Anda di halaman 1dari 9

ETIKA BISNIS DAN PROFESI

CRITICAL REVIEW JURNAL


PROFESSIONAL ACCOUNTING EDUCATION IN INDONESIA:
EVIDENCE ON COMPETENCE AND PROFESSIONAL COMMITMENT

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi – SAP 3)

KELOMPOK 5 MAGISTER AKUNTANSI XXIV B:

Angelia Putri Surya Haryanti 1981611040 / (09)


Made Ani Setia Wulan 1981611042 / (11)

I Dw Gede Anom Jambe Adnyana 1981611044 / (13)


Ni Luh Putu Purna Yogiswari 1981611045 / (14)
Anita Suryani 1981611046 / (15)
Gede Teguh Prasetya Muttiwijaya 1981611048 / (17)

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
Judul Artikel Professional Accounting Education in Indonesia: Evidence on Competence
and Professional Commitment
Penulis Wiwik Utami , Diaz Priantara, Tubagus Manshur.
Jurnal Publikasi Asian Journal of Business and Accounting, 4(2), 2017, 93‐118 ISSN 1985‐
4064, Terindeks SCOPUS
Area of Interest Ketertarikan utama dalam penelitian ini adalah ingin mengeksplor
sejauh mana lulusan akuntansi yang telah memperoleh sertifikasi
Professional Accounting Education (PAE) memiliki tingkat kompetensi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang belum memiliki
sertifikasi PAE. Studi ini juga meneliti apakah mereka yang memiliki
sertifikat PAE memiliki komitmen yang lebih baik terhadap karirnya
sebagai akuntan publik dibandingkan rekan mereka yang tidak memiliki
sertifikat PAE.
Akuntan masa depan diharapkan memenuhi persyaratan pendidikan
minimum tertentu untuk memasuki profesinya. Di Indonesia, seperti
halnya di negara lain, Pendidikan Akuntansi Profesional (PAE) telah
muncul sejak tahun 2000 sebagai akibat dari implementasi Peraturan
Pemerintah Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 yang menyatakan pendidikan
bagi akuntan profesional merupakan fungsi wajib dari asosiasi profesi.
Dalam hal ini Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menetapkan seperangkat
kurikulum PAE di mana seorang kandidat harus lulus minimal 7 mata
pelajaran wajib atau setara dengan 245 jam.
Tujuan PAE adalah untuk meningkatkan profesionalisme akuntan.
Ada beberapa tahapan kronologis yang harus diselesaikan sebelum menjadi
akuntan publik di Indonesia. Ini termasuk (1) dia harus memiliki gelar
Sarjana Ekonomi , (2) harus lulus PAE, dan (3) harus lulus ujian Akuntan
Publik . Gelar Sarjana Ekonomi jurusan Akuntansi dianugerahi gelar SE
(Sarjana Ekonomi). Yang melanjutkan dan memperoleh sertifikasi PAE
akan mendapat gelar tambahan yaitu akuntan profesional disingkat Ak dan
akan mendapatkan nomor terdaftar sebagai akuntan dari Kementerian
Keuangan. Setelah lulus ujian Akuntan Publik, ia akan memegang gelar
Akuntan Publik (CPA) tambahan.

1
Fenomena Di Indonesia kebutuhan akan jasa audit meningkat drastis sejak
diberlakukannya otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang seiring dengan pertumbuhan bisnis global. Meningkatnya
kebutuhan Akuntan tidak dapat terpuaskan karena jumlah lulusan
akuntansi yang tertarik untuk memperoleh kredensial 'auditor berkualitas'
relatif rendah. Sawarjuwono (2005) telah mensurvei dan melaporkan
bahwa hanya antara dua sampai empat persen lulusan akuntansi
melanjutkan kualifikasi profesional mereka sebagai akuntan (Hal. 95).
Jumlah akuntan di Indonesia relatif lebih sedikit dibandingkan sejumlah
negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations
Federation of Accountants (AFA).
Kajian pada penelitian ini di latar belakangi oleh persoalan apakah
PAE di Indonesia mampu meningkatkan kompetensi dan komitmen
profesional. Alasannya, PAE merupakan salah satu syarat sebelum
mengikuti ujian Akuntan Publik. Jika kandidat tersebut tidak memiliki
kompetensi yang dibutuhkan pasar dan tidak melanjutkan karirnya sebagai
akuntan publik, rasio akuntan di Indonesia akan terus menurun.
Research Gap - Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti kaitan Pendidikan
professional akuntan (PAE) terhadap kompentensi yang dimiliki oleh
auditor junior dan bagaimana kepemilikan gelar PAE tersebut dapat
berimplikasi pada komitmen berkarir auditor junior di kantor akuntan
publik di Indonesia
Rumusan - Bagaimana hubungan PAE (Profesional Accounting Education)
Masalah terhadap kompetensi auditor junior yang ada di Indonesia ?
- Bagaimana hubungan PAE (Profesional Accounting Education)
terhadap komitmen junior auditor dalam karirnya sebagai akuntan
publik ?
- Bagaimana persepsi auditor senior (supervisor, manajer, dan partner)
terhadap kompetensi dan komitmen junior auditor yang memiliki PAE
dan yang tidak memiliki background PAE
Kajian Teoritis Kajian Teoritis:
dan Empiris 1. Teori Motivasi Berprestasi.

2
2. Teori Atribusi
3. Profesional Accounting Education (PAE)
Kajian Empiris:
1. Allen, A., & Woodland, A.M. (2010).
2. Baridwan, Z. (1996).
3. Bloom, R. (2002).
4. Scott, W.R. (1996).
5. Trotman, K.T. (1985).
6. Wallace, J.E. (1995; Wallace, J.E. (1995); Larkin, J.M. (1990).
Metodologi Penelitian ini menggunakan metode 'komparatif kausal' (Sekaran,
Penelitian 2003). peneliti mengkategorikan dua kelompok yaitu auditor junior dan
auditor senior. Untuk setiap kelompok, kami merancang tes yang berbeda.
peneliti menguji kompetensi auditor junior PAE dan non PAE
menggunakan studi kasus dan mereka menyelesaikan kasus berdasarkan
penilaian profesional mereka.
Auditor junior ini juga diberi kuesioner untuk mengetahui pendapat
mereka tentang komitmen. Ada tiga aspek yang akan dikaji, yaitu
kompetensi melakukan kajian analitik, kompetensi ditinjau dari etika
profesi, dan komitmen pada profesi. Diasumsikan bahwa perbedaan
kompetensi dan komitmen disebabkan oleh PAE yang dilakukan oleh
masing-masing auditor. Sementara itu, peneliti memberikan kuesioner
kepada auditor senior untuk mengetahui persepsi mereka tentang
kompetensi dan komitmen bawahannya (auditor junior). Penelitian ini
mengharapkan agar persepsi atasan serupa dengan bawahan (Hal. 107).
Jenis.dan - Jenis data adalah data primer.
Sumber Data - Sumber data berasal dari hasil wawancara langsung dengan responden
yang telah ditentukan sebelumnya, dimana data diperoleh dari hasil
jawaban kuesioner yang telah dibagikan kepada auditor junior maupun
senior serta melalui pemecahan atas studi kasus yang diberikan kepada
auditor junior
Populasi dan - Populasi penelitian ini adalah auditor atau akuntan yang bekerja pada
Sampel Data Kantor Akuntan Publik di Jakarta.

3
- Populasi dibagi menjadi dua sub populasi yang terdiri dari auditor
junior dan auditor senior (supervisor, manajer dan partner).
- Sampel dari setiap sub populasi dipilih dengan menggunakan metode
'judgemental'. Untuk menguji kompetensi dan komitmen auditor junior
yang telah lulus PAE, peneliti menggunakan studi kasus untuk
mengujinya; sedangkan kuesioner digunakan untuk mengetahui
persepsi auditor senior tentang kompetensi dan komitmen auditor
junior.
- Mayoritas responden adalah laki-laki (78,6 persen) atau dua puluh dua
(22) orang sedangkan sisanya adalah perempuan (21,4 persen) atau
enam (6) orang. Semua responden telah bekerja sebagai auditor selama
lebih dari 5 tahun, dimana tujuh belas (17) atau 60,7 persen telah
berkecimpung dalam bisnis selama 5-10 tahun, dan sebelas (11) atau
39,3 persen telah bekerja selama lebih dari sepuluh ( 10 tahun. Dua
dari mereka adalah mitra, dua belas (12) adalah manajer, dan empat
belas (14) adalah supervisor
Hipotesis - H1: Auditor junior dengan PAE akan lebih kompeten dibandingkan
Penelitian auditor tanpa PAE.
- H2: Auditor junior dengan PAE akan memiliki komitmen yang lebih
tinggi daripada auditor tanpa PAE
- H3: Persepsi auditor senior (supervisor, manajer, danBpartner) dari
kompetensi dan komitmen junior auditor dengan PAE lebih baik
daripada mereka yang tidak memiliki PAE.
Analisis - Analisis data
Penelitian Analisis data pada studi ini menggunakan analisis data deskriptif serta
membandingkan statistik mean untuk menguji hipotesis. Sebelum
membandingkan statistik rata-rata, peneliti menerapkan uji distribusi
normal dan uji Levene untuk persamaan varians. Penelitian ini
menggunakan uji T sampel independen, karena sampel berasal dari
kelompok independen. Penelitian ini menggunakan uji independent
sample T test untuk mencari bukti apakah terdapat perbedaan antara
auditor PAE dan auditor non PAE berdasarkan kompetensi dan

4
komitmennya. Uji T sampel independen membandingkan rata-rata dua
kelompok independen apakah kelompok tersebut memiliki nilai rata-
rata signifikan yang sama atau tidak (Ghozali, 2005) (Hal. 110).
- Pengukuran Variabel
Kompetensi profesional dihitung menggunakan kuesioner yang berisi
kasus-kasus audit dan responden diminta untuk menggunakan
penilaiannya secara profesional untuk mengevaluasi setiap kasus yang
diberikan. Komitmen diukur dengan menggunakan instrumen yang
dikembangkan oleh Meyer (1993). Instrumen terdiri dari delapan
komitmen afektif dan delapan komitmen berkelanjutan. Semua
pengukuran variabel didasarkan pada skala Likert lima poin (Hal.110)
Hasil Penelitian Pengendalian hasil terdiri dari 4 area:
1. Tabel 5 memberikan hasil untuk pengujian perbedaan rata-rata
antara dua kelompok responden. Berikut hasil dari skor deskriptif
kompetensi dan komitmen antara auditor dengan PAE dan yang
tidak memiliki PAE, uji statistik menggunakan uji t menunjukkan
konsistensi bahwa antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang
signifikan antara kompetensi dan komitmen. Temuan ini
menyiratkan bahwa KAP berperan penting dalam menciptakan
auditor yang memiliki kompetensi dan komitmen yang lebih tinggi.
(hal. 111).
2. Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata skor auditor dengan PAE
lebih tinggi daripada auditor tanpa PAE pada saat mengukur
kompetensinya dalam melakukan review analitik. Hal ini dapat
diartikan bahwa auditor dengan PAE lebih baik dalam
mengidentifikasi akun yang membutuhkan perhatian lebih dalam
tugas audit. Selain itu, auditor dengan PAE tampaknya memiliki
kesepakatan yang lebih tinggi mengenai kebutuhan akun tertentu
untuk diperiksa. Standar deviasi skor juga lebih rendah untuk
auditor dengan PAE. Hal ini menunjukkan bahwa auditor tanpa
PAE memiliki lebih banyak variasi dalam pemahamannya tentang

5
tinjauan analitik, yang mengarah pada kesimpulan bahwa
kompetensi mereka lebih rendah.
3. Tabel 7 berhubungan dengan komitmen auditor. Komitmen rata-rata
auditor dengan PAE lebih tinggi dari auditor non-PAE, masing-
masing sebesar 4,36 dan 3,89. Hal ini dapat diartikan bahwa auditor
PAE memiliki kemampuan yang lebih baik untuk bekerja secara
profesional daripada auditor non-PAE. Perbedaannya hampir dua
kali lipat antara aspek komitmen (0,46) dan aspek kompetensi
(0,87). Tabel 7 menginformasikan kepada kita bahwa auditor
dengan PAE memiliki komitmen profesional untuk bekerja dan
berkarir di Kantor Akuntan Publik.
4. Tabel 8 memberikan perbandingan auditor yang telah lulus PAE dan
mereka yang belum lulus PAE berdasarkan persepsi supervisor,
manajer, dan mitranya. Terlihat rata-rata skor kompetensi auditor
non-PAE adalah 3,73 pada skala likert lima (5) poin yang lebih
rendah dari kompetensi auditor PAE sebesar 4,60. Perbedaan
kompetensi tertinggi adalah kemampuan dalam menganalisis
efektivitas Struktur Pengendalian Internal, sedangkan perbedaan
tertinggi kedua adalah ketepatan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan risiko audit. Kedua faktor kompetensi ini dikenal sangat
penting dan sangat relevan bagi auditor manapun untuk
menyelesaikan tugasnya (Knechel, Salterio, dan Ballou, 2007).
Tampaknya pendidikan akuntansi profesional memberikan
kontribusi dalam pengembangan keterampilan profesional tersebut.
Perbedaan terendah ditemukan pada aspek kinerja etis dan
keterampilan komunikasi. Hal ini dapat diartikan bahwa kinerja etis
dan keterampilan komunikasi antara auditor dengan PAE dan tanpa
PAE adalah sama (hal. 113).
Kesimpulan - Hasil penelitian menunjukkan bahwa auditor dengan latar belakang
PAE memiliki kompetensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
auditor tanpa PAE. Selain itu, auditor dengan latar belakang PAE

6
memiliki komitmen yang lebih baik untuk mengejar karirnya
dibandingkan dengan auditor tanpa PAE. Persepsi supervisor, manajer,
dan mitra lebih baik untuk bawahan dengan latar belakang PAE
daripada mereka yang tidak memiliki PAE. Temuan yang dilaporkan
dalam penelitian ini sampai batas tertentu menegaskan bahwa
pendidikan akuntansi profesional memiliki peran yang signifikan
dalam meningkatkan profesionalisme auditor. Dengan demikian, IAI
harus mempertimbangkan kembali ide-ide untuk menghapus
pendidikan profesional wajib bagi auditor.
- Sistem berbasis kompetensi membutuhkan perubahan budaya dan
komitmen total dari manajemen. Budaya perusahaan yang baik akan
mendorong karyawan untuk meningkatkan kompetensinya (Ford,
2001). Lebih lanjut, ditemukan bahwa budaya organisasi yang jelas
bermanfaat bagi karyawan dalam menerima kepuasan kerja dari
pekerjaan mereka lingkungan Hidup. Selain itu, komitmen organisasi
karyawan juga meningkat (Chen et.al, 2010).

Keterbatasan - Keterbatasan pertama pada penelitian ini adalah, rendahnya tingkat


dan Penelitian partisipasi dapat menyebabkan generalisasi yang lebih rendah dari
Selanjutnya temuan. Meskipun jumlah akuntan publik (774) di Jakarta adalah 83,59
persen dari total jumlah akuntan publik (926) di Indonesia berfokus
pada populasi di Jakarta mungkin tidak mewakili akuntan Indonesia.
Temuan tersebut mungkin didorong oleh kondisi kerja yang intens di
Jakarta yang dikenal sebagai kota tersibuk di Indonesia.
- Kedua, penelitian ini tidak mempertimbangkan perbedaan antara
kantor akuntan publik domestik dan internasional. Mungkin terjadi
budaya organisasi dapat mempengaruhi komitmen dan kompetensi
auditor (Bonner, Marchant dan Lewis, 1990; Norman dan Miller,
1997).
- Penelitian ini dapat diperpanjang di masa mendatang untuk
mengetahui apakah budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap

7
motivasi auditor junior sehingga dapat meningkatkan kompetensi dan
komitmen karir dalam menjalankan profesinya. Secara empiris, temuan
yang dilaporkan di sini mengungkapkan bahwa PAE berdampak pada
kompetensi dan komitmen auditor.
- Tampaknya sistem pendidikan akuntansi profesional yang ada berada
pada jalur yang benar dimana lulusan akuntansi tampil lebih baik jika
melanjutkan studi dengan mengambil PAE dan terdaftar sebagai
akuntan publik untuk memenuhi ekspektasi pasar. Studi selanjutnya
dapat dilakukan untuk mengetahui berapa banyak alumni PAE yang
melanjutkan ujian Akuntan Publik dan berapa banyak dari mereka
yang lulus ujian. Selanjutnya, penelitian semacam itu harus
mengeksplorasi berapa banyak pemegang kredensial Akuntan Publik
yang tertarik untuk bekerja dan melanjutkan karir di kantor akuntan
publik. Jika tingkat kelulusan ujian Akuntan Publik rendah dan daya
tarik untuk menjadi akuntan publik juga rendah, masalah kekurangan
persediaan akuntan publik akan terus berlanjut di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai