Dosen Pembimbing
Achmad Dardiri,S.H.I.,M.Ag
DISUSUN OLEH:
TAHUN 2020
1. PENGERTIAN USUL FIQH SEJARAH PERKEMBANGAN DAN
RUANG LINGKUP
Artinya : "Asal bagi diwajibkan zakat, yaitu (berdasarkan dalil ) ayat al-Quran; Allah ta’la
berfirman:”wa atu al-zakah …,dan tunaikanlah zakat!”
Fiqh itu sendiri menurut arti bahasa, yakni: fiqh adalah al-fahmu merupakan kata
sinonim, faham atau tahu.3 Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid
al-Jurjaniy,4 pengertian fiqh yaitu:
ِ الش ْر ِع َّی ِة ال َع َملِیَ ِة ِمنْ أَ ِد َّل تِ َھا التَّ ْف
ص ْیلِ َّی ِة َّ اَ ْل ِع ْل ُم بِاالَ ْح َكام
1
2
3
4
Artinya Fiqh: Ilmu tentang hukum-hukum shara' mengenai perbuatan dari dalil-
dalilnya yang terperinci.
Pembahasan tentang dalil dalam Ilmu Usul Fiqh adalah secara global. Disini dibahas
tentang macam-macam dalil, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu,
kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Dalam Ilmu Usul Fiqh tidak dibahas satu per-satu
dalil bagi setiap perbuatan. Dalam konteks ilmu usul fiqh, maka kategori dalil dapat berupa
dalil yang berupa nass-nass shara‘ yang disebut dalil al-istinbaty; dalil ini dari teks ayat al-
Quran, teks Hadis, dan Ijma’; dan dalil-dalil yang terbentuk dari olah pikir yang sehat,
rasional dan hasil dari penelitian hukum yang mendalam. Dalil ini disebut sebagai dalil al-
istidlaly.Misalnya, al-Qiyas, al-Istihasan, al-Maslahah dan lainnya.
2. Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan
dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah
Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah
sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum
yang ada dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-
Qur’an,sebagai penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah
dapat juga membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan antar
perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat). Dilihat dari segi jumlah
perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :
1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak
mencapai tingkatan mutawattir
3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan
rawinya dan berdasarkan sifat perawinya.
1. Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat
yang tertentu.
2. Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau
tidaknya sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang
sambung-bersambung menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai
dari orang yang memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad
SAW yang disebut rawi. Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist
dapat di golongkan ke dalam empat tingakatan yaitu:Hadist mutawir, hadist
yang diriwayatkan oleh Kaum dari kaum yang lain hingga sampai pada Nabi
Muhammad SAW.
Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang,
kemudian tersebar luas. Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau
lebih. Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga
sampai kepada nabi muhammad. Hadist mursal, hadist yang rangkaian
riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak sampai kepada Nabi
Muhammad SAW.
3. Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan
beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa
rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan
dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat
islam setalah qiyas. Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun
atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur
suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan memutuskan suatu
perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan
pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih
dari abad tertentu mengenai masalah hukum. Apabila di kaji lebih mendalam
dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka terdapat dua
macam ijma’ yaitu :
a. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata)
b. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas
4. Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya
dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena
adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.Seterusnya dalam
perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber hukum yang
keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran,
timbangan.
Dasar Hukum Al-qiyas yaitu:
a. Al-quran
b. Al-hadits
c. Perbuatan Sahabat
d. Akal Sehat ALLAH SWT
3. MUSLAHAH MURSALAH
1. Dengan nash-nash yang ada dan cara qiyas yang benar, syara’ senantiasa
mampu merespons masalah yang muncul demi kemaslahatan manusia.
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik dan
lawan dari “qobaha” yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif-
sin dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan.
Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini sesuatu itu baik
(baik secara fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk.
Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun
esensinya hampir memiliki kesamaan.
Macam-Macam Istihsan
Ada beberapa macam ihtisan, di antaranya:
1. Istihsan dilihat dari aspek pengalihan
Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum,
puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun
karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal.
Yaitu sabda Nabi saw: “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan
atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah
makan dan minum yang diberikan Allah”.
2. Istihsan dilihat dari sanad atau sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ atau
pengabaian.
Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras
sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali
dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat
dilakukan.
Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia
makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an
menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” . Namun berdasarkan ’urf, ikan itu
berbeda dengan daging.
b. Syar’u man Qablana
Hal yang dimaksud dengan shar'u man qablana, ialah shari'at yang dibawa
para rasul terdahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad Saw. yang menjadi
petunjuk bagi umat yang mereka diutus kepadanya. Seperti shari'at Nabi Ibrahim
AS, shariat Nabi Musa AS, shari'at Nabi Daud AS, shari'at Nabi Isa AS dan
sebagainya. Pada prinsipnya shari'at yang diperintahkan Allah Swt. bagi umat-
umat dahulu mempunyai prinsip yang sama dengan shariat yang diperuntukkan
bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt, yang disyariatkan
kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam, mengikuti
hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil
yang menghapuskannya. Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-
hukum yang disyariatkan oleh Allah swt, bagi umatumat sebelum kita.
Macam-macam Shar’u Man Qablana Menurut ayat al-Qur’an, kemudian dihubungkan antara
shari’ah Nabi Muhammad Saw. dengan shariah umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam
bentuknya, yaitu:
a. Shari’ah yang diperuntukan bagi orang-orang yang sebelum kita, tetapi Al-Qur’an dan Hadis
tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi
Muhammad Saw.
b. Shari’ah yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak
berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw.
c. Shari’ah yang berlaku bagi orang-orang sebelum kita, kemudian Al-Qur’an dan Hadis
menerangkannya kepada kita.
Perihal bentuk ketiga, yaitu shari'ah yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum sebelum kita,
kemudian diterangkan kepada kita oleh Al-Qur’an dan Hadis, para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Shafi'iyah dan sebagian
ulama Hanabilah berpendapat bahwa shari'ah itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad Saw.
4. MAQASID SYARIAH
.[1] Syari’ah secara bahasa berarti اﻟﻤﻮاﺿﻊ ﺗﺤﺪر اﻟﻰ اﻟﻤﺎء yang berarti jalan menuju
sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber
pokok kehidupan.
[2] Maqasid syariah atau tujuan akhir ilmu fiqih adalah mencapai keridhoan Allah
Swt; dengan melaksanakan syariahnya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidup
individual hidup berkeluarga, maupun hidup bermasyarakat.
[3] Banyak orang terkadang menanyakan sesuatu atau perbuatan apa hukuimnya,
apakah itu boleh ? Apakah itu haram ? apakah itu halal ? atau bahkan sudahkah
sesuai dengan nilai – nilai syariah yang telah di tentukan dan di ridhoi oleh Allah
Swt. Sesungguhnya setiap apa yang kita lakukan sdelayaknya kita dasarkan pada
syariah islam tak perlu menanyakan hukumnya akan tetapi kita pelajari dan dalami
syriah islam, karena setiap pedoman hidup seorang muslim adalah al – quran dan
Hadist yang telah terpampang dalam syariah islam. Di dalam syariah islam bebera
pedoman yang harus kita perhatikan dalam kehidupan ini adalah bagaimana kita
menjaga jiwa kita, agama, akal, harta, serta keturunan kita dan pedoman pedoman
tersebut tridak terlepas dari hubungan kita dengan allah atau hablum minallah, dan
hubungan kita dengan sesama manusia atau hablumminannas.
1. Memlihara Agama (Hifdz al-Dzin). Yang dimaksud dengan agama disini
adalah agama dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu hubungan manusia
dengan Allah Swt.
2. Memelihara diri (Hifdz al-Nafs). Termasuk didaamnya bagian kedua ini,
larangan membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain, larang menghina dan
lain sebgainya dan kewajiban menjaga diri.
3. Memelihra keturunan dan kehormatan (Hifdz al-Nas/irdl). Seperti aturan aturan
tentang pernikahan, larangan perzinahan, dan lain – lain
4. Memlihara harta (Hifdz al-Mal). Termasuk Bagian ini, kewajiban kasb alhalal,
larangan mencuri dan menghasab harta orang.
5. Memlihara akal (Hifdz al-Aql). Termasuk didalamnya larangan meminum
minuman keras dan kewajiban menuntut ilmu.
5. IJTIHAD
Pembagian Ijtihad Perbedaan pendapat mengenai makna ijtihad yang
diserupakan dengan qiyās, ra’yu (logika) yag termasuk di dalamnya istihsān atau
mashālih mursalah, menjadi pembahasan yang terus bergulir. Al-Syafi’I, misalnya
yang menyatakan bahwa ijtihad sama dengan qiyās, dibantah oleh AlGhazali
dengan argumentasi bahwa ijtihad lebih umum ketimbang qiyās, karena ijtihad
kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam masalah-masalah umum,
kedalaman lafaz- lafaz, dan jalan-jalan mencari dalil lain selain qiyās. Bahkan
dikatakan bahwa ijtihad mencakup ra’yu (logika), qiyās, dan akal. Sebagaimana
ra’yu diartikan oleh mereka yang berpendapat demikian diklaim sebagaimana para
sahabat memahaminya, yaitu sebagai amal yang yang dipandang oleh mujtahid
sebagai suatu kemaslahatan dan lebih dekat kepada semangat syari’at Islam tanpa
penelitian kepada apakah hal itu ada dasar tertentu untuk kejadian tersebut atau
tidak.
b. Ijtihad qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan
menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak
ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash –baik qat'i ataupun zhanni- juga
tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk
menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah
ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam 'illat
hukumnya, atau biasa disebut qiyās.
c. Ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan,
dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk
kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash –baik qath'i
maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash
yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihad
macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara' yang bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat
ataupun menghindarkan madharat. Mengenai pembagian ijtihad diatas, Taqiy
al-Dīn al-Hakīm dalam al-Ushūl al-‘Āmmah li alFiqh al-Muqārin,
mengomentari bahwa ijtihad bayāni tidak mencakup syarat-syarat pembagian
yang mantiqi, karena tidak memenuhi kapasitas pembagian. Dimana ijtihad ini
tidak mencakup ijtihad istihsāni dan lainnya dari dalil-dalil istinbāt yang
menjadi pegangan para fuqaha. Kemudian mengenai ijtihad qiyāsī, ia
berkomentar bahwa qiyas bukan satu bagian ijtihad bayani dari keseluruhan
bagian-bagian qiyās. Tetapi pada sebagiannya qiyās menjadi bagian dari
ijtihad, seperti qiyās yang didasarkan pada nash yang tersurat dengan
menggunakan ‘illat atau yang mengambil keumuman hukum dari keumuman
atau kemutlakan illatnya untuk semua yang berkaitan dengannya.
(2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk menggali berbagai
‘illat dari suatu hukum.