Anda di halaman 1dari 9

Gaya Arsitektur Minimalism Dalam Kaitannya dengan Isu yang

Terjadi Pasca Masa Reformasi Indonesia

Sejarah Arsitektur

Nama: Farah Diba


NPM: 1506743555

Tahun Ajaran: 2016/2017


ABSTRAK

Arsitektur tidak luput dari jejak sejarah peradaban manusia. Arsitektur sebagai ruang
hidup manusia selalu berkembang seiring peradabannya. Hampir seluruh aspek yang
mempengaruhi hidup manusia pada masing-masing era menjadi pembentuk arsitektur di
jamannya masing-masing. Seperti paradigma berfikir, kepercayaan, geografis, penguasa suatu
wilayah, politik, isu-isu yang terjadi di dalam masyarakat, maupun pengaruh dari inovasi
teknologi. Pada akhir tahun 1990 konsep aliran arsitektur minimalis mulai berembang di
indonesia, Pada era tersebut, gaya minimalis menjamur kemunculannya, terutama sebagai
desain pada ruang ruang publik seperti kafe, Esai ini akan mengidentifikasi apa saja
karakteristik dari arsitektur minimalis dan selanjutnya, kaitannya dengan konteks pasca
Reformasi 1998 yang terjadi di Indonesia.

Kata kunci: reformasi,kafe,isu yang ada pada masyarakat.


LATAR BELAKANG
Pada paper ini saya mencoba merekam jejak perjalanan paradigma gaya arsitektur
pada zaman reformasi,menganalisis aspek-aspek yang menjadi pengaruh dalam gaya
arsitektur. Tujuan dari paper ini untuk mendapatkan pemahaman tentang gaya arsitektur yang
terjadi pada zaman reformasi, bagaimana paradigma ber-asitektur berperan dalam
pengembangan gaya bangunan. Bagaimana pengaruh sosial, budaya dan penguasa pada suatu
wilayah menjadi pembentuk karakter bangunan. Dengan melakukan pendekatan dengan studi
kasus film Ada Apa Dengan Cinta (2002).

1. Gaya Arsitektur Minimalis

1.1 Asal Mula


Gaya arsitektur minimalis adalah salah satu gaya arsitektur yang mulai
berkembang pesat di indonesia sekitar tahun 1900 hingga 2000-an, gaya arsitektur ini
muncul sebagai salah satu bentuk protes terhadap beberapa aliran arsitektur yang
dianggap boros, dalam menggunakan bahan untuk bangunan yang tidak ramah
terhadap alam. Contohnya penggunaan kayu yang berlebihan untuk bahan bangunan
atau pembuatan interior yang diambil dari alam, padahal manusia tidak bisa
memproduksinya sendiri. Konsep minimalis lebih mengutamakan fungsi dari
penggunaan bahan bangunan dan aksesoris secara lebih maksimal. Konsep ini juga
selalu menghindari pemakaian ornamen atau hiasan rumah yang di anggap tak perlu.
Sehingga efisiensi terhadap penggunaan bahan material harus di batasi. Pada tahun
1957 Frank Llyod Wright menyatakan bahwa:

I’d like to have a free architecture. I’d like to have an architecture that
belonged to where you see it standing, and was a grace to the landscape
instead of a disgrace. And the letters we receive from our clients tell us how
those buildings we built for them have changed the character of their whole
life, and their whole existence. And it’s different now than it was before. Well,
I’d like to do that for the country.

Dalam pernyataan frank dapat disimpulkan beliau berpendapat bahwa


arsitektur adalah suatu bentuk yang menyatu dengan alam, tetap menjaga kelestarian
konteks dan menyesuaikan dengan kebutuhan klien atau subjek dari arsitektur
tersebut, karena pada dasarnya keseluruhan aktifitas manusia dilakukan di dalam
produk dari arsitektur itu sendiri, baik berupa rumah tinggal, maupun dalam bentuk
ruang publik. Gaya arsitektur minimalis dirasa perlu untuk menjawab setiap
kebutuhan manusia tersebut untuk mencapai kata nyaman untuk ditinggali dan di
naungi. Pada akhirnya, gaya arsitektur minimalis dapat diterima di Indonesia karena
adanya kesamaan idealisme yang dianut oleh masyarakat Indonesia, dimana akhirnya
mereka sadar bahwa penggunaan material maupun ornamen dalam pembuatan sebuah
karya arsitektural haruslah sesuai dengan fungsi dan tujuan bangunan tersebut
dibangun. Sehingga, ketika krisis moneter terjadi pada tahun 1900-an masyarakat
mulai menyadari urgensi dari aliran gaya arsitektur ini.

1.2 karakteristik gaya arsitektur minimalis


Oleh karena merupakan suatu bentuk respons dari penggunaan ornamen
maupun material yang berlebihan yang tidak sesuai dengan fungsi ruang, secara
keseluruhan, berikut adalah karakteristik dari gaya arsitektur minimalis:
1. Memiliki perhatian yang besar terhadap fungsi ruang, yang didapatkan dari
pola aktivitas penghuni.
2. Memiliki perhatian yang besar terhadap material bangunan secara efisien yang
digunakan untuk mendapatkan hasil akhir (estetika) yang diinginkan.
3. Menghindari ornamen (bila murni gaya modern), atau menggunakan ornamen
(bila postmodern, atau diberi embel-embel semacam: arsitektur modern etnik,
arsitektur modern Bali, dan sebagainya).
4. Penyederhanaan bentuk dan ornamentasi dan penghilangan detail yang 'tidak
diperlukan sejauh keinginan desainer (atau pemilik bangunan).

1.3 kaitan gaya arsitektur minimalis dengan keadaan sosial ekonomi yang ada di
indonesia
Arsitektur adalah bukti sejarah peradaban manusia. Arsitektur juga menjadi
cermin revolusi dari pemikiran manusia dalam menciptakan ruang hidup, dan tata
laku. Gaya arsitektur dipengaruhi oleh keadaan sosial dan politik bahkan kondisi
budaya wilayah setempat. Seiring dengan penemuan dan perkembangan teknologi,
gaya arsitektur kemudian menjadi aspek yang penuh inovasi, sebagai bentuk
pertentangan terhadap ideologi lama kemudian datang pemikiran baru dan begitu
seterusnya.
Di dalam setiap sejarah berkumpul berbagai unsur pembentuknya: manusia,
peristiwa, waktu, dan tempat. Keempatnya bersinergi membentuk informasi yang utuh
bagi keberlanjutan sebuah sejarah. Ada Apa Dengan Cinta adalah film yang
ditayangkan pada tahun 2002, berjarak empat tahun dengan awal mula zaman
reformasi, dan penghujung dari zaman orde baru. Dengan jarak empat tahun tersebut,
tentu pengaruh dari zaman orde baru masih dapat dirasakan secara kental, transisi
zaman orde baru ke zaman reformasi terjadi karena adanya krisis moneter, dimana
hampir semua pejabat negara dikatakan melakukan praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme, Sehingga perekonomian indonesia pun menurun, mengakibatkan
kehidupan sosial masyarakat terganggu. Oleh karena tidak puas dengan pemerintah
yang semena mena, masyarakat dan mahasiswa pun turut melakukan aksi demo untuk
mendapatkan keadilan kembali dan hak hak mereka yang telah dirampas, sehingga
akhirnya zaman orde baru pun jatuh dan digantikan dengan zaman reformasi, dimana
setiap orang bebas untuk menyuarakan pendapatnya dan berpartisipasi secara aktif
maupun tidak aktif di dalam pemerintahan.
Lalu apa hubungan isu isu yang terjadi sepanjang zaman reformasi dengan
arsitektur? Hal ini berkaitan dengan fenomena komodifikasi. Komodifikasi
mendeskripsikan cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi
kapital, atau menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komoditas dan
komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan obyek dan proses, dan menjadi
salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Komodifikasi
merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal
yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil.
Komodifikasi dibutuhkan kaum kapitalis untuk dapat tetap berbisnis dan
menghasilkan profit besar ketika di indonesia sendiri tengah terjadi krisis ekonomi,
dan sosial.
Adorno dan Horkheimer (1979) dalam tulisannya The Culture Industry
Enlightenment as Mass Deception, mengkritisi bahwa komodifikasi terjadi karena
hasil dari perkembangan suatu industri budaya. Dimana produksi benda budaya
(musik dan film) pada zaman pra-industri diproduksi secara otonom/murni, tidak ada
campur tangan industri dengan segala sistem pasar dalam proses produksinya. Namun
dalam era globalisasi dengan sistem kapitalisme memunculkan ledakan kebudayaan
disegala aspek kehidupan, sehingga memunculkan kebutuhan massa. Dalam hal ini,
sebuah industri telah memproduksi berbagai artefak kebudayaan yang seolah telah
menjadi kebutuhan massa dan menjadi faktor penentu dalam proses produksinya,
sehingga benda budaya yang sebelumnya dipenuhi dengan nilai tinggi, otentik, dan
kebenaran, oleh industri budaya diproduksi secara massal menjadi komoditas yang
penuh dengan perhitungan laba . Dalam sistem dan tatanan sosial, masyarakat, serta
mekanisme pasar yang berlaku, arsitektur tak akan mungkin tidak terbawa arus.
Arsitektur mutlak menjadi komoditas semua orang, arsitektur pasti terkomodifikasi,
arsitektur pasti akan menuruti keinginan dan kebutuhan masyarakat.

2. Analisis gaya arsitektur minimalis dan isu yang tengah terjadi di Indonesia pada
zaman reformasi, dengan pendekatan film Ada Apa Dengan Cinta sebagai referensi
(fokus analisis pada scene cafe)

Dalam film Ada Apa Dengan Cinta, terdapat potongan adegan dimana pemeran utama
wanita dan pria tengah bertemu dan berbincang-bincang di kafe, dalam scene tersebut,
terlihat interior kafe yang memiliki panggung, peralatan band, lengkap dengan sound system.
Hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari komodifikasi yang telah berlaku,
dimana awalnya tujuan dan fungsi dari kafe adalah tempat untuk makan dan mengobrol
dengan keluarga, teman, kenalan ataupun hanya sekedar bersantai dan melakukan rileksasi
dengan memanjakan diri dengan makanan, namun pada scene tersebut tampak bahwa fungsi
awal kafe telah dikombinasikan dengan fungsi hiburan (seni musik) sehingga menghasilkan
fungsi baru, dimana kafe sudah menjadi tempat hiburan yang multifungsi.
Foto 1. Kafe, pada cuplikan film Ada Apa Dengan Cinta (2002)
Sumber : captured dari https://www.vidio.com/watch/230435-ada-apa-dengan-cinta-2002 durasi
1:07:27

Dalam kasus ini pula, film berlatar belakang pada zaman reformasi, dimana semua
aspirasi masyarakat didengarkan dan di apresiasi, dimana semua orang ingin tampil dan
menyuarakan bakat, pendapat maupun kontribusi mereka kepada masyarakat, tidak hanya
muda maupun tua, tapi semua kalangan usia, nilai-nilai hak asasi manusia sudah dijunjung
tinggi. Disini tampak pemeran utama wanita menyampaikan beberapa bait puisi yang
merupakan keluh kesah nya terhadap kehidupan yang tengah dilalui nya kini.

Foto 2. Kafe, pada cuplikan film Ada Apa Dengan Cinta (2002)
Sumber : captured dari https://www.vidio.com/watch/230435-ada-apa-dengan-cinta-2002 durasi
1:07:30

Nilai hak asasi dan kebebasan yang sudah dijunjung tinggi juga tampak dari gambar
ini, dimana pemeran pembantu pria yang berperan sebagai pemain gitar yang mengiringi
pemeran utama wanita untuk membacakan puisi, menggunakan anting dan kalung, pada
dasarnya lelaki di indonesia tidak biasanya menggunakan kalung dan anting, namun pemeran
pembantu pria ini dapat dengan bebas dan percaya diri untuk menggunakan perhiasan
tersebut di depan publik, hal ini dipercaya sebagai pengaruh globalisasi, dimana sebenarnya
hal ini bukan kebudayaan masyarakat Indonesia, melainkan kebudayaan budaya barat.
Namun karena pada masa itu kesetaraan derajat dan kebebasan menyuarakan pendapat sudah
diakui dan dijunjung tinggi, maka fenomena ini menjadi hal yang lazim.

Foto 3. Kafe, pada cuplikan film Ada Apa Dengan Cinta (2002)
Sumber : captured dari https://www.vidio.com/watch/230435-ada-apa-dengan-cinta-2002 durasi
1:07:15

Pada cuplikan adegan saat pemeran utama pria duduk dan menonton pertunjukan
musik dapat terlihat jelas furniture dan interior kafe yang bersifat minimalis, dimana
pemakaian furniture dan interior nya tidak menggunakan elemen maupun dekorasi yang
berlebihan, namun disesuaikan dengan fungsi, yaitu sebagai kafe untuk tempat makan dan
bersantai, hal ini tampak pada pemilihan furniture kursi dan meja sederhana dengan material
kayu dan lantai yang diberi ubin berwarna hitam putih, tidak berlebihan, sesuai dengan
kebutuhan dan fungsi kafe. oleh karena kafe yang telah dialih fungsikan dan digabung dengan
fungsi hiburan, maka direksi dari meja-meja kafe ini dipusatkan menghadap kedepan, kearah
panggung, agar pengunjung dapat menikmati pertunjukan sembari makan atau mengobrol,
selanjutnya juga tidak ditemukan penggunaan material maupun struktur yang berlebihan di
bagian interior kafe, tidak ditemukan adanya kolom atau balok yang menghambat akses
sirkulasi di dalam kafe maupun aksesoris yang berlebihan, semuanya sesuai dengan
kebutuhan dan fungsi awal dari kafe.
Foto 4. Kafe, pada cuplikan film Ada Apa Dengan Cinta (2002)
Sumber : captured dari https://www.vidio.com/watch/230435-ada-apa-dengan-cinta-2002 durasi
1:07:55

Selanjutnya, ketika pemeran utama pria dan pemeran utama wanita keluar dari kafe,
tepat di depan pintu kafe terdapat pedagang kaki lima yang berjualan bubur ayam, lagi-lagi
kebebasan dan kesetaraan hak asasi manusia diperlihatkan secara jelas disini, dimana
pedagang bubur ayam yang merupakan asli ciri khas masyarakat Indonesia dapat sejajar
kedudukannya dengan kafe, dengan posisi nya yang berdekatan. Padahal jika ditimbang
secara ekonomi dan starata sosial, jarang sekali ditemukan kafe dan pedagang kaki lima yang
letaknya berdekatan, karena perbedaan status dari kedua objek tersebut sangat berbeda,
namun pada scene di film ini, hal itu diabaikan, untuk menggambarkan setiap perbedaan dan
hak dari setiap manusia yang ada di Indonesia sudah dihargai dengan baik.
Dengan adanya isu-isu baru yang muncul pada zaman reformasi, seperti kebebasan
menyuarakan pendapat dan persamaan hak asasi manusia, maka muncullah inovasi baru dan
adjustment tertentu terhadap arsitektur, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, arsitektur
berkaitan erat dengan sistem dan tatanan sosial, masyarakat, serta mekanisme pasar yang
berlaku. Oleh karena itu muncullah kafe dengan fungsi hiburan, dimana panggung ini
menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan bakat mereka, tidak
terlepas dari teori komodifikasi yang telah dijelaskan diatas, dapat dirasakan arsitektur
melakukan adjustment tertentu, karena kaum kapitalis mulai memikirkan bagaimana profit
dapat dihasilkan sebesar-besarnya, salah satunya dengan cara menggabungkan kafe dengan
panggung seni. Hal ini dirasa merupakan kombinasi yang cocok dan dapat menghasilkan
profit yang banyak, karena fungsi kafe sendiri yang merupakan tempat makan atau sekedar
mengobrol dan menghabiskan waktu, sehingga selalu ramai, dan panggung dengan tujuan
hiburan pun dihadirkan, agar pengunjung menghabiskan waktu lebih lama di kafe tersebut.
Hal ini membuktikan bahwa arsitektur sangat erat kaitannya dengan konteks sosial dan
ekonomi, karena subjek utama dari arsitektur sendiri adalah manusia, dimana lagi-lagi
manusia selalu berhadapan dengan kasus sosial maupun ekonomi itu sendiri.
Akhirnya, dengan studi kasus Film Ada Apa Dengan Cinta (2002), dengan fokus
bahasan kafe dan interior kafe, dapat disimpulkan bahwa arsitektur, manusia, dan
permasalahan nya adalah suatu siklus yang tidak ada ujungnya, dimana arsitektur akhirnya
akan memberikan wadah bagi manusia untuk melakukan aktivitasnya dan melakukan
adjustment tertentu terhadap perubahan-perubahan maupun masalah yang ada pada manusia
tersebut. Pada film Ada Apa Dengan Cinta dapat ditemui pada masa itu gaya arsitektur yang
digunakan adalah gaya arsitektur minimalis, dimana setiap elemen digunakan secara pas dan
tidak berlebihan, cocok dengan konteks yang terjadi pada masa itu.

Daftar pustaka:
Bahan Perkuliahan Magister Arsitektur. Advance Visual Design. Dosen Prof. Drs. Yusuf
Affendi, M.A.
Capon, David. Categories in Architectural Theory and Design, Design Studies. Hal. 215-226.
http://kommunars.com/punk-arsitektur-dan-komodifikasi-by-evan-adi-wijaya/, diakses pada 7
april 2017, pukul 23.00 WIB.
Kusno, Abidin. Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in
Indonesia, London: Routledge 2000.
Nuttgens, Patrick (1983), The Story of Architecture, Prentice Hall, ISBN

Anda mungkin juga menyukai