Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spondiolisis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang

mengenai tulang belakang (Indra, 2018).

Spondilitis TB merupakan bentuk infeksi berbahaya dari tuberkolusis

Muskuloskeletal karena dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan

paraplegia. Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang disebarkan

melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama penyebaran melalui

hematogen (Kusmiati & Hapsari, 2016).

Penyakit ini pertama kali di deskripsikan oleh pecrival Pott pada tahun 1779

yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan

kurtuva tulang belakang. Kondisi umumnya melibatkan vertebra thorakal dan

lumbosakral.

Menurut laporan WHO (Organisasi kesehatan dunia) memperkirakan lebih

dari 8 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB. Insiden spondilitis

TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan


spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB. Diperkirakan 20-33% dari penduduk

dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.

Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada

tahun 2012 di mana 1,1 juta (13%) diantaranya adalah merupakan TB dengan HIV

positif. Data dari WHO di tahun 2015 menyatakan diperkirakan di Indonesia

prevalensi tuberkulosis mencapai 647 per 100.000 penduduk, dan sekitar 10

persennya merupakan tuberkulosis ekstra paru. Satu hingga lima persen penderita

tuberkulosis mengalami TB osteoartikuler, dan separuhnya adalah spondilitis

tuberculosis (Kusmiati & Hapsari, 2016).

Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu

dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000

orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun. Kejadian TB ekstrapulmonal

sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena

adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB

ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak yang terinfeksi

TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan paling

banyak terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun kemudian. Spondiolisis

TB sering terjadi pada pria, dan pada kondisi paraplegia non-traumatik sperti pada

lansia, wanita karena kehamilan, persalinan dan nifas dan kemunginan kecil pada
anak-anak tetapi rentan menyerang usia remaja. Pada pasien dengan HIV positif,

insiden spondiolis TB bisa meningkat 500 kali lebih tinggi daripada yang HIV

negatif (Kusmiati & Hapsari, 2016).

Di Indonesia, spondiolisis TB menduduki urutan ke-4 untuk angka kesakitan

sedangkan sebagai penyebab kematian menduduki urutan ke-6, menyerang sebagian

besar kelompok usia produktif dari kelompok sosioekonomi lemah. Walau upaya

pemberantas TB telah dilakukan, tetapi angka prevalensi TB di Indonesia tidak

pernah turun. Dengan bertambahnya penduduk, bertambah pula jumlah penderita

TB dan tidak lepas mengenai pada tulang, dan kini Indonesia adalah negara

peringkat ketiga terbanyak di dunia dalam jumlah penderita tuberkulosis. Dengan

meningkatnya infeksi HIV/AIDS di Indonesia, penderita TB akan meningkat pula,

karena diperkirakan seperempat penduduk dunia telah terinfeksi kuman

tuberkulosis pada tahun 1993 WHO mencanangkan tuberkulosis sebagai

kedaruratan global (Djojodibroto, 2017).

Jumlah kasus TB di Sumatera Utara pada tahun 2011, kasus spondiolisis TB

sekitar 14.158 kasus dan mengalami peningkatan menjadi 17.026 kasus pada tahun

2012 (Dinkes Sumut, 2015). Pada tahun 2013 juga mengalami peningkatan sebesar

17.459 kasus (82,57%) namun pada tahun 2014 terjadi penurunan menjadi 15.414

kasus (72,29%) (Dinkes Sumut, 2015).


Kasus spondiolisis TB di Kota Medan tahun 2014 secara klinis terjadi

peningkatan dari tahun 2013. Angka penemuan TB pada tahun 2013 yaitu sebesar

21.079 kasus dengan 3.037 kasus spondiolisis TB, sedangkan pada tahun 2014

ditemukan sebesar 26.330 kasus dengan 2.894 kasus spondiolisis TB dimana

seluruhnya mendapatkan penanganan pengobatan dengan kesembuhan 2.163 orang

(74,74%) serta angka keberhasilan pengobatan sebesar 79,03%. Selain itu, dari 39

puskesmas yang ada di Kota Medan terdapat 764 penderita spondiolisis TB. Dari

764 penderita spondiolisis TB sebanyak 643 penderita (87,67%) diberikan

pengobatan (Profil Dinkes Kota Medan, 2015).

Sepanjang tahun 2010, sebanyak 73,8 persen penderita spondiolisis

Tuberculosis (TB) di Sumatera Utara. Kepala Dinas Kesehatan Sumut, Candra

Syafei melalui Kasi Penanggulangan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Sukarni,

mengatakan, sebanyak 15.614 orang positif Tuberculosis di Sumatera Utara.

Sedangkan estimasi berjumlah 21.148 orang, (http://www.waspada.co.id/).

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia telah diakui

keberhasilannya dalam pengendalian TB, hal ini dibuktikan dalam laporan Global

Report Update tahun 2009 bahwa Indonesia berhasil menurunkan posisinya dari

posisi 3 menjadi posisi ke 4 sebagai negara dengan jumlah pasien TB terbanyak di

dunia.
Berdasarkan observasi Praktik belajar lapangan, menemukan satu kasus atau

penyakit yaitu Spondiolisi pada pasien Ny.A di Ruangan I Rumah Sakit Tingkat II

Putri Hijau Medan. PBLK ini dilaksanakan di mulai bulan Februari 2020 sampai

dengan maret 2020. Kegiatan yang dilakukan selama praktek belajar lapangan

konprehensif ini mencakup manajemen palayanan keperawatan dan manajemen

asuhan keperawatan pada lahan praktek dan pasien kelolaan.

Berdasarkan pengkajian yang dilakukan di Ruangan I, ditemukan 10

fenomena kasus terbanyak selama 3 bulan terakhir (Oktober, November dan

Desember) yaitu: Demam thypoid, Diare, Faringitis, TB Paru, Spondiolis TB, asma

bronchiale, DM, DHF, Demam, Bronhco pneumonia, Appendicitis, Kejang demam,

sehingga penulis mengambil satu kasus kelolaan untuk manajemen asuhan

keperawatan yaitu Spondiolis TB.

Selain pengkajian yang dilakukan langsung kepada pasien, penulis juga

melakukan wawancara dengan kepala ruangan di ruang I Rumah Sakit TK II Putri

Hijau Kesdam I/BB Medan bahwa banyak pasien dengan spondiolis TB yang

pengobatannya tidak tuntas. Dimana penderita tidak adanya kedisiplinan, ketepatan

jadwal minum obat dan kurang pengetahuan tentang apa penyebab terjadinya

penyakit TB. Dari uraian diatas maka penulis tertarik membahas tentang Manajemen

Asuhan Keperawatan Sistem Musculuskletal Dengan Gangguan Sposndiolisis TB

Pada Pasien Ny. A Di Ruang I Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/BB

Medan.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan

masalah adalah Manajemen Asuhan Keperawatan Sistem Musculuskletal Dengan

Gangguan Sposndiolisis TB Pada Pasien Ny. A Di Ruang I Rumah Sakit Tingkat II

Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2020.

1.3. Tujuan Praktek Belajar Lapangan Komprehensif

1.3.1. TujuanUmum

Tujuan Praktek Belajar Lapangan Komprehensif ini adalah untuk

meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menerapakan proses asuhan

keperawatan secara konprehensif sebagai bentuk pelayanan keperawatan

profesional, baik kepada individu, keluarga maupun masyarakat.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan Spondiolis TB

b. Mampu menetapkan diagnosa keperawatan Spondilosis TB

c. Mampu membuat perencanaan keperawatan Spondiolisis TB

d. Mampu melakukan evaluasi keperawatan Spondiolisis TB


1.4. Manfaat Praktek Belajar Lapangan Komprehensif

1.4.1. Bagi Mahasiswa Keperawatan

Manfaat Praktek Belajar Lapangan Komprehensif terhadap mahasiswa adalah

sebagai latihan untuk mempersiapkan diri menjadi perawat profesional yang

kompeten dalam melakukan manajemen keperawatan dan manajemen asuhan

terhadap pasien, sehingga dapat berkompetisi dalam menghadapi dunia kerja yang

nyata kelak.

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan

Manfaat Praktek Belajar Lapangan Komprehensif bagi institusi pendidikan

adalah untuk menambah referensi terkait dengan konsep dan teori yang dibahas

dalam laporan Praktek Belajar Lapangan Komprehensif sehingga dapat memfasilitasi

mahasiswa calon perawat dalam meningkatkan mutu kompetensi lulusan institusi

yang akan diterjunkan ke dunia kerja yang nyata.

1.4.3. Bagi Lahan Praktik

Selama kegiatan Praktek Belajar Lapangan Komprehensif, maka pihak rumah

sakit dapat menggunakan tenaga mahasiswa sebagai tukar pikiran. Selain itu juga

dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit dengan penerapan

intervensi terbaru.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Medis Spondiolisis

2.1.1 Pengertian Spondiolisis

Spondiolisis tuberkulosis (TB) adalah peradangan granulutoma yang bersifat

kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang

dan sering dikenal dengan Pott’s disease of the spine atau tuberculousvertebral

osteomyelitis (Indra, 2018).

Spondiolisis tuberkulosa merupakan bentuk penyakit berbahaya dari

tubercolosis muskuloskletal karena dapat menyebabkan destruksi paraplegia. Kondisi

umumnya melibatkan vertebra thorakal dan lumbosakral. Vertebra thorakal bawah

merupakan daerah paling banyak terlibat (40-50%), dengan veterbra lumbal

merupakan tempat kedua terbanyak (35-45%). Sekitar 10% kasus melibatkan

vertebra servikal (Muji, 2015).

Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh pecrival Pott pada tahun 1779

yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan

kurtuva tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil

tuberkulosa hingga ditemukan hasil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi

untuk kejadian semakin jelas(Sarvant, 2015).


Spondilitis adalah gejala penyakit berupa peradangan pada ruas tulang

belakang umumnya di sebabkan oleh kuman tuberkolosis. Penyebab lainnya karena

infeksi kuman lain. Proses radang tersebut merusak ruas tulang belakang sampai

membentuk tulang agak runcing ke depan. Tekanan gaya berat mengakibatkan tulang

belakang membengkok kebelakang pada rusaknya badan ruas tulang belakang

(Hassan, 2016).

Spondilitis TB merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosa yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat

seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri

tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas (Halim, 2016).

Penderita Tuberkulosis akan mengalami tanda gejala seperti demam, keringat

terutama malam hari, penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, mudah lelah,

batuk, nyeri dada,sesak nafas dan terdapat masa di tulang belakang, kiposis, kadang-

kadang berhubungan dengan kelemahan dari tungkai dan paraplegi (Crofton, 2016).

2.1.2. Etiologi

Sebagaimana telah diketahui, tuberkulosis disebabkan oleh basil TB

(Mycobacterium tuberculosis humanis).Untuk detail-detailnya pembaca dirujuk ke

buku-buku bakteriologi sebagai berikut :


1. Mycobacterium tuberculosis termasuk famili Mycobacteriaceace yang

mempunyai berbagai genus, satu di antaranya adalah Mycobacterium, dan salah

satu spesiesnya adalah M. tuberculosis.

2. M. tuberculosis yang berbahaya bagi manusia adalah type humanis.

3. Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Sifat ini

dimanfaatkan oleh robert Koch untuk mewarnainya secara khusus. Karena itu

kuman itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).

4. Karena pada umumnya Mycobacterium tahan asam, secara teoritis BTA belum

tentu identik dengan basil TB. Namun, karena dalam keadaan normal jarang

sekali dalam praktik BTA dianggap identik dengan hasil TB.

5. Bakteri-bakteri lain hanya memerlukan beberapa menit sampai 20 menit untuk

mitosis, basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam. Hal ini memungkinkan

pemberian obat secara intermiten (2-3 hari sekali).

6. Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit

saja akan mati. Ternyata ketentuan ini terutama terhadap gelombang cahaya ultra

violet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja

basil TB yang berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air

bersuhu 100% oC. Basil TB juga akan mati dalam beberapa menit bila terkena

alkohol 70%, atau lisol 5% (Halim, 2016).

Tuberkolis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkolosis di

tempat lain tumbuh , 90-95 % di sebabkan oleh mikobakterium tuberkolosis tipik (2/3

dari human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkolosa
aseptik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam pasa pewanaan.Oleh karena itu di sebut pula dengan basil tahan asam (BTA).

Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari tetapi dapat bertahan hidup berberapa

jam 10 di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dominan

tertidur lama selama berberapa tahun (Evi, 2013).

Lokalisasi spondilitis tuberkolosa terutama pada daerah vertebra torakal

bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu

tuberkolosa traktus urinarius, yang penyebarannya melalui Pleksus batson pada vena

para vertebralis. Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberkolosis tidak semudah

tertular flu penurana penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yang cukup lama

dan intensive dengan sumber penyakit menurut mayoclinic, seseorang yang kesehatan

fisik nya baik memerlukan kontrak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari

selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi (Anonim,2007). Biasanya infeksi dari

tuberculosis disebabkan oleh, infeksi primer maupun sekunder (Handayani, 2009).

Faktor Resiko Terkena Penyakit TB Paru :

a. Merokok

Merokok didapati memiliki pertalian dengan meningkatkan dampak buat

mendapati kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, asma, bronchitis

kronik & kanker kandung kemih. Adat merokok meningkatkan efek buat

terkena TB jumlahnya 2,2 kali. Pada tahun 1973 mengkonsumsi rokok di

Indonesia per orang per tahun yakni 230 batang, relatif lebih rendah bersama
430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana &

760 batang/orang/tahun di Pakistan. Prevalensi merokok kepada nyaris

seluruh negeri berkembang lebih dari 50% berjalan terhadap cowok dewasa,

sedangkan perempuan perokok kurang dari 5%. Bersama adanya rutinitas

merokok bakal lebih rentan untuk terjadinya infeksi TB.

b. Kelembaban hawa atau Udara

Kelembaban hawa dalam lokasi buat mendapatkan kenyamanan, di mana

kelembaban yg optimum berkisar 60% bersama temperatur kamar 22° – 30°C.

Kuman TB dapat serta-merta mati kalau terkena sinar matahari segera, namun

bakal berkukuh hidup sewaktu sekian banyak jam di area yang gelap dan

lembab.

c. Keadaan rumah

Keadaan rumah bakal jadi salah satu aspek dampak penularan penyakit TB.

Atap, dinding dan lantai mampu jadi ruang perkembang biakan kuman. Lantai

dan dinding yang susah dibersihkan bakal menyebabkan penumpukan debu,

maka bakal dijadikan juga sebagai fasilitas yg baik bagi berkembangbiaknya

kuman Mycrobacterium tuberculosis.

d. Kepadatan hunian kamar tidur

Luas lantai bangunan rumah sehat mesti pass buat penghuni di dalamnya,

artinya luas lantai bangunan rumah tersebut mesti disesuaikan bersama jumlah

penghuninya biar tak menyebabkan overload. Aspek ini tak sehat,

dikarenakan di samping menyebabkan kurangnya mengonsumsi oksigen serta


apabila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, bakal gampang

menular pada anggota keluarga lainnya.

e. Tingkah Laku

Tabiat bisa terdiri dari wawasan, sikap dan perbuatan. Wawasan penderita TB

yg kurang berkaitan kiat penularan, bahaya & kiat pengobatan dapat

berpengaruh kepada sikap dan prilaku yang merupakan orang sakit dan

akhirnya berakibat jadi sumber penular bagi orang disekelilingnya, termasuk

pecandu minuman keras atau pengguna obat terlarang

f. Faktor Usia

Sekian Banyak aspek dampak penularan penyakit tuberkulosis di Amerika

adalah usia, type kelamin, ras, asal negeri bidang, juga infeksi AIDS. Dari

hasil penelitian yg dilaksanakan di New York terhadap Panti penampungan

beberapa orang gelandangan menunjukkan bahwa bisa jadi mendapat infeksi

tuberkulosis aktif meningkat dengan cara bermakna serasi dengan usia.

Insiden paling tinggi tuberkulosis paru umumnya berkenaan umur dewasa

belia. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita spondiolisi TB yakni group

umur produktif yakni 15-50 tahun.

g. Tugas atau Pekerjaan

Type tugas memastikan perihal resiko apa yg mesti dihadapi tiap-tiap

individu. Apabila pekerja bekerja di lingkungan yg berdebu paparan partikel

debu di daerah terpapar bakal mempengaruhi terjadinya kendala kepada

saluran pernafasan. Paparan kronis hawa yg tercemar bakal meningkatkan


morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan

kebanyakan TB.

h. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seorang bakal mempengaruhi pada wawasan seorang

diantaranya berkenaan rumah yg memenuhi syarat kesehatan dan wawasan

penyakit TB, maka bersama wawasan yang pass sehingga seorang dapat coba

buat memiliki tabiat hidup bersin dan sehat. diluar itu tingkat pedidikan

seorang bakal mempengaruhi pada kategori pekerjaannya.

i. Ventilasi

Ventilasi memiliki tidak sedikit fungsi. Fungsi mula-mula merupakan buat

menjaga supaya aliran hawa didalam rumah tersebut masihlah segar. Faktor

ini berarti keseimbangan oksigen yg dimanfaatkan oleh penghuni rumah

tersebut terus terjaga. Kurangnya ventilasi bakal menyebabkan kurangnya

oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi dapat

menyebabkan kelembaban hawa di dalam ruang naik sebab terjadinya proses

penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini dapat yaitu

fasilitas yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri

penyebab penyakit, contohnya kuman TB.

j. Pencahayaan

Utk mendapatkan cahaya pass kepada siang hri, digunakan luas jendela kaca

minimum 20% luas lantai. Bila peletakan jendela kurang baik atau kurang

leluasa sehingga akan dipasang genteng kaca. Cahaya ini amat sangat utama
dikarenakan sanggup membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah,

contohnya basil TB, sebab itu rumah yg sehat mesti memiliki jalan masuk

cahaya yg lumayan.

k. Kondisi Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi berkenaan erat bersama pendidikan, kondisi sanitasi

lingkungan, gizi dan akses pada layanan kesehatan. Penurunan pendapatan

akan menyebabkan kurangnya kekuatan daya beli dalam memenuhi

mengonsumsi makanan maka bakal berpengaruh kepada status gizi. Bila

status gizi tidak baik sehingga bakal menyebabkan kekebalan badan yg

menurun maka memudahkan terkena infeksi TB.

l. Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang bersama status gizi kurang

memiliki dampak 3,7 kali utk menderita TB berat di bandingkan dengan orang

yang status gizinya lumayan atau lebih. Kekurangan gizi kepada satu orang

bakal berpengaruh kepada kebolehan daya tahan badan dan respon

immunologik kepada penyakit.

2.1.3. Manifestasi Klinik

Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, penderita spondiolisis

tuberkulosis beragam tergantung pada tingkat kondisi tubuh penderita, akan tetapi

gejala klinis yang paling sering ditemui pada penderita antara lain (Crofton, 2016).
1. Berat badan menurun selam 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, atau

BB tidak naik dalam satu bulan dengan penanganan gizi.

2. Kegagalan dalam tumbuh kembang.

3. Demam lama yang berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat di malam

hari

4. Batuk lebih dari 30 hari

5. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit biasanya multifel.

6. Diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai

benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen

7. Gejala lanjut (jaringan paru-paru sudah banyak yang rusak), pucat, anemia

lemah.

8. Permulaan tuberkulosis primer biasanya sukar diketahui karena mulanya

penyakit secara perlahan. Gejala tuberkulosis primer dapat berupa demam yang

naik turun 1-2 minggu dengan atau tanpa batuk dan pilek.

Menurut Djojodibroto (2017) gejala Tuberkulosis pada dewasa tidak serta-

merta muncul. Pada saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya hanya

demam sedikit. Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru.

berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat

badan turun tanpa sebab.

Pembesaran kelenjar limfe sementara, terjadi di paru-paru muncul gambaran

flek. Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala

Tuberkulosis yang benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung
kekebalan. Kalau anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), Tuberkulosisnya tidak

muncul tapi bukan berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun bisa saja muncul, bukan di

paru-paru lagi melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya

dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya.

2.1.4 Klasifikasi

Spondilitis TB merupakan suatu tulang yang sifatnya sekunder dari TBC yang

tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya

penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus irinarius

melaluai pleksus Batson, infeksi vertebra di tanda dengan proses desruksi tulang

progresif tetapi melambat di bagian depan, anterior vertebral body (Harsono, 2006).

Penyebaran dari jaringan yang mengaalmi perkejuanakan menghalangi proses

pembentukan tulang sehingga berbentuk tubercolus squestra. Sedangkan jaringan

granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang

dapat menjalar ke atas bawah lewat ligamentum longitudianl anterior dan posterior

(Savant, 2007).

Perjalanan penyakit spondilitis terdiri dari lima stadium tuberkolosa menurut

(Savant,2007) yaitu :

a. Stadium Impalantasi

Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita

menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlansung

selama 6-8 minggu, keadaan ini umumnya terjadi pada derah prasdikus.
b. Stadium destruksi

Tejadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus

proses ini berlangsung selaama 3-6 minggu.

c. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolpas vertebra, dan berbentuk

massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang terjadi 2-3 bulan

setelah stadium awal, selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan

diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan

(wedginganterior) akibat kerusakan korpus vetebra sehingga dapat

menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

d. Stadium gangguan

Neurologis gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang

terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses kekenalis spinalis. Vertebra

toraklis mempunyai kanalis spinalis yang kecil terjadi sehingga gangguan

neurologis lebih mudah terjadi daerah ini.

Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan

paraplegia yaitu :

a) Derajat I

Kelemahan pada anggtoa gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh.

Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.


b) Derajat II

Kelemahan pada anggota gerak bawah tetepi penderita masih dapat melakukan

pekerjannya.

c) Derajat III

Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas di

sertai dengan hipoestesia dan anestesia.

d) Derajat IV

Gangguan saraf sensoris dan mototris di sertai dengan gangguan defekasi dan

miksi. TBC paraplegia atau Poot paraplegia dapat terjadi secara dini atau

lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,

paraplegia terjadi karena ada tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau

kerusakan langsung tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia

pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada

jembatan tulang bakanalis spinalis atau pembentuakn jarigna fibrosis yan

progresif dari jariangan granulasi tuberkulosa. TBC praplegia terjadi secara

perlahan dan dapat terjadi deruksi tulang di sertai angulasi dan gangguan

vaskuler vertebra.

e) Stadium deformitas residua,

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi kifosis

atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang passif di depan.
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkolosis menurut (Laurerman,

2017) yaitu :

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap leukosotis dan LED meningkat.

b. Uji mantoux positif tuberkolosis

c. Uji kutur bitkan bakteri dan BTA di temukan Mycobacterium.

d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfa regional.

e. Pemeriksaaan hispotologis di temukan tuberkel.

f. Fungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis.

g. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibody spesifik dalam sirkulasi.

2.1.6 Pemeriksaan Radiologi

Radiologi saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menujang pemeriksaan

yang paling menujang untuk diagnosis dini spondilitis TB karena memvisulisasikan

langsung kelainan fisik tulang belakang. Terdapat berberapa pemeriksaan radiologis

yang apa digunakan seperti sinar- X, CT- scan dan (MRI) Magnetic Resonane

Imaging (Camillo, 2008).


a. Sinar-X

Sinar-X merupakan radiologis awal yang paling sering dilakukan dan berguna

untuk penapisan awal. Proteksi yang di ambil sebaiknya dua jenis Ap dan

lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteotik pada bagian anterior badan

vertebera dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus.

Pembengkakkan jaringan lunak sekitarnyan memberikan gambaran

fusiformis, pada fase lanjut , kerusakan bagian anterior semakin memperberat

dan membentuk angulasi kifotik (Moesbar, 2009).

b. CT- Scan

CT-Scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan

vertebra abses epidural , fragmentasi tulang dan penyempitan kanalis spinlis.

CT- Scan dapat juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan

menentukan luas kerusakan jaringan tulang (Moesbar, 2009).

c. Magnetic Resonane Imaging (MRI)

Merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi badan

vertebra diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang termasuk abses

paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk

mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan

sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi

non- contiguos (Polley, 2009).


2.1.7 Penatalaksaan

Bakteri TB dapat di bunuh atau di hambat dengan pemberian obat-obatab anti

tuberkulosa, misalnya kombinasi, INH, ethambrutol, pyrazinamid, dan rimfapicin

(Nawas, 2010).

Menurut Moesbar(2006) menyatakan bahwa pelaksanaan spondilitis TB

meliputi terapi konsevatif dan terapi operasi.

a. Terapi Konservaif

Dapat dilakukan dengan cara pergerakkan ringan pada tangan dan kaki yang

bertujuan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot , serta mengurangi destrusi

tulang belakang (Wilkonson dan Ahhern, 2009).

b. Terapi Operatif

Terapi operatif yang dilakukan pada pasien spondilitis TB yaitu debridement.

Tujuan dilakukanya tindakan ini yaitu menghilangkan sumber infeksi,

mengkoreksi deformitas menghilangkan komplikasi neorologik dan kerusakan

lebih lanjut (Dewald, 2011).

Menurut Agrawal (2010) menyatakan bahwa prosedur operasi yang dilakukan

pada pasien spondilitis TB meliputi debridement posterior dan anterior untuk

mengeluarkan abses ataupun pus.

2.1.8Komplikasi

Komplikasi menurut Muttaqin (2014) yang dapat di timbulkan dari spondilitis

tuberkulosa yaitu :
a. Potts paraplegia

Muncul pada stadium awal di sebabkan tekanan eksradural oleh pus maupun

sequster atau invasi jaringan garnulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini

membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan

saraf. Muncul pada stadium lanjut di sebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari

jaringan granulasi atau pelekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.

b. Ruptur abses dan paravetebra

Pada vetebra thorakal maka nanah akan turun ke dalam pleira sehingga

menyebabkan empiema tuberkulosis. Pada vertebra lumbal maka nanah akan

turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abses.

c. Cedera corda spinalis (spinal cord injury)

Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus

teberkulosa, sekuatra tulang, sekunder dari diskus intervertebralis (contoh :

Potts paraplegia, prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan

korda spinalis oleh jarigna granulasi tuberkolosa (contoh : menigomylitis ,

prognosa buruk). Jika cepat di terapi sering berespon baik (berbeda dengan

kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu

membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda

spinalis.
2.1.9 Patofisologi

Jika tulang terinfeksi, bagian dalam tulang yang lunak (sumsum tulang

belakang ) sering membengkak. Karena pembengkakan jaringan ini menekan dinding

sebelah luar tulang yang kaku, maka pembuluh darah di dalam sumsum bisa tertekan,

menyebabkan berkurangnya aliran darah ketulang. Tanpa aliran darah yang memadai,

bagian dari tulang bisa mati. Tulang yang biasanya terlindung dengan baik dari

infeksi, bisa mengalami infeksi melalui 3 cara , aliran darah, penyebaran langsung,

infeksi dari jaringan lunak (Handayani, 2009).

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran

bakteri sangat kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera

diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit

kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar ataupun kecil kuman TB

sehingga kuman yang tidak mati akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam

makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag

mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi

pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer.

Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus

primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang

akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan

saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan

rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh

hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas selular.6,7 Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer

dinyatakan telah terjadi. M. tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui

saluran pernapasan dan saluran cerna dengan perjalanan infeksi berlangsung dalam 4

fase:

1. Fase primer, Basil masuk melalui saluran pernapasan sampai ke alveoli. Di

dalam jaringan paru timbul reaksi radang yang melibatkan sistem imun

tubuh dan membentuk afek primer. Bila basil terbawa ke kelanjar limfe

dihilus akan timbul limfadenitis primer, suatu granuloma sel epiteloid dan

nekrosis perkejuan. Afek primer dan limfadenitis ini disebut kompleks

primer.

2. Fase Miliar, Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, yaitu sebuah

penyebaran hematogen yang menimbulkan infeksi di seluruh paru dan organ

lain. Fase ini dapat berlangsung terus sampai menimbulkan kematian,

mungkin juga dapat sembuh sempurna atau menjadi laten atau dorman.
3. Fase Laten, Kompleks primer ataupun reaksi radang di tempat lain dapat

mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil

menjadi dorman. Fase ini terjadi pada semua organ selama bertahun-tahun.

Bila terjadi perubahan pertahanan tubuh maka kuman dorman dapat

mengalami reaktivasi.

4. Fase reaktivasi, Fase ini dapat terjadi di paru atau diluar paru. Reaktivasi

sarang infeksi dapat menyerang berbagai organ selain paru yaitu ginjal,

kelenjar limfe, tuba, tulang, otak, kelenjar adrenal, saluran cerna dan kelenjar

mammae.

Perjalanan infeksi pada vertebra melalui 2 jalur utama yaitu arteri dan vena,

serta jalur tambahan. Jalur utama berlangsung secara sistemik mengalir sepanjang

arteri ke perifer masuk ke dalam korpus vertebra, berasal dari arteri segmental lumbal

yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan, di mana setiap

korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri. Di dalam korpus ini berakhir sebagai artery

sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai di daerah paradiskus

korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah perivertebral. Pleksus ini

beranastomosa dengan pleksuspleksus pada dasar otak, dinding dada, interkostal,

lumbal dan pelvis. Jika terjadi aliran balik akibat perubahan tekanan pada dinding

dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar.

Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang

telah terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan

posterior ke korpus vertebra yang berdekatan. Osteomielitis tuberkulosis dan artritis


dipercayai muncul dari fokus basil M. tuberculosis yang bersarang di tulang selama

mikobakteriemia dari infeksi primernya. Fokus primer mungkin aktif atau hanya

diam, tampak nyata atau laten, baik di paru, kelenjar limfe mediastium, mesenterium,

atau di wilayah leher atau ginjal maupun organ dalam yang lain. Basil M. tuberculosis

mungkin berjalan dari paru ke spinal melalui pleksus venosus paravertebral Batson,

melalui drainase limfatik ke kelanjar paraaorta. Pada individu sehat respons imun

selular sudah mengandung basil ini tapi tidak melakukan eradikasi.

Penyebaran infeksi tuberkulosis akan menyebabkan inflamasi pada paradiskus,

terjadi hyperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis. Destruksi tulang

terjadi progresif, akibat lisis jaringan tulang di bagian anterior, serta adanya iskemi

sekunder, periartritis dan endarteritis, akan menyebabkan kolapsnya bagian tersebut.

Hal ini akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat

badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral

dengan lengkung saraf posterior yang tetap intak, jadi akan timbul deformitas

berbentuk kifosis yang progresivitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat

kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat yang sering disebut sebagai

gibbus. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa

penyakit ini sudah meluas.

Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang

normal; di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis

di mana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan

terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal,
kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan

melalui prosesus artikular. Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal,

tulang-tulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada

berupa barrel chest.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar

ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran

hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai

penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar

secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.

Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang

dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal,

dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang

belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis

TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum

longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan

menyebar dari ligamentum anterior longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya

skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB

(Kusmiati dan Narendrani, 2016).


2.1.10 Mind Mapping Spondilisis Tubercolosis

Udara tercemar baketri


mycobakterium Tuberculosa

Terhirup lewat saluran


nafas

Masuk ke paru (Alveoli)


Fagositis bakteri oleh
makrofag gagal
Abses mengikuti Menyebar ke lateral
Paraplegi Giblus dibelakang muskulus
muskulus panas
stemokledomastoideus

Perubahan Dx : Gangguan Muncul dibawah


respon Citra Tubuh ligament inguinal Faring menonjol
spikologis

Menyebar
Dx : Ansietas kepembuluh darah
Femuralis Eksophagus
tersumbat eksodat

Dx : Gangguan
Mobilitas Fisik
Dx : Nutrisi Kurang dari Gangguan
kebutuhan Tubuh menelan

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

1. Pemeriksaan Identitas Pasien

a. Identitas diri pada klien

1) Nama

2) Jenis kelamin

3) Umur

4) Tempat / tanggal lahir

5) Alamat

6) Pekerjaan

b. Riwayat Kesehatan

1). Kesehatan sekarang


a) Keadaan pernafasan (nafas pendek)

b) Nyeri punggung

c) Batuk

d) Sputum

2). Kesehatan dahulu: Jenis gangguan kesehatan yang baru saja di alami,
hipertensi (-), diabetes (-),Tbc (+)

3). Kesehatan keluarga adakah anggota keluarga yang menderita empisema,


asma, alergi dan TBC

c. Status perkembangan, misalnya:

1) Ibu yang melahirkan anak prematur perlu ditanyakan apakah sewaktu


hamil mempunyai masalah-masalah risiko dan apakah usia kehamilan
cukup

2) Pada usia lanjut perlu ditanya apakah ada perubahan pola pernapasan,
cepat lelah sewaktu naik tangga, sulit bernafas, sewaktu berbaring atau
apakah bila flu sembuhnya lama

d. Data pola pemeliharaan kesehatan, misalnya:

1) Tentang pekerjaan

2) Obat yang tersedia di rumah

3) Terapi yang biasa dilakukan

4) Pola tidur-istirahat dan strees

e. Pola keterlambatan atau pola peran-kekerabatan, misalnya:


1) Adakah pengaruh dari gangguan / penyakitnya terhadap dirinya dan
keluarganya, serta

2) Apakah gangguan yang dialami mempunyai pengaruh terhadap peran


sebagai istri / suami dan dalam melakukan hubungan seksual

f. Pola aktifitas / istirahat

1) Gejala :

a) Kelelahan umum dan kelemahan

b) Napas pendek karena kerja

c) Kesulitan tidur pada malam atau demam malam hari, menggigil dan
atau berkeringat

2) Tanda :

a) Takikardi, takipnea / dispnea pada kerja

b) Kelelahan otot, nyeri dan sesak (tahap lanjut)

g. Pola intergritas ego

1) Gejala :

a) Adanya / faktor stres lama

b) Masalah keuangan rumah

c) Perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan

d) Populasi budaya / etnik

2) Tanda :

a) Menyangkal (khususnya tahap dini)

b) Ansietas, ketakutan, mudah terangsan

h. Makanan / cairan
1) Gejala :

a) Kehilangan nafsu makan

b) Tidak dapat mencerna

c) Penurunan BB

2) Tanda :

a) Turgor kulit, buruk, kering / kulit bersisik

b) Kehilangan otot / hilang lemak subkutan

i. Nyeri / kenyamanan

1) Gejala :

a) Nyeri punggung meningkat karena ketidak baik posisi tulang


belakang

2) Tanda :

a) Perilaku distraksi, gelisah

j. Keamanan

1) Gejala :

a) Adanya kondisi penekanan imun, contoh: AIDS, kanker

2) Tanda :

a) Demam rendah atau sakit panas akut

k. Interaksi sosial

1) Gejala :
a) Perasaan isolasai / penolakan karena penyakit menular

b) Perubahan pola biasa dalam tannggung jawab/ perubahan

kapasitas fisik untuk melaksanakan peran

k. Penyuluhan dan pembelajaran

1) Gejala :

a) Riwayat keluarga TB (Spondiolisis TB)

b) Ketidakmampuan umum / status kesehatan buruk

c) Gagal untuk membaik / kambuhnya (Spondiolisis TB)

d) Tidak berpartisipasi dalam terapi

m. Pertimbangan

1) DRG menunjukkan rata-rata lama dirawat adalah 6,6 hari

n. Rencana pemulangan :

1) Memerlukan bantuan dengan / gangguan dalam terapi obat dan bantuan


perawatan diri dan pemeliharaan / perawatan rumah

2. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum : pasien tampak lemas dan meringis kesakitan


Kesadaran : composmentis
b. Tanda-tanda vital
 TD : 130/80 mmHg

 N : 100x/menit, reguler

 RR : 24x/menit
 S : 36,8 0c

 Skala nyeri : 7
c. Pemeriksaan Head to too
1. Kepala dan rambut
a. Kepala
Bentuk : Bulat, simetris ka/ki
Ubun-ubun : Trauma kepala tidak ada, tumor/ penonjolan massa
tidak ada
Kulit kepala : Bersih, tanda-tanda inflamasi tidak ada
b. Rambut
Penyebaran dan keadaan rambut : Rambut tipis, penyebaran
merata
Kebersihan : Rambut bersih, ketombe tidak ada
Jenis dan struktur rambut : Rambut keriting
c. Wajah
Warna kulit : Kuning sawo matang, tampak pucat
hipopigmentesi pada daerah ekstremitas atas dan thoraks,
rasanormal, hipestesi (-), anestesi (-)
Struktur wajah : Oval, simetris ka/ki
2. Mata
a. Bentuk : Simetris ka/ki
b. Palpebra : Tidak ada edema atau peradangan
c. Konjungtiva : anemis (+), skala ikterik (+)
d. Pupil : Isokor ka/ki isokor 3mm/3mm, refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
e. Kornea dan iris : Katarak tidak ada , peradangan tidak ada
f. Visus : Klien mampu membaca buku yang diberikan
(jarak ± 25cm)
3. Hidung
a. Tulang hidung dan posisi septum : Anatomis
b. Lubang hidung : Simetris ka/ki, secret tidak ada, edema tidak
ada, perdarahan tidak ada Deviasi septum (-), sekret (-/-),
epistaksis (-/-)
c. Cuping hidung : Gerakan cuping hidung tidak ada dalam
berusaha bernafas
4. Telinga
a. Bentuk telinga : Simetris ka/ki
b. Ukuran telinga : Anatomis
c. Lubang telinga : Simetris ka/ki, serumen dalam batas normal,
radang tidak ada, perdarahan tidak ada.
d. Ketajaman pendengaran : Mendengar dengan baik dan tanpa alat
bantu.
5. Mulut dan faring
a. Keadaan bibir : Pembengkakan tidak ada, lesi tidak ada,
mukosa bibir kering sianosis (-), bibir kering
b. Keadaan gusi / gigi : Lesi tidak ada, tidak terdapat karies gigi,
perdarahan gigi tidak ada
c. Keadaan lidah : Bersih, tidak ada peradangan
d. Orofaring : Tidak ada pembengkakan atau
peradangan
6. Leher
a. Posisi trakhea : Medial
b. Thyroid : Tidak terdapat Pembesaran kelenjar
c. Suara : Suara normal dan jelas
d. Kelenjar limfe : Kelenjar limfe teraba
e. Vena jugularis : Pembendungan vena jugularis tidak ada
f. Denyut nadi karotis : Peningkatan tekanan tidak ada
d. Pemeriksaan integument

1. Kebersihan : Kulit tampak bersih

2. Kehangatan : Kulit teraba hangat , suhu 36,8 0C

3. Warna : Sawo matang

4. Turgor : Turgor kulit >2 detik

5. Kelembaban : Kulit klien tampak lembab

6. Kelainan pada kulit : Tidak ada kelainan pada kulit

e. Pemeriksaan payudara dan ketiak

1. Ukuran dan bentuk payudara : Ukuran dan bentuk normal, simetris

ka/ki

2. Warna payudara dan areola : Kuning langsat, areola hitam

3. Kelainan payudara dan putting : Tidak ada kelainan pada

payudara dan puting

4. Aksila dan clavicula : Tidak ada pembengkakan axila dan

clavicula

f. Pemeriksaan thoraks / dada

1. Inspeksi thoraks

a. Bentuk thoraks : ada kelainan

b. Pernafasan

• Frekuensi : 24 x/i
c. Tanda dan kesulitan bernafas : dijumpai kesulitan bernafas

2. Pemeriksaan paru

a. Palpasi getaran suara : Getaran suara kiri dan kanan tidak sama

b. Perkusi : Suara dinding (abnormal)

c. Auskultasi : irreguler, Weezing

3. Pemeriksaan jantung

a. Inspeksi : Tampak adanya denyutan didinding thorax

b. Palpasi

Pulsasi : Teraba pulsasi jantung

c. Perkusi

Batas jantung : Batas jantung normal

d. Auskultasi

Bunyi jantung I : Lup (systole)

Bunyi jantung II : Dup (diastole)

Bunyi jantung tambahan : Bunyi jantung tambahan S3 dan S4

tidak terdengar

Murmur : Tidak terdengar adanya murmur

Frekuensi : 97 x/I

g. Pemeriksaan abdomen

1. Inspeksi

a. Bentuk abdomen : Perut datar, pelebaran vena (-)

b. Benjolan massa : Tidak ada benjolan massa


c. Bayangan pembuluh darah : Tidak tampak bayangan pembuluh

darah

2. Auskultasi

Peristaltik usus : Bising usus (+) 8x/i

3. Palpasi

a. Tanda nyeri tekan : kesan datar, NT

b. Benjolan massa : Tidak ada benjolan massa

c. Tanda acites : Tidak ada tanda ascites

d. Hepar : Tidak ada pembesaran hepar

e. Lien : Tidak ada pembesaran lien

f. Titik Mc. Burney : Ada nyeri tekan disekitar titik Mc.Burney

4. Perkusi

Suara abdomen : Tympani pada seluruh lapangan abdomen

Pemeriksaan acites : Tidak dijumpai adanya tanda acites

h. Pemeriksaan genitalia

1. Genitalia

a. Rambut pubis : rambut pubis pasien dicukur bila dilakuka

operasi

b. Lubang uretra : Ada

c. Kelainan pada genitalia eksterna dan daerah inguinal : Tidak ada

kelainan pada genitalia eksterna dan daerah inguinal pasien

2. Anus perineum
a. Lubang anus : Tidak dikaji

b. Kelainan anus : Tidak dikaji

c. Perineum : Tidak dikaji

i. Pemeriksaan muskuloskeletal/ekstremitas

1. Kesimetrisan otot : Simetris, edema (-)

2. Kekuatan otot : Kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah

kurang baik

3. Kelainan pada ekstremitas atas: terdapat kelengkugan pada tulang

belakang
2.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Akut
2. Hambatan Mobilitas Fisik
3. Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
4. Gangguan Citra Tubuh

2.2.3 Intervensi Keperawatan

N NURSING OUTCOME NURSING INTERVENTION


DIAGNOSA KEPERAWATAN
O CLASSIFICATION (NOC) CLASSIFICATION (NIC)
1 NYERI AKUT NOC NIC
Defenisi : Tujuan : Pain Management :
Pengalaman sensori dan  Pain Level :  Minta pasien untuk menilai
emosional yang tidak  Pain Control : nyeri /ketidak nyamanan pada
menyenangkan yang muncul  Comfort level skala 0-10 (0=tidak ada nyeri/
akibat kerusakan jaringan yang  Menunjukkan nyeri: efek merusak, ketidaknyamanan, 10 = nyeri
aktual atau potensial atau dibuktikan dengan indikator berikut yang sangat).
digambarkan dalam hal kerusakan (nilainya 1-5: ekstrem, berat, sedang,  Pantau nyeri sebelum dan
sedemikian rupa ringan atau tidak ada). sesudah pemberian analgesik,
Batasan Karakteristik : Kriteria Hasil : dan kemungkinan efek
 Perubahan selera makan  Penurunan penampilan peran atau sampingnya.
 Perubahan tekanan darah hubungan interpersonal.  Lakukan pengkajian nyeri
 Perubahan frekuensi jantung  Penurunan konsentrasi yangkomprehensif meliputi:

 Laporan isyarat  Terganggunya tidur lokasi, keparahan

 Diaforesis  Penurunan nafsu makan atau nyeri dan faktor presifasinya.

 Perilaku distraksi kesulitan menelan.  Observasi isyarat ketidak

 Menunjukkan tingkat nyamanan non verbal


 Mengekspresikan perilaku
nyeri:dibuktikan  Instruksikan kepada paisen
 Masker wajah
dengan indikator berikut (nilainya 1- untuk menginformasikan
 Sikap melindungi area nyeri
5: ekstrem, berat, sedang, perawat jikapenanganan nyeri
 Gangguan persepsi nyeri
ringan,atau tidak ada. tidak dapat dicapai.
 Gangguan tidur
 Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah  Kaji kultur yang mempengaruhi
 Dilatasi pupil
 Posisi tubuh melindungi respon nyeri
 Perubahan posisi untuk
 Kegelisahan atau ketegangan otot  Evaluasi bersama pasient
menghindari nyeri
 Perubahan dalam kecepatan  bantu pasien dan keluarga untuk
 Penurunan intraksi dengan
pernapasan,denyut jantung, atau mencari dan menemukan
lingkungan
tekanan darah. dukungan
 Indikasi nyeri yang dapat
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
diamati
Analgesic Administration :
Data Subjektif :
 Mengungkapkan secara  Tentukan lokasi, karakteristik,
verbal kualitas, dan derajat nyeri
 Melaporkan dengan isyarat sebelum diberi obat
Data Objektif :  Cek intruksi dokter tantang jenis
 Gerakan menghindar nyeri obat, dosis dan frekuensi
 Posisi menghindari nyeri  Cek riwayat alergi
 Perubahan autonomik dari  Pilih analgesik yang diperlukan
tonus otot. (kombinasi dari analgesik)
 Perubahan nafsu makan  Tentukan pilihan analgesik, rute,
 Perilaku distraksi pemberian dan dosis optimal

 Perilaku ekspresif  Monitol vital sign

 Wajah topeng (nyeri)  Evaluasi efektivitas analgesik

 Perilaku menjaga
 Fokus menyempit
 Berfokus pada diri sendiri
 Gangguan tidur

2 HAMBATAN MOBILITAS NOC NIC


FISIK
Definisi : Tujuan : Pain Management :
Keterbatasan dalam gerakan fisik Keseimbangan Manajemen Energi
atau satu atau lebih ekstermitas Penampilan Mekanik Tubuh  Kaji status fisiologis pasien
secara mandiri dan terarah Koordinasi Pergerakan yang memnyebakan kelelahan
Batasan Karakteristik : Kemampuan berpindah sesuai dengan konteks sia dan
 Gerakan tidak terkoordinasi perkembangan
 Gangguan sikap berjalan Kriteria hasil :  Anjurkan pasien
 Gerakan lambat  Mampu mempertahankan mengungkapkan perasaan
 Instabilitas postur keseimbangan saat duduk tanpa secara verbal mengenai

 Kesulitan membolak-balik sokongan pada punggung keterbatasan yang dialami

posisi  Mampu mempertahankan  Gunakan instrumen yang valid

 Keterbatasan rentang gerak keseimbangan dari posisi duduk ke untuk mengukur kelelahan
posisi berdiri  Pilih intervensi untuk
 Ketidaknyamanan
 Mampu mempertahankan mengurangi kelelahan, baik
 Penurunan kemampuan dalam
keseimbangan ketika berjalan secara farmakologis maupun
melakukan aktivitas
 Mampu mempertahankan postur secara non farmakologi dengan
tubuh yang benar untuk berdiri, tepat.

Data Subjektif :
duduk dan berbaring  Tentukan jenis dan banyaknya
 Mempertahankan kekuatan otot aktivitas yang dibutuhkan
 Mengungkapkan secara  Mampu mengontrol gerakan untuk menjaga ketahanan
verbal  Mampu berpindah dari tempat yang Peningkatan Latihan
 Melaporkan bahwa tak satu ke tempat yang lain  Lakukan skrining kesehatan
mampu menggerakan tbuh sebelum memulai latihan dan
dengan nyaman melengkapi pemeriksaan
Data Objektif : riwayat kesehatan dan fisik
 Gerakan lambat  Bantu pasien melakukan
 Posisi/postur tubuh yang gerakan yang dianjurkan tanpa
tidak seimbang. beban terlebih dahulu sampai
 Dibantu dalam melakukan gerakan benar sudah dipelajari
aktivitas  Demonstrasikan sikap tubuh
yang baik, dan tingkat bentuk
latihan dalam setiap bentuk
kelompok otot.
 Monitor respon pasien
terhadap program latihan,

3 KETIDAKSEIMBANGAN NOC NIC


NUTRISI KURANG DARI
KEBUTUHAN TUBUH
Defenisi : Tujuan: Manajemen nutrisi:
Asupan nutrisi tidak cukup untuk  Manajemen Nutrisi  Tentukan Motivasi Pasien
memenuhi kebutuhan metabolic a.Asupan gizi(skala5) Untuk Mengubah Kebiasaan
b.Asupan makanan (skala5) Makan
Batasan Karakteristik : c.Energy (skala4)  Pantau Nilai Laboratorium,
 Kesulitan mengunyah  Nafsu makan Khususnya Transferin, Albumin,
 Gangguan menelan a.Hasrat/keinginan untuk Dan Elektrolit
 Ketidakmampuan untuk makan (skala4)  Ketahui Makanan Kesukaan
menyiapkan makanan akibat b.Intake makanan (skala4) Pasien
deficit pergerakan c.Intake cairan (skala4)  Tentukan Kemampuan Pasien
 Keletihan  Berat badan massa tubuh Untuk Memenuhi Kebutuhan
 Menghindari makanan Nutrisi

 Berat badan 20% atau lebih  pantau Kandungan Nutrisi Dan


dibawah berat badan ideal Kalori Pada Catatan Asupan

 Gangguan psikologis  Berikan Informasiyang Tepat

 Tonus otot menurun Tentang Kebutuhan Nutrisi Dan

 Mengeluh asupan makanan Bagimana Memenuhinya

Data Subjektif :  Ajarkan Pasien/Keluarga

 Kram pada bagian punggung Tentang Makanan Yang Bergizi


 Nyeri punggung Dan Tidak Mahal
 Merasakan ketidak mampuan Pengolahan Nutrisi :
untuk menginginkan makanan  Diskusikan dengan Ahli Gizi
 Melaporkan perubahan sensasi Dalam Menentukan Kebutuhan
rasa Protein Untuk Pasien dengan
 Melaporkan kurangnya nafsu Ketidak adekuatan Asupan
makan Protein Atau Kehilangan Protein

 Merasa kenyang segera setelah  Tentukan Dengan Melakukan


menginginkan makanan Kolaborasi Bersama Ahli Gizi,

 Indigesti Secara Tepat Jumlah Kalori Dan

Data Objektif : Jenis Zat Gizi Yang Dibutuhkan

 Tidak tertarik untuk makan Untuk Memenuhi Kebutuhan


Nutrisi
 Adanya bukti kekurangan
makanan  Buat Perencanaan Makan
Dengan Pasien Untuk
 Bising usus yang hiperaktif
Dimasukkan Ke Dalam Jadwal
 Kurang informasi
Makan, Lingkungan Makan,
 Kurangnya minat pada makanan
Kesukaan/Ketidaksukaan
 Konjungtiva dan membrane
Pasien, Dan Suhu Makanan
mukosa pucat
 Tawarkan Makanan Porsi Besar
 Luka, rongga mulut inflamasi Di Siang Hari Ketika Nafsu
 Kelemahan otot yang Makan Tinggi
dibutuhkan untuk  Ciptakan Lingkungan Yang
menelan dan mengunyah Menyenangkan Untuk Makan

4 Gangguan citra tubuh NOC NIC

Defenisi : Tujuan: Pain Management :


Konfusi dalam gambaran mental 1. Kaji adanya gangguan citra diri
kriteria hasil:
tentang diri-fisik individu (menghindari kontak mata,
o Mengembangkan peningkatan
Batasan Karakteristik : kemauan untuk menerima keadaan ucapan merendahkan diri
diri.
 Berfokus pada penampilan
o Mengikuti dan turut berpartisipasi sendiri).
masa lalu
dalam tindakan perawatan diri.
 Depersonaliasi bagian tubuh
o Melaporkan perasaan dalam 2. Identifikasi stadium psikososial
melalui penggunaan kata
ganti impersonal pengendalian situasi.
o Menguatkan kembali dukungan terhadap perkembangan.
 Gangguan fungsi dan struktur
tubuh positif dari diri sendiri.
 Gangguan pandangan tentang 3. Berikan kesempatan
tubuh seseorang (penampilan,
struktur, fungsi) pengungkapan perasaan.
 Persepsi yang mereflesikan
perubahan pandangan tentang 4. Nilai rasa keprihatinan dan
penampilan tubuh ketakutan klien, bantu klien
 Menolak menerima
perubahan tubuh yang cemas mengembangkan
Data Subjektif :
kemampuan untuk menilai diri
 Mengungkapkan kehilangan
secara verbal dan mengenali masalahnya.
 Melaporkan keadaan tidak 5. Dukung klien untuk
nyaman
memperbaiki citra diri , seperti
Data Objektif :
 Tampak menghindar merias dan merapikan diri.

 Perubahan respon nonverbal 6. Mendorong sosialisasi dengan


pada tubuh .
orang lain.
2.2.4 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan, yakni proses
yang dilakukan secara terus-menerus dan penting untuk menjamin kualitas serta
ketepatan perawatan yang diberikan dan dilakukan dengan meninjau respon untuk
menentukan keefektifan rencana dalam memenuhi kebutuhan pasien. Perawat
mengevaluasi apakah perilaku dan respon pasien mencerminkan suatu kemunduran
atau kemajuan dalam diagnosa keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat
selama perawatan, perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan
sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon pasien dan membandingkan
dengan perilaku yang di sebutkan dalam hasil yang diharapkan (Doenges, 2013).
Sejalan dengan telah di evaluasi pada tujuan, penyesuaian terhadap rencana asuhan
dibuat sesuai dengan keperluan. Jika tujuan terpenuhi dengan baik perawat
menghentikan rencana asuhan keperawatan tersebut dan mendokumentasikan analisa
masalah teratasi. Tujuan yang tidak terpenuhi dan tujuan yang sebagian terpenuhi
mengharuskan perawat untuk melanjutkan rencana atau memodifikasi rencana asuhan
keperawatan selanjutnya.

2.2.5 Resume EBN (Evidance Based Nursing)


Pada praktek belajar lapangan komprehensif berdasarkan resume EBN
(Evidance Based Nursing) dari penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2018), dengan
judul jurnal “Analisis Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Klien Post PLF atas
Indikasi Spondilitis TB dengan Intervensi Inovasi Range of Motion dan Core
Stability Excersice terhadap Peningkatan Kekuatan Otot di ruang Intensive Care
(ICU) RSUD Abdul Wahab Sjharanie Samarinda”
Spondiolisis tuberkulosis (TB) adalah peradangan granulutoma yang bersifat

kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang

dan sering dikenal dengan Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral

osteomyelitis. Spondiolisis tuberkulosa ini merupakan bentuk penyakit berbahaya dari


tubercolosis muskuloskletal karena dapat menyebabkan destruksi paraplegia. Kondisi

umumnya melibatkan vertebra thorakal dan lumbosakral. Vertebra thorakal bawah

merupakan daerah paling banyak terlibat (40-50%), dengan veterbra lumbal

merupakan tempat kedua terbanyak (35-45%). Sekitar 10% kasus melibatkan

vertebra servikal.

Dalam penelitian Irawan, sampel adalah pasien post op yang mengalami

penuruan mobilitas dengan melakukan Range Of Motion atau latihan penguatan otot-

otot khususnya anggota gerak bawah. Di perkirakan 25% mengalami gangguan

keseimbangan dan gerak akan menurunkan kemampuan aktivitas, oleh karena itu

Range Of Motion dapat membantu meningkatkan pergerakan sendi. Core Stability

Excersice adalah untuk mengatur posisi gerak dari trunk sampai ke pelvis dilakuan

gerak secara optimal untuk mempertahankan stabilitas dan gerak pada saat aktivitas.

Kerja Core Stability Excercise memberikan suatu pola adanya stabilitas proksimal ke

distal yang digunakan untuk mobilisasi. Tujuan penelitian ini untuk melakukan

analisis praktek klinik pada pasien Post PLF atas indikasi Spondilitis TB dengan

inovasi intervensi Range of Mution dan Care Stability Exercise terhadap Peningkatan

Kekuatan otot di ruang itensive care unit (ICU) RSUD A.W. Sjahranie Samarinda.

Hasil analisa menunjukkan setelah di berikan perlakuan belum ada peningkatan

signifikan pada kekuatan otot.


Pada kasus kelolaan, klien mengatakan nyeri pada punggung belakang post

operasi PLf, tidak bisa mengerakkan kedua kaki dan didapatkan hasil pemeriksaan

TD=116/76 mmhg, RR= 24x/menit, N= 86x/menit dan T=37,4 C. Diagnosa yang

muncul pada pasein nyeri akut agen cidera fisik , resiko infeksi dengan faktor resiko

preosedur invasiv, gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan

otot, kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fator mekanik. Hasil evaluasi

implementasi dilakukan selama 3 hari secara berturu-turut, prognosis klien menjadi

lebih baik dari 5 diagnosa 1 belum teratasi. Dan hasil analisa pada klien dengan

dilakukan Rangge of mution dan Care Stability Excersice didapatkan hasil tidak ada

terjadinya peningkatan signifikan pada kekuatan otot pada pasein Spondilitis TB.

2.2.6 Discharge Planning

1. Pengertian Discharge Planning

Discharge planning merupakan suatu kegiatan perawat dalam asuhan


keperawatan untuk memberikan pendidikan dari pasien masuk rumah sakit sampai
dengan kepulangan pasien (Pertiwiwati, 2016).
Pelaksanaan discharge planning yang baik dan berhasil maka kepulangan
pasien dari rumah sakit tidak akan mengalami hambatan serta dapat mengurangi hari
atau lama perawatan dan mencegah kekambuhan yang tentu saja akan mengurangi
biaya perawatan, namun sebaliknya apabila discharge planning tidak dilaksanakan
dengan baik dapat menjadi salah satu faktor yang memperlama proses penyembuhan
dan dapat mengalami kekambuhan dan dilakukan perawatan ulang (Pemila, 2011
dalam Hardivianty 2017).
2. Tujuan

a. Tujuan Umum

Discharge planning bertujuan untuk memperpendek jumlah hari rawatan,


mencegah resiko kekambuhan gejala spondilis TB, meningkatkan
perkembangan kondisi kesehatan pasien spondilis TB dan menurunkan beban
perawatan bagi keluarga.
b. Tujuan Khusus

 Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial


 Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga
 Meningkatkan perawatan yang berkelanjutan kepada pasien spondilis TB.
3. Manfaat Discharge Planning

Perencanaan pulang mempunyai manfaat sebagai berikut (Nursalam, 2015):


1. Memberi kesempatan kepada pasien untuk mendapatkan pengajaran terkait
penyakit spondilis TB selama dirumah sakit sehingga bisa di manfaatkan
sewaktu dirumah.
2. Memberikan tindak lanjut yang sistematis yang digunakan untuk menjamin
kontinuitas perawatan pasien spondilis TB.
3. Mengevaluasi pengaruh dari tindakan intervensi yag terencana pada
penyembuhan pasien spondilis TB dan mengidentifikasi kekambuhan dan
kebutuhan perawatan baru.
4. Membantu kemandirian pasien dalam kesiapan melakukan perawatan
dirumah.

4. Prinsip-prinsip Discharge Planning

1. Pasien merupakan fokus dalam perencanaan pulang. Nilai keinginan dari


kebutuhan pasien perlu di kaji dan di eveluasi.
2. Kebutuhan dari pasien di identifikasi. Kebutuhan ini dikaitkan dengan masalah
yang mungkin timbul pada saat pasien pulang nanti, sehingga kemungkinan
masalah yang timbul di rumah dapat segera di antisipasi.
3. Perencanaan pulang di lakukan secara kolaboratif. Perencanaan pulang
merupakan pelayanan yang multi disiplin dan setiap tim harus saling bekerja
sama.
4. Perencanaan pulang di sesuaikan dengan sumber daya dan fasilitas yang ada.
Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang disesuaikan dengan
pengetahuan dari tenaga yang tersedia atau fasilitas yang tersedia di
masyarakat.
5. Perencanaan pulang dilakukan pada setiap sistem pelayanan kesehatan. Setiap
pasien yang masuk, maka perencanaan pulang harus dilakukan.

5. Jenis-jenis Dicharge Planninng

Chesca, (1982 dalam Nursalam, 2015) mengklasifikasikan jenis pemulangan


pasien sebagai berikut:
1. Conditioning discharge (pulang sementara atau cuti), keadaan pulang ini
dilakukan apabila kondisi pasien baik dan tidak terdapat komplikasi. Pasien
untuk sementara dirawat dirumah namun harus ada pengawasan dari pihak
rumah sakit atau puskesmas terdekat.
2. Absolute discharge (pulang mutlak atau selamanya), cara ini merupakan akhir
dari hubungan pasien dengan rumah sakit. Namun apabilan dirawat kembali
maka prosedur keperawatan dapat dilakukan kembali.
3. Judicial discharge (pulang paksa), kondisi ini pasien diperbolehkan pulang
walaupun kondisi kesehatan tidak memungkinkan untuk pulang, tetapi pasien
harus dipantau dengan melakukan kerja sama dengan keperawatan puskesmas
terdekat.
6. Hal-hal yang harus diketahui pasien sebelum pulang

1. Instruksi tentang penyakit yang di derita (Spondiolisis TB), pengobatan yang


harus dijalankan, serta masalah-masalah atau komplikasi yang dapat terjadi.
2. Informasi tertulis tentang keperawatan yang harus dilakukan di rumah.
3. Pengaturan diet khusus dan bertahap yang harus dilakukan.
4. Jelaskan masalah yang mungkin timbul dan cara mengantisipasi.
5. Pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada keluarga maupun pasien dapat
digunakan metode ceramah, demonstrasi dan lain-lain.

7. Konsep Peran Educator perawat dalam Pelaksanaan Discharge Planning

Keberhasilan peran educator perawat dalam perencanaan pulang (discharge


planning) antara lain (Potter & Perry,2005 dalam Darliana, 2012):
1. Pasien dan keluarga memahami diagnosa, antisipasi tingkat fungsi, obat-
obatan dan pengobatan ketika pulang, antisipasi perawatan tingkat lanjut, dan
respons jika terjadi kegawatdaruratan.
2. Pendidikan khusus pada keluarga dan pasien untuk memastikanperawatan
yang tepat setelah pasien pulang.
3. Berkoordinasi dengan sistem pendukung di masyarakat, untukmembantu
pasien dan keluarga kembali kerumahnyadan memiliki koping terhadap
perubahan status kesehatan pasien.
4. Melakukan relokasi dan koordinasi sistem pendukung ataumemindahkan
pasien ke tempat pelayanan kesehatan lain.
Dan dalam hal perencanaan pulang ini, pasien sudah siap dan telah mengerti
pengajaran selama perawatan dirumah sakit yaitu tentang penkes yang dikenal
dengan “METHOD” dan di sesuaikan dengan kebijakan masing-masing rumah sakit
(Slevin, 1996 dalam Darliana 2012).
M :Medication
Pasien di harapkan mengetahui tentang : nama obat, dosis yang harus dikonsumsi,
waktu mengonsumsi obat, efek obat, gajala yang mungkin menyimpang dari efek
obat dan hal-hal spesifik lain yang perlu dilaporkan.
E :Environment
Pasien akan dijamin tentang, instruksi yang adekuat mengenai ketrampilan-
ketrampilan penting yang diperlukan di rumah, investigasi dan koreksi berbagai
bahaya di lingkungan rumah, suppor emosional yang adekuat, investigasi sumber
dukungan, investigasi transportasi yang akan digunakan klien.
T :Treatment
Pasien dan keluarga dapat mengetahui tujuan perawatan yang akan dilanjutkan
dirumah, serta mampu mendemonstrasikan cara perawatan dengan benar.
H :Healt
Pasien akan dapat mendeskripsikan bagaimana penyakitnya atau kondisinya yang
terkait dengan fungsi tubuh, mendeskripsikan makna-makna penting untuk
memelihara derajat kesehatan menjadi lebih sehat.
O :Outpatient Referral
Pasien dapat mengetahui waktu dan tempat dan kontrol kesehatan, mengetahui
dimana, dan siapa yang dapat dihubungi untuk membantu perawatan dan
pengobatannya.
D :Diet
Pasien diharapkan mampu mendeskripsikan tujuan pemberian diet, merencanakan
jenis-jenis menu yang sesuai dengan dietnya.
Menurut Spath, (2003, dalam Darliana, 2012) bahwa dalam mengevaluasi
keberhasilan discharge planning perlu dilakukan follow-up setelah pasien pulang
dari rumah sakit yang dapat dilakukan melalui telepon atau kontak dengan keluarga
serta pelayanan kesehatan yang ikut memberikan perawatan pada pasien. Karena
follow-up merupakan kunci untuk menjamin kontinuitas perawatan pasien.
Tujuan follow-up adalah:
1. mengevaluasi dampak intervensi yang telah diberikan selama perawatan
pasien dan mengidentifikasi kebutuhan perawatan yang baru.
2. Mengkaji efektifitas dan efesiensi proses discharge planning.
3. Informasi tentang nomor telepon layanan keperawatan, medis dan kunjungan
rumah apabila pasien memerlukan bantuan.

8. Pendidikan Untuk Pasien (Education)

1. Informasikan kepada pasien/keluarga tentang kepatuhan minum obat dan


kepatuhan diet untuk dapat mencegah kekambuhan Spondiolisis TB.
2. Instruksikan kepada pasien/keluarga bahwa mereka harus memberitahukan
kepada perawat pada saat terjadinya kekambuhan di rumah.
3. Informasikan cara mengidentifikasi penyakit Spondiolisis TB.
4. Informasikan tentang kebutuhan nutrisi, asupan gizi dan makanan yang
bervitamin dan bagaimana memenuhi kebutuhan asupan gizi.

9. Pasien safety

Komisi akreditasi rumah sakit (KARS) telah menetapkan Standar Nasional


Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) sebagai acuan dalam menjalankan pelayanan
kesehatan khususnya di rumah sakit. Salah satu bagian dalam Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) mengatur tentang keselamatan pasien (patient
safety) yang bertujuan untuk mendorong peningkatan mutu pelayanan rumah sakit
dan keselamatan pasien (KARS, 2018).
Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem membuat asuhan
pasien di pelayanan kesehatan (rumah sakit) menjadi lebih aman. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Hampir
setiap tindakan medis menyimpan potensi beresiko, banyaknya jenis obat, jenis
pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf RS yang cukup besar,
merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors).
Menurut Institute of Medicine (1999), kesalahan medis (medicalerrors) di
definisikan sebagai suatu kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk
diselesaikan tidak seperti yang diharapkan yaitu, kesalahan tindakan atau
perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan. Kesalahan yang terjadi dalam
proses asuhan medis ini akan mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near
Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD).
Adapun tujuan dari “Patient safety” adalah :
(1). Terciptanya budaya keselamatan pasien
(2). Meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat
(3). Menurunnya KTD di RS
(4). Terlaksana program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.
Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat
melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission). Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan
pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission), dan bukan karena “underlying disease” atau kondisi
pasien.WHO (2004), telah mencanangkan World Alliance for Patient Safety,
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event) program bersama dengan berbagai
negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit. Di Indonesia, telah
dikeluarkan pula Kepmen No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit
Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan
medis prima di rumah sakit yang jauh dari medicalerror dan memberikan
keselamatan bagi pasien. Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit
untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien
mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error, maka
dikembangkan system Patient Safety yang dirancang mampu menjawab
permasalahan yang ada. Dalam hal ini untuk Manajemen Kasus Pada Pasien Ny. A
Dengan Gangguan Sistem Musculuskletal Sposndiolisis TB Di Ruang I Rumah Sakit
Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan perlu perencanaan patien safety.

a. Standar Keselamatan Pasien antara lain meliputi:

1) Hak pasien

2) Pendidikan bagi pasien dan keluarga

3) Keselamatan Pasien dalam kesinambungan pelayanan

4) Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan


peningkatan Keselamatan Pasien

5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan Keselamatan Pasien

6) Pendidikan bagi staf tentang Keselamatan Pasien

7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai Keselamatan Pasien.

b. Sasaran Keselamatan Pasien, meliputi tercapainya hal-hal:


1) Mengidentifikasi pasien dengan benar

2) Meningkatkan komunikasi yang efektif

3) Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai

4) Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,


pembedahan pada pasienyang benar

5) Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan

6) Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh


C. Tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien, terdiri atas:
1) Membangun kesadaran akan nilai Keselamatan Pasien

2) Memimpin dan mendukung staf

3) Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko

4) Mengembangkan sistem pelaporan

5) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien

6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan Pasien

7) Mencegah cedera melalui implementasi sistem Keselamatan Pasien


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian pasien dengan Spondiolisis Tb secara teori akan sama. Meskipun
gambaran klinisnya bervariasi untuk semua jenis Spondiolisis Tb. Dimana riwayat
kesehatan dapat menunjukkan tanda dan gejala yang dapat dikeluhkan pasien atau
penderita dan tampak dalam pemeriksaan fisik. Adapun yang mungkin ditemukan
pada pemeriksaan klinis adalah demam, penurunan berat badan, kehilangan nafsu
makan, mudah lelah, nyeri punggung kiri, tubuh kaku, terdapat benjolan pada paha,
terdapat masa di tulang belakang, kiposis, terdapat kelemahan pada tungkai.
Pemeriksaan laboratorium didpatkan bahwa secara uji mantoux didapatkan positif
tuberkolosis, secara uji kutur bitkan bakteri dan BTA di temukan Mycobacterium, dan
secara pemeriksaaan hispotologis di temukan tuberkel.
Spondiolisis tuberkulosis (TB) adalah peradangan granulutoma yang bersifat
kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang
dan sering dikenal dengan Pott’s disease of the spine atau tuberculousvertebral
osteomyelitis (Indra, 2018).
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan kepada pasien, ditemukan
gejala klinik yang dialami pasien yaitu badan membengkok kebelakang, nafsu makan
menurun, mudah lelah, nyeri pada punggung kiri, ini sesuai dengan teori yang telah
dijelaskan.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Secara teoritis diagnosa yang muncul yaitu: hipertermi, resiko jatuh, ansietas,
cairan kurang dari kebutuhan tubuh. Sedangkan pada kasus Spondiolisis Tb, diagnosa
yang muncul adalah sebagai berikut: Nyeri akut, Hambatan mobilitas fisik, Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh, dan Gangguan citra tubuh.
3.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi yang telah dilakukan untuk kasus Spondiolisis TB yaitu melalukan
latihan Range Of Motion (ROM) dan Core Stability Excersice. Range Of Motion
dapat membantu meningkatkan pergerakan sendi sedangkan Core Stability Excersice
untuk mengatur posisi gerak dari trunk sampai ke pelvis agar mampu
mempertahankan stabilitas dan gerak pada saat aktivitas (mobilisasi). Hasil penelitian
dari Hesti (2016), menyatakan bahwa untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien
Spondiolisis Tb yaitu dengan melakukan teknik non farmakologi seperti pemberian
kompres hangat, teknik relaksasi nafas dalam dan distraksi serta melakukan massase.
Sedangkan untuk pengobatan Spondiolisis Tb dilakukan dengan pemberian obat
antibiotik yaitu OAT (ethambutol 500 mg, pirazinamida 500 mg, rifampicin 600 mg,
isoniazid 300 mg) yang bertujuan untuk membunuh kuman tuberkolosis (Purniti,
2008; Hesti 2016) dan beberapa obat farmakologi lainnya untuk mengurangi nyeri
yang diberikan secara resep Dokter.

3.4 Implementasi Keperawatan


Pada diagnosa keperawatan nyeri akut pada pasien dengan mengajarkan pasien

teknik non farmakologi seperti pemberian kompres hangat, teknik relaksasi nafas

dalam, distraksi dan massase, sebelum itu perawat terlebih dahulu melakukan

pengukuran skala nyeri terhadap yang dirasakan pasien. Pada diagnosa hambatan

mobilitas fisik, perawat dapat membantu pasien dengan mengarahkan pasien pada

posisi yang lebih nyaman dan melakukan skrining kesehatan sebelum memulai

latihan serta mengajari pasien membatasi kegiatan berlebih yang mampu

membayakan keadaan posisi pasien. Pada diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh, perawat dapat membantu pasien dengan memberikan gizi yang tepat dan
sesuai dengan kebutuhan dan selera pasien, sedikit tapi sering dapat meningkatkan

kebutuhan nutrisi pasien. Sedangkan pada diagnosa gangguan citra tubuh, perawat

dapat membantu pasien dengan memberi dukungan, motivasi kepada pasien untuk

mengubah perasaan dan memperbaiki citra diri , seperti merias dan merapikan diri

serta mendorong bersosialisasi dengan orang lain. Dan memberikan penkes pada

keluarga pasien terkait tentang penyakit Spondiolisis Tb dan dibantu dengan

kolaborasi dengan dokter dalam pemerian obat analgetik untuk mengurangi nyeri.

3.5 Evaluasi Keperawatan


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama tiga hari pada diagnosa
keperawatan yang muncul menunjukkan bahwa pada diagnosa keperawatan nyeri akut
pada hari ketiga masih belum teratasi dan intervensi dilanjutkan yaitu mengkaji skala
nyeri, menindak lanjutkan intervensi seperti kompres hangat, teknik relaksasi nafas
dalam, distraksi dan juga massaese kepada pasien serta mengkaji kondisi pasien setiap
1 kali dalam 8 jam. Pada diagnosa hambatan mobilitas fisik pada hari ke tiga juga
masih belum teratasi sehingga intervensi dilanjutkan seperti melatih pasien tentang
kekuatan otot belajar menyeimbangkan tubuh serta memberikan posisi baik dan
nyaman pada pasien. Pada diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, pada hari
ketiga masih belum juga teratasi dan intervensi juga dilanjutkan yaitu meningkatkan
nutrisi dan menyesuaikan nutrisi sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedangkan
diagnosa gangguan citra diri setelah hari ke tiga, diagnosa teratasi sehingga intervensi
dihentikan.

3.6 Evidance Based Nursing


Memberikan penkes kepada klien dan keluarga klien terkait penyakit

Spondiolisis Tb. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indra dan
Pipit (2018) dengan judul jurnal “Analisis praktek klinik pada pasien Post PLF atas

indikasi Spondilitis TB dengan inovasi intervensi Range of Mution dan Care Stability

Exercise terhadap Peningkatan Kekuatan otot di ruang itensive care unit (ICU)

RSUD A.W. Sjahranie Samarinda”, dan Berdasarkan jurnal perawat diharapkan dapat

mensosialisasikan kepada orangtua maupun keluarga klien terkait pendidikan

kesehatan tentang penyakit Spondiolisis Tb guna mencegah penularan bakteri

Myobacterium tubercalosis. Dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Hesti (2016)

dengan judul jurnal “Upaya Penurunan Nyeri pada pasien Tn.S dengan Spondiolisis

Tuberkulosis di Rs Orthopedi Prof. DR.R.Soeharso Surarkarta” menyatakan

intervensi yang dilakukan perawat pada kasus Spondiolisis Tb untuk mengatasi nyeri

yaitu melakukan teknik non farmakologi seperti pemberian kompres hangat, teknik

relaksasi nafas dalam, distraksi dan massase untuk mengurangi rasa nyeri.

3.7 Discharge Planing


Discharge planning yang diberikan kepada pasien dan keluarga sebelum pulang
dari rumah sakit yaitu tentang memberikan penkes tentang penyakit infeksi
Myobacterium tubercalosis, mengatur pola makan dan memberikan penkes tentang
kompres efektif ketika terjadi nyeri.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dalam Menjalani Praktek Belajar Lapangan Komprehensif (PBLK) selama 7

bulan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan, penulis banyak

mendapatkan wawasan khususnya dalam mengaplikasikan praktek asuhan

keperawatan untuk mengelola kasus secara mandiri secara professional berdasarkan

konsep dan teori yang ada serta dengan lahan praktek yang dijumpai dilapangan.

Dari hasil pengkajian yang dilakukan penulis, penulis mendapatkan diagnosa

pada pasien tersebut . Diagnosa yang timbul yang didapatkan penulis adalah Nyeri

akut, hambatan mobilitas fisik, nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, dan gangguan

citra tubuh. Setelah diagnosa, penulis baru lanjutkan pada tahap berikutnya yaitu

tahap perencanaan, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Hasil evaluasi yang

diterapkan pada saat kegiatan PBLK ini cukup baik dan keluarga klien juga sangat

kooperatif saat diwawancara untuk mendapatkan data pasien.

4.2 Saran

4.2.1 Bagi Mahasiswa

Dihararapkan mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan dan di

aplikasikan pada dunia kesehatan yang nyata dan mampu memberikan


pendidikan kesehatan kepada keluarga pasien maupun pasien serta tidak

membedakan agama, ras, dan etnis.

4.2.2 Bagi Lahan Praktek

Diharapkan pihak dari rumah sakit lebih aktif dalam memberikan pendidikan

kesehatan kepada kelurga dan pasien untuk lebih mengingatkan pengetahuan

keluarga dalam perawatan pasien.

4.2.3 Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan institusi pendidikan dapat melatih mahasiswa/i untuk melakukan

standart asuhan keperawatan secara maksimal supaya tercipta perawat yang

professional dan berdediaksi dalam melakukan asuhan keperawatan kepada

pasien.

Anda mungkin juga menyukai