2. Architectonic Proportion
Faktanya, ide dari teori proporsi yang mengatur dimensi kuil Yunani,
interval antara kolom atau hubungan antara berbagai bagian fasad sesuai dengan
rasio yang sama yang mengatur interval musik berasal dari konsep aritmatika,
geometri dari rasio berbagai titik adalah konsep Pythagoras.
Tetraktys adalah figur simbolis Pythagoras yang merupakan pengurangan
sempurna dari angka ke spasial dan aritmetika ke geometri. Setiap sisi dari segitiga
dibentuk oleh empat titik dan di tengahnya terdapat titik tunggal. Segitiga yang
dibentuk oleh tiga seri empat angka tersebut menjadi simbol kesetaraan sempurna.
Jika angka adalah esensi dari alam semesta, maka tetraktys (atau dekade)
melambangkan semua kebijaksanaan universal. Sesuai dengan model tetraktys yang
memperluas dasar segitiga, kita mendapatkan perkembangan numerik.
Harmoni aritmatika ini juga sesuai dengan harmoni geometris dan dapat
terus menghubungkan titik-titik untuk membentuk serangkaian sempurna yang
terhubung tanpa batas.
Contoh dari patung wanita muda yang dipahat abad keenam SM.
Pythagoras menjelaskan bahwa patung gadis itu cantik karena dalam keseimbangan
yang benar, karena anggota tubuhnya diatur dalam hubungan yang benar dan
harmonis satu sama lain, mengingat bahwa mereka diatur oleh hukum yang sama
yang mengatur jarak antara planetary spheres. Artis pahat abad keenam SM
menemukan dirinya wajib menciptakan keindahan yang tak terbantahkan yang
dinyanyikan oleh para penyair dan dirinya sendiri pernah melihat suatu pagi di
musim semi saat mengamati wajah kekasihnya, tetapi dia harus membuatnya di atas
batu, dan memperbaiki citra gadis itu dalam bentuk.
Salah satu syarat pertama dari bentuk yang baik dalam proporsi dan simetri
yang benarialah mata yang sama, penggambaran rambut-rambut secara merata, dan
lengan dan kaki sama benar. Seniman juga membuat lipatan gaunnya sama dan
simetris. Sementara pada sudut bibir diberikan efek senyuman samar khas patung-
patung diabad itu.
Dua abad kemudian, pada abad keempat SM, Poliditus menghasilkan
patung yang kemudian dikenal sebagai meriam karena memuat semua aturan
proporsi yang benar diantara bagian-bagian; tetapi prinsip yang mendasar tidak
didasarkan pada keseimbangan dua elemen yang sama. Semua bagian tubuh harus
menyesuaikan secara timbal balik sesuai dengan rasio proporsional dalam arti
geometris: A adalah ke B seperti B ke C. Vitruvius kemudian menyatakan proporsi
tubuh yang benar sebagai fraksi dari seluruh gambar: wajah harus sepersepuluh dari
total panjang, kepala seperdelapan, panjang badan seperempat, dan seterusnya.
Proporsional Yunani berbeda dari Mesir. Orang Mesir menggunakan kisi-
kisi yang jala terbuat dari kotak berukuran sama yang menetapkan ukuran
kuantitatif tetap. Jika, misalnya, sosok manusia harus tinggi delapan belas unit,
panjang kaki secara otomatis tiga unit; bahwa dari lengan lima, dan seterusnya.
Tetapi Yunani tidak lagi menampilkan unit-unit tetap: kepala ke tubuh seperti tubuh
ke kaki, dan sebagainya. Proporsi bagian-bagian ditentukan sesuai dengan
pergerakan tubuh, perubahan perspektif, dan adaptasi gambar dalam kaitannya
dengan posisi penonton. Sebuah bagian dari Sophist Plato memungkinkan kita untuk
memahami bahwa pematung tidak menghormati proporsi secara matematis, tetapi
menyesuaikannya dengan persyaratan penglihatan, dengan sudut pandang
darimana sosok itu dilihat.
7. Proportion in History
Jika kita mempertimbangak banyak ekspresi dari seni Medival, dan
membadingkannya dengan model dari seni Greek, pasti sangat sulit bagi kita untuk
berfikir bahwa patung/struktur erkietonik ini bisa mewujudkan kriteria dari proporsi
Teori proporsi selalu dikaitkan dengan sebuah filosofi Pranko Platonic
dimana model realitasnya sebagai ide, dan hal nyata hanya imitasi pucat dan tidak
sempurna. Peradaban Greek mampu mewujudkan ide dalam patung dan lukisan
yang sangat sempurna, meski plato memikirkan badan dari Policlitus atau seni
figurative terdahulu. Plato berfikir bahwa seni merupakan imitasi alam yang tidak
sempurna, dan juga imitasi dunia yang ideal. Dalam peristiwa apapun, upaya untuk
membuat representasi artistik ini sesuai dengan gagasan Platonis Kecantikan sangat
umum di seniman Renaissance. Tapi terdapat beberapa masa antara ideal dan dunia
nyata lebih bertanda.
Pada masa Middle Ages, terdapat perbedaan nyata antara proporsi yang
ideal, dengan yang diwakili sebagai proporsional. Risalah Renaissance pada proporsi
sebagai aturan matematika, hubungan atara teori dan realita hanya memuaskan
pada bidang arsitektur dan perspektif. Sedangkan melalui lukisan, kita mencoba
memahami Human Beauty yang ideal dari Renaissance, terdapat jarak antara
kesempurnaan teori dengan selera yang variatif.
Seniman yang menggambarkan pria terkenal, lebih tertarik pada fisik yang
kuat atau kekuatan spiritual, serta kekuatan dari ekspresi muka daripada bentuk
proporsinya. Tapi tetap saja para pria tersebut merepresentasikan ketampanannya.