gender Dan Trabsformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Van Bruineessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat, Bandung; Mizan, 1995
Dhofier , Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3S, 1982

INTERNET
Diambil dari situs wikepidia,https://id.wikipedia.org/wiki/Gender_%28sosial%29, diakses pada
tanggal 18 September, 2016, pukul 6:32

234

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Anda mungkin juga menyukai