Anda di halaman 1dari 57

VI.

GENETIKA POPULASI

Pola pewarisan suatu sifat tidak selalu dapat dipelajari melalui


percobaan persilangan buatan. Pada tanaman perenial atau hewan-
hewan dengan daur hidup panjang seperti gajah, misalnya, suatu
persilangan baru akan memberikan hasil yang dapat dianalisis setelah
kurun waktu yang sangat lama. Demikian pula, untuk mempelajari pola
pewarisan sifat tertentu pada manusia jelas tidak mungkin dilakukan
percobaan persilangan. Pola pewarisan sifat pada organisme-organisme
semacam itu harus dianalisis menggunakan data hasil pengamatan
langsung pada populasi yang ada.
Seluk-beluk pewarisan sifat pada tingkat populasi dipelajari pada
cabang genetika yang disebut genetika populasi. Ruang lingkup genetika
populasi terdiri atas dua bagian, yaitu (1) deduksi prinsip-prinsip Mendel
pada tingkat populasi, dan (2) mekanisme pewarisan sifat kuantitatif.
Populasi dalam arti Genetika
Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi
terlebih dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika
atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah
sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual,
hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka
terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan
memberikan kontribusi genetik ke dalam gene pool, yaitu sekumpulan
informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi.
Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat
diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga
banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam
populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa.
Maka, proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan
menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada.
Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal dengan
istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan
sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu
populasi. Dengan perkataan lain, dapat juga didefinisikan bahwa frekuensi

145
genotipe adalah proporsi atau persentase individu di dalam suatu populasi
yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada contoh di atas jika
banyaknya genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50, dan 20
individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%), dan
aa = 0,20 (20%).
Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya,
susunan genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar
keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika, seperti
telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan
kumpulan individu yang dapat melangsungkan perkawinan sehingga
terjadi transmisi gen dari generasi ke generasi. Dalam proses transmisi ini,
genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi
genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang
dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri
akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan demikian,
deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di
dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan
tinjauan dari genotipenya.
Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada
dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu
proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika kita gunakan
contoh perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi
alelnya dapat dihitung sebagai berikut.
AA+Aa+aa = Total
Banyaknya individu 30+50+20=100
Banyaknya alel A = (2x30)+50=60+50=110
Banyaknya alel a=(1x50)+(2x20)=50+40=90
Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam
populasi yang mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian
juga, karena tiap individu Aa membawa sebuah alel A, maka populasi
yang mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel A. Sementara itu,
pada individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara
keseluruhan banyaknya alel A di dalam populasi tersebut adalah 60 + 50
+ 0 = 110. Dengan cara yang sama dapat dihitung banyaknya alel a di

146
dalam populasi, yaitu 0 + 50 + 40 = 90. Oleh karena itu, frekuensi alel A =
110/200 = 0,55 (55%), sedang frekuensi a = 90/200 = 0,45 (45%).
Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai
alel dengan frekuensi = 1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut.

Hubungan matematika frekuensi genotipe dan frekuensi alel


Seandainya di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan
aa, masing-masing dengan frekuensi sebesar P, H, dan Q, sementara
diketahui bahwa frekuensi alel A dan a masing-masing adalah p dan q,
maka antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel terdapat hubungan
matematika sebagai berikut
p = P + ½ H dan q = Q + ½ H
Dalam hal ini P + H + Q = 1 dan p + q = 1. Agar diperoleh gambaran yang
lebih jelas mengenai hubungan tersebut, kita perhatikan contoh
perhitungan berikut ini.
Data frekuensi golongan darah sistem MN pada orang Eskimo di
Greenland menurut Mourant (1954) menunjukkan bahwa frekuensi
golongan darah M, MN, dan N masing-masing sebesar 83,5 %, 15,6%,
dan 0,9% dari 569 sampel individu. Genotipe golongan darah M, MN, dan
N masing-masing adalah LmLm, Lm Ln, dan Ln Ln. Maka, dari data frekuensi
genotipe tersebut dapat dihitung besarnya frekuensi alel L m dan Ln.
Frekuensi alel Lm = 83,5% + ½ (15,6%) = 91,3%, sedang frekuensi alel L n
= 0,9% + ½ (15,6%) = 8,7%.
Hasil perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk
menentukan sifat lokus tempat alel tersebut berada. Suatu lokus dikatakan
bersifat polimorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar sama atau kurang
dari 0,95. Sebaliknya, suatu lokus dikatakan bersifat monomorfik jika
frekuensi alelnya yang terbesar melebihi 0,95. Jadi, pada contoh golongan
darah sistem MN tersebut lokus yang ditempati oleh alel L m dan Ln adalah
lokus polimorfik karena frekuensi alel terbesarnya (L m = 91,3%), masih
lebih kecil dari 0,95.
Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan
sebagai salah satu indeks keanekaragaman genetik. Nilai lainnya yang
juga sering digunakan sebagai indeks keanekaragaman genetik suatu

147
populasi adalah heterozigositas rata-rata atau frekuensi heterozigot (H)
rata-rata. Pada contoh di atas besarnya nilai H untuk lokus MN adalah
15,6%. Seandainya dapat diperoleh nilai H untuk lokus-lokus yang lain,
maka dapat dihitung nilai heterozigositas rata-rata pada populasi tersebut.

Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis


Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat
dihitung atas dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang
menampilkan pita-pita sebagai gambaran mobililitas masing-masing
polipeptida penyusun protein (Gambar 15.1). Elektroforesis merupakan
teknik pemisahan molekul yang berbeda-beda ukuran dan muatan
listriknya. Oleh karena itu, molekul-molekul yang akan dipisahkan tersebut
harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan DNA.
Jarak Migrasi (cm)
4
3
2
1
Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Genotip CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL C CL LL LL CL
C
Gambar 15.1. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp)
di kawasan Segara Anakan, Cilacap (Sumber : Susanto, 2003)

Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai


berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel,
kemudian kedua ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama beberapa
jam sehingga komponen-komponen penyusun sampel akan bergerak
menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan
gerakan (mobilitas) tiap komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan
ukuran molekulnya. Makin besar ukuran molekul, makin lambat
gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu yang sama molekul
berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek
daripada jarak migrasi molekul berukuran kecil.
Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan
gambaran fenotipe, bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe

148
terhadap kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme sering kali
dapat memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti diketahui, tiap
enzim dapat mengandung sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan
asam amino yang berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-
pita dengan mobilitas yang berbeda. Variasi fenotipe ini disebabkan oleh
perbedaan alel yang menyusun genotipe.
Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada
enzim tertentu terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif enzim
yang diekspresikannya dikenal sebagai alozim. Alel yang mengatur alozim
biasanya bersifat kodominan, yang berarti dalam keadaan heterozigot
kedua-duanya akan diekspresikan. Dengan demikian, individu pada
Gambar 15.1 yang menampilkan pita lambat dan pita cepat (nomor 1, 4, 5,
6, 8, 9, 10, 12, dan 15) memiliki genotipe heterozigot, yaitu CL (C=cepat;
L=lambat). Sementara itu, individu yang hanya menampilkan pita lambat
(nomor 2, 3, 7, 11, 13, dan 14) adalah homozigot LL. Begitu pula individu
dengan hanya satu pita cepat (kebetulan pada zimogram tersebut tidak
ada) dikatakan mempunyai genotipe homozigot CC. Dari data genotipe
yang diturunkan dari data variasi fenotipe tersebut, kita dengan mudah
dapat menghitung baik frekuensi genotipe maupun frekuensi alelnya.
Frekuensi genotipe CC, CL, dan LL masing-masing adalah 0, 9/15, dan
6/15. Frekuensi alel C = 0 + ½ (9/15) = 9/30, sedang frekuensi alel L =
6/15 + ½ (9/15) = 21/30.

A. Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg


Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan
terjadinya kawin acak (panmiksia) di antara individu-individu anggotanya.
Artinya, tiap individu memiliki peluang yang sama untuk bertemu dengan
individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda
dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan
senantiasa konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh
G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris, dan W.Weinberg, dokter dari
Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum keseimbangan
Hardy-Weinberg. Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus
dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu

149
tidak terjadi migrasi, mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya
peristiwa-peristiwa ini serta sistem kawin yang tidak acak akan
mengakibatkan perubahan frekuensi alel.
Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi
tiga langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya,
(2) dari penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang
dibentuk, dan (3) dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi
keturunan. Secara lebih rinci ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat
genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi P, H, dan Q.
Sementara itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q.
Dari populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu
A dan a. Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu
juga, frekuensi gamet a sama dengan frekuensi alel a (q).
Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet
A dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk
akan memilki frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang
bergabung. Pada Tabel 15.1 terlihat bahwa tiga macam genotipe zigot
akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi
p2, 2pq, dan q2.
Tabel 15.1. Pembentukan zigot pada kawin acak
A (p) a (q)
A (p) AA (p2) Aa (pq)
a (q) Aa (pq) Aa (q2)

Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi


alel pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat dihitung.
Fekuensi alel A = p2 + ½ (2pq) = p2 + pq = p (p + q) = p. Frekuensi alel a =
q2 + ½ (2pq) = q 2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat dilihat
bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel
pada generasi tetua.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel
autosomal. Kemampuan sesesorang untuk merasakan zat kimia
feniltiokarbamid (PTC) disebabkan oleh alel autosomal dominan T.
150
Individu dengan genotipe TT dan Tt dapat merasakan PTC, sedang
individu tt tidak. Pengujian terhadap 228 orang, diperoleh 160 orang
dapat merasakan PTC. Dari 160 orang ini dapat dihitung individu yang
bergenotipe TT dan Tt. Individu yang tidak dapat merasakan PTC
(genotipe tt) jumlahnya 228 – 160 = 68 sehingga frekuensi genotipe tt =
68/228 = 0,30. Frekuensi alel t = √ 0,30 = 0,55 dan frekuensi alel T = 1 –
0,55 = 0,45. Frekuensi genotipe TT = (0,45)2 = 0,20, sedang frekuensi
genotipe Tt = 2(0,45)(0,55) = 0,50. Banyaknya individu yang bergenotipe
TT = 0,20 x 228 =46, sedang individu yang bergenotipe Tt = 0,50 x 228 =
114. Jika TT dijumlahkan dengan Tt, maka diperoleh individu sebanyak
160 orang, yang semuanya dapat merasakan PTC.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel
ganda. Alel ganda yang sering dikemukakan adalah alel pengatur
golongan darah sistem ABO pada manusia. Sistem ABO diatur tiga buah
alel, yaitu IA, IB, dan I0. Jika frekuensi ketiga alel tersebut masing-masing
adalah p, q, dan r, maka sebaran frekuensi genotipenya = (p + q + r) 2 = p2
+ 2pq + 2pr + q2 + 2qr + q2. Frekuensi golongan darah A adalah
penjumlahan frekuensi genotipe I A IA dan IA I0 , yakni p2 + 2pr. Frekuensi
golongan darah B, AB, dan O pada suatu populasi dapat dicari dari
sebaran frekuensi tersebut. Data frekuensi golongan darah (fenotipe)
dapat dihitung besarnya frekuensi alel. 500 mahasiswa jurusan Biologi
UNP diketahui 196 orang bergolongan darah A, 73 golongan B, 205
golongan O, dan 26 AB. Alel yang langsung dapat dihitung frekuensinya
adalah I0 , yang merupakan akar kuadrat frekuensi O. Jadi, frekuensi I 0 = √
205/500 = 0,64. Jumlah frekuensi A dan O = p 2 + 2pr + r2 = (p + r)2 = (1 –
q)2 sehingga akar kuadrat frekuensi A + O = 1 – q. Frekuensi IB (q) = 1 –
akar kuadrat frekuensi A + O = 1 – √(196 + 205)/500 = 0,11. Frekuensi
alel IA (p) = 1 – √(73 + 205)/500 = 0,25.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel
rangkai X. Telah kita ketahui bahwa pada manusia dan beberapa spesies
organisme lainnya dikenal adanya jenis kelamin homogametik (XX) dan
heterogametik (XY). Pada jenis kelamin homogametik hubungan
matematika antara frekuensi alel yang terdapat pada kromosom X
(rangkai X) dan frekuensi genotipenya mengikuti formula seperti pada

151
autosom. Namun, pada jenis kelamin heterogametik formula tersebut tidak
berlaku karena frekuensi alel rangkai X benar-benar sama dengan
frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu hanya membawa
sebuah alel untuk masing-masing lokus pada kromosom X-nya.
Homogametik Heterogametik
Genotipe AA Aa aa A a
Frekuensi genotipe P H Q R S
Alel A a A a
Frekuensi alel pm = P + ½H qm = Q + ½H pt = R qt = S
pm = frekuensi alel A pada individu homogametik
qm = frekuensi alel a pada individu homogametik
pt = frekuensi alel A pada individu heterogametik
qt = frekuensi alel a pada individu heterogametik

Untuk seluruh populasi frekuensi alel A dapat dihitung, yaitu p = 2/3 pm +


1/3 pt = 1/3 (2 pm + pt) = 1/3 (2P + H + R). Dengan cara yang sama dapat
dihitung pula frekuensi alel a pada seluruh populasi, yaitu q = 2/3 qm + 1/3
qt = 1/3 (2 qm + qt) = 1/3 (2Q + H + S). Kontribusi alel sebanyak 2/3
bagian oleh individu homogametik disebabkan oleh keberadaan dua buah
kromosom X pada individu tersebut, sementara individu heterogametik
memberikan kontribusi alel 1/3 bagian karena hanya mempunyai sebuah
kromosom X. Sebagai contoh perhitungan frekuensi alel rangkai X dapat
dikemukakan alel rangkai X yang mengatur warna tortoise shell pada
kucing. Misalnya, dalam suatu populasi terdapat 277 ekor kucing betina
berwarna hitam (BB), 311 kucing jantan hitam (B), 54 betina tortoise shell
(Bb), 7 betina kuning (bb), dan 42 jantan kuning (b). Dari data ini dapat
dihitung frekuensi genotipe BB pada populasi kucing betina, yaitu P =
277 / (277+54+7) = 0.82. Sementara itu, frekuensi genotipe Bb (H) = 54 /
(277+54+7) = 0,16 dan frekuensi genotipe bb (Q) = 7 / (277+54+7) = 0,02.
Di antara populasi kucing jantan frekuensi genotipe B, yaitu R = 311 /
(311+42) = 0,88, sedang frekuensi genotipe b, yaitu S = 42 / (311+42) =
0,12. Sekarang kita dapat menghitung frekuensi alel B pada seluruh
populasi, yaitu p = 1/3 (2.0,82 + 0,16 + 0,88) = 0,89, dan frekuensi alel b
pada seluruh populasi, yaitu q = 1/3 (2.0,02 + 0,16 + 0,12) = 0,11.

152
Pada penduduk Pygme golongan darah A 35.9%. golongan darah
B 28.1%. Golongan M 17.9%. dan N 31.9%. Carilah frekuensi masing-
masing alel sistem ABO dan sistem MN. Cari pula berapa persen orang
yang bergolongan A, MN?
Diketahui:
A = 35.9% = 0.359 p p+q+r = 1
B = 28.1% = 0.281 q r = 1 - (0.359+0.281) r = 0,360
M = 17.9% = 0.179 (p2)
N = 31.9% = 0.319 (q2)
Ditanya:
a. Frekuensi masing- masing alel sistem ABO dan Sistem MN?
b. Persentase orang yang bergolongan A, MN?
Jawab:
a. p = 0.359; q = 0.281 dan r = 0,360
b. M = 0.179; N = 0.319 dan MN = 1 – (0.179+0.319) = 0.502
Jadi persentase orang dengan golongan darah A dan MN;
0.359 x 0.502 = 0.180 atau 1.8%

Pada suatu penduduk ferkuensi hemofilia 0,00013. Dianggap tak


ada wanita yang kena, tapi yang carrier berfrekuansi 0,00026. Kalau
dianggap tak ada pria yang kena sempat kawin, cari frekuensi hemofilia
pada dua generasi berikutnya.
Diketahui:
XhY = 0,00013
XhX = 0,00026
Ditanya: Frekuensi hemofilia pada dua generasi berikutnya?
Jawab:
Normal (XX) =p
Hemofilia (XhY ) = q
Carier (XhX ) = 2pq
q+p=1
0,00013 + p = 1
p = 1 – 0,00013
p = 0,99987

153
Carier (XhX ) 2pq = 0,00026
2 x 0,99987 x q = 0,00026
1,99974 q = 0,00026
0,00026
q=
1,99974
q = 1,3 x 10-4 (Laki-Laki hemofilia)

Pada suatu populasi kelinci terdapat 3 kelas fenotip, dan ketika


diambil sampel secara acak didaptkan hasil sebagai berikut: 168 bulu
berwarna menyeluruh, 30 Himalaya, dan 2 Albino. C = warna penuh, c h =
Himalaya, c = albino, dengan urutan dominasi C>c h>c. Carilah frekuensi
ketiga macam alel itu.
Diketahui:
168 bulu berwarna menyeluruh, 30 Himalaya, dan 2 Albino. C = warna
penuh, ch = Himalaya, c = albino, dengan urutan dominasi C>c h>c.
Ditanya: Frekuensi ketiga macam alel itu?
Jawab:
Jumlah seluruh populasi = bulu berwarna menyeluruh + himalaya + albino
= 168 + 30 + 2
= 200 ekor
168
C= = 0,84
200
30
ch = = 0,15
200
2
c= = 0,01
200

C = P2 = 0,84
P = √ 0,84
P = 0,91
C = q2 = 0,01
q = √ 0,01
q = 0,1
c = 2pq

154
= 2 x 0,0,9 x 0,1
= 0,18
Jadi, P = 0,91, q = 0,1 dan 2pq = 0,18

Migrasi
Migrasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi
berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini berarti bahwa
peristiwa migrasi akan menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel.
Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk laju migrasi (lazim
dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan
adanya perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi,
misalnya perbedaan frekuensi golongan darah sistem ABO yang terlihat
sangat nyata antara ras yang satu dan lainnya.
Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase
alel tertentu di dalam suatu populasi yang digantikan oleh alel migran
pada tiap generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap generasi sebanyak 80
dari 1000 ekor ikan normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan
bahwa laju migrasinya 0,08 atau 8%. Secara matematika, hubungan
antara perubahan frekuensi alel dan laju migrasi dapat dilihat sebagai
persamaan berikut ini.
pn – P = (po – P)(1 – m)n
pn = frekuensi alel populasi yang diamati setelah n generasi migrasi
P = frekuensi alel pada populasi migran
po = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi)
m = laju migrasi
n = jumlah generasi

Mutasi
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan
frekuensi alel adalah mutasi. Namun, peristiwa yang sangat mendasari
proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya dalam
perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang
umumnya terlalu rendah untuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan
frekuensi alel. Selain itu, individu-individu mutan biasanya mempunyai

155
daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan (fertilitas), yang rendah.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya
akan memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika
mutasi berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan mutan yang
dihasilkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan
yang ada.
Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi alel
dapat dirumuskan seperti pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam
suatu populasi terdapat alel A dan a, masing-masing dengan frekuensi
awal po dan qo. Mutasi berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi
sebesar u. Sebaliknya, laju mutasi alel a menjadi A adalah v. Dengan
demikian, perubahan frekuensi alel A akibat mutasi adalah ∆p = vqo –
upo, sedang perubahan frekuensi alel a akibat mutasi adalah ∆q = upo –
vqo. Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut
nilai ∆p dan ∆q adalah 0. Oleh karena itu, vqo = upo, atau secara umum
vq = up. Jika persamaan ini dielaborasi, maka akan didapatkan p = v/(u +
v) dan q = u/(u + v).

Seleksi
Sebegitu jauh kita mengasumsikan bahwa semua individu di dalam
populasi akan memberikan kontribusi jumlah keturunan yang sama
kepada generasi berikutnya. Namun, kenyataan yang sebenarnya sering
dijumpai tidaklah demikian. Individu-individu dapat memberikan kontribusi
genetik yang berbeda karena mereka mempunyai daya hidup dan tingkat
kesuburan yang berbeda.
Proporsi atau persentase kontribusi genetik suatu individu kepada
generasi berikutnya dikenal sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi individu
tersebut. Nilai fitnes relatif berkisar antara 0 dan 1. Genotipe superior di
dalam suatu populasi, atau disebut juga genotipe baku, dikatakan memiliki
nilai fitnes relatif sama dengan 1, sementara untuk genotipe-genotipe
lainnya nilai fitnes relatif besarnya kurang dari 1. Proporsi pengurangan
kontribusi genetik suatu genotipe bila dibandingkan dengan kontribusi
genetik genotipe baku disebut koefisien seleksi (s) genotipe tersebut.
Dengan perkataan lain, nilai fitnes relatif genotipe ini adalah 1 – s.

156
Kembali kita misalkan bahwa di dalam suatu populasi terdapat genotipe
AA, Aa, dan aa. Kondisi dominansi ketiga genotipe ini berdasarkan atas
nilai fitnes relatifnya dapat dilihat pada Gambar 15.2 berikut ini.
aa Aa AA
(1-s) (1-½s) 1
a) aa Aa AA
(1-s) (1-½s) 1
b) aa AA/Aa
(1-s) 1
c) aa AA Aa
(1-s2) (1-s1) 1
d) Fitnes relatif

Gambar 15.2. Berbagai kondisi dominansi dilihat dari nilai fitnes relatifnya
a) Semi dominansi
b) Dominansi parsial
c) Dominansi penuh
d) Overdominansi
Pada kondisi semi dominansi dan dominansi parsial (Gambar 15.2
a dan b) genotipe Aa memberikan kontribusi genetik yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan kontribusi genotipe baku (AA), sedang pada kondisi
dominansi penuh (Gambar 15.2 c) genotipe ini memberikan kontribusi
genetik sama besar dengan kontribusi genotipe AA. Bahkan pada kondisi
overdominansi, genotipe Aa menjadi genotipe baku dan kontribusi
genetiknya justru lebih besar daripada kontribusi genotipe AA. Dominansi
heterozigot (kondisi overdominansi) ini dapat dijumpai misalnya pada
kasus resistensi individu karier anemia bulan sabit (sickle cell anemia)
terhadap penyakit malaria. Individu dengan genotipe homozigot HbSHbS
akan mengalami pengkristalan molekul hemoglobin, dan eritrositnya
berbentuk seperti bulan sabit, sehingga individu ini akan menderita
anemia berat dan biasanya meninggal pada usia muda. Namun, individu
heterozigot HbSHbA justru memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap
infeksi parasit penyebab malaria bila dibandingkan dengan individu normal
(HbAHbA). Di tempat-tempat yang menjadi endemi penyakit malaria,
genotipe HbSHbA merupakan genotipe baku (fitnes relatif = 1), sedang
individu normal HbAHbA mempunyai nilai fitnes relatif kurang dari 1.
Perubahan frekuensi alel akibat seleksi berlangsung sesuai dengan

157
kondisi dominansi yang ada. Pada kondisi dominansi penuh, misalnya,
perubahan frekuensi alel dapat dihitung sebagai berikut.
Genotipe AA Aa aa Total
Frekuensi awal p2 2pq q2 1
Fitnes relatif 1 1 1 – s
Kontribusi genetik p2 2pq q2(1 – s ) 1 – sq2
Terlihat bahwa kontribusi genetik total mejadi lebih kecil dari 1 karena
genotipe aa mempunyai nilai fitnes relatif 1 – s. Dari rumus hubungan
matematika antara frekuensi alel dan frekuensi genotipe dapat dihitung
besarnya frekuensi alel a setelah seleksi, yaitu q1 = q2(1 – s ) + pq / 1-
sq2. Jika perubahan frekuensi alel a dilambangkan dengan ∆q, maka ∆q =
q1 – q = q2(1 – s ) + pq / 1-sq2 – q. Setelah persamaan ini kita elaborasi
akan didapatkan ∆q = – sq2( 1 – q) / 1 – sq2. Untuk kondisi dominansi
yang lain besarnya perubahan frekuensi alel akibat seleksi dapat
dirumuskan dengan cara seperti di atas.

Sistem Kawin Tidak Acak (Asortif)


Faktor lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-
Weinberg adalah sistem kawin tidak acak (non random mating). Jika
dilihat dari segi fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang dikenal
sebagai perkawinan asortatif. Dengan perkataan lain, perkawinan asortatif
adalah sistem kawin tidak acak yang didasarkan atas fenotipe.
Perkawinan asortatif dapat berupa perkawinan asortatif positif atau
asortatif negatif (disasortatif). Pada perkawinan asortatif positif individu-
individu yang mempunyai fenotipe sama cenderung untuk lebih sering
bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe
berbeda. Sebaliknya, pada perkawinan asortatif negatif individu-individu
yang mempunyai fenotipe berbeda cenderung untuk lebih sering bertemu
bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe yang sama. Di
samping perkawinan asortatif ada pula sistem kawin tidak acak yang tidak
memandang fenotipe individu tetapi dilihat dari hubungan genetiknya.
Sistem kawin semacam ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
silang dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding). Silang dalam
adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik

158
memiliki hubungan kekerabatan, sedang silang luar adalah perkawinan di
antara individu-individu yang secara genetik tidak memiliki hubungan
kekerabatan. Perkawinan asortatif positif dan silang dalam akan
meningkatkan frekuensi genotipe homozigot. Sebaliknya, perkawinan
asortatif negatif dan silang luar akan meningkatkan frekuensi genotipe
heterozigot.
1) Silang dalam
Contoh silang dalam yang paling ekstrim dapat dilihat pada
tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri. Katakanlah generasi
pertama suatu populasi tanaman menyerbuk sendiri hanya terdiri atas
individu-individu dengan genotipe Aa. Oleh karena terjadi penyerbukan
sendiri di antara genotipe Aa, maka pada generasi kedua dari seluruh
populasi akan terdapat genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing sebanyak
1/4, 1/2, dan 1/4 bagian. Pada generasi ketiga genotipe AA dan aa akan
bertambah 1/8 bagian yang berasal dari segregasi genotipe Aa pada
generasi kedua. Sebaliknya, genotipe Aa akan berkurang menjadi 1/4
bagian sehingga populasi generasi ketiga akan terdiri atas (1/4+1/8) AA,
1/4 Aa, dan (1/4+1/8) aa atau 3/8 AA, 1/4 Aa, 3/8 aa. Dengan demikian,
sampai dengan generasi ketiga saja sudah terlihat bahwa frekuensi
genotipe homozigot, baik AA maupun aa, mengalami peningkatan, sedang
frekuensi heterozigot Aa berkurang.
Genotipe homozigot untuk suatu lokus tertentu – jika kita berbicara
individu normal diploid – mempunyai dua buah alel yang sama pada lokus
tersebut. Persamaan di antara dua alel pada genotipe homozigot dapat
terjadi dengan dua kemungkinan. Pertama, mereka secara fungsional
sama sehingga menghasilkan fenotipe yang sama pula. Dua alel
semacam ini dikatakan sebagai alel serupa (alike in state). Kemungkinan
kedua, mereka berasal dari hasil replikasi sebuah alel pada generasi
sebelumnya. Jika hal ini yang terjadi, maka kedua alel tersebut dikatakan
seasal atau identik (identical by descent).
Untuk menggambarkan besarnya peluang bahwa dua buah alel
yang sama pada individu homozigot merupakan alel identik digunakan
suatu nilai yang disebut sebagai koefisien silang dalam (inbreeding
coefficient). Nilai ini besarnya berkisar dari 0 hingga 1, dan biasanya

159
dilambangkan dengan F. Nilai F sama dengan 0 apabila kedua alel pada
individu homozigot tidak mempunyai asal- usul yang sama atau
merupakan hasil kawin acak. Sebaliknya, nilai F sama dengan 1 apabila
kedua alel sepenuhnya merupakan alel identik atau berasal dari leluhur
bersama (common ancestor) yang sangat dekat.
Besarnya nilai F dapat dihitung dari diagram silsilah seperti contoh
pada Gambar 15.3. Misalnya, individu A kawin dengan B menghasilkan
dua anak, yaitu C dan D. Selanjutnya, kakak beradik C dan D kawin,
mempunyai anak X. Koefisien silang dalam individu X dapat dihitung
sebagai berikut.
A B * Hitung jumlah loop. Loop adalah jalan yang menghubungkan kedua
orang tua
C D X (C dan D) melewati leluhur bersama (A dan B). Pada soal ini
terdapat dua
X loop, yaitu CAD dan CBD.
Gambar 15.3.Contoh diagram silsilah *Hitung jumlah individu yang
terdapat pada tiap loop sebagai nilai n.
* Hitung nilai F dengan rumus :
F = Σ (½)n(1 + FA)
n = jumlah individu yang terdapat pada tiap loop (pada soal ini terdapat 3
individu, baik pada loop CAD maupun CBD)
FA = koefisien silang dalam leluhur bersama (pada soal ini FA dan FB
masing-masing sama dengan 0 karena dianggap sebagai individu hasil
kawin acak). Dengan demikian, nilai F individu X (FX) pada contoh soal
tersebut di atas adalah (½)3(1 + 0) + (½)3(1 + 0) = ¼. Hal ini berarti
bahwa peluang bertemunya alel-alel identik yang berasal dari leluhur
bersama, baik A maupun B, pada individu X besarnya ¼.
Makin besar nilai F, makin cepat diperoleh tingkat homozigositas yang
tinggi. Sebagai gambaran, pembuahan sendiri dapat mencapai
homozigositas 100% pada generasi keenam, sementara perkawinan
antara saudara kandung baru mencapainya pada generasi keenam belas.
Peningkatan homozigositas akibat silang dalam dapat menimbulkan
tekanan silang dalam (inbreeding depression) apabila di antara alel-alel
identik yang bertemu terdapat sejumlah alel resesif yang kurang

160
menguntungkan.
Perubahan frekuensi alel yang disebabkan oleh terjadinya silang dalam
dapat dihitung dari perubahan frekuensi genotipe seperti pada Tabel 15.3.
Tabel 15.3. Frekuensi genotipe hasil kawin acak
dan silang dalam
Genotipe Frekuensi
Kawin acak Silang dalam
AA p2 p2 (1 – F) + pF
Aa 2 pq 2 pq (1 – F)
aa q2 q2 (1 – F) + qF

Jika nilai F = 0, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing


adalah p2, 2 pq, dan q2 . Frekuensi tersebut ternyata sama dengan
frekuensi genotipe hasil kawin acak. Jika nilai F = 1, maka frekuensi
genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing menjadi p, 0, dan q. Hal ini
berarti di dalam populasi hanya tinggal individu homozigot, sedang
individu heterozigot tidak dijumpai lagi.

2) Silang luar
Berkebalikan dengan silang dalam, silang luar akan meningkatkan
frekuensi heterozigot. Di samping itu, jika silang dalam dapat
menyebabkan terjadinya tekanan silang dalam yang berpengaruh buruk
terhadap individu yang dihasilkan, silang luar justru dapat memunculkan
individu hibrid dengan sifat-sifat yang lebih baik daripada kedua tetuanya
yang homozigot. Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu
hibrid hasil persilangan dua tetua galur murni (homozigot) disebut sebagai
vigor hibrida atau heterosis.
Ada beberapa teori mengenai mekanisme genetik yang
menjelaskan terjadinya heterosis. Salah satu di antaranya adalah teori
dominansi, yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa alel-alel reseif
merugikan yang dibawa oleh masing-masing galur murni akan tertutupi
oleh alel dominan pada individu hibrid yang heterozigot. Misalnya, ada alel
A yang menyebabkan akar tanaman tumbuh kuat sementara alel a
menjadikan akar tanaman lemah. Sementara itu, alel B menyebabkan

161
batang menjadi kokoh, sedang alel b menyebabkan batang lemah.
Persilangan antara galur murni AAbb (akar kuat, batang lemah) dan aaBB
(akar lemah, batang kuat) akan menghasilkan hibrid AaBb yang
mempunyai akar dan batang kuat.
Fenomena heterosis sudah sering sekali dimanfaatkan pada bidang
pemuliaan tanaman, antara lain untuk merakit varietas jagung hibrida.
Galur murni A disilangkan dengan galur murni B, mendapatkan hibrid H.
Namun, karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol tetuanya (A atau B)
yang kecil, maka jumlah bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk
dijual kepada petani. Oleh karena itu, jagung hibrida yang dipasarkan
biasanya bukan hasil silang tunggal (single cross) seperti itu, melainkan
hasil silang tiga arah (three-way cross) atau silang ganda (double cross).
Pada silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai tetua betina untuk
disilangkan lagi dengan galur murni lain sehingga biji hibrid yang
dihasilkan akan dibawa oleh tongkol hibrid H yang ukurannya besar. Agak
berbeda dengan silang tiga arah, pada silang ganda hibrid H disilangkan
dengan hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan D. Dalam
silang ganda ini, sebagai tetua betina dapat digunakan baik hibrid H
maupun hibrid I karena kedua-duanya mempunyai tongkol yang besar.

162
B. Teori Kemungkinan dan Chi Kuadrat

Teori kemungkinan merupakan dasar untuk menntukan nisbah


yang diharapkan dari tipe-tipe persilangan genotipe yang berbeda.
Penggunaan teori ini memungkinkan kita untuk menduga kemungkinan
diperolehnya suatu hasil tertentu dari persilangan tersebut. Beberapa
dasar mengenai teori kemungkinan yang perlu diketahui ialah :

1. Kemungkinan Satu Peristiwa

Ket.
K : Kemungkinan
K (x) : Kemungkinan peristiwa x
X : besarnya peristiwa yang diharapkan
Y : besarnya peristiwa yang tak diharapkan
Suatu peristiwa tentu kadang-kadang dapat diduga kepastiannya.
Misalnya, bila kita melakukan penyerbukan sendiri satu tanaman kapro
maka kita mengharapkan memperoleh biji kapri. Apabila seseorang
bertanya, “Dapatkah diharapkan memanen biji jagung dari tanaman
kapri?”Maka dapat dijawab “tidak”, dalam hal ini kemungkinannya = 0.
Apabila kita umpamakan “p” adalah kemungkinan untuk memanen biji
kapri dari tanaman kapri yang diserbuki sendiri, maka dapat dikatakan p =
1, karena peristiwa ini pasti. Jika “q”adalah kemungkinan untuk memanen
biji jagung dari tanaman kapri, maka q = 0. Jadi “p”dan “q”adalah
kemungkinan alternatifnya.

Ada peristiwa-peristiwa yang mempunyai kemungkinan untuk


terjadi, yaitu kemungkinannya antara 1 dan 0 (antara 100% dan 0).
Umpama sepasang suami istri ingin mengetahui apakah anak pertama
mereka laki-laki atau perempuan. Ini adalah peristiwa tidak pasti, tapi
dapat diduga. Kemungkinan anak laki-laki adalah 50 % jadi p = ½.
Demikian juga kemungkinan anak perempuan adalah 50 %, jadi q =
½ . Ada dua alternatif (pdan q) pada peristiwa di atas yaitu lahirnya
seorang anak. Dalam hal ini p + q = ½ + ½ =1.

163
Dalam percobaan Mendel tentang persilangan kapri berbiji bulat
dan berkerut, dapat dipertanyakan berapa kemungkinan untuk
mendapatkan biji berkerut pada populasi F 2. Dengan mengetahui bahwa
F1 adalah monohibirda maka nisbah F 2 yang diharapkan 3 bulat : 1
berkerut. Jadi kemungkinan untuk mendapat biji berkerut adalah ¼.
Dengan menggunakan simbol “p”dan “q”, klita dapat pula mengatakan
“q”adalah kemungkinan untuk mendapatkan biji berkerut dan q = ¼.

Catatan ; Besarnya kemungkinan atas terjadinya sesuatu yang


diinginkan ialah sama denganperbandingan antara sesuatu yang
diinginkan itu terhadap keseluruhannya.

Contoh :

1. Uang logam mempunyai dua sisi, yaitu sisi atas (disebut juga
kepala = “head”) dan sisi bawah (ekor = “tail”). Jika kita melakukan tos
(undian dengan menggunakan uang logam) dengan sebuah uang
logam, berapa kemungkinannya kita mendapat sisi atas?

Jawabnya :

2. Berapa besar kemungkinannya bahwa seorang ibu melahirkan


seorang anak laki-laki?

Jawabnya :

3. Berapa kemungkinannya anak pertama lahir dari orang tua yang


“carrier” albino, adalah normal?
Jawabnya : Perkawinan orang tua itu dapat digambarkan sebagai berikut :

164
P ♀ Aa x ♂ Aa
F1 AA = normal Jadi kesempatan normal ¾

Aa = normal
Aa = normal dan kesempatan albino ¼

aa = albino
K (normal) = Normal ¾ = ¾
Normal + Albino ¾ + ¼

2. Kemungkinan Dua Peristiwa Atau Lebih Yang Berdiri Sendiri

Besarnya kemungkinan terjadinya dua peristiwa atau lebih yang


masing-masing berdiri sendiri adalah sama dengan hasil perkalian dari
besarnya kemungkinan untuk masing-masing peristiwa itu .

Singkatnya : K (x+y) = K(x) x K (y)

Untuk yang lebih lanjut dua peristiwa rumus dapat dimodifikasi sebagai
berikut :

K (x + y + z +.....) = Kx x (Ky x Kz x .....)

Peristiwa tak gayut (independent) yaitu terjadinya suatu peristiwa


tidak mempengaruhi terjadinya peristiwa yang lain. Apabila pasangan tadi
menanyakan, “Berapa kemungkinan mendapatkan anak laki-laki
kemudian anak perempuan?”. Peristiwa ini tak gayut dan kemungkinan
terjadinya dua (atau lebih) peristiwa tak gayut secara bersama-sama
adalah hasil kali kemungkinan masing-masing peristiwa tersebut.
Kemungkinan lahirnya anak laki-laki kemudian perempuan = ½ x ½ = ¼.

Apabila orang tuanya heterozygot untuk alele albino menanyakan


berapa kemungkinan dua anak pertama albino? Kemungkinan satu albino
= ¼ dan 2 anak pertama albino ¼ x ¼ = 1/16 atau bila mereka
menanyakan berpa kemungkinan anak pertama laki-laki albino?
Kemungkinan anak laki-laki = ½ dan kemungkinan albino = ¼. Jadi
kemungkinan anak laki-laki albino = ½ x ¼ = ⅛. Catatan: Kemungkinan

165
terjadinya peristiwa tak gayut adalah adalah hasil kali kemungkinan
masing-masing peristiwa tersebut.

Contoh :

1. Berapa kemungkinannya bahwa dua anak pertama dari suatu keluarga


adalah laki-laki?

Jawabnya :

Di muka telah diketahui bahwa K(laki-laki) = ½

Maka K(♂,♂) = ½ x ½ = ¼

Untuk membuktikannya :

Anak pertama Anak ke dua


laki-laki perempuan
perempuan laki-laki
perempuan perempuan
laki-laki laki-laki
Dapat pula diartikan bahwa dari setiap 4 keluarga beranak dua akan
diketemukan 1 keluarga yangkedua anaknya laki-laki.

2. Berapa kemungkinannya bahwa 4 orang anak dalam suatu keluarga


mempunyai urutan secara berseling, yaitu laki-laki, perempuan, laki-
laki, perempuan?

Jawabnya : Telah diketahui bahwa kemungkinan lahirnya


laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu ½.
Maka K(♂,♀,♂,♀)= ½ x ½ x ½ x ½ = 1/16

3. Berapa kemungkinan bagi orang tua yang masing-masing


“carrier”albino akan mendapatkan anak perempuan albino?

Jawabnya : diketahui bahwa pada keluarga demikian itu,


kemungkinan lahirnya anak normal = ¾, sedangkan albino = ¼.

Kemungkinan lahirnya anak perempuan = ½.

166
Jadi K(perempuan albino) = ½ x ¼ = ⅛

3. Kemungkinan Dari Sejumlah Peristiwa yang Berdiri Sendiri


(Kemungkinan yang Bersifat Binomium)
Rumus binomium : (a + b)n

Dengan menguraikan rumus binomium kita dapat menjawab


persoalan-persoalan yang ada hubungannya dengan kemungkinan
terjadinya peristiwa-peristiwa yang bersifat alternatif. Misalnya jumlah
peristiwa 3, rumus binomium = (a + b)3 = a 3 + 3a2b + 3 ab2 + b3 = 1. Kalau
yang diharapkan dalam sejumlah peristiwa menyangkut jenis kelamin,
maka ada empat alternatif yang dapat diharapkan.
1. a3 = kemungkinan yang dapat diharapkan adalah ketiga anak
aadalah laki-laki, peluangnya adalah = (½) 3 = ⅛.
2. 3a2b = kemungkinan yang dapat diharapkan adalah 2 laki-laki dan 1
perempuan dengan peluangnya = 3 x (½)2 x ½ = ⅜.
3. 3 ab2 = kemungkinan yang dapat diharapkan adalah 1 laki-laki dan
2 perempuan dengan peluangnya = 3 x ½ x (½)2 = ⅜.
4. b3 = kemungkinan yang dapat diharapkan adalah 3 perempuan
dengan peluangnya = (½)3 = ⅛.
Contoh penggunaan rumus binomium.

1. Mempelai baru tidak setuju dengan anjuran Pemerintah


untuk menjalankan KB (Keluarga Berencana), karena mereka
beranggapan bahwa anak adalah karunia Tuhan. Berhubung dengan
itu mereka merencanakan mempunyai 6 orang anak. Berapakah
kemungkinan bahwa anak-anak itu akan terdiri dari :
a) 3 anak laki-laki dan 3 anak perempuan.

b) 4 anak laki-laki dan 2 anak perempuan

c) 6 anak laki-laki

d) urutan tertentu, yaitu laki-laki, perempuan, laki-laki, perempuan,


laki- laki, perempuan?

167
Jawabnya : Karena diinginkan 6 anak anak, maka n = 6. Untuk
mencari uraian dari (a + b) 6 dapat digunakan pedoman
segitiga pascal, yaitu :

(a + b)6 = a6 + 6 a5b + 15 a4b2 +20 a3b3 + 15 a2b4 + 6 ab5 + b6.

Telah diketahui bahwa kemungkinan lahirnya anak laiki-laki dan anak


perempuan adalah sama, yaitu ½.
Andaikan :

a = kemungkinan lahirnya anak laki-laki = ½

b = kemungkinan lahirnya anak perempuan = ½.

a). K (3 laki-laki, 3 perempuan) = 20 a3b3 = 20 (½)3(½)3 = 20/64

b). K (4 laki-laki, 2 perempuan) = 15 a4b2 = 15(½)4(½)2 = 15/64

c). K(6 laki-laki) = a6 = (½)6 = 1/64

c. Jadi untuk mendapatkan kombinasi yang pertama (3 laki-laki, 3


perempuan) kemungkinannya adalah 20 kali lebih besar daripada
kombinasi yang ketiga (6 laki-laki).

d. Karena diinginkan urutan seks tertentu, maka digunakan teori


kemungkinan yang kedua, yaitu dengan mengalikan kemungkinan dari
tiap peristiwa.

Jadi : K(♂,♀,♂,♀,♂,♀) = ½ x ½ x ½ x ½ x ½ x ½ = 1/64

Walaupun di sini banyaknya anak berdasarkan seks nampaknya sama


dengan pertanyaan a), tetapi besarnya kemungkinan untuk
mendapatkannya ternyata sangat berlainan.
168
2. Suami isteri masing-masing normal tetapi heterozigotik untuk
albino ingin mempunyai 4 orang anak. Berapa kemungkinannya :
a. semua anak itu akan normal
b. seorang anak saja yang albino, sedang yang 3 lainnya
normal.
c. anak yang terakhir saja yang albino, andaikata terpaksa
ada yang akan albino
d. anak yang terakhir saja yang albino lagipula laki-laki,
andaikata terpaksa ada yang akan albino )
Jawabnya :

Suami isteri itu masing-masing mempunyai genotip Aa


sehingga perkawinan mereka dapat dilukiskan sebagai
berikut :

P ♀ Aa x ♂ Aa

Normal normal
Dari diagram perkawinan di
F1 AA = normal samping ini dapat dilihat
bahwa kemungkinan
Aa = normal =¾ lahirnya anak normal ¾,
sedangkan untuk anak
albino ¼.
Aa = normal

aa = albino =¼

Karena diinginkan 4 orang anak maka :

(a + b)4 = a4 + 4 a3b + 6 a2b2 + 4ab3 + b4

Andaikan : a = kemungkinan lahirnya anak normal = ¾

b = kemungkinan lahirnya anak albino = ¼.

a). K (4 normal) = a4 = (¾)4 = 81/256.

b). K (3 normal, 1 albino) = 4a3b = 4(¾)3(¼) = 108/256

c). K (normal,normal,normal,albino) = ¾ x ¾ x ¾ x ¼ = 27/256

d). K (normal,normal,normal,albino ♂) = 27/256 x ½ = 27/512


169
4. Kemungkinan Yang Saling Asing (Mutually Exclusive) dari Suatu
Peristiwa atau dari Sejumlah Peristiwa.

Rumus Kx atau Ky = Kx + Ky

Peristiwa yang saling asing yaitu peristiwa yang tidak mungkin terjasi
secara bersama-sama. Umpama anak pertama dari suatu pasangan
suami istri diharapakan mendapat laki-laki maupun perempuan maka : ini
merupakan peristiwa yang pasti dan kemungkinannya 100 %. Sebenarnya
kita telah menggabungkan dua peristiwa alternatif yaitu p = ½ + q = ½ = 1
(100%). Kelahiran bayi laki-laki tentu saja tidak bisa bersama-sama
dengan bayi perempuan (walaupun kelahiran kembar).

Supaya disadari bahwa peristiwa saling asing bersifat aditif.


Misalnya, sifat albino pada manusia disebabkan oleh satu gen resesif a.
Apabila orang tuanya heterozigot untuk alele albino maka mereka normal
yaitu mempunyai alele A dan a. Kemungkinan mempunyai anak albino
adalah ¼, karena ini merupakan persilangan monohibrida. Kemungkinan
mempunyai baik anak albino maupun anak normal adalah peristiwa saling
asing : normal (p = ¾) + albino (q = ¼) = 1.

Catatan : kemungkinan terjadinya baik satu peristiwa maupun peristiwa


lain dari suatu peristiwa saling asing adalah jumlah kemungkinan
terjadinya masing-masing peristiwa.

B. Chi Kuadrat dan Aplikasinya

Chi-kuadrat adalah uji nyata (goodness of fit) apakah data yang


diperoleh benar menyimpang dari nisbah yang diharapkan, tidak secara
kebetulan. Perbandingan yang diharapkan (hipotesis) berdasarkan
pemisahan alele secara bebas, pembuahan gamet secara rambang dan
terjadi segregasi sempurna. Umpama dari sebuah persilangan antara
tanaman kapri berbungan merah (dominan) dan putih (resesif) diperoleh
290 tanaman berbungan merah dan 110 tanaman berbunga putih pada
populasi F2-nya.

170
a. Menurut hipotesis nisbahnya 3 : 1 maka data yang diperoleh diuji
terhadap nisbah yang diharapkan dari populasi yang terdiri dari 400
tanaman.
b. Perhitungan X2 sebahgai berikut :
Kelas o e d Koreksi d2 d2/e

Merah 290 300 -10 -,5 90,25 0,30


Putih 110 100 +10 + 9,5 90,25
0,90

Total 400 X2 = ∑ d2/e 1,20

Keterangan:
o = yang diamati (observed)
e = yang diharapkan (expected)
d = selisih pengamatan dan harapan (deviasi)
Koreksi d = “Ÿates correction”dilakukan apabila jumlah kelas
kurang dari 4 dengan mengurangi 0,5 dari nilai deviasi.

c. Apakah artinya X2 = 1,20 ?


Kita harus menggunakan daftar chi-kuadrat untuk mengetahui
apakah penyimpangan itu nyata atau tidak. Dengan menggunakan
dafta 2 – 1 kita lihat derajat bebasnya dan dalam hal ini derajat
bebas satu. Derajat bebas selalu sama dengan jumlah dikurangi
satu. Dengan mengikuti barisnya ke kanan terlihat 1,20 terletak
antara 20 dan 30 % (mendekati 20%).

1. Jenjang Nyata

Biasanya nilai kemungkinan 5 % dianggap sebagai garis batas


antara menerima dan menolak hipotesis. Apabila nilai kemungkinan lebih
besar dari 5 %, penyimpangan dari nisbah harapan tidak nyata. Pada
contoh di atas diperoleh penyimpangan kira-kira 25 %, jadi kita tidak
menolak (kita menerima) nisbah 3 : 1. Penyimpangan yang ada hanya
secara kebetulan saja. Apabila nilai chi-kuadrat di bawah 5 % maka
dikatakan bahwa penyimpangan dari nisbah 3 : 1 nyata dan tidak terjadi
secara kebetulan tetapi ada faktor lain yang menyebabkan penyimpangan
171
tersebut. Pada persilangan kapri dihibrida, hipotesisnya adalah nisbah
yang diharapkan 9 : 3 : 3 : 1.

Kelas o e d d2 d2/e

Kuning,bulat 315 313 2 4 0,0128


Kuning, berkerut 101 104 3 9 0,0865
Hijau, bulat 108 104 4 16 0,1538
Hijau, berkerut 32 35 3 9 0,2571
Total 556 556 X2 = 0,5102

Catatan: Harapan = 9/16 x 556 = 313; 3/16 x 556 = 104 dan 1/16 = 35.
Dengan menggunakan x2 daftar dan derajat bebas 3, ternyata nilai x 2
hitung = 0,5102 melebihi 90 5. Karena tidak beda nyata, hipotesis bahwa
nisbah 9 : 3 : 31 diterima.
Umpama nilai x 2 di atas = 8,5102 (kurang dari 5 %) dikatakan
penyimpangannya nyata dan kita menolak hipotesis 9 : 3 : 3 : 1. Ini
menunjukkan bahwa data tidak sesuai dengan nisbah yang diharapkan,
tetapi tidak berarti salah. Dalam hal ini data yang diperoleh dan percobaan
yang telah dilakukan harus ditinjau lagi.
Apakah sudah diawasi dengan baik ?
Apakah ada faktor lingkungan yang mempengaruhi ?
Apakah ada faktor kebetuhan mungkin mempengaruhi percobaan ?
Mungkinkah kita salah dalam mengklasifikasikan beberapa muatan?

2. Chi –kuadrat Untuk Uji Homogenitas

Dalam mempelajari pewarisan suatu sifat sering kita menggunakan


bahan yang sumbernya berbeda atau membagi suatu populasi menjadi
famili-famili atau galur-galur. Karena itu perlu diuji apakah percobaan yang
terpisah (contoh dari populasi) dapat digabungkan untuk mengetahui
nisbah genetknya.

Uji homogenitas menyatakan apakah kita benar dalam


menggabungkan data dari percobaan yang berbeda.

172
Lima langkah yang perlu dikerjakan dalam menggunakan analisis X2
kuadrat:

a. Hitung chi-kuadrat dari masing-masing percobaan tanpa


menggunakan koreksi Yates terhadap derajat bebas karena hanya
chi-kuadrat yang tidak dikoreksi bersifat aditif.
b. Jumlahkan nilai chi-kuadrat dan derajat bebas dari masing-masing
percobaan, disebut chi-kuadrat total.
c. Data pengamatan dari masing-masing percobaan dijumlahkan
kemudian dihitung chi-kuadrat dari gabungan data tersebut. Ini
disebut chi-kuadrat gabungan (Pooled Chi=square). Derajat bebas
untuk nisbah harapan 3 : 1, apabila data digabungkan sama dengan
satu (Total koreksi Yates).
d. Kurangi chi-kuadrat total dengan chi-kuadrat gabungan untuk
mendapatkan chi-kuadrat homogenitas. Juga derajat bebas total
dikurangi derajat bebas gabungan untuk memperoleh derajat bebas
homogenitas.
e. Tentukan jenjang nyata chi-kuadrat homogenitas dengan
menggunakan daftar chi-kuadrat untuk menentukan apakah
percobaan tersebut homogen (contoh dari populasi dengan nisbah
yang diharapkan).
Catatan : Contoh berikut ini akan menjelaskan uji homogenitas. Umpama
kepala sari tanaman jagung segresasi untuk warna kuning (dominan) dan
ungu (resesif) dan ada empat persilangan yang dipelajari. Perhitungannya
sebagai berikut :

Data pengamatan dan chi-kuadrat untuk kepala sari kuning dan ungu

Populasi Kuning Ungu df x2 Probability


1 305 95 1 0,33 0,60
2 610 190 1 0,66 0,40
3 140 60 1 2,66 0,10
4 625 175 1 4,17 0,03
Total 4 7,82 0,10
Gabungan 1680 520 1 2,17 0,15

Homogenitas X2 3 5,65 0,15

Nyata pada taraf 5 %

173
Keturunan segresasi dari populasi 1,2, dan 3 sesuai dengan nisbah
3 : 1, tetapi populasi tidak. Ini menunjukkan ada faktor lain bukan
kebetulan yang telah mempengaruhi pewarisan sifat itu. Kita masih ingin
mengetahui apakah gabungan dari keturuna tersebut dapat mewakili
contoh dari populasi yang homogen. Dengan melihat daftar chi-kuadrat
dengan derajat bebas = 3, dapat diketahui bahwa nilai homogenitas 5,65
menyimpang dengan jenjang nyata 15 % dan ini tidak nyata. Jadi
keragaman populasi 4 dapat terjadi karena faktor kebetulan di dalam
suatu populasi homogen. Jadi, kita benar dalam menggabungkan data
tersebut.

C. Seleksi Dan Breeding


Seleksi ialah memilih serta mencari keturunan tanaman atau ternak
yang memiliki karakter baik, yang berguna untuk meningkatkan hasil serta
mutunya. Karakter-karakter baik ditentukan genotip, tapi ekspresinya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Karena itu dalam memilih serta
mencari sifat genetis yang baik, sekaigus harus disertai dengan
menentukan lingkungan yang cocok dan paling ekonomis terhadap yang
diseleksi. Seleksi dapat juga disebut usaha pemuliaan.
Breeding ialah mengawin-ngawinkan tanaman atau ternak yang
perlu untuk mencari karakter-karakter baik yang disebut diatas. Seleksi
selalu disertai breeding. Hasil breeding bias disebut bred atau kawinan.
174
Potensi karakter baik ditentukan dalam genotip. Maka untuk mendapat
jaminan dan kestabilan ekpresi potensi yang tinggi, orang harus membuat
seleksi pada sifat genetis, sedangkan seleksi morfologis (fenotip) hanya
menyertainya.
Yang diseleksi itu ialah seperti karakter-karakter :
1. Ketahanan terhadap cuaca, suhu dan kekeringan
2. Ketahanan terhadap sejenis hama
3. Kekokohan batang agar jangan mudah rebah
4. Memperpendek masa berbunga dan berbuah, agar hasilnya cepat
dipetik
5. Melamakan waktu berbunga agar lebih lama dinikmati
keindahannya atau melamakan waktu matang buah agar lebih
besar
6. Meningkatkan mutu getahan seperti air susu, kina dan minyak
7. Meningkatkan mutu dan jumlah kawinan
8. Membuang karakter-karakter buruk atau yang tak ekonomis,
sehingga karakter-karakter baik saja yang menonjol
Pada umumnya di alam sifat genetis penduduk suatu spesies
sangat heterozigot, ini karena :
1. Tempa hidup berbeda-beda, daya dan arah mutasi pun berbeda-
beda pada gen yang sama
2. Lingkungan berbeda ekspresi suatu gen yang sama bisa berbeda
3. Kawin acak (random) selau terjadi di alam, dan makin acak
perkawinan makin heterozigotlah genotip.
Karena heterozigotan itu banyak sifat genetis yang baik jadi
tersembunyi atau ditutupi oleh yang lain. Dengan seleksi alel-alel baik
berekspresi kembali pada suatu generasi.
Cara seleksi
Seleksi menempuh barbagai tahap atau cara :
1. Memilih bibit
2. Mencari lingkungan dan cara yang paling cocok da ekonomis
bagi pembiakan bibit
3. Mengadakan breeding
4. Membuat mutasi induksi

175
5. Memilih hasil breeding atau mutasi yang paling baik dan cocok
pada suatu daerah
6. Menyebarkan bibit hasil breeding atau mutasi induksi yang
terpilih
Untuk memilih bibit yang cocok dengan keinginan apakah besar
biji, besar daun, nilai gizi dan sebagainya orang harus mengadakan
koleksi berbagai kelompok, strain, varietas atau penduduk suatu spesies
secara luas. Makin luas makin baik, supaya data tentang sifat-sifat suatu
jenis tanaman atau ternak jadi banyak. Seperti disebut diatas beda
lingkungan geografis bisa pula beda daya dan ara mutasi bahan genetis,
karena itu alel yang terbentuk pada suatu gen A di berbagai tempat bisa
berbeda-beda. Di daerah A mungkin terbentuk alel a’, di derah B alel a”,
dst. Makin luas koleksi varietas-varietas suatu tanaman atau ternak, makin
banyak pula terkumpul macam-macam alel suatu gen karakter yang
sedang diselidiki.
Mungkin saja alel a’ di daerah asal tak cocok, tapi kalau
dipindahkan ke daerah baru jadi cocok dan menguntungkan untuk
dibiakkan. Itulah sebabnya dalam memilih bibit yang baik orang sering
mendatangkan dari luar negeri, dari negeri yang asing dan jauh. Karena
makin asing dan jauh makin aneh pula macam alel yang terbentuk di sana
pada suatu gen. Dengan demikian jadi kayalah perbendaharaan kita akan
macam-macam alel suatu gen yang sedang ingin ditingkatkan mutu
karakter yang ditumbuhkannya.
Dalam memilih bibit kita harus menanamnya terpisah-pisah antara
satu macam dengan yang lain. Hasil pertanaman diambil data statistiknya,
dihitung nilai rata-rata setiap karakter yang sedang diteliti. Sebutlah kita
ingin mendapat bibit unggul jagung, yang tongkolnya paling besar. Kita
tanam tiap strain atau varietas yang ada dalam koleksi, dihitung panjang
rata-rata tongkol tiap strain dalam lingkungan dan teknik pertanaman yang
sama. Dari perhitungan statistik kita dapatlah strain yang diinginkan.
Pada tanaman lingkungan tempat tumbuh suatu jenis bibit penting
sekali diperhatikan. Zat-zat hara dalam tanah harus cukup, suhu,
pancaran matahari dan kelembaban harus cocok. Jika lingkungan tidak
diasuh baik maka expresi genotip tidak akan maksimal. Bagi ternak pun

176
sama halnya. Kita cari lingkungan dan cara yang cocok untuk
membiakkannya. Domba bukit karang umpamanya, sangat ekonomis
dibiakkan, karena biaya murah dibandingkan dengan domba lapangan
rumput.
Cara inseminasi buatan sangat ekonomis bagi pekerjaan seleksi
dan meningkatkan produksi ternak. Puluhan ribu ekor betina dapat
dikawini oleh beberapa ekor penjantan. Para jantan pun tak perlu diangkut
ke tempat betina. Cukup diambil maninya dan dibekukan.
Produksi susu yang tinggi gennya terdapat baik pada jantan
maupun pada betina, Cuma expresinya terbatas pada betina. Maka kalau
pihak jantan saja diseleksi, produksi susu yang tinggi pada sapi perah
dapat ditingkatkan lebih mudah dan cepat.
Tentang cara seleksi nomor 5 dan 6 sudah tergolong teknik
pertanian, shingga tak perlu kita ulas dalam buku ini.
Breeding
Breeding atau mengawinkan ada 2 pihak :
1. Acak
2. Terarah
Acak tidak akan mengubah frekuensi alel, sehingga berlakulah
Hukum Hardy-Weinberg. Di tengah penduduk yang banyak dan mendiami
daerah yang luas, perkawinan acak umum terjadi. Perkawinan acak
meningkatkan heterozigotan genotip, karena itu karakter-karakter baik
atau unggul makin banyak tersebar dan makin banyak tersembunyi oleh
alel-alel dominannya. Perkawinan acak berarti menurunkan daya produksi
dan anak-anaknya sangat variable oleh heterozigotan itu.
Perkawinan terarah, mengubah frekuensi alel, karena itu Hukum
Hardy-Weinberg tak berlaku. Perkainan disini diarahkan untuk
meningkatkan expresi alel-alel baik. Dengan perkawinan terarah sifat
kehomozigotan akan meningkat, dengan demikian sifat-sifat baik akan
makin banyak muncul dan terkumpul pada suatu generasi. Generasi itu
pun sangat seragam, karena genotip yang sangat homozigot itu.
Perkawinan terarah terdiri dari :
a. Inbreeding
b. Outbreeding

177
Inbreeding, menghasilkan turunan dari perkawinan sekerabat.
Outbreeding menghasilkan turunan dari perkawinan tak sekerabat.
Beda keduanya sering kurang jelas, ada gradasi. Kalau hubungan
kerabat sudah sangat jauh, sukar membedakannya dengan outbreeding.
Inbreeding yang paling ekstrim ialah pembuahan sendiri (self-fertilization).
Bagi tanaman disebut penyerbukan sendiri sel-pollination, disingkat
selfing). Artinya pembuahan bakal putik oleh serbuk sari oleh bunga satu
individu.
Outbreeding yang paling ekstrim ialah perkawinan individu yang
berbeda spesies.
Inbreeding menghasilkan kehomozigotan, outbreeding
menimbulkan keheterozigotan. Oleh inbreeding terus-menerus,
kehomozigotan makin meningkat antara individu suatu penduduk atau
antara gen dalam suatu individu. Kehomozigotan ini akan melemahkan
individu-individunya terhadap perubahan lingkungan, tapi variasi makin
sedikit.
Inbreeding menuju kepada stabilisasi varietas suatu spesies,
karena genotip makin sama pada individu-individu suatu penduduk dan
dalam tiap individu makin banyak gen yang homozigot.
Outbreeding menguatkan individu-individunya terhadap perubahan
lingkungan, tapi karena keheterozigotan meningkat, kestabilan varietas
pun menurun. Dengan outbreeding makin banyak timbul variasi.
Beberapa sarjana member batasan inbreeding pada perkawinan
antara individu yang ada hubungan kerabat langsung sampai 3 generasi
saja, di luar itu sudah tergolong outbreeding.
Pionir dalam breeding ialah W. Johannsen, S. Wright, G.H. Shull,
E.M. East dan D.F. Jones.
Macam inbreeding
Yang tergolong inbreeding ialah seperti :
1. Penyerbukan sendiri dalam satu pohon
2. Kawin sesaudara kandung : F1 x F2, F2 x F2,dst
3. Backcross : P x F1
4. Kawin saudara sepupu
5. Kawin antara mamak dan kemenakan

178
Contoh inbreeding pada tanaman ialah penyerbukan sendiri pada
jagung. Sebagai kita ketahui tanaman ini monocious, tapi bunga jantan
pisah dari bunga betina. Bunga jantan terletak di puncak batang. Bunga
betina di ketiak daun, yang kalau sudah diserbuki akan menjadi buah
jagung kelak.
Untuk menyerbuki sendiri itu, serbuk sari dari bunga jantan dari
satu batang jagung diusapkan dengan kuas atau alat lain ke ujung bunga
betina yang berbulu-bulu panjang itu. Lewat bulu-bulu itulah serbuk sari
masuk untuk menyerbuki ovum pada tongkol, sehingga menjadi biji-biji
jagung. Bunga betina lebih dulu harus ditutup dengan kertas yang tembus
cahaya, mencegah terjadinya penyerbukan silang dari batang lain.
Setelah diserbukkan dengan sengaja, bunga betina itu masih ditutup
beberapa lama sampai pasti sudah terjadi penyerbukan di dalam.
Meningkatnya kehomozigotan
Dengan inbreeding terus-menerus kehomozigotan genotip
meningkat. Kita ibaratkan ada gen A-a yang karakternya ingin diseleksi
pada suatu strain. Di tengah penduduk tanaman itu terdapat 3 macam
genotip berhubung dengan gen itu : AA, Aa dan aa. AA dan aa yang
homozigot, Aa yang heterozigot.
Dengan inbreeding AA dan aa akan meningkat persentasenya,
sedang yang Aa menurun.
P : AA x aa

F
:
1 Aa
Homozigot 0 = 0%
F
:
2 F1 x F1 : 1/4 AA : 1/2 Aa : 1/4 aa
Homozigot : 2 x 1/4 1/2 = 50 %
F
:
3 F2 x F2 : 3/8 AA : 2/8 Aa : 3/8 aa
Homozigot : 2 x 3/8 3/4 = 75 %
F
:
4 F3 x F3 : 7/16 AA : 2/16 Aa : 7/16 aa
Homozigot : 2 x 7/16 7/8 = 87,5 %
F
:
5 F4 x F4 : 15/32 AA : 2/32 Aa : 15/32 aa
Homozigot : 2 x 15/32 14/15 = 93,75 %
F
:
6 F5 xF5 : 31/64 AA : 2/64 Aa : 31/64 aa

179
Homozigot : 2 x 31/64 31/32 = 96,875 %
F
:
7 F6 x F6 : 63/128 AA : 2/128 Aa : 63/128 aa
Homozigot : 2 x 63/128 63/64 = 98,45 %
F
:
8 F7 x F7 : 127/256 AA : 2/256 Aa : 127/256 aa
Homozigot : 2 x 127/256 127/128 = 99,61 %

Pada generasi ke 8 ternyata genotip sudah hamper seluruhnya


homozigot pada individu-individunya (99,61%).
Penyimpangan Hukum Hardy-Weinberg
Karena breeding menimbulkan perubahan perimbangan alel di
masyarakat, maka S. Wright (1921) membuat suatu rumus baru,
perbaikan terhadap rumus Hukum Hardy-Weinberg. Sebagaimana kita
telah pelajari, bahwa dari rumus (pA + qa) pada masyarakat panmixis,
kawin acak, dan tak terjadi migrasi besar-besaran atau mutasi baru pada
gen A, maka frekuensi individu-individu berikut ialah :
AA = p2
Aa = 2pq
aa = q2
Terhadap inbreeding Wright menyisipkan faktor F, coefficient of in
breeding. Maka frekuensi masing-masing ketiga macam genotip di atas
ialah :
AA = p2 (1-F) + pF
Aa = 2pa (1-F)
aa = q2 (1-F) qF
F terletakantara O dan 1. F = O jika penduduk melakukan kawin
acak, dan kembali memenuhi rumus asli : p 2 AA : 2pqAA : q2 aa. F = 1 jika
penduduk sudah homozigot seluruhnya.
F itu untuk berbagai tingkat inbreed dihitung sebagai berikut :
Kemungkinan suatu individu menerima alel A dari P Aa ialah 1/2,
kemungkinan anaknya menerima alel itu lagi ialah (1/2) 2. Cucunya (1/2)3
dan generasi ke n (1/2)n.
Kemungkinan menerima dari pihak ibu yang Aa atau pihak ayah
yang Aa juga, supaya jadi AA atau aa ialah pertambahan kemungkinan
pertama dan kedua : (1/2)n + (1/2)n. Daftar berikut perhitungan nilai F
untuk berbagai tingkat inbreeding
Daftar XX

180
Nilai F berbagai tingkat inbreeding
Generasi ke F
1 (1/2)1 + (1/2)1 = 1
2 (1/2)2 + (1/2)2 = 1/2
3 (1/2)3 + (1/2)3 = 1/4
4 (1/2)4 + (1/2)4 = 1/8
5 (1/2)5 + (1/2)5 = 1/16
6 (1/2)6 + (1/2)6 = 1/32

Sesuai dengan perumusan kehomozigotan diatas, Wright membuat


grafik hubungan antara kehomozigotan dan tingkat inbreeding.
Persentase kehomozigotan itu tertinggi kalau terjadi pembuahan
atau penyerbukan sendiri, diikuti oleh perkawinan sesaudara kandung (F1
x F1, F2 x F2, dst). Disusul secara berurutan oleh perkawinan saudara
sepupu tingak I rangkap, kawin saudara sepupu tingkai I dengan dengan
saudara sepupu tingkat II.
Inbreeding dan karakter buruk
Pada ternak dijumpai, jika terlalu dekat kerabat dalam pembiakan,
produksi susu turun dan pertumbuhan anak lambat. Pada tanaman seperti
kita sebut di atas, makin lemah terhadap perubahan lingkungan, sehingga
makin kurang fertil.
Kenapa demikian? Karena karakter buruk itu sering bersifat resesif,
dan dari generasi ke generasi selalu terpendam oleh kehadiran alelnya
yang dominan. Karena makin lama terjadi kehomozigotan, termasuk alel
resesif, maka karakter buruk itu pun bermunculanlah. Tapi harus diingat,
tak selalu inbreeding menuju pada permunculan karakter buruk. Karakter
buruk hanya akan muncul jika memang ada alel untuk itu pada suatu
keturunan atau strain.
Kalau alel karakter buruk itu ada, inbreeding tak menimbulkan
keburukan apa-apa.
Sarjana yang terkenal melakukan percobaan inbreeding ialah W.
Johannsen, Sewall Wright, G.H. Shull, dan E.M. East. Tapi dasar
percobaan mereka itu diletakkan lebih dulu oleh H Nilsson-Ehle, yang
seperti telah kita bicarakan dalam bab interaksi gen, memecahkan prinsip
polimeri atau gen yang bersifat kumulatif.

181
W. Johannsen mula-mula sebetulnya ingin mengamati sampai
dimana karakter besar (berat)biji suatu tanaman dipengaruhi faktor
genotip, dan sampai dimana pula besar pengaruh faktor lingkungan. Ia
terkenal pula membuat istilah “genotip” dan “fenotip” yang selalu kita pakai
dalam buku ini. Ia melakukan seleksi pada buncis (1900). Dengan
melakukan inbreeding terus-menerus ia mendapat suatu generasi yang
“true breeding type” atau “purebred” yang homozigot sekali. Dia beri istilah
dengan “galur murni” (pure line).
Buncis kalau diisolir melakukan penyerbukan sendiri secara
alamiah. Bukan seperti jagung yang harus disengaja dengan tangan
manusia. Karena itu buncis mudah dipakai untuk percobaan breeding.
Dari 19 galur murni buncis yang dia tanama, ia membuat grafik
frekuensi distribusi berat (besar) biji. Terdapat suatu bentuk kurva yang
simetris. Dari kurva itu (Gb.137) dapat terlihat. (antara 45 dan 55cg) yang
paling sedikit ialah yang paling ringan dan yang paling berat.
Kalau masing-masing kelompok berat buncis kita masuk-masukkan
ke dalam karung. Dalam gambar nampak kurva a berdempet dengan
kurva b membentuk segitiga b-ab-a. Pada daerah itu berat buncis sama.
Ini berarti bahwa ada sebagian biji galur a yang beratnya sama dengan
sebagian biji galur b yang teringan. Antara galur a, b dan c pun ada
perdempetan membentuk segitiga c-ac-a. Di dearah ini ketiga galur
memiliki sama berat pula. Biji galur a yang terberat sama dengan biji galur
b dengan berat sedang, dan sama pula dengan biji galur c yang teringan.
Jelaslah bahwa :
1. Fenotip suatu individu bisa saja sama dengan fenotip individu dari
keturunan lain yang genotipnya berbeda
2. Setiap galur memiliki genotip yang bervariasi, yang disebabkan faktor
lingkungan, karena faktor genetis dapat dianggap sudah homozigot.
Dalam kita melakukan seleksi terhadap galur terberat, tak cukup
hanya melihat berat biji suatu kelompok batang atau keturunan. Harus
juga ditelusuri sifat genetisnya. Mungkin saja kita terkecoh mengambil
untuk bibit biji yang tergolong besar. Padahal itu berasal dari galur berat
sedang. Kalau bibit galur sedang ini ditanam, didapat biji-biji yang berat

182
rata-ratanya lebih rendah dari berat bibit yang ditanam. Karena biji yang
ditanam itu sebenarnya biji paling berat dari galur sedang.(Gb.140)
G.H. Shull yang melakukan percobaan pada jagung (1905),
membuat galur murni pula dengan cara penyerbukan sendiri. Ia menyebut
galur murni itu biotipe. Beda dengan buncis, untuk melakukan selfing
jagung harus disengaja dengan tangan manusia.
E.M. East juga melakukan percobaan yang sama dengan Shull
terhadap jagung (1904).
Shull dan East mendapat kesimpulan, bahwa dengan inbreed atau
selfing terus-menerus terjadi penurunan vigor (kekuatan, sifat-sifat baik),
yang jelas Nampak pada makin rendahnya batang serta besar tongkol.
Meski demikian, dengan melakukan inbreed inilah Shull dan East
menemukan galur murni jagung, yang dengan berbahankan itu dapat
mereka melakukan macam breeding berikutnya, yakni outbreeding.
Setelah itu ditemukanlah sifat-sifat baik yang mengembirakan.
Outbreeding dilakukan Shull dan East dengan menghibridkan galur
murni berbeda (1909). Mereka menemukan peristiwa apa yang
diistilahkan oleh Shull sendiri : heterosis. Suatu hybrid vigor dengan
meningkatnya kekuatan atau sifat-sifat baik hasil hybrid dibandingkan
dengan P dari masing-masing galur.
D.F. Jones meningkatkan percobaan Shull dan East pada jagung
(1917). Ia melakukan double cross, yakni menghibridkan lagi hasil
masing-masing hibrid yang dilakukan Shull dan East. Sehingga hibrid
sederhana yang dilakukan duluan disebut single cross.
Double cross itu demikian : mula-mula galur A x galur B, didapat
hasil hibrid AB. Kemudian galur c x galur D didapat hasil hibrid CD.
Barulah dilakukan hibrid tingkat kedua, hibrid AB x hibrid CD, menjadi
hasil hibrid double AB x CD
Dengan double cross ini ternyata heterosis makin meningkat
dibandingkan dengan single cross. Tapi Jones menemukan, jika F1 hasil
double cross (ABxCD) diinbreed lagi, sehingga didapat F2, heterosis itu
menurun san mutu karakter sangat bervariasi. Pada F3 lebih menurun
lagi, sampai pada F6 mutu vigor itu menyamai mutu P kembali. Pada F7
dan seterusnya mutu vigor menurun terus dan lebih rendah dari P sendiri.

183
Karena itu untuk mendapat hasil panen yang setinggi-tingginya
hanyalah benih F1 double cross yang baik ditanam. F1 ini dihasilkan di
kebun percobaan, lalu benihnya dijual kepada petani. Jika bunga sudah
tumbuh bunga jantan dari AB atau CD dibuang, agar terjadi selfing. Untuk
jelasnya lihatlah lagi gambar halaman depan hasil double cross Jones itu.
Oleh jasa para sarjana dalam breeding jagung ini (terutama Shull,
East dan Jones), maka produksi jagung di Amerika Serikat naik 1/3, meski
daerah perladangannya menurun 1/5. Sebelum tahun 1929 tak ada yang
menanam jagung hibrid. Tapi sejak tahun itu yang mau sampai 23%
petani, tahun 1949 77% dan sejak tahun 1969 (40 tahun kemudian),
hamper 100% petani Amerika menanam jagung hibrid. Dalam setahun
saja produksi jagung di Negara itu telah dapat melebihi biaya penelitian
yang dikeluarkan bagi percobaan pemuliaan tanaman selama 70 tahun
(sejak 1900).
Tegasnya unutk mendapat hasil yang tinggi terhadap suatu jenis
tanaman, mula-mula dilakukan inbreeding terus-menerus terhadap
berbagai varietas atau strain, sampai ditemukan galur-galur murni yang
dianggap baik. Galur-galur yang terpilih ini disingle cross. Akhirnya di
double cross.
Percobaan Wright
Sewall Wright terkenal sebagai orang pertama melakukan seleksi
dan breeding pada hewan yang biasanya dilakukan orang pada tumbuhan
saja. Ia melakukan inbreeding dan outbreeding terhadap marmot selama
11 tahun (1906-1917). Marmot itu mula-mula terdiri dari 5 keluarga, anak-
anaknya dikawinkan sesaudara terus-menerus sampai 33 generasi. Yang
35 keluarga itu akhirnya tinggal 5, yang lain susut lalu punah.
Ia mendapat kesimpulan bahwa :
1. Tiap keluarga makin homozigot
2. Antara keluarga makin jelas differensiasi
3. Menurunnya vigor sampai F12
4. Vigor jadi tetap (tak turun lagi) setelah F12
5. Tiap keluarga punya macam vigor sendiri-sendiri

184
6. Secara berangsur terjadi penyusutan anggota tiap keluarga,
karena kematian, sehingga yang bertahan sampai generasi
terakhir hanya beberapa keluarga.
Tentang vigor, Wright melihat ada satu keluarga yang bertubuh
paling besar dan paling banyak anak, tapi paling lemah terhadap penyakit
tuberculosis. Ada pula kaluarga lain yang bertubuh paling kecil, beranak
sedikit, angka kematian tinggi waktu lahir, tapi yang selamat hidup lebih
tahan dan lebih panjang umur, serta lebih tahan terhadap tuberculosis.
Kehomozigotan itu Wright melihat terdapat pada karakter warna
bulu, warna mata, besar mata, bentuk tubuh, dan juga pada watak atau
kelakuan (ada yang lebih aktif dan penggelisah dari yang lain.
Differensiasi antara berbagai keluarga bukan terbatas pada
karakter morfologi, tapi juga berlaku pada karakter anatomis. Ada
keluarga yang jantung, paru dan hatinya nyata-nyata lebih berat dari
keluarga-keluarga lain. Bentuk dan besar adrenal, tiroid dan limpa pun
bisa berbeda jelas antara keluarga, bahkan menurut H.H. Strandskov
(1939) yang mengikuti percobaan Wright ini, bisa dipakai untuk
determinasi macam-macam keluarga marmot.
Wright melihat pula, tak ada hubungan penurunan vigor dengan
kelahiran monster atau cacat berat oleh inbreeding, seperti banyak
dikuatirkan oleh banyak peternak sebelumnya. Tak selalu timbul monster
oleh inbreeding yang terus-menerus. Monster hanya terjadi jika memang
pada keluarga itu ada alel untuk itu dibawa turun temurun. Kalau alel itu
tak ada, monster tak akan timbul.
Dengan outbreeding Wright menjumpai pula akan adanya peristiwa
heterosis pada marmot. Ialah dalam hal tubuh yang makin besar dari P
dan lebih tahan terhadap tuberculosis.
Wright menyarankan, bawhwa dengan breeding kita dapat
meningkatkan mutu ternak! Memang ini terbukti benar sekali. Kini orang
dapat meningkatkan mutu ekonomis peternakan ayam, babi, kuda, sapi
dan domba dengan cara breeding.
Breeding pada ternak
Domba Merino penghasil woll terkenal, sesungguhnya berasal dari
seleksi breeding terus-menerus yang dikerjakan sejak lk. 170 tahun

185
lampau terhadap domba liar yang tak produktif sama sekali. Dulu domba
itu masih memiliki 2 macam bulu : bulu panjang kasar yang tumbuh dari
akar sendiri, dan bulu pendek halus dari akar lain. Dengan seleksi dapat
dipisahkan kedua macam bulu itu, sehingga pada F ke sekian tinggal bulu
pendek halus yang tumbuh tebal dan rata.s
Domba Rambouillet berbulu pendek halus dan hidup bergerombol.
Domba Lincoln berbulu panjang besar, hidup menyendiri dan dagingnya
bermutu tinggi. Jika kedua jenis domba ini dihibridkan, terjadi domba
Columbia namanya. Domba kawinan ini berbulu woll lebih panjang dan
sekaligus dagingnya bermutu tinggi.
Crossbreeding
Perkawinan antara individu berbeda rasa atau spesies disebut
crossbreeding. Ini semacam outbreeding yang paling ekstrim. Cara ini
telah berabad-abad dikerjakan pada peternak terhadap kuda dan keledai.
Hasil hybrid atau crossnya disebut bagal atau dalam Bahasa Inggris
disebut mule. Bagal superior dibandingkan dengan masing-masing P.
Lebih besar, lebih ramping dan lincah dan lebih kuat dari keledai, lebih
tahan penyakit, berdaya tahan lama bekerja dengan makanan sedikit dan
tempat kering dibandingkan dengan kuda. Ia pun penyabar, penurut tak
galak dan tak mudah marah, sifat-sifat yang dimiliki kuda.
Bagal dipakai untuk pengangkut beban atau bekerja, menmpuh
daerah yang sulit dan butuh kesabaran. Baik dipakai mengangkut barang
lewat jalan-jalan buruk dan terjal di pegunungan. Harganya lebih mahal
daripada kuda, apalagi keledai. Ia steril, karena itu mendapat bagal harus
dikawinkan lagi kuda dan keledai.
Crossbreeding :
Kuda x keledai
Bagal
(Steril)
Sapi zebu jenis Brahma dari India kalau disilangkan dengan sapi
piara Eropa menghasilkan keturunan yang heterosis pula. Hasil hybrid
sapi ini fertile pula, sehingga dapat dibiakkan.
Jika sapi Bison dicrossbreed dengan sapi piara, hibridnya disebut
Catalo. Ini juga memiliki heterosis. Lebih kuat, lebih banyak dagingnya

186
dan lebih tahan cuaca buruk daripada sapi piara. Anehnya sapi hybrid
catalo ini yang betina saja fertile, yang jantan steril.
Secara biasa domba berputil susu 2, sesewaktu ada yang 3 atau 4.
Dengan seleksi dan breeding antara yang berputil banyak dapat
dihasilkan keturunan domba yang berputil 6 yang fungsionil. Karena itu
makin besar kesempatan memelihara anak.
Babi biasanya bertulang rusuk 14, sesewaktu ada yanh 15, 16
bahkan 17. Makin banyak tulang rusuk makin panjang tubuh, makin tinggi
produksi dagingnya. Dengan breeding dapat dihasilkan keturunan bani
yang bertulang rusuk lebih banyak dari 14.
Sebab heterosis
Dengan inbreeding vigor menurun. Ini karena karakter buruk atau
yang tak diinginkan manusia umumnya bersifat resesif, dan makin jauh
inbreeding dilakukan, makin banyak kehomozigotan, dan makin banyak
timbul karakter resesif. Karakter buruk yang bersifat dominan dapat
segera muncul, disisihkan dan menyusut dari arus genetis.
Dengan outbreeding pertama kali antara galur berbeda, menurut
Shull timbulnya heterosis karena genotip heterozigot merangsang
pertumbuhan. Sarjana lain berpendapat, bahwa heterosis terjadi karena
bertemunya alel-alel dominan dari kedua pihak galur yang menaikkan
vigor hibrid.
Alel-alel keunggulan yang dimiliki galur A (yang tak dimiliki galur B),
jumpa dengan alel-alel keunggulan yang dimiliki galur B (yang tak dimiliki
galur A). ini bergabung menimbulkan heterosis. Karena alel-alel itu
dominan keunggulan-keunggulan itu segera berexpresi pada F1. Pada F1
ini semua alel dominan menutupi expresi alel resesif (banyak yang buruk),
dengan begitu karakter buruk ditutupi. F1 pun memiliki genotip seragam
semua, karena itu tak variabel, kalau ada kevariabelan itu hanya oleh
faktor lingkungan.
Jika terjadi inbreeding (F1 x F2), F2 memiliki individu-individu yang
variabel lagi. Alel-alel resesif bersegresi lagi, sehingga dapat muncul lagi
karakter-karakter buruk yang dimiliki masing-masing P.
Jadi gen-gen pada peristiwa heterosis berinteraksi secara kumulatif
atau polimeri, seperti telah kita bicarakan pada bab interaksi gen.

187
Sebutlah oleh inbreeding terus-menerus kita dapat 2 galur murni
jagung :
Galur A : AAddccDDEEff
Galur B : aaBBCCddeeFF
Kalau dioutbreed :
P : AAbbccDDEEff x aaBBCCddeeFF
F1 : AaBbCcDdEeFf
Kalau A, B, C, D, E, dan F senilai dan dominan penuh, maka yang
bergenotip homozigot dominan = yang heterozigot : AA = Aa, BB = Bb,
dst.
Karena itu pada F1 alel dominan jadi 2x masing-masing P,
sehingga vigornya pun 2x lipat dari P.
Jika F1 menyerbuki sendiri sesamanya, akan terjadi segresi semua
alel, sehingga gamet F1 menjadi 2 n, dimana n disini = 6. Jadi macam
gamet : 26 = 64
Macam perkawinan (jumlah kotak dalam Punnet square) = 64 x 64
= 4096 macam. Alel-alel resesif banyak jumpa membentuk homozigot,
sehingga bermunculan kembali karakter-karakter buruk atau yang kurang
vigornya. Karena itu F2 sangat variabel, karena genotip individu-
individunya banyak macam sekali, dan vigornya secara keseluruhan
menurun.
Vigor itu menurun terus pada inbreed selanjutnya :F3, F4, dst.
Itulah sebabnya kenapa petani jangan menanam bibit buah F1 lagi,
karena ini akan melakukan penyerbukan sendiri (F1 x F1), menjadi F2
yang sangat variabel diatas. Meraka harus memesan bibit hybrid AB dan
CD lagi, yang didapat dari kebun percobaan tiap musim tanam.
Penjelasan peristiwa heterosis oleh Shull ini dikuatkan oleh Jones
(1917) dan W.R. Singleton (1941).
East (1936) berpendapat lain. Katanya Aa, Bb, dst. lebih superior
daripada yang homozigot dominan AA, BB,dst. ini disebutnya peristiwa
overdominansi. Bagaimana mekanisme overdominansi itu tak dijelaskan.
Consanguinity

188
Dari kata con = dengan, dan sangus = darah. Artinya perkawinan
sedarah atau sekerabat. Ini termasuk inbreeding juga, tapi lumbrah
dipakai untuk orang.
Sebagaimana halnya dengan inbreeding umumnya, consanguinity
pun dapat menimbulkan keburukan. Karena makin besar kesempatan
jumpa alel resesif yang sering menumbuhkan karakter buruk.
Itulah sebab umumnya setiap Negara dan bangsa di dunia memiliki
undang-undang atau adat-istiadat yang melarang kawin sekerabat dekat.
Di Tapanuli umpamanya oleh adat dilarang kawin antara individu dalam
satu marga. Kalau terpaksa juga, harus menjalani suatu “hukuman” dan
perkawinan berlangsung di luar upacara adat.
Namun sementara itu ada juga kebiasaan yang tak baik ditinjau
secara Eugenics (usaha memperbaiki susunan genetis manusia) terdapat
pada beberapa daerah atau suku bangsa. Di Tapanuli Selatan dan
Minangkabau suatu keharusan bagi seseorang pemuda untuk mengawini
anak perawan mamaknya (saudara pria ibunya).
Menurut antropologi B. Malinowski pada beberapa suku di Kep.
Malaysia (Indonesia dan Malaysia), masih banyak terdapat kebiasaan
kawin sekerabat dekat. Di Afrika, pulau-pulau Pasifik sebelah Selatan dan
Hawaii katanya juga banyak terdapat perkawinan sekerabat dekat itu,
bahkan masih ada yang kawin antara ibu dan anak prianya atau ayah
dengan anak perawannya.
Di masa purba dilakangan raja-raja Mesir, Irlandia, dan Inca di
Amerika Selatan, perkawinan antara sesaudara kandung dianggap
lumbrah. Bahkan ini dianggap demi memurnikan darah kebangsawanan.
Di kalangan Dinasti Fir’aun di Mesir purba biasa terjadi kawin sesaudara
kandung. Aahmes I beristrikan Aahmesh Nefertari, saudara kandungnya
sendiri. Anak-anak mereka Amenhotep I dan Aahotep kawin pula
sesamanya.
Dulu bangsa Yahudi biasa kawin sekerabat dekat. Ibrahim kawin
dengan setengah saudara kandungnya Sarah. Ibu Musa ialah bibi
ayahnya sendiri. Baru setelah Musa dinobatkan jadi Nabi kawin sekerabat
dekat mulai dilarang. Dan menurut ajaran Kristen sekarang orang hanya
boleh kawin sekerabat sejak saudara sepupu tingkat IV ke bawah.

189
Penjelasan macam-macam perkawinan secara consanguinity
diperlihatkan contohnya pada gambar berikut (Gb.145).
Karena consanguinity inbreeding juga, maka rumus ubahan Hardy-
Weinberg yang disusun Wright berlaku pula disini :
AA = p2 (1 – F) + pF
Aa = 2pq (1 – F)
aa = q2 (1 – F) + qF

Ayah-anak mamak-kemenakan

Antara saudara sepupu Antara setengah saudara sepupu


Tingkat I

Antara saudara sepupu tingkat II


Gb.145
Macam-macam consanguinity
Tanda panah ialah propositus yang dihitung F-nya

190
Tanda arsiran ialah yang consanguinity
Dimana F disini ialah coefficient of consanguinity. Menurut V.A.
McKusick (1969) nilai F itu bagi berbagai tingkat consanguinity ialah
sebagai berikut (daftar XXI) :

191
Nilai F berbagai consanguinity (V.A. McKusick)

Macam Perkawinan Nilai F


1 orangtua-anak 1/4
2 Mamak-kemenakan 1/8
3 saudara sepupu tingkat I 1/16
4 Setengah saudara sepupu 1/32
5 Saudara sepupu tkt.II 1/64
6 Saudara sepupu tkt.III 1/256

Karakter buruk dan consanguinity


Karakter buruk umumnya resesif, dan sering tertutupi oleh alel
dominannya yang menumbuhkan karakter normal atau baik. Pada
perkawinan consanguinity yang menuju kepada kehomozigotan, lebih
banyak muncul karakter buruk dibandingkan dengan perkawinan acak.
Kita ambil contoh albino. Frekuensinya di masyarakat 1 : 40.000
Dengan perkawinan acak :
p2 AA + 2pqAa + q2 aa = 1
orang albino : aa = q2 = 1/40.000
q = √ 1/40.000 = 1/200
pada perkawinan consanguinity :
p2 (1-F) + pF AA + 2pq (1-F) Aa + q2 (1-F) + qF aa = 1
Orang albino : aa = q (1-F) + qF
Diatas didapat q = 1/200 dan q2 = 1/40.000
Karena kawin saudara sepupu maka F = 1/16 (lihat daftar diatas).
Kalau disubstitusikan kedua bilangan itu, didapat :
aa = 1/40.000 (1 – 1/16) + 1/200 . 1/16
= 13,4/40.000

Dari perkawinan acak kesempatan anak albino 1 : 40.000,


sedangkan dari perkawinan sekerabat kesempatan anak albino 13,4 :
40.000. Berarti pada kawin saudara sepupu kesempatan munculnya
karakter buruk (dalam hal ini albino tadi) ialah 13,4 x lebih banyak
daripada kawinan acak yang biasa terdapat di tengah masyarakat luas.
Pada daftar berikut diperlihatkan beberapa penyakit resesif yang
jarang terdapat di dunia. Tapi banyak terdapat pada anak-anak hasil
192
perkawinan saudara sepupu. Dalam daftar itu dihitung dalam %.
Maksudnya dijumpai suatu penyakit itu sekian % pada anak yang
orangtuanya saudara sepupu. Dikutip dari A. Montagu “Human Heredity”
(1963).
Persentase penyakit/ cacat resesif Jarang pada anak kawin sepupu
Penyakit Cacat % Keluarga kawin sepupu
1 Pseudohermaprodit 37
2 Deaf mutism 33
3 Ichtyosis congenita 30
4 Amaurotic idiocy 27
5 Microcephaly 26
6 Alkaptonuria 25
7 Xeroderma pigmentosum 20
8. Albino 18
9. Cystinuria 15
10. Butawarna penuh 11
11. Galactosemia 9
12. Phenylketonuria 5

Melihat bukti-bukti diatas dapatlah kita mengerti kenapa menurut


pandangan Eugenics, sejajar pula dengan pandangan politici Negara,
agar kita usahakan kawin dengan orang yang bukan sekerabat, makin
jauh hubungan kerabat makin kecil kemungkinan efek buruk akibat
consanguinity. Jadi cocok sekali dengan anjuran agar kawin antar-suku
digalakkan di Negara kita. Selain memenuhi pandangan Eugenics, juga
demi kesatuan bangsa. Orang Sunda kawinlah dengan Batak, orang
Manado dengan Minangkabau, orang Ambon dengan Jawa, dsb.
Mutasi buatan
Mutasi terdiri dari mutasi gen (secara popular disebut mutasi saja)
dan mutasi kromosom (secara khusus disebut aberasi).
Khusus pada tanaman mutasi buatan bisa dilakukan dengan :
1. Membiarkan biji tersimpan lama. Sama halnya seperti lanjut
umur dan lambatnya ovum dibuahi, terjadi kealpaan dalam
metabolisme sel, sehingga terjadi mutasi. Dengan cara ini ada
tanaman yang bermutasi sampai 7%.

193
2. Membuat perubahan suhu mendadak terhadap bunga. Dari
suhu yang lebih rendah dari biasa selama belasan jam,
sekonyong-konyong suhunya dinaikkan jauh di atas suhu biasa
(jangan sampai pada batas dimana enzim rusak yakni 50 0C).
Dengan cara ini terjadi gangguan pada mitosis dan meiosis, dan
mutasi dapat terjadi sampai sebanyak 2%
3. Melukai suatu dahan, sehingga tumbuh tunas yang sel-selnya
mengalami aberasi (polyploidy)
4. Meradiasi dengan sinar-X
5. Memberikan colchicine atau zat kimia yang tajam dan meracun
lainnya
Tentang ini sudah bicarakan pada bab lampau. Baik kita beri
tambahan untuk colchicine. Seperti telah kita pelajari di depan, zat ini
bekerja menghentikan pembelahan sel pada akhir metaphase, sehingga
anaphase tak berlangsung. Karena itu terjadi sel yang tetap satu tapi
mengandung kromosom tetraploidy. Setelah colchicines habis daya
kerjanya, pembelahan sel bisa berlangsung lagi, dan pada meiosis
akhirnya terbentuk gamet yang diploid. Dengan gamet yang aneuploidy ini
(normal haploid), orang dapat menghasilkan tanaman polyploidy, dan
memiliki vigor yang lebih besar daripada diploidy.
Colchicine pun dapat dipergunakan untuk jaringan vegetative,
seperti pucuk batang atau dahan atau pucuk akar. Disuntikkan,
disemprotkan, ditempelkan atau dicelupkan pada bagian tanaman yang
dituju. Dengan cara ini orang dapat menghasilkan suatu dahan tanaman,
seperti tomat, anggur, apel yang autopolyploidy dengan vigor yang lebih
besar dari tipe alami (wild type).
Colchicine dapat dipakai bersama-sama dengan percobaan
crossbreeding. Mula-mula dicrossbreed 2 tanaman dari spesies berbeda.
Sebutlah gandum Triticum vulgare dengan Secale cereal. Masing-masing
memiliki kromosom 42 dan 14. Hibridnya mengandung 28 kromosom.
Hibrid ini steril, karena kromosomnya tak satu pun yang berpasangan,
karena tak ada yang homolog. Dengan colchicine ini dapat dibuat
amphidiploids, tanaman baru yang memiliki vigor besar, mengandung
kromosom 56, dan fertile.

194
Soal
1. Pada mahasiswa Pdd. Biologi, diketahui jumlah mahasiswa
berambut lurus ada 108 orang, ikal 144 orang dan keriting 48 orang.
Berapa frekuensi gen pembawa sifat rambut tsb?
2. Jika dalam suatu populasi terdapat 75% yang memiliki fenotip
dominan (A-), Berapakah frekuensi alel A dan a ? genotip AA dan
Aa ?
3. Berarti 25% memiliki fenotip resesif 75% dominan (AA dan Aa)
Misal : p = frekuensi alel A dengan genotip aa q = frekuensi Maka alel
a q = 0,5 p = 1 – q = 1-0,5 p = 0,5 Jadi frekuensi genotip AA = P2 =
0,25 genotip Aa = 2pq = 0,5
4. Jika ada 3 alel, misalnya A, a1, dan a2 dengan urutan dominansi A
r = frekuensi q = frekuensi alel a1 p = frekuensi alel A ˃ a1 ˃ a2 alel
a2(p+q+r)2 = p2 + 2pq+ 2pr + q2+ 2qr + r2 = 1Genotip: AA Aa1 Aa2
a1a1 a1a2 a2a2Fenotip: A a1 a2
5. Untuk mempermudah penghitungan, dapat menggelompokkan
menjadi 2 Misalnya : p = frekuensi alel dominan kelompok fenotip
terlebih dahulu (A) q = frekuensi alel ax q2 = frekuensi fenotip selain A
6. Warna rambut pada kelinci dipengaruhi oleh alel ganda, C =
berwarna penuh, ch=himalaya, dan c=albino dengan urutan dominansi
: C ˃ Suatu populasi kelinci terdiri dari 168 ch ˃ c. ekor kelinci
berwarna penuh, 30 himalaya dan 2 albino. Berapakah frekuensi alel
C, ch, dan c ?
7. Dari 1000 orang penduduk asli Irian Jayadiperiksa golongan
darahnya 320 orang bergol darah A menurutsistem ABO dan
didapatkan hasil sbb: 490 orang bergol 40 orang bergol darah AB
150 orang bergol darah B darah OBerapakah frekuensi alel IA, IB, dan
i padapopulasi tersebut ?
8. Pada kucing, warna rambut dipengaruhi oleh gen terpaut kelamin
X. Sepasang alelnya yaitu Cb yang memberikan warna hitam dan Cy
yang memberi warna kuning pada rambut. Genotip heterozigot CbCy
memberikan warna kuning-hitam Pada suatu populasi dijumpai 311
kucing (Tortoise). jantan hitam, 42 kucing jantan kuning, 277 kucing

195
betina hitam, 7 kucing betina kuning, Berapakah dan 54 kucing betina
tortoise. frekuensi alel Cb dan Cy ?
9. Warna mata Drosophilla dipengaruhi oleh gen terangkai-X. Gen w+
dominan memberikan warna mata merah dan alelnya w memberi
warna putih Pada suatu populasi dijumpai 170 ekor pada mata. jantan
mata merah dan 30 ekor jantan mata Hitunglah berapa frekuensi alel
w+ dan w putih Berapa persen betina dalam populasi yang dalam
populasi tersebut diharapkan bermata putih ?
10. Dari 640 orang penduduk asli Sleman, diperoleh 640 orang
bergolongan darah M, 320 orang MN dan 40 orang N. Berapakah
frekuensi alel LM dan LN masing2 dalam populasi?2. Diketahui
frekuensi alel LM pada warga keturunan batak di kabupaten Sleman
adalah 0,5. Jika saudara mengumpulkan 500 orang tersebut diatas,
berapakah diantara mereka yang diharapkan bergolongan darah M,
MN, dan N ?
11. Diantara 798 mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang dites
untuk merasakan PTC, ternyata 70,2% adalah pengecap. Berapa %
dari mahasiswa-mahasiswa tersebut memiliki genotip TT, Tt dan tt ?
Butawarna ditentukan oleh gen resesif terangkai pada kromosom-X.
Suatu survei pada 500 laki- laki di suatu daerah menunjukkan ada 20
orang butawarna (a) Berapa frekuensi dari alel normal dalam populasi
tersebut ? (b) Berapa % dari orang perempuan dalam populasi
tersebut diharapkan normal?
12. Mata putih pada lalat Drosophilla ditentukan oleh gen resesif w,
sedang alelnya dominan W menentukan warna mata merah. Pada
suatu populasi drosophilla dijumpai : 15 lalat betina mata putih 52 lalat
jantan mata putih 208 lalat jantan mata merah 365 lalat betina mata
merah (yang 112 ekor membawa alel w)Dengan menggunakan data
tersebut,tentukan frekuensi alel W dan w.
13. Disuatu daerah, seorang dari tiap 20 laki-laki menderita anodontia.
Anodontia disebabkan oleh gen resesif a yang terdapat pada
kromosom-X. Berapa % dari orang perempuan di daerah tersebut
yang diduga anodontia?

196
14. Suatu penyakit genetik pada manusia dikenal sebagai hemofilia
yang disebabkan oleh gen resesif terangkai kromosom-X, yang
meliputi 1% dari seluruh gamet dalam gen pool dari suatu populasi.
(a) Berapakah frekuensi penderita hemofilia pada laki-laki ? (b)
Berapakah frekuensi penderita hemofilia pada wanita ?
15. Pemeriksaan golongan darah pada 441 populasi, terdapat 23
golongan darah AB, 65 golongan darah A(a) 371 golongan darah B
O. Berapa frekuensi alel IA,IB, dan i(b) Jika diketahui frekuensi gen
IA=0,36 ; IB=0,20 ; dan i=0,44. Berapa persen dari populasi tersebut
yang bergolongan darah A, B, dan O ?
16. Kalau ibu keriting, suami normal, carilah nilai kemungkinan keriting
pada :
a. Anak pertama
b. Anak pertama dan kedua
c. Seorang diantara 5 anak
17. Kedua orangtua normal mempunyai seorang anak pria albino dan
seorang wanita normal. Anak wanita ini kawin dengan pria normal dari
keluarga normal. Seorang anak wanita yang lahir dari perkawinan itu
ternyata albino. Berapa kemungkinan anak pria albino yang kawin
dengan saudara wanita iparnya mendapat seorang anak albino?
18. Berapa kemungkinan keluarga beranak 4 di suatu masyarakat yang
kedua orangtua sama-sama heterozigot terhadap sicklemia, memiliki
seorang anak wanita sicklemia?
19. Pada jagung hasil testcross F1 terdiri dari 4900 kuning-bundar, 164
kuning-keriput, 170 putih-bundar, dan 4800 putih-keriput. Apakah
kedua karakter itu memenuhi ratio 1:1:1:1 menurut Hukum Mendel?
Berapa nilai X2?
20. Suami istri mengidap thalassemia minor, memiliki seorang anak
albino yang mati waktu bayi karena anemia yang parah (thalassemia
major). Berapa kemungkinan diantara 4 orang anak mereka ada
seorang albino thalassemia minor?
21. Berapa kemungkinan orangtua beranak 5 di suatu masyarakat,
dimana kedua orangtua sama-sama heterozigot terhadap albino dan

197
diabetes mellitus (dianggap jenis yang disebabkan oleh 1 gen dan
resesif) memiliki seorang anak diabetes-normal?
22. Frekuensi albino pada suatu penduduk 1:10.000. Yang
bergolongan darah O 40%. Berapa persentase wanita yang mungkin
albino golongan O di masyarakat itu? (anggap ratio pria-wanita 1:1)
23. Kedua orangtua thalassemia minor. Diantara anak mereka ada
yang kidal. Berapa kemungkinan diantara 3 anak mereka ada yang
mati waktu kecil atau anemia?
24. Kacang kapri berbiji kuning-bundar disilang dengan berbiji hijau-
keriput. F1 terdiri dari 2 macam, kuning-bundar dan hijau bundar;
a. Carilah genotip dan fenotip F1
b. Carilah ratio fenotip F2
25. Dari suatu perkawinan terdapat hasil sbb : 853 kuning-bundar, 296
kuning-keriput, 902 hijau-bundar, dan 301 hijau-keriput. Carilah
hasilyang diharapkan secara teoritis untuk masing-masing kelas
diatas (nilai e). Cari nilai X 2 dari data itu. Apakah data hasil percobaan
persilangan diatas baik atau buruk?
26. Pada kacang kapri kotiledon kuning dominan terhadap hijau dan
polong gembung dominan terhadap polong genting. Jika kuning-
gembung disilang dengan kuning-gembung, terdapat turunan ; 193
hijau-gembung, 184 kuning-genting, 556 kuning-gembung, 61 hijau-
genting;
a. Carilah genotip P dan F
b. Cari pula nilai X2
c. Dari hasil perhitungan pada b, baguskah data diatas?
27. Tomat berdaging merah murni disilang dengan tomat berdarah
kuning murni pula. F1 semua merah. Diantara 400 butir biji F2 yang
dikumpulkan terdapat 90 kuning. Carilah nilai X 2 data ini. (Y-merah, y-
kuning).

198
28. Dalam survey terhadap 160 keluarga yang beranak 4 didapat hasil
sbb:
Wanita 4 3 2 1 0
Pria 0 1 2 3 4
Keluarga 7 50 55 32 16
Memenuhi syaratkah ratio kelamin (sex-ratio) 1:1 pada seluruh
keluarga itu? (untuk itu cari dulu nilai X2).
29. Bulu hitam pada marmot dominan terhadap putih. Pada keluarga
beranak 5, dimana kedua P heterozigot hitam, carilah kemungkinan :
a. 3 anak putih dan 2 hitam
b. 2 anak putih 3 hitam
c. 1 anak putih dan 4 hitam
d. Semua anak putih
30. Pada keluarga beranak 3 di masyarakat, berapa kemungkinan anak
sulung gadis sedang yang bungsu si buyung?
31. Pada keluarga beranak 5 di masyarakat, berapa kemungkinan
menemukan keluarga yang :
a. 3 wanita 2 pria
b. 2 wanita 3 pria
c. Semua wanita
d. Semua pria
32. Carilah derajat kebebasan (degree of freedom) pada hasil
perkawinan berikut:
a. F1 dihibrid ditestcross
b. F1 trihibrid ditestcross
c. F2 trihibrid x trihibrid
d. F2 dihibrid dominan-kodominan x dihibrid dominan-dominan
33. Ratio hasil perkawinan suatu tanaman didapat 4:16. Berlakukah
ratio 3:1 untuk hasil ini, dan berapa nilai X 2?
34. Bunga pukul 4 ada yang merah, merah muda, dan putih. Jika
merah disilang dengan putih terdapat anak berbunga merah muda.
Jika yang berbunga merah muda disilangkan didapat hasil 113 merah,
129 putih dan 242 merah muda. Berlaukah Hukum Mendel pada
karakter ini dan kedua nilai X2?

199
35. Pada generasi F2 tomat didapat 3629 buah berdaging merah dan
1175 berdaging kuning. Ratio yang diharapkan adalah 3:1. Berapa
nilai X2 dan berlakukah rumus 3:1 ini bagi data tsb?
36. Seperti soal diatas kalau F1 dibackcross didapat hasil 671 merah
dan 569 kuning. Berlakukah ratio 1:1 disini dan berapa nilai X 2?
37. Signifikankah data hasil persilangan berikut pada kacang kapri?
Hasil
Persilangan Ratio Teoritis
Persilangan
1. Biji bundar x keriput 5474 : 1850 3 : 1 (F2)
2. Bunga violet x putih 705 : 224 3 : 1 (F2)
3. Polong hijau x kuning 428 : 152 3 : 1 (F2)
4. Biji bundar-kuning x keriput 31 : 26 : 27 : 1 : 1 : 1 : 1 (testcross
hijau 26 F1)

38. Jika 4 bayi lahir tiap hari pada suatu rumah sakit :
a. Berapa kemungkinan diantaranya 2 laki laki dan 2 perempuan?
b. Berapa kemungkinan semua perempuan? Antara kedua jenis
kelamin itu?
39. Jika orangtua carrier albino dan albino :
a. Berapa bagian anak-anaknya yang mungkin albino?
b. Berapa kesempatan bahwa tiap kehamilan albino?
40. Pada orang katarak (bular mata) dan tulang rapuh masing-masing
oleh alel dominan terhadap normal. Seorang pria katarak dan tulang
normal, yang ayahnya bermata normal, kawin dengan wanita yang
bebas dari katarak tapi bertulang rapuh. Ayah wanita ini bertulang
normal. Berapa kemungkinan ana mereka pertama :
a. Bebas dari kedua cacat keturunan itu?
b. Mengandung katarak sekaligus tulang rapuh?
c. Mata normal tapi tulang rapuh?
d. Mata katarak tapi tulang normal?

200
41. Pada silsilah karakter dominan autosom yang petanya diperlihatkan
dibawah ini :
a. Buat genotip I.1, II.2, II.3, II.5, III.8 dan IV.8
b. Berapa kemungkinan anak ketiga dari perkawinan III.3 dan III.4
kena cacat?
c. Berapa kemungkinan dari perkawinan IV.5 dan IV.8 ysng beranak
4, 2 kena, 2 normal?

II
I
III

IV

201

Anda mungkin juga menyukai