Anda di halaman 1dari 7

Chapter II & III of  CHAPTER II

1. The Gods of Delphi


History of Beauty 2. From the Greeks to Nietzsche

by Umberto Eco  CHAPTER III


1. Number and Music
2. Architectonic Proportion
Alika Rahmadhanti 1206618033 3. The Human Body
4. The Cosmos and Nature
Hasbiya Rizqi 1206618001 5. The Other Arts
6. Conformity with the Purpose
Muthmainnah R.A 1206618015 7. Proportion in History

 CHAPTER II: APOLLONIAN AND DIONYSIAC


1. The Gods of Delphi
Menurut sejarah mitologi Yunani, Zeus digambarkan memiliki ukuran yang
tepat dan batasan yang menurut mereka adil untuk semua makhluk. Hal ini
diekspresikan menjadi empat moto yang terdapat pada dinding kuil Delphi. Empat
moto ini antara lain adalah The most beautiful is the most just, Observe the limit,
Shun Hubris (Arrogance), Nothing in excess. Jika diartikan kedalam bahasa Indonesia
menjadi yang paling indah adalah yang paling adil, yang memperhatikan setiap
batasan, yang menghindari keangkuhan, dan yang tidak berlebihan. Keempat moto
tersebut yang kemudian menjadi sebuah konsep estetika Yunani, sesuai dengan
pandangan dunia yang mengartikan keteraturan dan harmoni sebagai batasan yang
berlaku bagi ‘yawning Chaos’. Semua itu mereka yakini dibawah lindungan Apollo,
dimana pada kuil tersebut patung dirinya disandingkan dengan para Musai pada
bagian barat kuil Delphi. Namun, pada bagian sebaliknya yaitu bagian timur kuil
terdapat patung Dionysus (dewa kehancuran).
Berdasarkan kehadiran dua dewa tersebut merupakan atitesis yang tidak
disengaja. Ketika Nietzche menangani hal tersebut ia mengungkapkan bahwa hal
tersebut merupakan sebuah kemungkinan yang selalu hadir dan terjadi secara
berkala, dari sebuah kekacauan menjadi keindahan yang harmonis. Lebih spesifik
lagi, tanda tersebut merupakan sebuah ekspresi dari antithesis tertentu yang belum
terselesaikan dalam konsep estetika Yunani.
Antitesis pertama adalah keindahan dan persepsi yang masuk akal.
Sementara keindahan dapat dipahami tetapi tidak sepenuhnya, karena tidak
sepenuhnya dapat dinyatakan kedalam bentuk yang masuk akal. Antitesis kedua
adalah suara dan penglihatan, kedua bentuk persepsi tersebut disukai oleh orang-
orang Yunani. Walaupun musik hanya diakui untuk mengekspresikan jiwa, tetapi
hanya bentuk yang terlihatlah yang diberikan definisi keindahan (Kalón). Dengan
demikian kekacauan (chaos) dan musik menjadi sisi gelap dari keindahan Apollo,
yang harmonis dan terlihat. Perbedaan ini dapat dipahami jika kita menganggap
bahwa sebuah patung harus mewakili sebuah ide, sementara musik adalah hal yang
dapat dimengerti sebagai sesuatu yang dapat membangkitkan gairah.

2. From the Greeks to Nietzsche


Penjelasan lebih lanjut tentang antithesis antara Apollo dan Dionysus adalah
permasalahan jarak/kedekatan. Seperti layaknya seni Barat yang secara umum harus
memiliki jarak dan tidak boleh terjadi adanya kontak langsung. Berbeda dengan
karya seni pahat dari Jepang yang dibuat untuk disentuh ataupun karya seni Tibetan
Sand Mandala yang memerlukan adanya interaksi dengan manusia. Keindahan
diungkapkan oleh indera penglihatan dan pendengaran yang memungkinkan adanya
jarak yang bisa dipertahankan antara pengamat dengan objek seni. Tetapi bentuk
persepsi dari suara atau musik bisa menimbulkan persangkaan lain karena
keterlibatannya dengan audiens dianggap penuh pertentangan karena sifatnya
tanpa batas. Menurut Nietzsche Keindahan Apollonian adalah harmonis yang
tenang, keteraturan dan ukurannya dapat dipahami, dan dapat diekspresikan dalam
keindahan. Keindahan Dionysiac merupakan keindahan yang menyenangkan namun
berbahaya, berlawanan dengan akal, dan megakibatkan kegilaan.

 CHAPTER III: BEAUTY AS PROPORTION AND HARMONY


1. Number and Music
Jika didasari oleh penalaran, manusia akan menilai hal yang proporsinya
baik adalah hal yang indah. Pernyataan tersebut dapat menjelaskan mengapa
keindahan sejak zaman kuno telah diidentifikasikan dengan proporsi. Walaupun kita
tahu bahwa keindahan Yunani dan Romawi terletak pada keseimbangan antar
proporsinya. Pythagoras merupakan orang yang pertama kali yang menyatakan
bahwa asal dari segala sesuatu terletak pada angka. Para penganut teori Phytagoras
memiliki ketakutan terhadap hal-hal yang tidak terbatas dan hal tersebut tidak bisa
diubah menjadi hal yang terbatas. Sehingga mereka berusaha mencari rumus-rumus
yang mampu membatasi realita, serta memberikan aturan dan kelengkapan. Lalu
lahirlah pandangan estetika matematika tentang alam semesta yang berbunyi
semua hal ada karena mereka diperintahkan, mereka diperhatikan karena mereka
merupakan realisasi hukum matematika, dan sekaligus merupakan syarat dari
keberadaan yang indah.
Gambar 2.1 Franchine Gaffurio Pythagoras: Eksperimen hubungan sebuah nada

Pengikut Pythagoras merupakan orang-orang pertama yang mempelajari


rasio matematika yang dapat mengatur suara, musik, proporsi yang mendasari
interval. Proporsi musik yang ideal berkaitan dengan semua aturan yang dapat
memproduksi sebuah keindahan. Mereka pun juga mengetahui bahwa berbagai
mode musik memiliki efek yang berbeda pada psikologi setiap individu.

2. Architectonic Proportion
Faktanya, ide dari teori proporsi yang mengatur dimensi kuil Yunani,
interval antara kolom atau hubungan antara berbagai bagian fasad sesuai dengan
rasio yang sama yang mengatur interval musik berasal dari konsep aritmatika,
geometri dari rasio berbagai titik adalah konsep Pythagoras.
Tetraktys adalah figur simbolis Pythagoras yang merupakan pengurangan
sempurna dari angka ke spasial dan aritmetika ke geometri. Setiap sisi dari segitiga
dibentuk oleh empat titik dan di tengahnya terdapat titik tunggal. Segitiga yang
dibentuk oleh tiga seri empat angka tersebut menjadi simbol kesetaraan sempurna.
Jika angka adalah esensi dari alam semesta, maka tetraktys (atau dekade)
melambangkan semua kebijaksanaan universal. Sesuai dengan model tetraktys yang
memperluas dasar segitiga, kita mendapatkan perkembangan numerik.
Harmoni aritmatika ini juga sesuai dengan harmoni geometris dan dapat
terus menghubungkan titik-titik untuk membentuk serangkaian sempurna yang
terhubung tanpa batas.

Teori matematika ini kemudian ditemukan oleh Plato, berawal dari


pertemuannya dengan para pengikut Pythagoras yang menyebar disegenap koloni
Yunani di Sisilia dan Italia bagian selatan. Penemuan Pythagoras tentang hubungan
antara angka dan harmoni musik telah membuatnya percaya bahwa angka-angka
merupakan kunci memahami alam semesta. Segala sasuatu bisa dijelaskan dengan
angka, yang barada dalam suatu realitas abstrak, diluar jangkauan kenyataan sehari-
hari.
Plato memiliki konsep sendiri bahwa matematika merupakan bayangan
cermin struktur realitas yang sebenarnya. Hal ini dapat dicontohkan dari cara kita
memandang sebuah lingkaran. Setiap kita menggambarkan lingkaran, kadang
lingkaran tersebut berbentuk lonjong dan kita menganggap lingkaran tersebut tidak
baik. Untuk menilai sesuatu pasti kita mempunyai dasar-dasar penilaian. Kita dapat
menentukan dan menilai mana lingkaran yang yang baik dan tidak baik. Dan kadang
kita meniai sebuah lingkaran itu sudah sempurna. Padahal seberapa teliti kita
menggambar lingkaran dan ketepatan alat yang kita pakai pasti akan ada
penyimpangan dari gambar lingkaran yang sempurna. Plato menyebut sesuatu yang
sempurna sebagai forma (forms), dan dunia nonragawi yang mengandungnya dia
disebut dunia forma (world of forms) atau dunia Idea.

Prinsip proporsi juga muncul kembali dalam praktik arsitektonis dalam


bentuk kiasan simbolis dan mistis.

3. The Human Body

Contoh dari patung wanita muda yang dipahat abad keenam SM.
Pythagoras menjelaskan bahwa patung gadis itu cantik karena dalam keseimbangan
yang benar, karena anggota tubuhnya diatur dalam hubungan yang benar dan
harmonis satu sama lain, mengingat bahwa mereka diatur oleh hukum yang sama
yang mengatur jarak antara planetary spheres. Artis pahat abad keenam SM
menemukan dirinya wajib menciptakan keindahan yang tak terbantahkan yang
dinyanyikan oleh para penyair dan dirinya sendiri pernah melihat suatu pagi di
musim semi saat mengamati wajah kekasihnya, tetapi dia harus membuatnya di atas
batu, dan memperbaiki citra gadis itu dalam bentuk.
Salah satu syarat pertama dari bentuk yang baik dalam proporsi dan simetri
yang benarialah mata yang sama, penggambaran rambut-rambut secara merata, dan
lengan dan kaki sama benar. Seniman juga membuat lipatan gaunnya sama dan
simetris. Sementara pada sudut bibir diberikan efek senyuman samar khas patung-
patung diabad itu.
Dua abad kemudian, pada abad keempat SM, Poliditus menghasilkan
patung yang kemudian dikenal sebagai meriam karena memuat semua aturan
proporsi yang benar diantara bagian-bagian; tetapi prinsip yang mendasar tidak
didasarkan pada keseimbangan dua elemen yang sama. Semua bagian tubuh harus
menyesuaikan secara timbal balik sesuai dengan rasio proporsional dalam arti
geometris: A adalah ke B seperti B ke C. Vitruvius kemudian menyatakan proporsi
tubuh yang benar sebagai fraksi dari seluruh gambar: wajah harus sepersepuluh dari
total panjang, kepala seperdelapan, panjang badan seperempat, dan seterusnya.
Proporsional Yunani berbeda dari Mesir. Orang Mesir menggunakan kisi-
kisi yang jala terbuat dari kotak berukuran sama yang menetapkan ukuran
kuantitatif tetap. Jika, misalnya, sosok manusia harus tinggi delapan belas unit,
panjang kaki secara otomatis tiga unit; bahwa dari lengan lima, dan seterusnya.
Tetapi Yunani tidak lagi menampilkan unit-unit tetap: kepala ke tubuh seperti tubuh
ke kaki, dan sebagainya. Proporsi bagian-bagian ditentukan sesuai dengan
pergerakan tubuh, perubahan perspektif, dan adaptasi gambar dalam kaitannya
dengan posisi penonton. Sebuah bagian dari Sophist Plato memungkinkan kita untuk
memahami bahwa pematung tidak menghormati proporsi secara matematis, tetapi
menyesuaikannya dengan persyaratan penglihatan, dengan sudut pandang
darimana sosok itu dilihat.

5. The Other Arts


Estetika dari proporsi mengambil berapa varietas dari ke-stabilan bentuk
yang lebih kompleks yang dapat ditemukan dalam lukisan. Seluruh krakteristik dalam
seni figurative, dari karya Byzantine yang tertulis oleh biksu dari gunung Athos,
hingga karya Cennini Tractatus, memunculkan ambisi dari seni plastis untuk memiliki
lebel matematika yang sama dengan music. Dalam hal ini, seluruh figure
dideterminasi oleh geometri koordinasi.

Penelitian matematika mencapai tahap presisi dalam teori Renaissance dan


penerapan prespektif. Representasi prespektif sangat diminati seniman Renaissance
karena mereka meilhat representasi prespektif bukan hanya sebatas “benar” dan
“realistis”, tapi juga dari sisi keindahan dan menyenangkan pandangan juga. Dengan
adanya teori Renaissance dan penggunaan prespektif, membuktikan bahwa
representasi dari kultur lain yang sudah ada bertahun-tahun, atau dari abad lain
dianggap primitive, inkompeten, bahkan dianggap jelek.

6. Conformity with the Purpose


Pada masa pemikiran Medival yang sangat berkembang, Thomas Aquinas
mengatakan syarat adanya keindahan tidak hanya harus menampilkan proporsi saja,
tapi integritas, dan juga kejernihan warna harus ada. Tetapi Aquina berpendapat
bahwa proporsi bukanlah satu-satunya sifat yang benar dari suatu materi, tapi
adaptasi yang sempurna dari materi yang di bentuk juga penting. Aquina meilhat
proporsi sebagai nilai etikal dalam esensi aksi itu membawa kata-kata dengan
proporsi yang benar dan perbuatan yang sesuai dengan hukum rasional.
Prinsipnya, beberapa hal harus sesuai dengan tujuan yang mereka
maksud, yang mebuat Aquina tidak akan ragu untuk menilai Palu Kristal jelek, karena
material yang digunakan dianggap terlalu indah, dan tidak sesuai dengan fungsi dari
benda tersebut. Keindahan merupakan kolaborasi mutual antar beberapa hal, maka
dari itu kita bisa mendefinisikan keindahan suatu hal dengan menyuport satu hal
dengan hal lainnya.
Dengan kata lain, proporsi menjadi prinsip metafisik yang menjelaskan
kesatuan dari semesta itu sendiri

7. Proportion in History
Jika kita mempertimbangak banyak ekspresi dari seni Medival, dan
membadingkannya dengan model dari seni Greek, pasti sangat sulit bagi kita untuk
berfikir bahwa patung/struktur erkietonik ini bisa mewujudkan kriteria dari proporsi
Teori proporsi selalu dikaitkan dengan sebuah filosofi Pranko Platonic
dimana model realitasnya sebagai ide, dan hal nyata hanya imitasi pucat dan tidak
sempurna. Peradaban Greek mampu mewujudkan ide dalam patung dan lukisan
yang sangat sempurna, meski plato memikirkan badan dari Policlitus atau seni
figurative terdahulu. Plato berfikir bahwa seni merupakan imitasi alam yang tidak
sempurna, dan juga imitasi dunia yang ideal. Dalam peristiwa apapun, upaya untuk
membuat representasi artistik ini sesuai dengan gagasan Platonis Kecantikan sangat
umum di seniman Renaissance. Tapi terdapat beberapa masa antara ideal dan dunia
nyata lebih bertanda.
Pada masa Middle Ages, terdapat perbedaan nyata antara proporsi yang
ideal, dengan yang diwakili sebagai proporsional. Risalah Renaissance pada proporsi
sebagai aturan matematika, hubungan atara teori dan realita hanya memuaskan
pada bidang arsitektur dan perspektif. Sedangkan melalui lukisan, kita mencoba
memahami Human Beauty yang ideal dari Renaissance, terdapat jarak antara
kesempurnaan teori dengan selera yang variatif.
Seniman yang menggambarkan pria terkenal, lebih tertarik pada fisik yang
kuat atau kekuatan spiritual, serta kekuatan dari ekspresi muka daripada bentuk
proporsinya. Tapi tetap saja para pria tersebut merepresentasikan ketampanannya.

Anda mungkin juga menyukai