Anda di halaman 1dari 3

21 Mei 1998: Soeharto Lengser,

Sebelumnya Terjadi Apa di Istana?


By Yus Ariyanto
on 21 Mei 2014 at 09:24 WIB

19Shares
/
 Facebook
 Twitter
 Google+
 Email
 Copy Link

Liputan6.com, Jakarta - Rabu, 20 Mei 1998. Di Gedung DPR/MPR, Senayan,


ribuan mahasiswa berdemonstrasi, menuntut reformasi dilaksanakan. Termasuk,
meminta Soeharto turun dari kursi presiden.

Di Istana Merdeka, 9 tokoh diundang datang. Mereka adalah Abdurrahman


Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil
Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma'aruf Amin. Yusril Ihza Mahendra
juga hadir, meski tak diundang, karena diajak Nurcholish. Sebagai ahli tata
negara, pikir Nurcholish, Yusril niscaya dibutuhkan.

Menjawab desakan mahasiswa, Soeharto bermaksud membentuk Komite


Reformasi, yang hadir berdampingan dengan Kabinet Reformasi. 9 tokoh itu
diundang untuk diminta menjadi anggota Komite Reformasi. Namun, tak ada
yang bersedia.

Kepada Nurcholish atau Cak Nur, Soeharto meminta cendekiawan Muslim itu
menjadi ketua. Ditampik, lalu ditawar jadi anggota. Cak Nur tetap tak mau. 

“Jika orang yang  moderat seperti Cak Nur tak lagi mempercayai saya, maka
sudah saatnya bagi saya untuk mundur,” kata Soeharto kepada para undangan
seperti dikutip Ahmad Gaus AF dalam Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup
Seorang Visioner. 

Di tempat lain, Rabu 20 Mei pukul 17.00, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita
menyampaikan ke Wakil Presiden BJ Habibie, via telepon, bahwa dirinya dan 13
menteri lain tak bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Ginandjar Cs saat itu
menjabat di Kabinet Pembangunan VII yang segera habis masa tugasnya.

"Apakah Anda sudah membicarakan dengan Bapak Presiden?" ujar Habibie


seperti dikisahkannya dalam buku Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang
Indonesia Menuju Demokrasi.

Ginandjar menjawab, "Belum, tapi keputusan tersebut sudah ditandatangani


bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara
tertulis, kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto."

Tak lama kemudian, Habibie menemui Soeharto untuk mengotak-atik personel


Kabinet Reformasi yang diumumkan esok hari, 21 Mei. Di sana, Habibie
diberitahu, Soeharto akan memanggil pimpinan DPR/MPR pada 23 Mei. Di
pertemuan itu, Soeharto direncanakan mengajukan pengunduran diri. Habibie
menggantikan dan memimpin Kabinet Reformasi.

Soeharto Tak Mau Bicara dengan Habibie

Pukul 21.45, Habibie memanggil 4 Menteri Koordinator dan 14 Menteri Kabinet


Pembangunan VII ke rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta Selatan.

Pada rapat tersebut, Habibie meminta Ginandjar Cs membatalkan niat mereka


mundur dari kabinet. Sempat terjadi perdebatan. Akhirnya, tulis Habibie, rapat
memutuskan, "Susunan Kabinet Reformasi diterima sebagai kenyataan."

Usai rapat yang berlangsung sekitar 1 jam, Habibie mengontak Menteri


Sekretaris Negara Saadillah Mursjid, meminta bicara dengan Soeharto. Tapi,
Soeharto ternyata menolak. Saadillah hanya bilang Jenderal Besar itu akan
mengumumkan pengunduran diri para 21 Mei pagi, bukan 23 Mei seperti
direncanakan. 

"Saya sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak
Harto. Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan, dan ajudan Presiden
menyatakan akan diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di
Cendana besok pagi sebelum ke Istana Merdeka," tulis Habibie.

Pertemuan itu tak pernah terjadi. Pada 21 Mei pukul 09.00, di Ruang Credential
Istana Merdeka, Soeharto menyatakan mundur. 

Dalam pidato pengunduran diri, Soeharto antara lain menyatakan, "Dalam


keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya
menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka
perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi
saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan
dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai