Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah,
akhlak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW
dengan sunnahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat
diketahui berdasarkan nash al-Qur’an atau al-Sunnah, namun pada masa
berikutnya, masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan
Islam semakin luas. Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah arab
dengan corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus
baru yang tidak terselesaikan. Untuk menghadapi hal itu para sahabat terpaksa
melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap mempedomani nash- nash al-Qur’an
atau Hadits dan hanya melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan
kasus yang dihadapi.
Karena ijtihad merupakan upaya memahami serta menjabarkan al-Qur’an
dengan sunnah dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai- nilai yang
terkandung didalamnya. Maka tugas ini hanya dapat dilakukan oleh sahabat-
sahabat terkemuka. Pada masa berikutnya, tanggung jawab itu beralih pada para
tokoh tabi’in dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari generasi
berikutnya. Dalam hal penentuan hukum ini sering ditemui antara dua dalil secara
Zhahir nampak bertentangan, tentunya hal ini menimbulkan permasalahan yang
harus diselesaikan oleh para ulama. Inilah permaslaahan yang akan dibahas dalam
makalah ini, yang dikenal dengan istilah Ta’arrudl Al-Adillah atau pertentangan
antara dalil. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya
bagi para penulis, dan umumnya bagi para pembaca. 
B. Rumusan Masalah

1.  Bagaimana penjelasan mengenai Ta’arud Al Adillah?

2. Apa saja syarat-syarat Ta’arud Al Adillah?

3. Bagaimana metode penyelesaian Ta’arud Al Adillah?

4.  Bagaimana contoh penyelesaian Ta’arud Al Adillah?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arud Al  adillah

Ta’arudh (berlawanan) menurut arti bahasa ialah pertentangan satu


dengan yang lainnya dan menurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah
nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya
dilaksanakan dalam satu waktu. Dan Al’adillah ialah jama’ dari dalil yang
berarti alasan, argumen dan dalil.

Persoalan ta’arud aladillah dibahas para ulama dalam ilmu Ushul


Fiqih ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan
dalil lainnya pada derajat yang sama. Secara terminologi, ada beberapa
definisi yang dikemukakan para ulama Ushul Fiqih tentang ta’arud
al’adillah, sebagai berikut :
1. Imam Al-Syaukani, mendefinisikan dengan “ suatu dalil yang
menetukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil
lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.”
2. Kamal Ibnu Al-Humam (790-861H/1387-1456M) dan Al-Taftahzani
(w.792 H), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikannya dengan
“pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian
antara keduanya”.
3. Ali Hasaballah ( ahli Ushul Fiqih kontemporer dari Mesir)
mendefinisikan dengan “ Terjadinya pertentangan hukum yang
dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang
kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.

B. Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah

Syarat-syarat ta’arud adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya


dapat menyebabkan ada atau tidak adanya pertentangan. Syarat-syarat
pertentangan tersebut antara lain:

2
1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan,
seperti halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan
dengan meniadakan. Karena bila tidak saling berlawanan, maka tidak
ada pertentangan.
2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut
sama. Apabila obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan.
Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh (halal) nya
menggauli istri dan melarang (haram) menggauliibu si istri. Dalam
hal ini tidak ada pertentangan antar duahukum yang saling
berlawanan. Karena orang yang menerima halal dan haram berbeda.
3. Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan
tersebut sama. Karena mungkin sja terdapat dua ketentuan hukum
yang saling berlawanan dalam obyek (tempat) yang sama, namun
masa atau waktunya berbeda. Seperti khamr dihalalkan pada
permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga
dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah haidl dan
diharamkan menggaulinya pada masa haidl.
4.  Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama.
Karena mungkin saja dua hukum yang saling bertentangan tersebut
sama dalam obyek (tempat) dan masa, namun hubungannya berbeda.
Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli
istri tersebeut bagi laki-laki selain suaminya.
5. Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut
sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada
pertentangan antara al-Qur’an dengan hadits ahad, karena dari segi
asalnya al-Qur’an adalah qath’i sedangkan hadits ahad dzanni.

C. Metode Penyelesaian Ta’arud Al Adillah


Perlu dicatat, bahwasannya tidak akan ada pertentangan yang
hakiki antara dua ayat atau dua hadits shahih, antara ayat dan hadits yang
shahih. Apabila tampak ada pertentangan antara dua nash dari nash-nash
ini,maka sebenarnya ia hanyalah pertentangan yang lahiriyah saja, sesuai

3
dengan yang Nampak pada akal pikiran kita. Ia bukan pertentangan yang
hakiki. Karena pembuat hukum yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana tidak
mungkin mengeluarkan suatu dalil yang menghendaki hukum pada satu
kasus, dan mengeluarkan dalil lain pada kasus itu juga yang menghendaki
hukum yang berbeda dengan hukum tersebut pada waktu yang sama
Jika ada dua nash, yang lahiriyah kedua nash itu saling
bertentangan, maka ijtihad wajib dilakukan untuk memalingkan keduanya
dari pengertian lahiriyah ini dan berhenti pada hakikat yang dikehendaki
dari dua nash itu, untuk membersihkan Allah Yang Maha mengeluarkan
syari’at Yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana dari kontradiksi
dalam hukum-Nya. Jika memungkinkan untuk menghilangkan
pertentangan yang bersifat lahiriyah antara dua nash itu dengan
menggabungkan dan mengadakan sintesa antara dua nash itu dan dua-
duanya diamalkan. Penggabungan ini merupakan penjelasan, karena
sebenarnya tidak ada pertentangan antar kedua-duanya dalam hakikatnya.
Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan,
maka ia dapat menggunakan dua cara untuk berusaha menyelesaikannya.
Kedua cara itu dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan
ulama Syafi’iyyah.

1. Menurut  Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah mengemukakan metode penyelesaian antara dua
dalil yang bertentangan dengan cara sebagai berikut :
a. Nasakh

Nasakh ( ‫خ‬
ُ ‫َّس‬
ْ ‫الن‬ ), adalah membatalkan hukum yang ada

didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung


hukum yang berbeda dari hukum pertama. Dalam hubungan ini
seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya
kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya ditemukan
bahwa satu dalil muncul lebih dahulu daripada dalil lainnya maka
yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.

4
b.  Tarjih

Tarjih ( ‫ح‬ ِ
ُ ‫الت َّْرج ْي‬ ) adalah menguatkan salah satu di antara dua dalil
yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang
mendukungnya. Apabila  masa turunnya atau datangnya dua dalil
tersebut tidak diketahui, maka seorang mujtahid bisa melakukan
tarjih terhadap salah satu dalil, jika memungkinkan. Akan tetapi,
dalam melakukan tarjih itupun mujtahid tersebut harus
mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan
satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu bisa dilakukan dari tiga sisi:
-  Dari segi petunjuk kandungan lafadz suatu nash
- Dari segi hukum yang dikandungnya
- Dari sisi  keadilan periwayat sutu hadits.
c. Al-Jam’u wa Al-Taufiq

ُ ‫َوالتَّوفِ ْي‬
Jam’u wa Al-Taufiq (‫ق‬ ‫ْج ْم ُع‬
َ ‫)ال‬ yaitu pengumpulan dalil-

dalil yang bertentangan kemudian mengkrompomikannya.


Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil
hukumnya, karena kaidah fiqih mengatakan, “mengamalkan
kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan
dalil yang lain”.
c. Tasaqut Al Dalilain

ِ ‫ال دَّلِْيلَْي‬
Tasaqut Al Dalilain (‫ن‬ ‫ط‬
ُ ُ‫)تَ َس اق‬  yaitu menggugurkan (tidak

mengamalkan) kedua dalil yang saling bertentangan. Dalam arti,


seorang mujtahid merujuk dalil yang tingkatannya lebih rendah
dari dalil yang bertentangan tersebut sebagai dasar beramal.
Apabila terdapat dua dalil yang saling bertentangan yang tidak
mungkin untuk mengkompromikan lagi dalam seluruh seginya,
maka kedua dalil tersebut digugurkan karena dipandang
bertentangan. Seorang mujtahid tidak boleh menjadikan kedua dalil
yang bertentangan sebagai dasar beramal, namun ia harus mencari
dalil lain yang kedudukannya lebih rendah.

5
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di
atas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai
cara keempat.
2.    Menurut Syafi’iyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut
ulama Syafi’iyyah sebagai berikut:
a.  Jam’u wa Taufiq
Jam’u wa Taufiq yaitu mengkompromikan dan menyelaraskan
kedua dalil yang bertentangan tersebut sekalipun dari satu sisi saja.
Mengamalkan kedua dalil, sekalipun dari satu sisi, menurut mereka
dapat dilakukan dengan tiga cara:
- Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka
lakukan pembagian yang sebaik-baiknya.
-  Apabila kedua hukum yang bertentangan itu mengandung
beberapa ketentuan beberapa hukum, maka boleh memilih salah
satu hukum, asal didukung oleh dalil lain.
-  Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bersifat universal
atau mencakup beberapa hal. Kedua dalil tersebut dapat diamalkan
dengan mengklasifikasikan atau membaginya dalam beberapa
bagian. Sehingga hukum yang terkandung dalam bagian-bagian
tersebut saling berhubungan satu sama lain.
b. Tarjih
Tarjih artinya menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang
mendukungnya.
c.   Nasakh
Nasakh yaitu membatalkan salah satu hukum yang dikandung
kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalilyang
pertama kali dating dan mana yang datang kemudian.
d.   Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut Al Dalilain yaitu meninggalkan kedua dalil yang
bertentangan dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih
rendah dari kedua dalil tersebut.

6
Menurut ulama’ Syafi’iyyah, keempat cara di atas harus
ditempuh secara berurutan dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil.
Setelah menjelaskan metode-metode penyelesaian pertentangan antara
dua nash menurut dua madzhab, maka Nampak jelas beberapa
perbedaan  antara keduanya, yaitu antara lain:
a. tindakan pertama kali yang harus dilakukan seorang mujtahid  untuk
menolak pertentangan  menurut madzhab Hanafiyah adalah
menasakh. Adapun menurut madzhab Syafi’iyah, tindakan petama
yang harus dilakukan adalah mengkompromikan (jama’) kedua nash
yang saling bertentangan tersebut. Kami memandang bahwa
pendapat madzhab Syafi’iyah adalah pendapat yang unggul. Karena
sebagaimana pendapat mereka mengamalkan kedua nash tersebut
adalah lebih baik daripada mnggugurkan keduanya atau salah
satunya. Nasakh berarti menggugurkan salah satu nash, sedangkan
jama’ berarti mengamalkan keduanya secara bersama-sama.
Pendapat madzhab Syafi’i ini dapat merealisasikan tujuan syari’
(Allah) yakni mengamalkan dua ketentuan hukum yang terkandung
dalam kedua nash yang saling bertentangan dengan cara
mengkompromikannya. Allah tidak mensyari’atkan suatu hukum
dengan tanpa manfa’at.

b. Madzhab Syafi’i lebih mendahulukan jama’ daripada tarjih,


sehingga tidak boleh mentarjih kecuali apabila kedua dalil yang
bertentangan tersebut tidak dapat dikompromikan. Sedangkan
madzhab Hanafi lebih mendahulukan tarjih daripada jama’, karena
mengamalkan yang lebih unggul dan meninggalkan dalil lainnya
dari kedua dalil yang saling bertentangan adalah sesuai dengan
pendapat yang telah disepakati oleh orang-orang berakal. Mereka
memandang bahwa jika jama’ lebih didahulukan daripada tarjih,
maka hal itu berarti mendahulukan dalil yang tidak diunggulkan dan
meninggalkan yang lebih unggul. Mereka memandang bahwa jama’

7
adalah metode hyang tidak diunggulkan. Metode yang lebih unggul
adalah mengamalkan dalil yang lebih unggul dengan cara
mentarjihnya. Mereka juga berpendapat bahwa menggunakan tarjih
bukan berarti menonaktifkan atau meninggalkan salah satu dari dalil
yang bertentangan, sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i.

E. Contoh Penyelesaian Ta’arud Al Adillah

1. Contoh nash Al Quran yang berlawanan :

َ‫ص َن بِاَْن ُف ِس ِه َّن اَ ْر َب َعة‬ ِ ِ


ً ‫َوالَّذيْ َن ُيَت َو ُف ْون َم ْن ُك ْم َويَ َذ ُر ْو َن اَ ْز َو‬
ْ َّ‫اجا َيَت َرب‬

‫اَ ْش ُه ٍر َو َع ْش ًرا‬           
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’idah) empat
bulan sepuluh hari…”. (QS.Al Baqarah: 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan
suaminya meninggal’idahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu
hamil atau tidak hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat
lain:

‫ض ْع َن َج ْملَ ُه َّن‬ ِ ‫ت اْالَ ْحم‬


َ َ‫ال اَ َجلَ ُه َّن اَ ْن ي‬ ُ َ‫َواُ ْوال‬
َ
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)

Ayat ini memberikan petunjuk setiap permpuan yang hamil yang


suaminya meninggal atau diceraikan suaminya sedang mereka dalam
keadaan hamil maka ‘idahnya sampai melahirkan.

8
Jika dilihat sekilas dalam ayat pertama perempuan yang hamil yang
ditinggalkan suaminya meninggal ’iddahnya empat bulan sepuluh hari dan
menurut ayat kedua nash ini berlawanan kalau dterangkan pada kasus yang
sama, yang seperti ini dinamakan ta’arudh.
Tidak dapat dikatakan terjadi perlawanan dua buah dalil terkecuali
kedua dalil itu sama kuat dan kalau satu dalil itu lebih kuat maka wajib
melaksanakan dalil terkuat dan dalil yang lemah wajib ditinggalkan, karena
itu tidak mungkin terdapat berlawan antara dalil qath’i dan dzanni, tidak
mungkin terkadi berlawanan antara nash dan ijma’ atau dengan qiyas. Yang
mungkin terjadi berlawanan antara ayat dengan hadits mutawatir atau antara
hadits yang mutawatir dengan hadits mutawatir atau antara kedua buah
hadits yang bukan mutawatits atau antara dua buah qiyas.
Patut digaris bawahi bahwa tidak akan terjadi berlawan yang
sebenarnya antara dua buah ayat atau antara dua buah hadits yang shahih
atau antara ayat dan hadits yang shahih, kalaulah nampaknya berlawanan
hanya menurut lahirnya saja atau menuru yang dapat dijangkau oleh otak
manusia, namun apabila diteliti dengan seksama tidak terjadi pertentangan.
Allah Yang Maha Bijaksana tidak akan menentapkan dua hukum yang
berlawan, dua hukum yang berlaku pada satu kasus pada satu waktu yang
sama.
Menurut riwayat Abdullah bin Mas’ud, ayat kedua turunnya lebih
akhir daripada ayat pertama. Sehingga dengan demikian, maka ayat kedua
dapat menasakh ayat pertama. Jadi iddahnya wanita yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai ia melahirkan janinnya, baik
lahir setelah lewat masa empat bulan sepuluh hari atau belum.
Ulama’ yang tidak mengakui adanya nasakh ini, mengamalkan dua
ayat sekaligus. Mereka berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditinggal
mati suaminya dalam keadaan hamil adalah masa terlama dari kedua masa
tersebut yaitu empat bulan sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal
suaminya dan sampai melahirkan janinnya bagi wanita yang dicerai dalam
keadaan hamil. Mana diantara dua masa iddah tersebut yang terlama
dihitung dari saat meninggalnya suami, itulah masa iddahnya. Hal ini atas

9
dasar alasan, karena kedua ayat tersebut menetapkan adanya masa iddah
dari satu sisi saja. Oleh karenanya, kedua ayat tersebut harus dijama’kan dan
diamalkan secara bersama sebagai tindakan preventif (hati-hati). Ini
pendapat Ali bin Abi Thalib.

3. Contoh nash hadist yang berlawanan :

a.   ‫اد ِة َق ْب َل اَ ْن يَ ْس َئلَ َها‬ َّ ِ‫ الَّ ِذ ْي يَ أْتِ ْي ب‬,‫الش َه َد ِاء‬


َ ‫الش َه‬ ُّ ‫اَالَاُ ْخبِ ُر ُك ْم بِ َخ ْي ِر‬

)‫(ر َواهُ ُم ْسلِم‬


َ
“apakah aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik
saksi, yaitu seorang yang memberikan kesaksian sebelum diminta”

b.    ‫ ثُ َّم الَّ ِذيْ َن َيلُ ْو َن ُه ْم و‬, ‫اِ َّن َويَ ُخ ْو ُن ْو َن َوالَ ُي ْؤتَ َم ُن ْو َن َخ ْي َر اَُّمتِ ْي َق ْرنِ ْي‬
ِ ِ َّ
َ ‫ ثُ َّم ا َّن َم ْن بَ ْع َق ْو ًما يَ ْش َه ُد ْو َن َوالَيَ ْستَ ْش َه ُد ْو َن‬, ‫ثُ َّم الذيْ َن َيلُ ْو َن ُه ْم‬
ُ‫(ر َواه‬

) ‫بُ َخا ِرى َو ُم ْسلِم‬


“bahwa sebaik-baik umatku adalah golonganku,kemudian orang-
orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka yaitu
sekelompok manusia  yang memberikan kesaksian tanpa dimintai,
tidak berkhianat dan dapat dipercaya”

Hadits pertama memperbolehkan meminta kesaksian sebelum


pihak yang bersangkutan memintanya, baik menyangkut hak-hak
Allah maupun hak-hak manusia. Hadits kedua melarang hal tersebut
secara mutlak. Secara lahiriah (dzahir), kedua hadits tersebut saling
bertentangan. Oleh karena itu,maka hadits pertama harus dipahami
bahwa kesaksian dapat diterima dengan tanpa memintanya terlebih
dahulu hanya sepanjang menyangkut hak-hak Allah. Karena dalam

10
urusan yang menyangkut hak-hak Allah, tidak diperlukan adanya
kesaksian selain Allah sendiri. Dan hadits kedua harus dipahami
bahwa kesaksian dapat diterima sekalipun dengan meminta terlebih
dahulu hanya sepanjang menyangkut hak-hak manusia. Dengan
demikian, maka kedua hadits tersebut menjadi tidak bertentangan.

BAB III
PEMBAHAASAN
KESIMPULAN
1.      Pengertian Ta’arud Al Adillah
Ta’arudh (berlawanan) menurut arti bahasa ialah pertentangan satu dengan
yang lainnya dan menurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua
hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu.
Dan Al’adillah ialah jama’ dari dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil.
2.      Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah
-          Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan
-          Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama
-          Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama
-          Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama
-          Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik
dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.
3.      Metode Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
Metode Hanafiyyah Metode syafi’iyyah

1.      Nasakh a.       Al-Jam’u wa Al-Taufiq


2.      Tarjih b.      Tarjih
3.      Al-Jam’u wa Al-Taufiq c.       Nasakh
4.      Tasaqut Al-Dalilain d.      Tasaqut Al-Dalilain

4.      Contoh penyelesaian Ta’arud Al Adillah


Contoh dalil yang berlawanan

11
  “Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’idah) empat bulan sepuluh
hari…”. (QS.Al Baqarah: 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya
meninggal’idahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau tidak
hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat lain:

  “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘idah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya
meninggal atau diceraikan suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil maka
‘idahnya sampai melahirkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf. 1994.  Ilmu Ushul Fiqh. Semarang:Dina Utama

Chaerul Umam dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqh II . Bandung:

CV Pustaka Setia

Muhammad Wafaa. 2001. Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil


Syara’. Bangil :Al-Izzah

Syafi’i Karim. 1997. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung:CV. Pustaka Setia

13

Anda mungkin juga menyukai