Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH STUDI KASUS

FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK


‘’ GERD ”

Dosen pengampu : Dwi Ningsih, M.Farm., Apt.

Kelompok 3 (A3) :
1. Farida 1820353892
2. Fatmawati A. Djahuno 1820353893

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
2018
BAB I
GERD

A. Pengertian GERD
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks
Gastroesofagel) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan
dari mekanisme antirefluks untuk melindungi mukosa esophagus terhadap
refluks asam lambung dengan kadar yan abnormal dan paparan yang berulang.
Gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana esophagus
mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks
terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung
mengalir kembali menuju esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian
bawah tidak  berfungsi sebagaimana mestinya.
Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari
lambung ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan suatu penyakit, bahkan keadaan
ini merupakan keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang,
khususnya pada saat makan banyak tanpa menghasilkan gejala atau tanda
rusaknya mukosa esophagus.
Tubuh manusia hakikatnya mencai keseimbangan dalam segala bentuk.
GERD adalah sederhana dari ketidakseimbangan pH dalam jangka panjang.
Ketika terlalu banyak mekanan asam dikonsumsi, lambung tidak dapat mencerna
secara lengkap. Makanan lebih yang tidak dicerna kemudian diubah menjadi
sampah asam yang menyebabkan kejang perut atau kejang yang mengarah pada
peningkatan produksi gas. Gas ini meningkatkan tekanan untuk membuka katup
antara esophagus dan lambung sehingga asam lambung kembali ke tenggorokan.
B. Epidemiologi
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua
umur, umum ditemukan pada populasi di negara-negara barat, namun dilaporkan
relatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan
bahwa 1:5 orang dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau regurgitasi)
sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali
dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%,
sementara di negara-negara non-westerin prevalensinya lebih rendah (1,5% di
China dan 2,7% di Korea). Prevalensi GERD meningkat pada meningkat pada
orang tua ≥ 40 tahun. GERD terjadi pada sebagian umum laki-laki daripada
wanita. Rasia kejadiaan laki-laki dan wanita untuk esophagitis adalah 2:1 – 3:1.
Rasio kejadiaan laki-laki dan perempuan untuk Barrettesofagus adalah 10:1. Di
Indonesia sendiri belum ada data epidemiolodi mengenai penyakit ini, namun di
Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI – RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalai pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.
C. Etiologi
Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat
terjadi oleh karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada
barrier diantara esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh
karenas fingter esophagus bagian bawah yang inkompeten, relaksasi dari sfingter
esophagus bagian bawah yang bersifat sementara, terrganggunya ekspulsi dari
refluks lambung dari esophagus, atau pun hernia hiatus.

D. Patofisiologi
Penyakit
refluks
gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat sebagai akibat dari
refluks gastroesofageal apabila: 1). terjadi kontak dalam waktu yang cukup
lama antara bahan refluksat dengan mukosa, 2). terjadi penurunan resistensi
jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan
esofagus
tidak lama.
Esofagus
dan gaster
dipisahkan
oleh suatu
zona
tekanan
tinggi (high
pressure
zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophagealsphincter (LES). Pada individu
normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran
antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau retrograd yang terjadi pada saat
sendawa atau muntah. Aliran balik gaster ke esofagus melalui LEShanya terjadi
apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 rnmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:

1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat.


2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan.
3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD


menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah
pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini
kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

1. Pemisah Antirefluks (Lini Pertama)


Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd
pada saat terjadinya peningkatan tekanan intrabdomen. Sebagian besar
pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan tonus LES:
a. Adanya hiatus hernia.
b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya).
c. Obat-obatan sepertiantikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan
lain-lain.
d. Faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron
dapat menurunkan tonus LES.

Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak


bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan
dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR),
yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik
tanpa didahuluiproses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR
ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan
pengosongan lambung lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih


kontroversial.Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES
2. Bersihan Asam dari Lumen Esofagus (Lini Kedua)
Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah
gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks,
sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan
peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir
oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak
antara bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata
memiliki waktu transitesofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul
disebabkan karena peristaltik esofagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflex) lebih besar berpotensi
menimbulkan kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar
mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
3. Ketahanan Epitelial Esofagus (Lini Ketiga)
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki
lapisanmukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan
epitelial esofagusterdiri dari:
 Membran sel
 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esofagus.
 Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan
bikarbonat, sertamengeluarkan ion H+ dan CO2.
 Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+
dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel


esofagus,sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel
terhadap ion H+. Yang dimaksud dengan factor ofensif adalah potensi daya
rusak adalah potensi dayarusak refluksat. Kandungan lambung yang
menambah potensi daya rusak refluksatterdiri dari HCl, pepsin, garam
empedu, enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang


dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH
<2,atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang
memilikipotensi daya rusak paling tinggi adalah asam.

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD


adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis,
antara lain: dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric
emptying.

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam pathogenesis GERD relatif


kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada
hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A
positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett' esophagus dan adeno karsinoma
esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada
distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala
refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antralgastritis, pengaruh
eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu
pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori
dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat
meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada
pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral
predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD
serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien
dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant
gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta
meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka Panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis
atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan
padapasien GERD sebelum pengobatan PPl jangka panjang.

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa


non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD.
Yang dimaksud dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat
yang tidak bersifat asamatau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala
GERD diduga karenahipersensitivitas viseral.

E. Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak
diepigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan
sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala
disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di
lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang- kadang timbul rasa tidak enak
retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia
yang timbul saat makanmakanan padat mungkin terjadi karena striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barrett' es esofagus. Odinofagia (rasa sakit
pada waktu menelan makanan Pada waktu menelan makanan) dapat timbul jika
sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma.
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi
untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah
gastroesophagealhigh pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang
menurunkan toms LES (misalnya theofilin).
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi
episodeakut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu,
umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.
F. Diagnosa
Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama,
beberapa:pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnoses
GERD, yaitu:
1) Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esofagus (esophagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi
dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat
menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala
GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan
ini disebut sebagai non-erosive reflex disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut
disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat
memastikan adanya Barret’s esophagus displasia atau keganasan. Tidak
ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaanhistopatologi/biopsi
pada NERD.
2) Esofagografi dengan Barium
Dibandingkan dengan endoskopi pemeriksaan ini kurang peka dan
sering kali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa
penebalan dinging dan lipatan mukosa, atau penyempitan lumen.
Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD,
namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyainilai lebih dari
endoskopi, yaitu pada
a) Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala
disfagia.
b) Hiatus hernia
3) Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian
distalesofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkanmikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. pengukuran
pH pada esofagus bagiandistal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4) Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1
M dalam waktu kurang dari sam jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap
monitoring pH 24 jam padapasien-pasien dengan gejala yang tidak khas.
Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeridada seperti yang biasanya dialami
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri, maka test ini
dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan
adanya nyeri yang berasal dari esofagus.
5) Manometri Esofagus
Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-
pasiendengan gejala nyeri epigastriurn dan regurgitasi yang nyata
didapatkan esofagografibarium dan endoskopi yang normal.
6) Sintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan
padatyang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya
technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter)
eksternal akan memonitortransit dari cairan/ makanan yang dilabel
tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test inimasih diragukan
7) Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Test/
Tessupresiasam) Acid Supression Test.
Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala
dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1 -2 minggu
sambil melihat respons terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak
tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain.
Test ini dianggap positif jika terdapatperbaikan dari 50%-75% gejala yang
teriadi. Dewasa ini terapi empiric/PPI test merupakan salah satu langkah
yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan
kesehatan lini pertama. Untuk pasien-pasien yang tidak disertaidengan
gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan
turun,anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga
dengan kanker esofagus/lambung) dan umur >40 tahun.
G. Tatalaksana Terapi
1. Tujuan terapi
Tujuan dari pengobatan adalah untuk meringankan/mengurangi
gejala , mengurangi frekuensi dan durasi refluks gastroesofagus,
meningkatkan penyembuhan mukosa yang terluka dan mencegah
berkembangnya komplikasi.
2. Terapi non farmakologi
Perubahan gaya hidup tergantung dari kondisi pasien. Perubahan gaya
hidup yang dapat dilakukan antara lain:
 Meningkatkan posisi kepala saat tidur atau berbaring.
 Mengurangi berat badan bagi pasien dengan obesitas
 Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan sfincter
esofagus (LES) dan makanan yang dapat mengiritasi mukosa esofagus
 Megkonsumsi makanan yang kaya protein untuk meningkatkan
tekanan sfincter esofagus (LES)
 Makanan makanan dalam jumlah sedikit dan hindari makan dalam
jumlah banyak sekaligus terutama pada 2-3 jam sebelum tidur
 Berhenti merokok, minum minuman beralkohol,
 Hindari memakai pakaian yang ketat
 Jika akan menkonsumsi obat yang dapat mengiritasi mukosa esofagus,
maka harus diminum dengan posisi tegak dan dengan air yang banyak.
3. Terapi farmakologi
Terapi di kategorikan dalam beberapa fase.
Fase I : untuk pasien dengan gejala ringan terpai dapat dilakukan
dengan mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan
antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H 2 (ARH2) atau inhibitor
pompa proton (IPP).
Fase II : untuk pasien dengan gejala GERD, intervensi farmakologi
terutama engan obat penekan asam dosis tinggi.
Fase III : untuk pasien yang telah mengalami esofagitis dan gejala
GERD sedang hingga berat, diikuti dengan intervensional terapi
(pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal)
BAB II

STUDI KASUS

KASUS 3 : GERD
Kasus 3. GERD Ny. A , 30 tahun datang ke KDK FKUI kiara pada tanggal 11 juni
2013 dengan keluhan sesak nafas disertai nyeri dada, perut perih, batuk, tenggorokan terasa
asam dan pahit. Hal ini dirasakan setiap saat sejak 2 minggu yang lalu. Pada tanggal 14 juni
2013 pada saat kunjungan, pasien dalam keadaan dapat berjalan aktif, duduk aktif, tampak
pucat. Keluhan yang masih dirasakan adalah badan masih terasa lemas. Aspek personal dari
pasien berupa keluhan sesak nafas sejak ± 2 minggu. Harapan pasien keluhan sesak dapat
sembuh. Pasien khawatir sesak dapat berakibat lebih buruk. Persepsi tentang sesak berasal
dari nyeri perut. Faktor internal yaitu wanita, dewasa muda (30 th), kebiasaan pola makan
yang tidak teratur, kebiasaan terlalu memikirkan masalah sampai stress.

Pada pemeriksaan fisik tampak sakit ringan, tekanan darah : 110/70 mmHg, Nadi : 80
x/menit, Frekuensi napas 16 x/menit, suhu 36,6oC. Berat badan 73 kg, tinggi badan 157 cm,
IMT 29,6. Konjungtiva sedikit anemis. Telinga, hidung, tenggorok, paru, dan jantung dalam
batas normal. Abdomen cembung simetris, nyeri tekan sekitar ulu hati, perkusi timpani dan
auskultasi bising usus normal.

Riwayat pengobatan : salbutamol, teofilin, dan antasida doen.

Tetapi gejala sesak nafas juga belum membaik.

Diagnose dokter pasien menderita GERD.

PENYELESAIAN
ANALISIS KASUS
Penyelesaian kasus dengan menggunakan metode SOAP (Subjective,
Objective, Assement, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut :
SUBYEKTIF
Nama : Ny. A
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : wanita
Alamat :-
Keluhan Utama :sesak nafas disertai nyeri dada perut perih, batuk, tenggorokan
terasa asam dan pahit, dan keluhan sesak nafas sejak ± 2 minggu. Badan masih terasa
lemas

OBYEKTIF
Tinggi badan : 157 cm
Berat badan : 73 kg
Tekanan darah 110/70 mmHg,
Nadi 80 x/menit
Respiration rate 16x/ menit
Suhu 36,60C
IMT 29,6

 Form Data Base PasienUntuk Analisis Penggunaan Obat

FORM DATA BASE PASIEN


UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

Identitas Pasien
Nama :  Ny. A
Umur  : 30 thn
Jenis kelamin  : Wanita
Alamat :-
Riwayat Penyakit Terdahulu : -
Riwayat Sosial
Kegiatan
Pola makan/diet Tidak teratur
Merokok Ya / tidak ................batang/hari
Meminum Alkohol Ya / tidak
Meminum Kopi Ya / tidak
Meminum Obat herbal Ya/ tidak

Riwayat Alergi : -
RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGOBATAN
NAMA PENYAKIT TANGGAL/TAHUN RIWAYAT OBAT SEBELUMNYA
- - Salbutamol, teofilin, dan antasida doen

KELUHAN / TANDA UMUM


TG Subyektif Obyektif Normal Ket.
L
- sesak nafas disertai nyeri Tekanan darah 120/80 normal
dada perut perih, batuk, 110/70 mmHg, mmHg
tenggorokan terasa asam
dan pahit, dan keluhan Nadi 80 x/menit 60-100 Normal
sesak nafas sejak ± 2 x/menit
minggu. Badan masih
terasa lemas Respiration rate 16-20x/
16x/ menit menit Normal

Suhu 36,60C 36,5 0


C - Normal
37,50C
IMT 29,6 IMT 22,7 Tinggi
Obat yang digunakan saat ini
Rute Interaksi
No Nama Obat Indikasi Dosis ESO Outcome
Pemberian
1. Salbutamol Meredakan tidak dijelaskan Tidak Tidak ada interaksi Tremor, ketegangan, sakit Meringankan/meng
bronkospasme dikasus tetapi dijelaskan di antara obat yang kepala, kram otot, hilangkan rasa
pada asma dan dosis sediaan kasus, tetapi digunakan palpitasi, takikardi, sesak dada
obstruksi salbutamol table rute yang aritmia, urtikaria
saluran nafas 2 mg, 4 mg, dapat
reversibel diberikan PO
lainnya dan nabule
dan inhaler
2. Teofilin Obstruksi tidak dijelaskan PO Tidak ada interaksi Takikardi, palpitasi, mual Meringankan/meng
saluran nafas dikasus tetapi antara obat yang dan gangguan saluran hilangkan rasa
reversible, asma dosis sediaan digunakan cerna yang lain, sakit sesak dada
akut dan berat teofilin kapsul kepala, insomia, aritmia
130 mg, tablet dam konvulsi
150 mg dan
tablet retard 250
mg

3. Antasida doen Meringankan tidak dijelaskan Tidak Tidak ada interaksi Gamgguan saluran cerna, Mengurangi atau
gejala kelebihan dikasus tetapi dijelaskan di antara obat yang gangguan absorpsi fosfat meringankan sakit
asam lambung, dosis sediaan kasus, tetapi digunakan GERD
GERD antasid yaitu antasida
tablet 200 mg sediaannya
dan suspensi ada tablet dan
200 mg/5 ml suspensi (PO)

ASSASMENT
Problem Analisis
Subyektif Objektif Terapi DRP
medic
GERD Nyeri dada, perut perih, Tidak ada Antasida doen Obat kurang Obat kurang tepat, dimaksudkan bahwa
tenggorokan terasa asam dan pemeriksaan tepat penggunaan obat sebenarnya sudah sesuai
pahit laboratorium dengan guadline (Dipiro ed 9) tetapi pada
saat kunjungan 3 hari setelah periksa
pasien belum ada perubahan, sehingga
perlu diberikan terapi yang lain atau dapat
dikombinasi sesuai dengan guadline
(Dipiro dan jurnal IDI, 2017).
Dipiro ed 9 menjelaskan bahwa penyakit
GERD ini dapat diberikan terapi
perubahan gaya hidup + antasida and atau
H2RA/ PPI.
Asma sesak nafas sejak ± 2 minggu, Tidak ada Salbutamol dan Polifarmasi Pasien diberikan terapi obat yang
batuk pemeriksaan teofilin keduanya merupakan bronkodilator
laboratorium sehingga bisa terjadi polifarmasi. Dari
kedua obat itu dapat digunakan salah satu
obat saja.
Anemia Konjungtiva sedikit anemis, Tidak ada Belum diterapi Indikasi tanpa Karena pasien mengalami konjungtiva
pucat, dan tampak lemas pemeriksaan obat sedikit anemis, pucat dan lemas
laboratorium (merupakan gejala dari anemia) sehingga
perlu diberikan terapi
PLAN
1. Untuk problem medik GERD menurut literatur (dipiro ed 9) dapat
diberikan terapi dengan perubahan gaya hidup + antasida and atau H2RA/
PPI. Tapi pada kasus pasien saat kunjungan 3 hari setelah periksa, pasien
masih tampak lemas dan belum ada berubahan sehingga perlu diberikan
terapi lain atau dapat diberikan terapi kombinasi.
Untuk terapi GERD ini kita berikan terapi golongan PPI yaitu omeprazole
20 mg sehari sekali sebelum makan. (seuai dengan tatalaksana terapi
dipirp ed 9 dan didukung oleh jurnal IDI, 2017)
2. Untuk terapi asma pada pasien yang diberikan salbutamol dan teofilin ini
dapat diberikan salah satu obat saja yaitu salbutamol dan teofilin dapat
dihentikan
3. Untuk anemia yang dialami pasien dari tanda-tanda pasien pucat, lemas,
dan mengalami konjungtiva sedikit anemis dapat diberikan terapi ferro
sulfat sehari satu kali

MONITORING
1. Monitoring tanda vital pasien (RR, Tekanan Darah, Heart rate, dan suhu badan)
2. Monitoring frekuensi dan keparahan gejala – gejala yang non spesifik seperti
batuk, non alergi asma atau sakit pada dada dan juga gejala spesifik seperti
Heartburn .
3. Memonitoring gejala – gejala yang membutuhkan terapi medis seperti disphagia
(gangguan pada esophagus sehingga kesulitan dalam menelan) dan odinofagia.
4. Monitoring kepatuhan pasien dalam penggunaan obat terutama pengobatan untuk
GERD
5. Keadaan tubuh pasien (Pucat)

KIE PASIEN
1. Menjelaskan kepada pasien untuk mengurangi Stress karena dapat
meningkatakan Asam lambung sehingga dapat memperparah penyakit GERD
pada pasien
2. Menjelaskan kepada pasien untuk mengurangi makan makanan yang
mengandung lemak dan daging serta makanan lain yang dapat merangsang asam
lambung dan menyebabkan refluks
3. Makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam
sebelum tidur
4. Pasien disarankan untuk tidak terlalu Stress dengan melakukan kegiatan pasien
sukai hal yang positif, hindari tidur setelah makan.
5. Sesuai dengan guadline pasien diharapkan melakukan modifikasi pola
hidup/merubah gaya hidup dan ditambah dengan terapi-terapi obat diatas
supaya terapi dapat maksimal
DAFTAR PUSTAKA
Dadang Makmun. Management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroenterology,Hepatology and Digestive Endoscopy 2001.

DiPiro, S, et al, (2010). Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. USA: The


McGraw-Hill Companies, Inc.

Dipiro, Joseph T. 2012. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Ninth


Edition. The McGraw-Hill Companies: USA

Dent J. Definition of reflux disease and its separation from dyspepsia. Gut 2002.
Fass R, Ofman JJ. Gastroesohageal reflux disease - should we adopt a
newconceptual framework?. Am J Gastroenterol. 2002

Fisichella, Piero. 2009. Gastro-esophageal reflux disease. Chicago, Loyola


UniversityMedical Center

Gardner JD, Stanley SR, Robinson M. Integrated acidity and the pathophysiology
of gastroesophageal reflux disease. The American Journal of
Gastroenterology.2001

Makmun D. 2009. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW,


Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI

Sukandar, Elin Prof.,Dr.,dkk. 2008. ISO Farmakoterapi Buku 1. PT.Isfi : Jakarta

Syafruddin ARL. Peranan derajat keasaman lambung dan tonus fingter esophagus
bawah terhadap esofagitis pada dispepsia. Laporan Penelitian Akhir,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1998.

Anda mungkin juga menyukai