Anda di halaman 1dari 3

1.

Apollo dan Dionisus

Menurut sejarah mitologi Yunani, Zeus digambarkan memiliki ukuran yang tepat dan batasan
yang menurut mereka adil untuk semua makhluk. Hal ini diekspresikan menjadi empat moto yang
terdapat pada dinding kuil Delphi. Empat moto ini antara lain adalah The most beautiful is the most just,
Observe the limit, Shun Hubris (Arrogance), Nothing in excess. Jika diartikan kedalam bahasa Indonesia
menjadi yang paling indah adalah yang paling adil, yang memperhatikan setiap batasan, yang
menghindari keangkuhan, dan yang tidak berlebihan. Keempat moto tersebut yang kemudian menjadi
sebuah konsep estetika Yunani, sesuai dengan pandangan dunia yang mengartikan keteraturan dan
harmoni sebagai batasan yang berlaku bagi ‘yawning Chaos’. Semua itu mereka yakini dibawah
lindungan Apollo, dimana pada kuil tersebut patung dirinya disandingkan dengan para Musai pada
bagian barat kuil Delphi. Namun, pada bagian sebaliknya yaitu bagian timur kuil terdapat patung
Dionysus (dewa kehancuran).

Berdasarkan kehadiran dua dewa tersebut merupakan atitesis yang tidak disengaja. Ketika
Nietzche menangani hal tersebut ia mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah
kemungkinan yang selalu hadir dan terjadi secara berkala, dari sebuah kekacauan menjadi keindahan
yang harmonis. Lebih spesifik lagi, tanda tersebut merupakan sebuah ekspresi dari antithesis tertentu
yang belum terselesaikan dalam konsep estetika Yunani.

Antitesis pertama adalah keindahan dan persepsi yang masuk akal. Sementara keindahan dapat
dipahami tetapi tidak sepenuhnya, karena tidak sepenuhnya dapat dinyatakan kedalam bentuk yang
masuk akal. Antitesis kedua adalah suara dan penglihatan, kedua bentuk persepsi tersebut disukai oleh
orang-orang Yunani. Walaupun musik hanya diakui untuk mengekspresikan jiwa, tetapi hanya bentuk
yang terlihatlah yang diberikan definisi keindahan (Kalón). Dengan demikian kekacauan (chaos) dan
musik menjadi sisi gelap dari keindahan Apollo, yang harmonis dan terlihat. Perbedaan ini dapat
dipahami jika kita menganggap bahwa sebuah patung harus mewakili sebuah ide, sementara musik
adalah hal yang dapat dimengerti sebagai sesuatu yang dapat membangkitkan gairah.

Penjelasan lebih lanjut tentang antithesis antara Apollo dan Dionysus adalah permasalahan
jarak/kedekatan. Seperti layaknya seni Barat yang secara umum harus memiliki jarak dan tidak boleh
terjadi adanya kontak langsung. Berbeda dengan karya seni pahat dari Jepang yang dibuat untuk
disentuh ataupun karya seni Tibetan Sand Mandala yang memerlukan adanya interaksi dengan manusia.
Keindahan diungkapkan oleh indera penglihatan dan pendengaran yang memungkinkan adanya jarak
yang bisa dipertahankan antara pengamat dengan objek seni. Tetapi bentuk persepsi dari suara atau
musik bisa menimbulkan persangkaan lain karena keterlibatannya dengan audiens dianggap penuh
pertentangan karena sifatnya tanpa batas. Menurut Nietzsche Keindahan Apollonian adalah harmonis
yang tenang, keteraturan dan ukurannya dapat dipahami, dan dapat diekspresikan dalam keindahan.
Keindahan Dionysiac merupakan keindahan yang menyenangkan namun berbahaya, berlawanan dengan
akal, dan megakibatkan kegilaan.

2. Keindahan sebagai Proporsi dan Harmoni

Jika didasari oleh penalaran, manusia akan menilai hal yang proporsinya baik adalah hal yang
indah. Pernyataan tersebut dapat menjelaskan mengapa keindahan sejak zaman kuno telah
diidentifikasikan dengan proporsi. Walaupun kita tahu bahwa keindahan Yunani dan Romawi terletak
pada keseimbangan antar proporsinya. Pythagoras merupakan orang yang pertama kali yang
menyatakan bahwa asal dari segala sesuatu terletak pada angka. Para penganut teori Phytagoras
memiliki ketakutan terhadap hal-hal yang tidak terbatas dan hal tersebut tidak bisa diubah menjadi hal
yang terbatas. Sehingga mereka berusaha mencari rumus-rumus yang mampu membatasi realita, serta
memberikan aturan dan kelengkapan. Lalu lahirlah pandangan estetika matematika tentang alam
semesta yang berbunyi semua hal ada karena mereka diperintahkan, mereka diperhatikan karena
mereka merupakan realisasi hukum matematika, dan sekaligus merupakan syarat dari keberadaan yang
indah.

Gambar 2.1 Franchine Gaffurio Pythagoras: Eksperimen hubungan sebuah nada

Pengikut Pythagoras merupakan orang-orang pertama yang mempelajari rasio matematika yang
dapat mengatur suara, musik, proporsi yang mendasari interval. Proporsi musik yang ideal berkaitan
dengan semua aturan yang dapat memproduksi sebuah keindahan. Mereka pun juga mengetahui bahwa
berbagai mode musik memiliki efek yang berbeda pada psikologi setiap individu.

Anda mungkin juga menyukai