Anda di halaman 1dari 8

Disusun Oleh :

1. Naghma Naghsalla (2008066035)

TEORI PERS OTORITER

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pers yang menyangkut media massa kini memang sudah berkembang pesat,
dimulai dari media cetak sederhana pada era Romawi bernama Acta Diurma dan Acta
Senatus, sekarang sudah sangat mendunia dengan berbagai jenis, meliputi media cetak
dan elektronik. Media cetak meliputi koran, majalah, tabloid, sedang media elektronik
meliputi radio, televise, dan yang terakhir adalah e-news atau bisa disebut berita
online.
Perjalanan pers tersebut tentunya tidak berjalan sendiri, tetapi sangat terkait
dengan zaman dan negeri tempat pers itu berkembang. Bahkan konsep dan teori
pengembangan pers bia diteliti dengan seksama juga sesuai dengan masa tumbuh dan
berkembangnya pers tersebut. Dengan kata lain perjalanan pers sejak dulu memang
mengikuti perubahan dari zaman ke zaman.
Sepanjang perjalanan pers sejak awal hingga kini terdapat berbagai paham
yang dianut per situ sendiri, sehingga memunculkan teori yang memunculkan teori
pers. Salah satuya adalah teori pers otoriter.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan teori pers otoriter ?
2. Bagaimana karakteristik pers otoriter?
3. Bagaimana hubungan antara pers dan negaranya?

1
BAB I I

PEMBAHASAN

1. Teori Pers Otoriter


Teori pers yang pertama adalah teori pers otoriter atau teori otoritarian. Teori
otoriter merupakan pers yang mendukung dan menjadi berkepanjangan tangan
kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara.1
Menurut Fred S. Siebert teori otoriter menyatakan bahwa hubungan antara
media massa dengan masyarakat ditentukan oleh asumsi-asumsi filsafati yang
mendaasar tentang manusia dan negara.2 Dalam hal ini tercangkup: (1) sifat manusia,
(2) sifat masyarakat, (3) hubungan antara manusia dengan negara, dan (4) masalah
filsafati yang mendasar, sifat pengetahuan dan sifat kebenaran.
Teori otoriter mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil
yang menyatakan bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai kemampuan
secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu lingkup kegiatan
nya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampunnya untuk
mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah,
kelompok lebih lebih penting daripada individu, karena hanya melalui kelompok
seseorang dapat mencapai tujuannya.
Pada teori pers seperti ini, pers tidak boleh mengkritik alat negara dan
penguasa. Media cetak harus memperoleh izin dan dalam beberapa kondisi harus
mendapat hak pemakaian khusus dari kerajaan atau pemerintahan agar bisa digunakan
dalam penerbitan. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung, dan
peraturan yang diterapkan sendiri dalam tubuh serikat pemilik mesin cetak, individu
dijatuhkan dari kemungkinan mengkritik pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem
otoriter, pers bisa dimiliki baik secara public atau perorangan , namun demikian tetap
dianggap sebagai alat untuk menyebarluaskan kebijakan pemerintah.3
Pers lebih digunakan untuk memberi informasi kepada rakyat mengenai apa
yang penguasa pikirkan, apa yang mereka inginkan, dan apa yang harus didukung
oleh rakyat. Berbagai kejadian yang akan diberitakan dikontrol oleh pemerintah
1
Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr. TEORI KOMUNIKASI : Sejarah, Metode, dan di Dalam
Media Massa Edisi Kelima.( Jakarta: Kencana, 2011), hal 376
2
Didit Agus Triyono. The Four Press Media Theories: Authoritarianism Media Theory, Libertarianism
Media Theory, Social Responsibility Media Theory, and Totalitarian Media Theory. Ragam Jurnal
Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 3, Desember 2013: 195
3
Inge Hutagalung. Dianamika Sistem Pers di Indonesia . Jurnal Interaksi, Vol II No.2, Juli 2013 : 54

2
karena kekasaan raja sangat mutlak. Negara dengan raja sebagai kekuatan merupakan
pusat kegiatan. Oleh karena itu, individu tidak penting, yang lebih penting adalah
negara sebagai tujuan akhir individu. Benito Mussolini (Italia) dan Adolf Hitler
(Jerman) adalah dua penguasa yang mewarisi sistem pers otoriter.

Sejarah Pers Otoriter

Teori ini lahir pada abad ke-15 sampai ke-16 pada masa bentuk pemerintahan
bersifat otoriter (kerajaan absolut), hampir secara otomatis dipakai di semua negara
ketika masyarakat mulai mengenal surat kabar sebagai wahana komunikasi.

Perkembangan otorisme pada pertengahan abad ke-15 menyebabkan timbul


satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis dan
Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di
Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip dasar otorisme yang cukup
sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak
yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam dan
menentang negara atau penguasa.
Pada mulanya, teori ototarian ingin menciptakan kondisi ideal melalui
informasi yang disaring oleh pemegang otoritas (pada umumnya Raja/petinggi negara
atau pihak yang diatur dalam peraturan sebagai praktisi media) dengan tujuan
melindungi dan memelihara tatana sosial.4
Namun pada perkembangannya, pers otoriter menjadi suatu bentuk perangkat
penekanan dan ketundukkan kepada pemerintah. Didalam teori ini sensor dan
hukuman dari pedoman yang telah ditetapkan berlaku untuk hal-hal yang sifatnya
politis atau segala sesuatu yang memiliki ideologi yang jelas.
Dalam menjalankan tugasnnya baik dalam menyampaikan gagasan,
pemikiran, dan pesan, orang otoritarian hanya mengenal satu bentuk komunikasi,
yaitu intruksi. Bentuk komunikasi yang persuasive untuk menyakinkan, dinilai
menghabiskan waktu dan tidak efesien. Meski kebebasan dibatasi, namun selama
pandangan (termasuk kaum minoritas) yang dikemukakan tidak mengancam
pemerintahan masih diperbolehkan.

4
Didit Agus Triyono. The Four Press Media Theories: Authoritarianism Media Theory, Libertarianism
Media Theory, Social Responsibility Media Theory, and Totalitarian Media Theory. Ragam Jurnal
Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 3, Desember 2013: 195

3
Pers berfungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak
menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli
kebenaran di pihak penguasa. Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl
Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme)
mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak
dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara
yang dipandang perlu.
Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth estate)
menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu
menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela
atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa.
Kebergantungan sesorang pada negara untuk mencapai peradaban telah
menjadi unsur utama bagi sistem otoriter. Saat ini penyesoran, baik oleh pemerintah
maupun swasta, masih hidup dan berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk
yang yang menyatakan yang menganut demokrasi.
Misalnya, perselisihan yang sering terjadi antara wartawan dengan
pemerintahan Singapura yang terkenal dengan control media yang ketat dimana
petugas berwenang melakukan sensor atau pengeditan pada program dan pengeditan.
Harian seperti Asian Wall Sreet Journal, Far Eastem Economic Review, dan
International Herald Tribune merupakan harian yang pernah berselisih dengan
pemerintah Singapura, dan harus membayar denda serta mengahadapi control yang
ketat.5

2. Karakteristik Pers Otoriter


Dalam teori pers otoriter ini, fungsi pers hanya sekadar menyampaikan apa yang
diingin penguasa, untuk diketahui oleh rakyat. Posisi negara sangat sentral, dan pers
menjadi alat untuk menopang dan mempertahankan kekuasaan.
Ada beberapa ciri pokok mengenai teori pers otoriter ini. Antara lain, media
selamanya harus tunduk kepada penguasa, membenarnya berbagai bentuk
penyensoran yang dinilai bisa mengancam kekuasaan, dan wartawan tidak memiliki

5
Didit Agus Triyono. The Four Press Media Theories: Authoritarianism Media Theory, Libertarianism
Media Theory, Social Responsibility Media Theory, and Totalitarian Media Theory. Ragam Jurnal
Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 3, Desember 2013: 196

4
kebebadan penuh dalam mengekspresikan karya jurnalistiknya, terutama apabila tidak
seirama dengan keinginan penguasa 6
Santana (2005) mencoba menyimpulkan teori pers otoriter. Secara prinsipal ciri
teori ooritan adalah sebagai berikut.
a. Media tidak melakukan hal-ha diluar kewenangannya yang dapat merusak legitimasi
kewenangan dan kekuasaan pemerintah.
b. Media akhirnya atau selamanya tunduk kepada penguasa.
c. Media sebaiknya menghindari perbuatan yang menentang tata nilai moral dan politik
atau dominasi mayoritas.
d. Penyensoran dibenarkan untuk menjaga beberapa prinsip ini.
e. Kecaman yang tidakditerima penguasa, penyimpangan dari kebijakan resmi, atau
kegiatan pers yang menentang kode moral (etik) dianggap sebagai perbuatan pidana.
f. Wartawan atau pelaku media tidak memiliki kebebasan di organisasi medianya. 7
Penggunaan terori pers otoritarian ini tidak terbatas pada abad 15 sampai 17
saja, namun berlanjut hingga abad modern seperti negara Amerika Serikat, Spanyol,
Jerman, Rusia, Jepang dan beberapa negara yang ada di Asia. Tanpa disadari sekarang
ini teori ini juga banyak digunakan oleh negara-negara maju seperti Cina, Portugal,
Spanyol, dan banyak negara di Amerika selatan dan di Asia. Itu berarti teori pers
otoritarian cocok digunakan untuk dapat sejajar dengan negara-negara yang maju.8
Disamping itu, pers otoriter memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
dan kekurangan pers otoriter yakni sebagai berikut:
a. Kelebihan pers otoriter
 Konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya
pengawasan hal-hal yang dianggap dapat menggoncangkan masyarakat
 Mudah membentuk penyeragaman/integritas dan konsesus yang
diharapkan pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan
b. Kekurangan pers otoriter
 Adanya penekanan terhadap keinginan untuk bebas mengemukakan
pandangan/pendapat

6
https://kumparan.com/mediamadura/sistem-teori-dan-orientasi-pers
7
Mondry, Pemahaman Teori dan Praktek Jurnalistik, Cet.1, Ed.II (Bogor:Ghalia Indonesia,2016), hlm
55
8
https://www.temukanpengertian.com/2016/02/pengertian-teori-pers-otoritarian.html

5
 Mudah terjadinya pembredelan penerbitan media yang cenderung
menghancurkan suasana kerja dan lapangan penghasilan yang telah
mapan
 Tertutupnya kesempatan untuk berkreasi

3. Hubungan Antara Pers dan Negara


Diera teknologi seperti sekarang ini banyak sekali permasalahan yang dapat
diselesaikan secara digital. Jarang sekali manusia menyelesaikan seuatu secara
konvensional. Sudah banyak cara berkomunikasi seperti face to face, mulai
tergantikan dengan adanya teknologi yang semakin maju. Dengan adanya hal ini
peran media terutama media massa menjadi sangat sentral. Media massa dapat
menentukan isu-isu untuk masyarakat luas. Media juga memiliki fungsu mediator
anatara masyarakat dan pemerintah. Lepas dari itu media juga harus tetap bersifat
netral dan tidak condong terhadap salah satu kelompok atau golongan tertentu.
Hubungan antara negara dan pers tentu sangat erat. Dalam konteks komunikasi
politik dinegara demokrasi, misalnya media dapat menjalankan berbagai peran
mediasi yang sangat krusial yaitu dengan menjembatani “aspirasi” komunikasi antara
warga negara dengan pemerintah maupun sebaliknya.9
Dengan adanya media, kebijakan-kebijakan pemerintah dapat dimediasi dengan
masyarakat luas secara cepat. Disis lain, masyarakat dapat menyampaikan keluh
kesah maupun aspirasinya melalui media. Melalui pemberitaan media, masyarakat
dipedesaan maupun didaerah terpencil duharapkan lebih diperhatikan pemerintah,
karena biasanya masyarakat didaerah terpencil kurang mendapat perhatian dan
cenderung dimarjinalkan. Jadi negara dan pers adalah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, keduanya harus saling bekerja sama untuk mecapai tujuan bersama.

9
M. Fikri. Jurnalisme Kontekstual, (Malang:UB Press),2016, hlm.50

6
BAB III

KESIMPULAN

Teori pers yang pertama adalah teori pers otoriter atau teori otoritarian. Teori otoriter
merupakan pers yang mendukung dan menjadi berkepanjangan tangan kebijakan pemerintah
yang sedang berkuasa dan melayani Negara.

Santana (2005) mencoba menyimpulkan teori pers otoriter. Secara prinsipal ciri teori
otoritan adalah sebagai berikut.

1. Media tidak melakukan hal-ha diluar kewenangannya yang dapat merusak legitimasi
kewenangan dan kekuasaan pemerintah.
2. Media akhirnya atau selamanya tunduk kepada penguasa.
3. Media sebaiknya menghindari perbuatan yang menentang tata nilai moral dan politik atau
dominasi mayoritas.
4. Penyensoran dibenarkan untuk menjaga beberapa prinsip ini.
5. Kecaman yang tidakditerima penguasa, penyimpangan dari kebijakan resmi, atau kegiatan
pers yang menentang kode moral (etik) dianggap sebagai perbuatan pidana.
6. Wartawan atau pelaku media tidak memiliki kebebasan di organisasi medianya.

Hubungan antara negara dan pers tentu sangat erat. Dalam konteks komunikasi politik
dinegara demokrasi, misalnya media dapat menjalankan berbagai peran mediasi yang sangat
krusial yaitu dengan menjembatani “aspirasi” komunikasi antara warga negara dengan
pemerintah maupun sebaliknya.

7
DAFTAR PUSTAKA

Fikri, M. 2016. Jurnalisme Kontekstual. Malang: UB Press.

Hutagalung, Inge. 2013. Dianamika Sistem Pers di Indonesia . Jurnal Interaksi, Vol
II No.2

Mondry. 2016. Pemahaman Teori dan Praktek Jurnalistik, Cet.I, Ed.II. Bogor:
Ghalia Indonesia.

Severin, J. Werner & James W. Tankard Jr. 2011. TEORI KOMUNIKASI : Sejarah,
Metode, dan di Dalam Media Massa Edisi Kelima. Jakarta: Kencana.

Triyono, Didit Agus. 2013. The Four Press Media Theories: Authoritarianism Media
Theory, Libertarianism Media Theory, Social Responsibility Media Theory, and Totalitarian
Media Theory. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 3

https://kumparan.com/mediamadura/sistem-teori-dan-orientasi-pers

https://www.temukanpengertian.com/2016/02/pengertian-teori-pers-otoritarian.html

Anda mungkin juga menyukai