Anda di halaman 1dari 20

Hakikat Belajar dan Pembelajaran

a. Pengertian Belajar dan Pembelajaran


Menurut Lindgren belajar sebagai proses perubahan tingkah laku yang relatif
permanen dan perubahan tersebut disebabkan adanya interaksi individu yang
bersangkutan dengan lingkungannya.
Heinich (1999) mengatakan bahwa belajar adalah proses aktivitas
pengembangan pengetahuan, keterampilan atau sikap sebagai interaksi seseorang
dengan informasi dan lingkungannya sehingga dalam proses belajar diperlukan
pemilihan, penyusunan dan penyampaian informasi dalam lingkungan yang sesuai dan
melalui interaksi pemelajar dengan lingkungannya.
Gredler juga menekankan pengaruh lingkungan yang sangat kuat dalam proses
belajar, studi belajar bukanlah sekedar latihan akademik, ia adalah aspek penting baik
bagi individu maupun masyarakat. Belajar juga merupakan basis untuk kemajuan
masyarakat di masa depan.
Selanjutnya Gagne & Briggs (2008) menjelaskan belajar adalah hasil pasangan
stimulus dan respon yang kemudian diadakan penguatan kembali (reinforcement) yang
terus menerus. Reinforcement ini dimaksudkan untuk menguatkan tingkah laku yang
diinternalisasikan dalam proses belajar. Proses belajar setiap orang akan menghasilkan
hasil belajar yang berbeda-beda untuk itu perlunya reinforcement yang terus menerus
hingga mengalami perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik.
Belajar merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja
oleh setiap individu, sehingga terjadi perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari
yang tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan, tidak bisa membaca menjadi bisa
membaca dan sebagainya. Belajar adalah suatu proses perubahan individu yang
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya ke arah yang baik maupun tidak baik.
Belajar setiap orang dapat dilakukan dengan cara berbeda. Ada belajar dengan
cara melihat, menemukan dan juga meniru. Karena melalui belajar seseorang akan
mengalami pertumbuhan dan perubahan dalam dirinya baik secara psikis maupun fisik.
Secara fisik jika yang dipelajari berkaitan dengan dimensi motorik. Secara psikis jika yang
dipelajari berupa dimensi afeksi. Secara kognitif jika yang dipelajari berupa pengetahuan
baru. Jadi pada hakikatnya belajar pada ranah kognitif juga akan bersinggungan dengan
ranah afektif dan juga dengan ranah psikomotorik. Ketiga ranah ini saling berhubungan
satu sama lainnya.
Belajar merupakan aktivitas menuju kehidupan yang lebih baik secara sistematis.
Proses belajar terdiri atas tiga tahapan, yaitu tahap informasi, transformasi dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan tahap informasi adalah proses penjelasan, penguraian atau
pengarahan mengenai struktur pengetahuan, keterampilan dan sikap. Tahap
transformasi adalah proses peralihan atau pemindahan struktur tadi ke dalam diri
peserta didik. Proses transformasi dilakukan melalui informasi. Sedangkan,
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.
Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan.
Artinya, tujuan belajar adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut
pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme
atau pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman belajar,
mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses dan hasil belajar, semua termasuk
tanggung jawab guru.
Menurut Romiszowski (1981:4) dalam Winataputra (2008:2)
pembelajaran/instruction adalah sebagai proses pembelajaran yakni proses belajar
sesuai dengan rancangan. Unsur kesengajaan dari pihak di luar individu yang melakukan
proses belajar merupakan ciri utama dari konsep instruction. Proses pengajaran ini
berpusat pada tujuan atau goal directed teaching process yang dalam banyak hal dapat
direncanakan sebelumnya (pre-planned). Karena sifat dari proses tersebut, maka proses
belajar yang terjadi adalah proses perubahan perilaku dalam konteks pengalaman yang
memang sebagian besar telah dirancang.
Menurut Budimansyah (2002:1) pembelajaran adalah sebagai perubahan dalam
kemampuan, sikap, atau perilaku siswa yang relatif permanen sebagai akibat
pengalaman atau pelatihan. Perubahan kemampuan yang hanya berlangsung sekejab
dan kemudian kembali ke perilaku semula menunjukkan belum terjadi peristiwa
pembelajaran, walaupun mungkin terjadi pengajaran. Tugas seorang guru adalah
membuat agar proses pembelajaran pada siswa berlangsung secara efektif. Selain fokus
pada siswa pola fikir pembelajaran perlu diubah dari sekedar memahami konsep dan
prinsip keilmuan, siswa juga harus memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu dengan
menggunakan konsep dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai. Seperti dinyatakan
dalam pilar-pilar pendidikan/pembelajaran dari UNESCO, selain terjadi “learning to
know” (pembelajaran untuk tahu), juga harus terjadi “learning to do” (pembelajaran
untuk berbuat) dan bahkan dituntut sampai pada “learning to be” (pembelajaran untuk
membangun jati diri yang kokoh) dan “learning to live together” (pembelajaran untuk
hidup bersama secara harmonis).
Menurut UUSPN nomor 20 tahun 2003, pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Ada
lima konsep dalam pengertian tersebut yaitu: (1) interaksi, (2) peserta didik, (3)
pendidik, (4) sumber belajar, dan (5) lingkungan belajar. Ciri utama pembelajaran adalah
inisiasi, fasilitasi, dan peningkatan proses belajar siswa.
Dimyati (2002:286) mengemukakan bahwa hakekat pembelajaran adalah:
1. kegiatan yang dimaksudkan untuk membelajarkan pembelajar,
2. progam pembelajaran yang dirancang dan diimplementasikan (diterapkan) dalam
suatu sistem,
3. kegiatan yang dimaksud untuk memberikan pengalaman belajar kepada pembelajar,
4. kegiatan yang mengarahkan pembelajar ke arah pencapaian tujuan pembelajaran,
5. kegiatan yang melibatkan komponen-komponen tujuan , isi pembelajaran, sistem
penyajian dan sistem evaluasi dalam realisasinya.
b. Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Tujuan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi perubahan tingkah laku dari
individu setelah individu tersebut melaksanakan proses belajar. Melalui belajar
diharapkan dapat terjadi perubahan (peningkatan) bukan hanya pada aspek kognitif,
tetapi juga pada aspek lainnya. Selain itu tujuan belajar yang lainnya adalah untuk
memperoleh hasil belajar dan pengalaman hidup. Benyamin S Bloom, menggolongkan
bentuk tingkah laku sebagai tujuan belajar atas tiga ranah, yakni: 1). Ranah Kognitif,
berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yang meliputi
pengetahuan, pemahaman, aplikasi,analisi, sintesis, dan evaluasi. 2). Ranah Afektif,
berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yang meliputi penerimaan,
jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi. 3). Ranah Psikomotorik, berkenaan
dengan hasil belajar yang berupa ketrampilan dan kemampuan bertindak, meliputi
enam aspek yakni gerakan refleks, keterampilan gerak dasar, kemampuan
perceptual,ketepatan, keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
Tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan
dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk
menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Proses pembelajaran adalah proses
membantu siswa belajar,yang ditandai dengan perubahan perilaku baik dalam aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Seorang guru hanya dapat dikatakan telah melakukan
kegiatan pembelajaran jika terjadi perubahan perilaku pada diri peserta didik sebagai
akibat dari kegiatan tersebut. Ada hubungan fungsional antara perbuatan guru dengan
perubahan perilaku peserta didik (Kartadinata, 1997: 75).
Ketercapaian tujuan pembelajaran dapat dikatakan sebagai dampak dari proses
pembelajaran. Dampak pembelajaran adalah hasil belajar yang segera dapat diukur,
yang terwujud dalam hasil evaluasi pembelajaran. Dampak pembelajaran dapat
dibedakan atas dampak intruksional (instructional effeck) dan dampak tak langsung atau
dampak iringan (nurturant effeck). Dampak langsung adalah dampak yang ditimbulkan
oleh kegiatan pembelajaran yang telah diprogramkan sebelumnya, sedangkan dampak
iringan muncul sebagai pengaruh atau terjadi sebagai pengalaman dari lingkungan
belajar.
Menurut (Kartadinata (1997), dampak iringan bisa berwujud dalam bentuk
pemahaman, apresiasi, sikap, motivasi, kesadaran , keterampilan sosial, dan perilaku
sejenis lainnya.
Tujuan umum pembelajaran dapat dibedakan atas:

 Tujuan yang bersifat orientatif, dapat diklasifikasikan pula atas 3 tujuan, yakni:
a. Tujuan orientatif konseptual. Pada tujuan ini tekanan utama pembelajaran adalah
agar siswa memahami konsep-konsep penting yang tercakup dalam suatu bidang studi.
b. Tujuan orientatif procedural. Pada tujuan ini tekanan utama pembelajaran adalah
agar siswa belajar menampilkan prosedur.
c. Tujuan orientatif teoritik. Pada tujuan ini tekanan utama pembelajaran adalah agar
siswa memahami hubungan kausal penting yang tercakup dalam suatu bidang studi.

 Tujuan pendukung dapat diklasifikasikan menjadi 2 tujuan, yakni:


a. Tujuan pendukung prasyarat, yaitu tujuan pendukung yang menunjukkan apa yang
harus diketahui oleh siswa agar dapat mempelajari tugas yang didukungnya.
b. Tujuan pendukung konteks, yaitu tujuan pendukung yang membantu menunjukkan
konteks dari suatu tujuan tertentu dengan tujuan yang didukungnya.
c. Pembelajaran Abad 21
Pembelajaran merupakan suatu proses belajar yang dibangun guru untuk
meningkatkan moral, intelektual, serta mengembangkan berbagai kemampuan yang
dimiliki oleh siswa, baik itu kemampuan berpikir, kemampuan kreativitas, kemampuan
mengkonstruksi pengetahuan, kemampuan pemecahan masalah, hingga kemampuan
penguasaan materi pembelajaran dengan baik. Kemampuan-kemampuan yang
dikemukakan di atas merupakan kemampuan yang perlu dikembangkan pada abad 21.
Abad 21 dicirikan oleh berkembangnya informasi secara digital. Masyarakat
secara masif terkoneksi satu dengan lainnya. Hal inilah yang dikatakan oleh banyak
orang dengan revolusi industri, terutama industri informasi. Era digital telah mewarnai
kehidupan manusia di abad 21. Pembelajaran di abad 21 harus dapat mempersiapkan
generasi manusia Indonesia menyongsong kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Pembelajaran abad 21 sebenarnya adalah
implikasi dari perkembangan masyarakat dari masa ke masa. Sebagaimana diketahui
bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat primitif ke masyarakat agraris,
selanjutnya ke masyarakat industri, dan sekarang bergeser ke arah masyarakat
informatif. Masyarakat informatif ditandai dengan berkembangnya digitalisasi. Dari
tahun 1960 sampai sekarang telah berkembang dengan pesat penggunaan komputer,
internet dan handpone. Masyarakat telah berubah dari masyarakat offline menjadi
masyarakat on line. Sebagai catatan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2015
sebanyak 88,1 juta orang telah meningkat menjadi sebanyak 132,5 juta orang. Oleh
karena perkembangan digitalisasi yang semakin pesat di masyarakat, mau tidak mau
pembelajaran di sekolah di Indonesia harus mengikuti perkembangan tersebut.
Ada 4 prinsip pembelajaran abad 21. Prinsip-prinsip tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut.
1. Instruction should be student-centered
Pengembangan pembelajaran seyogyanya menggunakan pendekatan pembelajaran
yang berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yang
secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya. Siswa tidak lagi
dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan guru,
tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan
kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi untuk
memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di masyarakat.
2. Education should be collaborative
Siswa harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi
dengan orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya.
Dalam menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa
berkolaborasi dengan teman-teman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek,
siswa perlu dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang
serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dengan
mereka. Gambar 2 menunjukkan situasi kolaborasi antara siswa-guru dan siswa-
siswa di dalam kelas.
3. Learning should have context
Pembelajaran tidak akan banyak berarti jika tidak memberi dampak terhadap
kehidupan siswa di luar sekolah. Oleh karena itu, materi pelajaran perlu dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru mengembangkan metode pembelajaran
yang memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real word). Guru
membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan keyakinan atas apa yang
sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya.
Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang dikaitkan dengan dunia nyata.
4. Schools should be integrated with society
Dalam upaya mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang bertanggung jawab,
sekolah seyogyanya dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan
sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana siswa
dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan
sosial. Siswa dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan program yang ada di
masyarakat, seperti: program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan
sebagainya. Selain itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti asuhan untuk
melatih kepekaan empati dan kepedulian sosialnya.
Belajar dan Pembelajaran
a. Prinsip-prinsip Belajar
b. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Teori Belajar
a. Teori Belajar Behaviour
1) Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, teori
behavioristik dikaitkan dengan belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga berupa pikiran,
perasaan, dan gerakan). Jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh
berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret (tidak bisa
diamati). Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai
tingkah laku yang non-konkret (pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi
semua penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah memberikan
inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya.
Teori Thorndike disebut sebagai aliran koneksionisme (connectionism). Prosedur
eksperimennya ialah membuat setiap binatang lepas dari kurungannya sampai
ketempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung maka binatang itu
sering melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti menggigit, menggosokkan
badannya ke sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada
palang sehingga kotak terbuka dan binatang itu akan lepas ke tempat makanan.

2) Ivan Petrovich Pavlov


Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang
ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap hewan anjing, di mana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-
ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Dari contoh tentang percobaan
dengan hewan anjing bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu
dapat dikendalikan melalui cara dengan mengganti stimulus alami dengan stimulus
yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara
individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar
dirinya.

3) John B. Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah
Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa
diamati (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan
mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang
tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam
benak siswa tidak penting. Semua itu penting. Akan tetapi, faktor-faktor tersebut
tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan perubahan
apa yang bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikian pula psikologi dan ilmu
belajar dapat disejajarkan dengan ilmu lainnya seperti fisika atau biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empiris. Berdasarkan uraian ini, penganut aliran
tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa
diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa hal itu penting.

4) Burrhus Frederic Skinner


Menurut Skinner, deskripsi antara stimulus dan respons untuk menjelaskan
perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi
Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respons yang diberikan oleh
siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan
berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respons
yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai
konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.

Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan
pemahaman terhadap respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang
diakibatkan oleh respons tersebut (lihat bel-Gredler, 1986). Skinner juga
memperjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi
bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya, apabila
dikatakan bahwa seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami frustasi
akan menuntut perlu dijelaskan apa itu frustasi. Penjelasan tentang frustasi ini besar
kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain.

b. Teori Belajar Kognitif


Istilah cognitive berasal dari kata cognition, yang berarti knowing atau mengetahui,
yang dalam arti luas berarti perolehan, penataan, dan pengunaan pengetahuan.
Secara sederhana, dapat dipahami bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan
yang dimiliki anak untuk berfikir lebih kompleks, serta kemampuan penalaran dan
pemecahan masalah. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi
populer sebagai salah satu ranah psikologis manusia meliputi perilaku mental yang
berhubungan dengan pemahaman, pengolahan informasi, pemecahan masalah dan
keyakinan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih utuh, berikut kami kutip
beberapa pendapat ahli.

Menurut Chaplin dalam Dictionary of Psycologhy karyanya, kognisi adalah konsep


umum yang mencakup seluruh bentuk pengenalan, termasuk didalamnya
mengamati, menilai, memerhatikan, menyangka, membayangkan, menduga, dan
menilai. Sedangkan menurut Mayers menjelaskan bahwa kognisi merupakan
kemampuan membayangkan dan menggambarkan benda atau peristiwa dalam
ingatan dan bertindak berdasarkan penggambaran ini. Dari pengertian diatas dapat
dipahami bahwa kognisi adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk
menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran,
ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang untuk
memperoleh pengetahuan.

c. Teori Belajar Sosial


Teori belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui
proses pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang
lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah
yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan). Modeling lebih dari sekedar
peniruan atau mengulangi perilaku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau
pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan
proses kognitif.
Menurut Bandura (1986) mengemukakan empat komponen dalam proses belajar meniru
(modeling) melalui pengamatan, yaitu:
1. Atensi/ Memperhatikan
Sebelum melakukan peniruan terlebih dahulu, orang menaruh perhatian terhadap model
yang akan ditiru. Keinginan untuk meniru model karena model tersebut memperlihatkan atau
mempunyai sifat dan kualitas yang hebat, yang berhasilk, anggun, berkuasa dan sifat-sifat lain.
Dalam hubungan ini Bandura memberikan contoh mengenai pengaruh televisi dengan
model-modelnya terhadap kehidupan dalam masyarakat, terutama dalam dunia anak-anak.
Keinginan memperhatikan dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan minat-minat pribadi.
Semakin ada hubungannya dengan kebutuhan dan minatnya, semakin mudah tertarik
perhatiannya; sebaliknya tidak adanya kebutuhan dan minat, menyebabkan seseorang tidak
tertarik perhatiannya.
2. Retensi/ Mengingat
Setelah memperhatikan dan mengamati suatu model, maka pada saat lain anak
memperlihatkan tingkah laku yang sama dengan model tersebut. Anak melakukan proses retensi
atau mengingat dengan menyimpan memori mengenai model yang dia lihat dalam bentuk
simbol-simbol. Bandura mengemukakan kedekatan dalam rangsang sebagai faktor terjadinya
asosiasi antara rangsang yang satu dengan rangsang yang lain bersama-sama. Timbulnya satu
ingatan karena ada rangsang yang menarik ingatan lain untuk disadari karena kualitas rangsang-
rangsang tersebut kira-kira sama atau hampir sama dan ada hubungan yang dekat.
Bentuk simbol-simbol yang diingat ini tidak hanya diperoleh berdasarkan pengamatan
visual, melainkan juga melalui verbalisasi. Ada simbol-simbol verbal yang nantinya bisa
dtampilkan dalam tingkah laku yang berwujud. Pada anak-anak yang kekayaan verbalnya masih
terbatas, maka kemampuan meniru hanya terbatas pada kemampuan mensimbolisasikan melalui
pengamatan visual.
3. Memproduksi gerak motorik
Supaya bisa mereproduksikan tingkah laku secara tepat, seseorang harus sudah bisa
memperlihatkan kemampuan –kemampuan motorik. Kemampuan motorik ini juga meliputi
kekuatan fisik. Misalnya seorang anak mengamati ayahnya mencangkul di ladang. Agar anak ini
dapat meniru apa yang dilakukan ayahnya, anak ini harus sudah cukup kuat untuk mengangkat
cangkul dan melakukan gerak terarah seperti ayahnya.
4. Ulangan – penguatan dan motivasi
Setelah seseorang melakukan pengamatan terhadap suatu model, ia akan mengingatnya.
Diperlihatkan atau tidaknya hasil pengamatan dalam tingkah laku yang nyata, bergantung pada
kemauan atau motivasi yang ada. Apabila motivasi kuat untuk memperlihatkannya, misalnya
karena ada hadiah atau keuntungan, maka ia akan melakukan hal itu, begitu juga sebaliknya.
Mengulang suatu perbuatan untuk memperkuat perbuatan yang sudah ada, agar tidak hilang,
disebut ulangan – penguatan.Dalam tumbuh kembang anak, teori ini sangat berguna sebagai
bentuk acuan pembelajaran yang tepat untuk anak. Orang tua, guru, atau pihak-pihak lain dapat
mengoptimalkan tumbuh kembang anak dengan menerapkan teori ini. mereka dapat lebih
memahami tindakan apa yang pantas atau tidak untuk ditunjukkan kepada anak sebagai bentuk
pembelajaran dan pembentukan pola tingkah laku diri.

d. Teori Belajar Humanistik


Secara luas definisi teori belajar humanisitk ialah sebagai aktivitas jasmani dan rohani
guna memaksimalkan proses perkembangan. Sedangkan secara sempit pembelajaran
diartikan sebagai upaya menguasai khazanah ilmu pengetahuan sebagai rangkaian
pembentukan kepribadian secara menyeluruh. Pertumbuhan yang bersifat jasmaniyah
tidak memberikan perkembangan tingkah laku. Perubahan atau perkembangan hanya
disebabkan oleh proses pembelajaran seperti perubahan habit atau kebiasaan, berbagai
kemampuan dalam hal pengetahuan, sikap maupun keterampilan. DalamDalam
pandangan humanism, manusia memegang kendali terhadap kehidupan dan perilaku
mereka, serta berhak untuk mengembangkan sikap dan kepribadian mereka. Masih
dalam pandangan humanism, belajar bertujuan untuk menjadikan manusia selayaknya
manusia, keberhasilan belajar ditandai bila peserta didik mengenali dirinya dan
lingkungan sekitarnya dengan baik. Peserta didik dihadapkan pada target untuk
mencapai tingkat aktualisasi diri semaksimal mungkin.
Teori humanistic berupaya mengerti tingkah laku belajar menurut pandangan peserta
didik dan bukan dari pandangan pengamat. HumanismeHumanisme meyakini pusat
belajar ada pada peserta didik dan pendidik berperan hanya sebagai fasilitator. Sikap
serta pengetahuan merupakan syarat untuk mencapai tujuan pengaktualisasian diri
dalam lingkungan yang mendukung. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang
spesial, mereka mempunyai potensi dan motivasi dalam pengembangan diri maupun
perilaku, oleh karenanya setiap individu adalah merdeka dalam upaya pengembangan
diri serta pengaktualisasiannya.
PenerapanPenerapan teori humanistic pada kegiatan belajar hendaknya pendidik
menuntun peserta didik berpikir induktif, mengutamakan praktik serta menekankan
pentingnya partisipasi peserta didik dalam pembelajaran. Hal tersebut dapat
diaplikasikan dengan diskusi sehingga peserta didik mampu mengungkapkan pemikiran
mereka di hadapan audience. Pendidik mempersilakan peserta didik menanyakan materi
pelajaran yang kurang dimengerti. Proses belajar menurut pandangan humanistic
bersifat pengembangan kepribadian, kerohanian, perkembangan tingkah laku serta
mampu memahami fenomena di masyarakat. Tanda kesuksesan penerapan tersebut
yaitu peserta didik merasa nyaman dan bersemangat dalam proses pembelajaran serta
adanya perubahan positif cara berpikir, tingkah laku serta pengendalian diri.
Teori belajar humanistik Abraham Maslow
Dalam perspektif humanistik (humanistic perspective) menuntut potensi peserta didik
dalam proses tumbuh kembang, kebebasan menemukan jalan hidupnya. Humanistic
menganggap peserta didik sebagai subjek yang merdeka guna menetapkan tujuan hidup
dirinya. Peserta didik dituntun agar memiliki sifat tanggung jawab terhadap
kehidupannya dan orang di sekitarnya.Pembelajaran humanistic menaruh perhatian
bahwa pembelajaran yang pokok yaitu upaya membangun komunikasi dan hubungan
individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Edukasi bukan semata-
mata memindah khazanah pengetahuan, menempa kecakapan berbahasa para peserta
didik, tapi sebagai wujud pertolongan supaya siswa mampu mengaktualisasikan dirinya
relevan dengan tujuan pendidikan. Edukasi yang berhasil pada intinya adalah kecakapan
menghadirkan makna antara pendidik dengan pembelajar sehingga dapat mencapai
tujuan menjadi manusia yang unggul dan bijaksana. Maksudnya ialah menuntun peserta
didik bahwa mereka butuh pendidikan karakter. Pendidik memfasilitasi siswa menggali,
mengembangkan dan menerapkan kecakapan-kecakapan yang mereka punya supaya
mampu memaksimalkan potensinya.
Perspektif ini diasosiasikan secara dekat dengan keyakinan Abraham Maslow (1954,
1971) bahwa kebutuhan dasar tertentu harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lebih
tinggi dapat dipuaskan. Menurut hierarki kebutuhan Maslow, pemuasan kebutuhan
seseorang dimulai dari yang terendah yaitu: 1) fisiologis, 2) rasa aman, 3) cinta dan rasa
memiliki, 4) harga diri, 5) aktualisasi diri.
e. Teori Belajar Sibernetik
Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori
ini, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini mempunyai kesamaan dengan
teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam sibernetik.
Namun, yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses itu. Informasi
inilah yang menentukan proses. Asumsi lain dari teori sibernetik ini adalah bahwa
tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi yang cocok untuk
semua.
Teori belajar sibernetik merupakan perkembangan dari teori belajar kognitif, yang
menekankan peristiwa belajar sebagai proses internal yang tidak dapat diamati
secara langsung dan terjadinya perubahan kemampuan yang terikat pada situasi
tertentu. Pendekatan teori sibernetik yang berorientasi pada pemrosesan informasi
ini dikembangkan oleh Gagne ,Berliner, Biehler dan Snowman, Baine serta Tennyson.
Teori belajar sibernetik sebenarnya merupakan perkembangan dari teori belajar
kognitif, yang menekankan peristiwa belajar sebagai proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung dan terjadinya perubahan kemampuan yang terikat pada
situasi tertentu. Pada teori sibernetik, cara belajar sangat ditentukan oleh system
informasi. Oleh sebab itu tidak ada satu pun proses belajar yang ideal untuk segala
situasi, dan cocok untuk semua peserta didik. Komponen pemrosesan informasi
berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi dan proses terjadinya
lupa.
Teori Kecerdasan Ganda
a. Pengertian Kecerdasan Ganda
Kecerdasan (inteligensi) pada hakikatnya merupakan suatu kemampuan dasar yang bersifat
umum untuk memperoleh suatu kecakapan yang mengandung berbagai komponen. Banyak
teori yang berkembang tentang kecerdasan atau inteligensi, namun kita akan memfokuskan
pembahasan pada teori kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Teori kecerdasan ganda yang telah dikembangkan selama lima belas tahun terakhir oleh
psikolog Howard Gardner menantang kenyataan lama tentang makna cerdas. Gardner
berpendapat dalam Armstrong bahwa kebudayaan kita telah terlalu banyak memusatkan
perhatian pada pemikiran verbal dan logis, kemampuan yang secara tipikal dinilai dalam tes
kecerdasan, dan mengesampingkan pengetahuan lainnya. Ia menyatakan sekurang-
kurangnya ada tujuh kecerdasan yang patut diperhitungkan secara sungguh-sungguh
sebagai cara berpikir yang penting.
b. Teori Kecerdasan Ganda
Ada 9 kecerdasan ganda yang dimiliki oleh setiap manusia.
1. Kecerdasan Verbal-Linguistik
Kecerdasan ini ditunjukkan dengan kepekaan seseorang pada bunyi, struktur, makna, fungsi
kata, dan bahasa. Anak yang memiliki kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam
hal berkomunikasi lisan dan tulisan mengarang cerita, diskusi dan mengikuti debat suatu
masalah, belajar bahasa asing, bermain “game” bahasa, membaca dengan pemahaman
tinggi, mudah mengingat ucapan orang lain, tidak mudah salah tulis atau salah eja, pandai
membuat lelucon, pandai membuat puisi, tepat dalam tata bahasa, kaya kosa kata, dan
menulis secara jelas.
Kecerdasan verbal-linguistik anak usia dini dapat diketahui melalui kegiatan:
a. Mengobservasi kemauan dan kemampuan berbicara. Anak yang cerdas dalam verbal-
linguistik banyak bicara, suka bercerita, pandai melucu dengan kata-kata. Anda dapat
mengamati bagaimana mereka berbicara, bernegosiasi, mengekspresikan perasaan melalui
kata-kata, dan mempengaruhi orang lain;
b. mengamati kemampuan anak-anak melucu dengan kata-kata dan menangkap kelucuan;
c. mengamati kegiatan di kelas dan mengamati bagaimana anak-anak bermain dengan
huruf-huruf, seperti mencocok huruf, menukarkan huruf, menebak kata-kata, dan kegiatan
bermain lain yang melibatkan bahasa, baik lisan maupun tulis;
d. mengamati kesenangan mereka terhadap buku serta kemampuan mereka membaca dan
menulis;
Cara belajar terbaik bagi anak-anak yang cerdas dalam verbal-linguistik adalah dengan
mengucapkan, mendengarkan, dan melihat tulisan. Oleh karena itu, ajak anak-anak ke toko
buku, beri kesempatan berbicara, sediakan banyak buku-buku, rekaman, serta menciptakan
peluang mereka untuk menulis, menyediakan peralatan membuat tulisan, tape recorder,
mesin ketik, keyboard, untuk belajar mengidentifikasi huruf dalam kata-kata.
2. Kecerdasan Logis-Matematis
Kecerdasan ini ditandai dengan kepekaan pada pola-pola logis dan memiliki kemampuan
mencerna pola-pola tersebut, termasuk juga numerik serta mampu mengolah alur
pemikiran yang panjang. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini cenderung menyukai dan
efektif dalam hal: menghitung dan menganalisis hitungan, menemukan fungsi-fungsi dan
hubungan, memperkirakan, memprediksi, bereksperimen, mencari jalan keluar yang logis,
menemukan adanya pola, induksi dan deduksi, mengorganisasikan/membuat garis besar,
membuat langkah-langkah, bermain permainan yang perlu strategi, berpikir abstrak dan
menggunakan simbol abstrak, dan menggunakan algoritma. Informasi mengenai kecerdasan
logis-matematis anak-anak dapat diperoleh melalui observasi terhadap:
a. kesenangan mereka terhadap angka-angka, mampu membaca angka, dan berhitung. Anak
yang cerdas dalam logis-matematis cepat dan efektif dalam menjumlah, mengurangi, dan
membaca simbol angka;
b. kemahiran mereka berpikir dan menggunakan logika. Anak yang cerdas logis-matematis
mampu memecahkan masalah secara logis, cepat memahami permasalahan, mampu
menelusuri sebab dan akibat suatu masalah;
c. kesukaan mereka bertanya dan selalu ingin tahu;
d. kecenderungan mereka untuk memanipulasi lingkungan dan menggunakan strategi coba-
ralat, serta menduga-duga dan mengujinya;
e. kecenderungan mereka untuk bermain konstruktif, bermain dengan polapola, permainan
strategi, menikmati permainan dengan komputer atau kalkulator;
f. kecenderungan untuk menyusun sesuatu dalam kategori atau hierarki seperti urutan
besar ke kecil, panjang ke pendek, dan mengklasifikasi benda-benda yang memiliki sifat
sama.
Cara belajar terbaik anak-anak yang cerdas logis-matematis adalah melalui angka, berpikir,
bertanya, mencoba, menduga, menghitung, menimbang, mengurutkan, mengklasifikasi, dan
mengonstruksi. Oleh karena itu, sediakan alat-alat bermain konstruktif, puaskan rasa ingin
tahu anak, dan beri kesempatan anak untuk bertanya, menduga, dan mengujinya.
3. Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan ini ditandai dengan kepekaan mempersepsi dunia visual-spasial secara akurat
dan mentransformasi persepsi awal. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini cenderung
menyukai arsitektur, bangunan, dekorasi, apresiasi seni, desain, atau denah. Mereka juga
menyukai dan efektif dalam membuat dan membaca chart, peta, koordinasi warna,
membuat bentuk, patung dan desain tiga dimensi lainnya, menciptakan dan
menginterpretasi grafik, desain interior, serta dapat membayangkan secara detil benda-
benda, pandai dalam navigasi, dan menentukan arah. Mereka suka melukis, membuat
sketsa, bermain game ruang, berpikir dalam image atau bentuk, serta memindahkan bentuk
dalam angan-angan. Informasi mengenai kecerdasan visual-spasial pada anak-anak dapat
diperoleh melalui observasi terhadap:
a. kemampuan menangkap warna serta mampu memadukan warna-warna saat mewarnai,
dan mendekorasi;
b. kesenangan mereka mencoret-coret, menggambar, berkhayal, membuat desain
sederhana;
c. kemampuan anak dalam memahami arah dan bentuk;
d. kemampuan anak mencipta suatu bentuk, seperti bentuk pesawat terbang, rumah, mobil,
burung, atau bentuk lain yang mengesankan adanya unsur transformasi bentuk yang rumit.
Anak yang cerdas dalam visual-spasial terkesan kreatif, memiliki kemampuan
membayangkan sesuatu, melahirkan ide secara visual dan spasial dalam bentuk gambar
atau bentuk yang terlihat mata (Armstrong, 1996). Mereka memiliki kemampuan mengenali
identitas objek ketika objek tersebut ada dari sudut pandang yang berbeda. Mereka juga
mampu memperkirakan jarak dan keberadaan dirinya dengan sebuah objek (Indra-Supit,
dkk., 2003). Cara belajar terbaik untuk anak yang cerdas visual-spasial adalah melalui warna,
coretan, arah, bentuk, dan ruang.
4. Kecerdasan Musikal
Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan menciptakan dan mengapresiasi irama pola titi
nada, dan warna nada; juga kemampuan mengapresiasi bentuk-bentuk ekspresi musikal.
Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal
menyusun/mengarang melodi dan lirik, bernyanyi kecil, menyanyi dan bersiul. Mereka juga
mudah mengenal ritme, mudah belajar/mengingat irama dan lirik, menyukai mendengarkan
dan mengapresiasi musik, memainkan instrumen musik, mengenali bunyi instrumen,
mampu membaca musik, mengetukkan tangan dan kaki, serta memahami struktur musik
Informasi mengenai kecerdasan musikal pada anak-anak dapat diperoleh melalui observasi
terhadap:
a. kesenangan dan kemampuan mereka menyanyi dan menghafal lagu-lagu, bersiul,
bersenandung, dan mengetuk-ngetuk benda untuk membuat bunyi berirama;
b. kepekaan dan kemampuan mereka menangkap nada-nada, irama, dan kemampuan
menyesuaikan suara dengan nada yang mengiringi;
c. kecenderungan musikal saat anak berbicara dan kemerduan suara mereka pada saat
menyanyi;
d. kesenangan dan kemampuan mereka memainkan alat musik;
e. kemampuan mereka mengenali berbagai jenis suara di sekitarnya, mulai dari suara
manusia, mesin, hewan, dan suara-suara khas lainnya.
Hampir semua anak memiliki kecerdasan ini, dan cara belajar yang terbaik untuk mereka
adalah dengan nada, irama, dan melodi. Oleh karena itu, guru perlu memfasilitasi anak agar
dapat berekspresi secara musikal melalui salam berirama, deklamasi, menyanyi bersama,
tepuk bernada, dan, bila mungkin, orkestra kaleng bekas, dan latihan membedakan bunyi
dan suara di sekitarnya.
5. Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan mengontrol gerak tubuh dan kemahiran
mengelola objek. Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung menyukai dan
efektif dalam hal mengekspresikan dalam mimik atau gaya, atletik, menari dan menata tari;
kuat dan terampil dalam motorik halus, koordinasi tangan dan mata, motorik kasar dan daya
tahan. Mereka juga mudah belajar dengan melakukan, mudah memanipulasikan benda-
benda (dengan tangannya), membuat gerak-gerik yang anggun, dan pandai menggunakan
bahasa tubuh. Informasi mengenai kecerdasan kinestetik pada anak-anak sangat mudah
diperoleh. Tanda-tanda yang dimunculkan sangat terlihat seperti kecerdasan verbal-
linguistik. Indikator kecerdasan ini dapat diperoleh melalui observasi terhadap:
a. frekuensi gerak anak yang tinggi serta kekuatan dan kelincahan tubuh;
b. kemampuan koordinasi mata-tangan dan mata-kaki, seperti menggambar, menulis,
memanipulasi objek, menaksir secara visual, melempar, menendang, menangkap;
c. kemampuan, keluwesan, dan kelenturan gerak lokomotor, seperti berjalan, berlari,
melompat, berbaris, meloncat, mencongklak, merayap, berguling, dan merangkak, serta
keterampilan nonlokomotor yang baik, seperti membungkuk, menjangkau, memutar tubuh,
merentang, mengayun, jongkok, duduk, berdiri;
d. kemampuan mereka mengontrol dan mengatur tubuh seperti menunjukkan kesadaran
tubuh, kesadaran ruang, kesadaran ritmik, keseimbangan, kemampuan untuk mengambil
start, kemampuan menghentikan gerak, dan mengubah arah;
e. kecenderungan memegang, menyentuh, memanipulasi, bergerak untuk belajar tentang
sesuatu serta kesenangannya meniru gerakan orang lain.
Anak yang memiliki kecerdasan gerak-kinestetik membutuhkan kesempatan untuk bergerak,
dan menguasai gerakan. Mereka perlu diberi tugas-tugas motorik halus, seperti
menggunting, melipat, menjahit, menempel, merajut, menyambung, mengecat, dan
menulis, serta motorik kasar, seperti berlari, melompat, berguling, meniti titian, berjalan
satu kaki, senam irama, merayap, dan lari jarak pendek. Adanya rangsangan stimulus
terhadap kecerdasan gerak-kinestetik membantu perkembangan dan pertumbuhan anak.
Sesuai dengan sifat anak, yakni suka bergerak, proses belajar hendaklah memperhatikan
kecenderungan ini. Anak-anak dengan kecenderungan kecerdasan ini belajar dengan
menyentuh, memanipulasi, dan bergerak. Mereka memerlukan kegiatan belajar yang
bersifat kinestetik dan dinamis. Mereka membutuhkan akses ke lapangan bermain,
lapangan rintangan, kolam renang, dan ruang olahraga. Oleh karena itu, proses
pembelajaran yang menuntut konsentrasi anak dalam konteks pasif (duduk tenang di kelas)
dalam waktu lama sangat menyiksa mereka.
6. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan mencerna dan merespons secara tepat suasana
hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain. Seseorang yang optimal dalam
kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal mengasuh dan mendidik orang
lain, berkomunikasi, berinteraksi, berempati dan bersimpati, memimpin dan
mengorganisasikan kelompok, berteman, menyelesaikan dan menjadi mediator konflik,
menghormati pendapat dan hak orang lain, melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang,
sensitif atau peka pada minat dan motif orang lain, dan handal bekerja sama dalam tim.
Tanda utama kecerdasan interpersonal sangat mudah diidentifikasi. Anak yang memiliki
kecerdasan interpersonal sangat menyenangkan bagi teman sebayanya. Indikator
kecerdasan interpersonal dapat diketahui melalui observasi terhadap:
a. kepekaan anak terhadap perasaan, kebutuhan, dan peristiwa yang dialami teman
sebayanya. Kepekaan ini mendorong anak memberikan perhatian yang tinggi pada anak
lain, senang membantu teman lain;
b. kemampuan anak mengorganisasi teman-teman sebayanya. Kemampuan ini mendorong
anak menggerakkan teman-temannya untuk tujuan bersama, dan cenderung memimpin;
c. kemampuan anak memotivasi dan mendorong orang lain untuk bertindak. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan mereka mengenali dan membaca pikiran orang lain, dan
karenanya anak dapat mengambil sikap yang tepat;
d. sikap yang ramah, senang menjalin kontak, menerima teman baru, dan cepat
bersosialisasi di lingkungan baru. Hal ini disebabkan oleh dorongan anak untuk selalu
bersama orang lain dan menjalin komunikasi dengan sesama;
e. kecenderungan anak untuk bekerja sama dengan orang lain, saling membantu, berbagi,
dan mau mengalah;
f. kemampuan untuk menengahi konflik yang terjadi di antara teman sebayanya,
menyelaraskan perasaan teman-teman yang bertikai, dan kemampuan memberikan usulan-
usulan perdamaian.
Cara belajar terbaik bagi anak yang cerdas interpersonal adalah melalui interaksi dengan
orang lain. Anak dengan kecerdasan ini akan tampak sebagai individu yang manis, baik hati,
dan suka perdamaian, oleh karena itu, mereka disukai banyak orang. Untuk
mengembangkan kecerdasan ini, pendidik perlu memberikan tugas-tugas menarik yang
harus diselesaikan anak secara berpasangan dan berkelompok. Kegiatan bermain bersama
di bawah pengawasan pendidik sangat disarankan.
7. Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian membedakan anggota-anggota suatu spesies,
mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antara beberapa spesies, baik
secara formal maupun informal. Seseorang yang optimal kecerdasan naturalisnya
cenderung menyukai dan efektif dalam menganalisis persamaan dan perbedaan, menyukai
tumbuhan dan hewan, mengklasifikasi flora dan fauna, mengoleksi flora dan fauna,
menemukan pola dalam alam, mengidentifikasi pola dalam alam, melihat sesuatu dalam
alam secara detil, meramal cuaca, menjaga lingkungan, mengenali berbagai spesies, dan
memahami ketergantungan pada lingkungan. Anak yang cenderung cerdas dalam naturalis
tampak sebagai penyayang binatang dan tumbuhan, serta peka terhadap alam. Kecerdasan
mereka dapat diidentifikasi melalui observasi terhadap:
a. kesenangan mereka terhadap tumbuhan, bunga-bungaan, dan kecenderungan untuk
merawat tanaman, tampak “seolah-olah berbicara” dengan tumbuhan;
b. sikap mereka yang sayang terhadap hewan piaraan (membelai, memberi makan-minum,
mengoleksi binatang atau gambar atau miniatur),
c. kemampuan mereka dalam mengenal dan menghafal nama-nama/jenis binatang dan
tumbuhan. Mereka hafal nama-nama ikan, nama-nama burung, dan mengenali tumbuhan;
d. kesukaan anak melihat gambar binatang dan hewan, serta sering mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Apabila sudah dapat membaca, anak sering memilih
bacaan tentang hewan atau tumbuhan untuk dibaca;
e. kepekaan terhadap bentuk, tekstur, dan ciri lain dari unsur alam, seperti daun-daunan,
bunga-bungaan, awan, batu-batuan;
f. kesenangan terhadap alam, menyukai kegiatan di alam terbuka, seperti pantai, tanah
lapang, kebun, sungai, sawah, dan dalam alam terbatas menghabiskan waktu di dekat
kolam, dekat aquarium, Anak-anak dengan kecerdasan naturalis tinggi cenderung tidak
takut memegang-megang serangga dan berada di dekat binatang.
Sebagian besar anak berusaha memenuhi rasa ingin tahunya dengan cara bereksplorasi di
alam terbuka, mereka mencari cacing di sampah, membongkar sarang semut, menelusuri
sungai. Pendidik sering menilai kegiatan mereka sebagai kenakalan dan menjijikkan.
Larangan dan hukuman pun sering diberikan pada anak-anak yang menonjol dalam
kecerdasan naturalis.
Pendidik yang cerdas akan membawa anak-anak didik mereka ke alam
terbuka, menyediakan materi-materi yang tepat untuk mempertimbangkan
kecerdasan naturalis, seperti membiasakan menyiram tanaman, menciptakan
permainan yang berkaitan dengan unsur-unsur alam, seperti membandingkan
berbagai bentuk daun dan bunga, mengamati perbedaan tekstur pasir, tanah,
dan kerikil, mengoleksi biji-bijian, dan menirukan karakteristik binatang
tertentu. Sebaiknya, buku-buku dan VCD yang memuat seluk-beluk hewan,
alam, dan tumbuhan dengan gambar-gambar yang bagus dan menarik perlu
di pajang di depan anak.
Dalam kadar kecil, kecerdasan naturalis dapat diwujudkan dalam
kegiatan investigasi, eksperimen, menemukan elemen, fenomena alam, pola
cuaca, kondisi yang mengubah karakteristik sebuah benda, misalnya es
mencair ketika terkena panas matahari (Hutinger, 2003). Kecerdasan
naturalis memiliki peran yang besar dalam kehidupan. Pengetahuan anak
mengenai alam, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dapat mengantarkan mereka
ke berbagai profesi strategis, seperti dokter hewan, insinyur pertanian,
perkebunan, kehutanan, kelautan, ahli farmasi, ahli geodesi, geografi, dan
ahli lingkungan.
8. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan memahami perasaan sendiri
dan kemampuan membedakan emosi, serta pengetahuan tentang kekuatan
dan kelemahan diri. Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung
menyukai dan efektif dalam hal berfantasi, “bermimpi”, menjelaskan tata
nilai dan kepercayaan, mengontrol perasaan, mengembangkan keyakinan dan
opini yang berbeda, menyukai waktu untuk menyendiri, berpikir, dan
merenung. Mereka selalu melakukan introspeksi, mengetahui dan mengelola
minat dan perasaan, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, pandai
memotivasi diri, mematok tujuan diri yang realistis, dan memahami.
Anak-anak yang cerdas intrapersonal sering tampak sebagai sosok anak
yang pendiam dan mandiri. Kecerdasan intrapersonal anak dapat diketahui
melalui observasi yang cukup cermat terhadap:
a. kecenderungan anak untuk diam (pendiam), tetapi mampu melaksanakan
tugas dengan baik, cermat;
b. sikap dan kemauan yang kuat, tidak mudah putus asa, kadang-kadang
terlihat keras;
c. sikap percaya diri, tidak takut tantangan, tidak pemalu;
d. kecenderungan anak untuk bekerja sendiri, mandiri, senang
melaksanakan kegiatan seorang diri, tidak suka diganggu
e. kemampuan mengekspresikan perasaan dan keinginan diri dengan baik;
Anak-anak yang cerdas secara intrapersonal belajar sesuatu melalui diri
mereka sendiri. Mereka mencermati apa yang mereka alami dan rasakan.
Awal masa anak-anak merupakan saat yang menentukan bagi perkembangan
intrapersonal. Anak-anak yang memperoleh kasih sayang, pengakuan,
dorongan, dan tokoh panutan cenderung mampu mengembangkan konsep diri
yang positif dan mampu membentuk citra diri sejati (Armstrong, 1993).
Kecerdasan intrapersonal dirangsang melalui tugas, kepercayaan, dan
pengakuan. Anak perlu diberi tugas yang harus dikerjakan sendiri, dipercaya
untuk berkreasi dan mencari solusi, dan didorong untuk mandiri. Dorongan
tumbuhnya kecerdasan intrapersonal harus disertai dengan sikap positif para
guru dalam menilai setiap perbedaan individu. Pujian yang tulus, sikap tidak
mencela, dukungan yang positif, menghargai pilihan anak, serta kemauan
mendengarkan cerita dan ide-ide anak merupakan stimulasi yang sesuai
untuk kecerdasan intrapersonal ini.
9. Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan eksistensial ditandai dengan kemampuan berpikir sesuatu
yang hakiki, menyangkut eksistensi berbagai hal, termasuk kehidupankematian, kebaikan-
kejahatan. Eksistensial muncul dalam bentuk pemikiran
dan perenungan. Seseorang yang cerdas secara eksistensial cenderung
mempertanyakan hakikat kehidupan, mencari inti dari setiap permasalahan,
merenungkan berbagai hal atau peristiwa yang dialami, memikirkan hikmah
atau makna di balik peristiwa atau masalah, dan mengkaji ulang setiap
pendapat dan pemikiran. Orang yang cerdas secara eksistensial cenderung
berani menyatakan keyakinan dan memperjuangkan kebenaran, mampu
menempatkan keberadaan sesuatu dalam bingkai yang lebih luas, selalu
mempertanyakan kebenaran suatu pernyataan/kejadian, memiliki pengalaman
yang mendalam tentang cinta pada sesama dan seni, mampu menempatkan
diri dalam kosmis yang luas, serta memiliki kemampuan merasakan,
memimpikan, dan merencanakan hal-hal yang besar.
Kecerdasan eksistensial memiliki indikator yang sangat sulit dipastikan
keberadaannya. Bagaimana mengamati kegiatan berpikir, merasa, merenung,
merefleksi diri, atau mimpi-mimpi seseorang? Indikator hanya dapat
diperoleh melalui pengamatan yang benar-benar cermat terhadap:
a. kecenderungan anak untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar
tentang hakikat sesuatu, tujuan sesuatu, dan manfaat sesuatu;
b. kepekaan anak untuk merasakan keberadaan diri dan sesuatu sebagai
bagian dari komposisi yang lebih besar;
c. kemampuan anak untuk menjabarkan penilaian dan reaksi tentang
sesuatu. Anak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pendidik
tentang berbagai hal yang dirasakan, diimpikan, dan dipikirkannya;
d. reaksi anak yang relatif terkendali terhadap peristiwa yang dialaminya,
belajar mengambil hikmah dari suatu peristiwa;
e. keberanian anak untuk menerima sesuatu yang dirasakannya benar,
memperjuangkan keyakinan dan rasa keadilan, seperti, “Kalau aku tak
boleh bohong, Bu Guru juga tak boleh, dong!”
Anak-anak yang cerdas secara eksistensial belajar dari pemikiran
mendasar. Oleh karena itu, ada dua hal mendasar yang wajib dilakukan
pendidik yaitu:
a. menanggapi setiap pernyataan, pertanyaan, dan kritik anak perihal
hakikat dan makna kegiatan, situasi, peristiwa, impian, perilaku yang
teramati/terasakan oleh anak dengan jawaban yang baik dan jelas sesuai
kapasitas anak;
b. merangsang kemampuan anak untuk belajar menangkap makna berbagai
hal yang dilihat, dialami, dan dirasakannya.
Sama dengan kecerdasan lainnya, kecerdasan eksistensial mulai muncul
pada awal masa kanak-kanak. Oleh karena anak-anak belum mempunyai
penyaring kebudayaan seperti orang dewasa, mereka selalu dapat menerima
rahasia kehidupan dan secara terus-menerus mengajukan pertanyaan besar
yang sulit dijawab oleh orang dewasa di sekitarnya (Armstrong, 2002).
Indikator kecerdasan eksistensial dapat diibaratkan sebagai pedang
bermata dua. Frekuensi seseorang dalam memikirkan kematian, misalnya
mungkin dapat digunakan untuk menguji kesadaran eksistensialnya.
Meskipun demikian, tidak salah jika hal itu mengindikasikan keputusasaan
seseorang itu mengenai kehidupan. Seperti juga anak kecil yang bertanya
kepada gurunya, “Mengapa kita harus upacara? Pakai hormat-hormat
segala?” Fenomena tersebut dapat dipandang sebagai munculnya kesadaran
eksistensial dan dapat juga merupakan refleksi dari keengganan anak untuk
melaksanakan kegiatan rutin sekolah.
c. Mengembangkan Kecerdasan Ganda dalam Pembelajaran
Teori Gaya Belajar
a. Gaya Belajar Kolb
b. Gaya Belajar V-A-K

Anda mungkin juga menyukai